Selasa, 07 Januari 2014

Penjelasan Tidak Tercegah Secara Syari’at Dan Secara AkalBahwa Di Atas Arsy Terdapat Tempat



  • Penjelasan Tidak Tercegah Secara Syari’at Dan Secara Akal Bahwa Di Atas Arsy Terdapat Tempat

Sebagian orang kaum Mujassimah di masa sekarang (yaitu golongan Wahhabiyyah) menyebarkan pemahaman menyesatkan dengan mengatakan bahwa di atas arsy tidak ada tempat. Mereka berkata bahwa tempat hanya ada di bawah arsy saja. Dalam mengelabui orang-orang awam mereka berkata: “Allah berada di atas arsy, dan di atas arsy tidak ada tempat”, kadang mereka juga berkata: “Allah berada di atas arsy tanpa tempat”. Ini adalah perkataan yang tidak memiliki dalil sama sekali, karena tidak tercegah secara syari’at dan secara akal bahwa di atas arsy terdapat tempat.
Dalil bahwa di atas arsy terdapat tempat adalah hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda94: -(berikut ini redaksi dalam Shahîh al- Bukhâri)-
"لماّ قضى الله الخلق كتب في كتابه فهو عنده فوق العرش: إن رحمتي غلبت غضبي"

“Ketika Allah menciptakan makhluk-Nya Ia menuliskan (ketetapan) dalam sebuah kitab yang kitab tersebut berada di atas arsy: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka- Ku”.
Dalam riwayat lain dalam redaksi al-Bukhari:
"وهو وَضْعٌ عنده على العرش: إن رحمتي تغلب غضبي"

“Dan kitab tersebut diletakan di atas: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka- Ku”

Al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata:

"وضع: بفتح فسكون، أي موضوع، ووقع كذلك في "الجمع" للحُمَيْدِي بلفظ "موضوع" وهي رواية
الإسماعيلي"

“Kata “wadl’un” dengan fat-hah kemudian sukûn, artinya “mawdlû’un” (artinya; diletakan).
Hadits seperti ini juga ada dalam kitab “al-Jama’” karya al-Humaidi, yaitu dengan redaksi“maudlû’un” yaitu dalam riwayat al-Isma’ili”.
Sementara dalam riwayat Ibn Hibban dengan radaksi berikut:
"وهو مرفوع فوق العرش

“Kitab tersebut terangkat di atas arsy”.
Dari sini kita katakan; Seandainya di atas arsy tidak ada tempat maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan bahwa kitab tersebut berada dan ditempatkan di atas arsy.
Adapun takwil sebagian orang yang mengatakan bahwa kata “fawq” dalam redaksi hadits di atas dalam pemahaman “dûna” (artinya; di bawah) dengan alasan bahwa dalam bahasa Arab penggunaan kata “fawq” terkadang untuk memberikan pemahaman makna “dûna”; maka pendapat menyesatkan ini tertolak dengan hadits riwayat Ibn Hibban yang secara jelas menetapkan bahwa kitab tersebut benar-benar di atas arsy, lihat redaksi berikut:
"وهو مرفوع فوق العرش"

“Kitab tersebut terangkat di atas arsy”
Dengan demikian takwil kata “fawq” dengan “dûna” dalam hadits ini adalah takwil batil, salah dan menyesatkan. Redaksi Ibn Hibban di atas yang menggunakan kata “marfû’” secara jelas membantah pemahaman takwil semacam itu. Demikian pula riwayat al-Bukhari yang telah kita kutip di atas dengan redaksi “wadl’un”, yang artinya “mawdlû’un” (diletakan) juga membantah pemahaman takwil yang menyesatkan tersebut.
Di sini kita katakan kepada mereka: Sesungguhnya memberlakukan takwil terhadap suatu teks itu hanya dilakukan ketika benar-benar dibutuhkan karena tuntutan dalil akal atau karena tuntutan dalil naqliy yang shahih (yang secara zahir berseberangan dengan teks tersebut) sebagaimana kaedah ini telah ditetapkan oleh para ulama Ushul, mereka berkata:
“Memberlakukan metode takwil dengan tanpa didasarkan kepada alasan tersebut maka akan menjadikan setiap teks itu sia-sia belaka, padahal teks-teks syari’at itu harus dihindarkan dari kesia-siaan”.
Al-‘Allâmah al-Faqîh al-Muhaddits asy-Syaikh Abdullah al-Harari berkata:

