Kamis, 28 November 2013

Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar




  • Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar

lihat dalam tafsir berikut :
Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra‘d:
1- Tafsir Ibnu Kathir:
ثم استوى علي العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan
Disini Ibnu Katsir mengunakan ta‘wil ijtimalliy iaitu ta‘wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.
sebenarnya memahami makna istiwa ini sebenarnya.

―Dan adapun firman-Nya: ―Kemudian Dia istiwa di atas ‗arsy‖, Orang-orang mempunyai berbagai pendapat yang sangat banyak dalam hal ini, dan bukan ini tempatnya perinciannya.
Hanya saja dalam hal ini kami menapaki (meniti) cara yang dipakai oleh madzhab Salaf al- Shalih, (seperti) Malik, al-Auza‘i, al-Laits bin Sa‘ad, al-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni
membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta‘thil (menafikan). Zhahirnya apa yang mudah ditangkap oleh musyabbih (orang yang
melakukan tasybih) adalah hal yang tidak ada bagi Allah, karena sesungguhnya Allah tidak ada sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya, dan ―Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat‖ [al-Syura: 11]. Bahkan
perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu‘aim bin Hammad al-Khuza‘i, guru al-Bukhari, ia berkata: ―Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya,
maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta‘ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat mukamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih
dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.‖

Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :
- ibnu katsir mengakui ayat ‗istiwa‘ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang jelas
(muhkamat) bukan mengartikannya dengan ayat-dan hadis mutasyabihat.
Al Imam Ahmad ar-Rifa‘i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad berkata: ―Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur‘an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‗alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran.‖
- jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.
- disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya tidak melarang ta‘wil. ―…dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian,
yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta‘thil (menafikan)….‖
sedangkan merek yang menisbahkan diri sebagai pengikut syaikh Muhammad bnin abdul Wahab melarang melakukan tanwil dan menganggap kufur bagi pelakunya. Bukti imam Bukhari, imam Ahmad dan lainnya melakukan ta‘wil ayat mutasyabihat akan
dijelaskan pada point E
2- Tafsir al Qurtubi
ثم استوى علي العرش dengan makna penjagaan dan penguasaan
3- Tafsir al-Jalalain
ثم استوى علي العرش istiwa yang layak bagi Nya

4- Tafsir an-Nasafi Maknanya:
makna ثم استوى علي العرش adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi
banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…
B. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf
Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama‘ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa
datang dengan banyak makna, diantaranya:
1-masak (boleh di makan) contoh:
قد استوى الطعام -قد استوى التفاح
maknanya: makanan telah masak—buah apel telah masak
2-التمام sempurna, lengkap
3.الاعتدال lurus
4.جلس duduk / bersemayam
contoh: –استوى الطالب على الكرسي pelajar duduk atas kerusi
استوى المالك علي السرير raja
bersemayam di atas katil
5.إستولى menguasai,
contoh:قد استوى البشر علي العراق من غير سيف ودم مهراق
Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al- Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna
bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?
sepertimana kata salah seorang ulama‘ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah) : "Barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. "

Kemudian ulama‘-ulama‘ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar,
oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata‘ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh :"Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya,
bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya."
Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus 


Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-  Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna
bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?
sepertimana kata salah seorang ulama‘ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah) : "Barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka

dia telah kafir. " Kemudian ulama‘-ulama‘ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar,
oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata‘ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh :

"Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya."
Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.
Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al Qawim h. 64, mengatakan: ―Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi‘i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)‖. Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainya mengatakan : ―Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah

kafir‖ (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi‘i dalam kitab Tasynif al Masami‘ dari pengarang kitab al Khishal dari
kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).
Al Imam Abu al Hasan al Asy‘ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : ―Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya‖.
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
Al Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata : ―Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung,
telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut‖.
Perkataan al Imam Abu Ja‘far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma‘ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).
C. ulama' 4 mazhab tentang aqidah
1- Imam Abu hanifah:

Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah,juz pertama.
2-Imam Syafie:

Maknanya: sesungguhnya Dia Ta‘ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al- Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 halaman 23.
3-Imam Ahmad bin Hanbal :

Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu‘ syubh man syabbaha Wa
Tamarrad Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke

atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami
4- Imam Malik :

Maknannya: Kalimah istiwa‘ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak
diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.
lihat disini : imam malik menulis kata istiwa (استواى) bukan jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar).
saudara kita dari wahabiyyun menulis : Imam Malik berkata ―Allah bersemayam― (padahal aslinya hanya tertulis lafadaz istiwa) telah jelas kita ketahui. Bagaimana dia bersemayam (padahal aslinya hanya tertulis lafadaz istiwa) tidak akan terjangkau oleh Akal. Beriman tentang hal tsb adalah suatu kewajiban bagi kita sedangkan menanyakan bagaimana hakikatnya/kaifiyyatnya adalah termasuk bid‘ah." tentu saja penerjemahan seperti itu tidak bisa seratus persen dibenarkan













Tidak ada komentar:

Posting Komentar