"وأما معنى "عنده" المذكور في الحديث فهو للتشريف كما في قوله تعالى: في مقعد صدق عند مليك مقتدر
[سورة القمر/ 55 ]، وقد أثبت اللغويون أن "عند" تأتي لغير الحيّز والمكان، فكلمة "عند" في هذا الحديث
لتشريف ذلك المكان الذي فيه الكتاب

“Adapun makna kata “’Indahu” yang disebutkan dalam redaksi hadits tersebut maka itu untuk tujuan pemuliaan (Li at-tasyrîf), seperti pemahaman dalam firman Allah: “(Bahwa orang bertaqwa) di tempatkan di tempat yang baik (menyenangkan) yaitu ditempat yang dimuliakan oleh Allah yang maha agung (yaitu surga)”. (QS. Al Qamar:). Lalu para ahli bahasa (al-Laughawiyyûn) telah menetapkan bahwa kata “’inda” biasa digunakan bukan untuk tujuan arah dan tempat, dengan demikian kata “’inda” dalam hadits ini untuk tujuan memuliakan bagi tempat di mana kitab tersebut berada”.

Al-Hâfizh al-Muhaddits Waliyyuddin Abu Zur’ah Ahmad ibn Abdirrahim al ‘Iraqi (w 826 H) berkata:

"وقوله  أي النبي  "فهو عنده فوق العرش" لا بد من تأويل ظاهر لفظة "عنده" لأن معناها حضرة الشىء والله
تعالى منزه عن الاستقرار والتحيّز والجهة، فالعنديّة ليست من حضرة المكان بل من حضرة الشرف أي وضع
ذلك الكتاب في محل معظّم عنده"
“Sabda nabi “Fahuwa Mawdlû’un ‘Indahu Fawq al-‘Arsy” mestilah membutuhkan kepada takwil yang nyata dalam kata “’indahu”, karena makna zahirnya untuk mengungkapkan tempat bagi sesuatu, padahal Allah maha suci dari bertempat dan memiliki arah. Maka kata “’indahu” di sini bukan dalam pengertian tempat, tetapi untuk menunjukan kemuliaan, artinya bahwa kitab tersebut diletakan di tempat yang dimuliakan oleh Allah”









Kamis, 02 Januari 2014

Dalil Kesucian Allah Dari Tempat Dan Arah Dalam Al-Qur’an,hadist,ijma dan akal



  • Definisi Tempat (al-Makân) Dan Arah (al-Jihah)

Ada banyak perkataan para ahli bahasa terkemuka dan para ulama dalam
menyebutkan definisi tempat. Berikut ini kita kutip sebagian di antaranya:
1.Ahli bahasa terkemuka (al-Lughawiy) Abul Qasim al-Husain bin Muhammad yang dikenal dengan sebutan ar-Raghib al-Ashbahani (w 502 H) berkata:
"المكان عند أهل اللغة الموضع الحاوي للشىء
“Tempat (al-Makân) menurut ahli bahasa adalah ruang yang meliputi bagi sesuatu.
2.al-Lughawiy Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, penulis kitab al-Qâmûs, (w 817 H) menuliskan:
لمكان: الموضع، ج: أمكنة وأماكن"
“Tempat (al-Makân) adalah ruang, bentuk jamaknya Amkinah dan Amâkin.
3.Al-‘Allâmah Kamaluddin Ahmad bin Hasan al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) berkata:"المكان هو الفراغ الذي يشغله الجسم
“Tempat (al-Makân) adalah ruang yang dipenuhi oleh benda.
4.Asy-Syaikh Yusuf bin Sa’id ash-Shafati al-Maliki (w 1193 H) menuliskan:
"قال أهل السُّنة: المكان هو الفراغ الذي يحُلُّ فيه الجسم"

“Ahlussunnah berkata: “Tempat adalah ruang kosong yang menyatu (berada) di dalamnya suatu benda.
5.Al-Imâm al-Hâfizh al-Muhaddits al-Faqîh al-Lughawiy; Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) berkata:
"المكان: الموضع الحاوي للشىء
“Tempat (al-Makân) adalah ruang yang meliputi bagi sesuatu.
6.Asy-Asy-Syaikh Salamah al-Qudla’i al-‘Azami asy-Syafi’i (w 1376 H) menuliskan:"المكان هو الموضع الذي يكون فيه الجوهر على قدره، والجهة هي ذلك المكان
Tempat (al-Makân) adalah ruang yang ada di dalamnya suatu benda yang
mencukupinya, dan arah (al-Jihah) adalah tempat tersebut.
7.Al-Muhaddits al-Faqîh al-‘Allâmah asy-Asy-Syaikh Abdullah al-Harari yang dikenal dengan sebutan al-Habasyi berkata:
المكان هو ما يأخذه الحجم من الفراغ"
Tempat (al-Makân) adalah ruangan yang diambil oleh suatu benda.
Pernyataan yang kita kutip di atas ini adalah ketetapan dari para ahli bahasa dalam definisi tempat; ini sebagai dalil bahwa Rasulullah dan para sahabatnya berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tenpat, tidak bertempat di arsy, tidak pula bertempat di langit. 
Sesungguhnya al-Qur’an turun dengan bahasa Arab, sebagaimana firman Allah: “Bi Lisânin ‘Arabiyyin Mubîn” (QS. Asy-Syu’ara: 195), dan Rasulullah adalah seorang Arab yang sangat tahu benar seluk-beluk dan penggunaan bahasa Arab. Dengan demikian jelas sesat kaum Musyabbihah Mujassimah yang berpegangteguh dengan teks-teks zahir ayat-ayat dan hadits-hadits
mutasyabihat yang seakan menyebutkan bahwa Allah memiliki tempat. Sesungguhnya teksteks mutasyabihat itu tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya sebagaimana disepakati oleh para ulama Salaf dan Khalaf; oleh karena itu mereka semua berkeyakinan bahwa Allah
ada tanpa tempat, karena Dia bukan benda, sebagaimana kesucian Allah ini telah ditetapkan oleh al-Qur’an, hadits, konsensus ulama, para pakar bahasa, dan lainnya.
Setelah penjelasan ini menjadi jelas bagi anda bahwa bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak berada di tempat atas, dan tidak berada di tempat bawah, karena bila Allah bertempat maka berarti Allah diliputi oleh ruang, dan bila demikian maka berarti Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran, padahal jelas yang demikian itu adalah sifat benda yang notabene makhluk. Mustahil Allah bersifat dengan sifat-sifat makhluk-Nya, dan itu jelas batil.
Dengan demikian telah tetap kebenaran akidah Ahlussunnah dalam mensucikan Allah dari tempat dan arah.
Ada sebagian orang dari kaum Mujassimah di masa sekarang, yaitu kaum
Wahhabiyyah, untuk mengelabui orang-orang awam mereka berkata: “Allah ada di arah dari luar alam ini”. Untuk membongkar kesesatan pernyataan ini berikut kita kutip pernyataan para ulama; dari para ahli fiqih, ahli hadits, ahli bahasa, dan lainnya.
8.Ahli bahasa terkemuka; asy-Syaikh Muhammad bin Mukarram al-Ifriqiy al-Mishriy yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnul Manzhur (w 711 H), seorang ulama terkemuka pakar Nahwu, pakar bahasa, dan pakar sastra, berkata:
"والجِهةُ والوِجْهةُ جميعًا: الموضع الذي تتوجه إليه وتقصده
“Al-Jihah dan al-Wijhah (arah) memiliki makna yang sama, yaitu suatu tempat yang kamu menghadap kepadanya dan yang kamu tuju.
9.Asy-Syaikh Musthafa bin Muhammad ar-Rumiy al-Hanafiy yang dikenal dengan sebutan al-Kastulliy (w 901 H) berkata:
“Penyebutan kata al-Jihah (arah); terkadang yang dimaksud adalah bagi sebuah penghabisan dari isyarat indrawi atau gerakan-gerakan yang lurus. Dengan demikian kata al-Jihah adalah ungkapan bagi penghabisan jarak terjauh; yang itu merupakan tempat. Kadang pula kata al-Jihah yang dimaksud adalah tempat yang mengikut dengan arah yang dinamakan dengan nama demikian (artinya dinamakan dengan al-Jihah/arah), seperti bila dikatakan “fawq al-ardl” (di atas bumi), atau “taht al-ardl” (di bawah bumi). Dengan demikian arah (al-Jihah) adalah ungkapan bagi makna tempat dengan adanya sandaran apapun baginya (arah bawah, arah atas, dan seterusnya.
10.Pakar bahasa Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w 817 H) berkata:والجهة: الناحية، ج: جهات
al-Jihah sama dengan an-Nâhiyah (arah; puncak atau penghabisan yang kita tuju), kata jamaknya al-Jihat.
11.Al-‘Allâmah asy-Syaikh Kamaluddin Ahmad bin Hasan yang dikenal dengan sebutan al-Bayyadli (w 1098 H), pernah memangku jabatan hakim wilayah kota Halab (Aleppo), berkata:

والجهة اسم لمنتهى مأخذ الإشارة ومقصد المتحرك فلا يكونان إلا للجسم والجسمانيّ، وكل ذلك مستحيل 
أي على الله

“Definisi al-Jihah (arah) adalah nama bagi penghabisan dari sebuah isyarat, penghabisan tempat bagi sesuatu yang bergerak kepadanya; maka demikian dua sifat ini tidak terjadi kecuali hanya pada benda dan sifat benda saja. Itu semua adalah perkara mustahil bagi Allah.
12.Al-‘Allâmah asy-Syaikh Abdul Ghaniy an-Nabulsiy (w 1143 H) berkata:
والجهة عند المتكلمين هي نفس المكان باعتبار إضافة جسم ءاخر إليه"

“Definisi al-Jihah (arah) menurut para ahli teologi adalah sama dengan tempat dengan melihat adanya suatu benda yang bersandar kepadanya (berada padanya.
13.Al-‘Allâmah asy-Syaikh Salamah al-Qudla’i asy-Syafi’i (w 1376 H) berkata:
“Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang memiliki ukuran; -dari segala benda- yang pastilah dia itu merupakan tubuh (al-Jism), atau yang lebih kecil dari tubuh (seperti al- Jawhar al-Fard; yaitu benda yang telah sampai batas terkecil yang tidak lagi dapat dibagibagi); itu semua dengan tempat dan arah memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Bagi orang-orang berakal ini adalah perkara jelas yang tidak membutuhkan kepada argumen; (artinya bahwa segala benda pasti memiliki tempat dan arah), karena
definisi tempat adalah suatu ruang yang berada padanya suatu benda seukuran tempat itu sendiri, dan definisi arah adalah tempat itu sendiri dengan ikatan adanya penyandaran suatu benda lain kepadanya.
14.Al-‘Allâmah al-Muhaddits al-Faqîh asy-Syaikh Abdullah al-Harari asy-Syafi’i al-Asy’ari yang dikenal dengan sebutan al-Habasyi berkata:

وإذا لم يكن - الله - في مكان لم يكن في جهة لا علو ولا سفل ولا غيرهما إما حدود وأطراف للأمكنة
أو نفس الأمكنة باعتبار عروض الإضافة إلى شىء"

“Oleh karena Allah ada tanpa tempat; maka berarti Dia ada tanpa arah, tidak di arah atas, tidak di arah bawah, juga tidak di arah lainnya. Karena definisi arah itu adalah batasan dan ujung dari tempat, atau bahwa arah itu adalah tempat itu sendiri dengan melihat dari adanya sesuatu yang lain yang disandarkan kepadanya.


  • Dalil Kesucian Allah Dari Tempat Dan Arah Dalam Al-Qur’an.
1.Firman Allah:ليس كمثلِه شىء} [سورة الشورى/ 11

“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS as-Syura: 11).
 Ayat ini adalah ayat paling jelas dalam al-Qur’an yang berbicara tentang Tanzîh (mensucikan Allah dari menyerupai makhluk), at-Tanzîh al-Kulliy; pensucian yang total dari menyerupai makhluk. Jadi maknanya sangat luas, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah maha suci dari berupa benda, dari berada pada satu arah atau banyak arah atau semua arah. Allah maha suci dari berada di atas arsy, di bawah arsy, sebelah kanan atau sebelah kiri
arsy. Allah juga maha suci dari sifat-sifat benda seperti bergerak, diam, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan sifat-sifat benda yang lain. Sahabat Ali ibn Abi Thalib berkata: ”Allah ada tanpa permulaan tanpa tempat (karena tempat adalah ciptaan- Nya) dan Dia sekarang --setelah menciptakan tempat-- ada sebagaimana pada sifat-Nya yang Azali; yaitu ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Imâm Abu Manshur al-Baghdadi). Dengan demikian dalam ayat QS. Asy Syura: 11 ini terdapat dalil bagi Ahlussunnah bahwa salah satu sifat Allah adalah ”Mukhâlafah Lil Hawâdits”; artinya bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya yang baharu ini. Sifat Allah; ”Mukhâlafah Lil Hawâdits” ini adalah salah satu sifat Salbiyyah yang lima dalam menunjukan bahwa Allah maha suci dari
segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Argumen logis bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya adalah karena bila Allah menyerupai makhluk-Nya maka bisa terjadi segala sesuatu yang dapat
terjadi pada makhluk-Nya tersebut; seperti berubah dari satu keadaan kepada keadaan lain, berkembang, hancur, punah, dan lainnya. Seandainya Allah seperti demikian ini maka berarti Dia membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam keadaan tersebut, padahal sesuatu yang membutuhkan itu bukan Tuhan, sedikitpun tidak layak untuk disembah. Dengan demikina menjadi jelas bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya.
Ayat di atas merupakan dalil naqliyy bagi sifat Allah ”Mukhâlafah Lil Hawâdits”. Ayat ini adalah ayat paling jelas dalam al-Qur’an yang berbicara tentang kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Ayat ini mengandung makna at-Tanzîh al-Kulliy; pensucian yang total dari menyerupai makhluk. Kata “Syai”” dalam ayat ini dalam bentuk nakirah yang diletakan dalam Siyâq an-nafy; gaya bahasa semacam ini untuk memberikan pemahaman menyeluruh dan umum; dengan demikian maknanya bahwa Allah mutlak tidak menyerupai
suatu apapun. Dengan ayat ini Allah menjelaskan bagi kita bahwa Dia bukan benda dan tidak bersifat dengan sifat-sifat benda. Dia tidak menyerupai segala sesuatu yang memiliki ruh, seperti manusia, jin, malaikat, dan lainnya. Dia tidak menyerupai segala benda mati, tidak menyerupai segala benda yang berada di arah atas, tidak menyeruapi segala benda yang ada di
arah bawah. Dalam ayat ini Allah tidak menyebutkan secara khusus sesuatu dari makhlukmakhluk- Nya, tetapi menyebutkan secara menyeluruhkan segala apapun dari makhluk-Nya dengan kata “syai’” dalam bentuk nakirah. Dengan demikian tercakup di dalamnya pemahaman kesucian Allah dari tempat, arah, batasan (al-hadd), bentuk (al-hajm), ukuran (alkammiyyah), dan sifat-sifat benda lainnya. Allah bukan benda maka Dia maha suci dari bentuk, ukuran dan batasan. Seandainya Allah berada di atas arsy seperti keyakinan kaum Musyabbihah maka berarti Allah membayangi arsy tersebut. Dan jika demikian maka tidak akan lepas dari tiga kemungkinan; bisa jadi sama besar dengan arsy itu sendiri, bisa jadi lebih kecil, atau bisa jadi lebih besar. Keadaan seperi ini tentunya hanya berlaku pada benda yang memiliki bentuk, ukuran dan batasan. Ini semua perkara mustahil atas Allah. Dengan demikian pendapat kaum Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy adalah pendapat batil. Orang yang mengatakan Allah memiliki bentuk dan ukuran maka dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, semacam ini jelas merusak sifat-sifat ketuhanan pada-Nya. Bila Allah memiliki bentuk dan ukuran maka berarti Dia membutukan kepada yang menjadikan-Nya dalam bentuk dan ukuran tersebut, karena akal sehat tidak
dapat menerima jika Allah menjadikan diri-Nya sendiri dengan keadaan demikian. Lalu jika Allah membutuhkan kepada yang lain maka itu menafikan sifat ketuhanan pada-Nya, oleh karena di antara syarat ketuhanan adalah tidak membutuhkan kepada yang lain.
2.Firman Allah:{وللهِ المثَلُ الأعلى} [سورة النحل/ 60

Arti ayat ini adalah bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang yang tidak dimiliki oleh siapapun selain-Nya, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk-Nya; seperti berubah, berkembang, berada pada tempat, bertempat atau bersemayam pada arsy. Allah maha suci dari itu semua.
Ahli tafsir terkemuka; Abu Hayyan al-Andalusy dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:

{وللهِ المثَلُ الأعلى} أي الصفة العليا من تنزيهه تعالى عن الولد والصاحبة وجميع ما تنسب الكفرةُ إليه مما لا
يليق به تعالى كالتشبيه والانتقال وظهوره تعالى في صورة"

“Firman Allah: “Wa Lillâhil Matsalul A’lâ” (an-Nahl: 60) artinya bahwa Allah memiliki sifat agung; maha suci dari semisal anak, istri, dan dari segala apa yang disandarkan oleh orang-orang kafir kepada-Nya yang jelas tidak sesuai bagi keagungan-Nya; seperti adanya keserupaan, berpindah-pindah, dan bahwa Allah nampak sebagai bentuk.
4.Firman Allah:{فلا تضربوا للهِ الأمثال} [سورة النحل/ 74

Makna ayat: “Janganlah kalian membuat keserupaan suatu apapun bagi Allah, karena Allah tidak menyerupai suatu apapun, Dzat Allah tidak menyerupai segala dzat (Dzat Allah bukan benda), dan sifat-sifat Allah tidak menyerupai segala sifat (artinya bahwa sifat Allah bukan sebagai sifat-sifat benda)”.
4.Firman Allah:Makna ayat: “Apakah kamu mengetahui adanya keserupaan bagi Allah?” (QS. Maryam:65). Artinya kamu tidak akan pernah mendapati keserupaan bagi Allah, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya.

Ayat ini mengandung pemahaman yang sangat jelas bahwa Allah tidak ada keserupaan bagi-Nya dengan suatu apapun. Dengan demikian siapa yang mensifati Allah dengan sifatsifat benda seperti duduk, berdiri, dan bertempat maka berarti ia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Demikian pula yang mengatakan bahwa Allah bertempat di langit atau bertempat dan memenuhi arsy maka berarti ia telah menyerupakan Allah dengan para
Mala’ikat yang notabene sebagai para penduduk langit. Dan dengan demikian maka orang ini secara nyata telah mendustakan al-Qur’an, mendustakan firman Allah QS. Asy Syura: 11 dan firman-Nya QS. Maryam: 65.
5.Firman Allah:{هُوَ الأَوَّلُ وَالآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِ ن} [سورة الحديد/ 3
Al-Imâm Abn Jarir ath-Thabari menuliskan sebagai berikut:
"فلا شىء أقرب إلى شىء منه، كما قال :{وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ } [سورة ق/ 16

“Tidak ada suatu apapun dari makhluk yang menyerupai makna “lebih dekat”-nya Allah, sebagaimana Allah berfirman: “Wa Nahnu Aqrabu Ilayhi Min Hablil Warîd” (QS. Qaf: 16.
 Apa yang dituliskan oleh al-Imâm ath-Thabari ini adalah sebagai ungkapan untuk menafikan makna “dekat” dalam pengertian indrawi, sekaligus sebagai bantahan terhadap faham sesat ala kaum Mujassimah yang dalam keyakinan mereka selalu berpegang dengan zahir teks-teks mutasyabihat. Makna “dekat” yang dimaksud oleh al-Imâm ath Thabari dalam hal ini adalah
pemahaman maknawi, dengan demikian ini menjadi salah satu argumen bahwa Allah maha suci dari tempat dan arah.
Makna “al-Awwal” pada hak Allah artinya “al-Azaliy” yaitu bahwa Allah ada tanpa permulaan. Segala sesuau selain Allah memiliki permulaan; semuanya diciptakan oleh Allah. Pada azal tidak ada apapun kecuali Allah, tidak ada tempat, tidak ada waktu, tidak ada langit, tidak ada arsy, dan lainnya. Kemudian Allah menciptakan tempat, arah dan waktu; maka Dia
tidak membutuhkan kepada ciptaan-Nya, Dia tidak berubah pada Dzat-Nya maupun sifatsifat-Nya, Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali ada tanpa tempat dan tanpa arah, sebab perubahan itu tanda makhluk.
6.Firman Allah:{وَلمَْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ } [سورة الإخلاص/ 4

Makna ayat ini sangat jelas memberikan pemahaman bahwa Allah tidak memiliki keserupaan bagi-Nya secara mutlak dari berbagai segi, kandungan ayat ini ditafsirkan oleh ayat yang telah kita sebutkan di atas dalam QS. Asy Syura: 11.
7.Firman Allah:{فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ الله } [سورة البقرة/ 115

Dalam menjelaskan ayat ini ahli tafsir terkemuka; al-Imâm Abu Hayyan al-Andalusiy menuliskan sebagai berikut:

"وفي قوله تعالى: {فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ الله } [سورة البقرة/ 115 ] ردٌّ على من يقول إنه في حيِّز وجهة، لأنه
لماّ خيَّر في استقبال جميع الجهات دلَّ على أنه ليس في جهة ولا حيِّز، ولو كان في حيِّزٍ لكان استقباله والتوجه
إليه أحق من جميع الأماكن، فحيث لم يُخصِّص مكانًا علِمْنا أنه لا في جهة ولا حيِّز، بل جميع الجهات في
ملكه وتحت ملكه، فأيّ جهة توجهنا إليه فيها على وجه الخضوع كنا معظمين له ممتثلين لأمره"

“Dalam firman Allah QS. Al Baqarah: 115 ini terdapat bantahan terhadap orang yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat dan arah, karena dalam ayat ini terdapat perintah memilih untuk menghadap ke arah manapun --dalam shalat sunnah di atas binatang tunggangan--; ini berarti bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Oleh karena bila Allah berada pada suatu tempat dan arah maka tentulah arah tersebut lebih berhak untuk siapapun menghadap kepadanya dibanding semua arah lainnya. Dengan demikian, ketika Allah tidak mengkhususkan untuk menghadap ke suatu arah --dalam
shalat sunnah di atas binatang tunggangan-- kita menjadi tahu bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sesungguhnya semua tempat dan arah itu berada di dalam dan dim bawah kekuasaan (milik) Allah. Karenanya ke arah manapun kita shalat --dalam shalat sunnah di atas binatang tunggangan-- dengan jalan tunduk merendahkan diri kepada-Nya maka berarti kita telah mengagungkan Allah dan mengerjakan perintah-Nya”.


  • Dalil Kesucian Allah Dari Tempat Dan Arah Dalam Hadits

Ketahuilah, bahwa terdapat banyak hadits Rasulullah dalam menjelaskan kesucian Allah dari tempat dan arah yang itu semua dijadikan dalil oleh para ulama kita dalam menetepakan kebenaran akidah Ahlussunnah tersebut. Berikut ini beberapa diantaranya kita sebutkan:
1.Rasulullah bersabda:"كان الله ولم يكن شىءٌ غيره" رواه البخاري والبيهقي

“Allah ada tanpa permulaan dan tidak ada sesuatu apapun selain-Nya” (HR. al-Bukharidan al-Bayhaqi).
 Pemahaman hadits ini bahwa Allah ada Azali (tanpa permulaan), pada azal tidak ada sesuatu apapun bersama-Nya, tidak ada air, tidak ada udara, tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada kursi, tidak ada arsy, tidak ada manusia, tidak ada jin, tidak ada malaikat, tidak ada waktu dan tidak ada tempat. Allah ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah. Allah yang telah menciptakan tempat dan arah; maka Allah tidak membutuhkan kepada keduanya.
Allah tidak disifati dengan berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain karena perubahan tanda makhluk. Tidak boleh diyakini seperti keyakinan sesat kaum Musyabbihah yang mengatakan; Allah ada ada pada azal (tanpa permulaan) dan belum ada tempat, kemudian setelah Allah menciptakan tempat maka Dia berubah menjadi berada pada tempat
dan arah yang merupakan ciptaan-Nya tersebut. Na’ûdzu billâh.
Sungguh kata-kata yang baik dan benar orang-orang Islam ahli tauhid dalam doa mereka terkadang mengungkapkan: “Subhânalladzi Yughayyir Wa Lâ Yataghayyar” (Maha Suci Allah yang merubah keadaan para makhluk-Nya sementara Dia Allah Dzat yang tidak berubah). Ini adalah ungkapan yang sangat baik menurut Ahlussunnah, sementara menurut kaum Musyabbihah Mujassimah; mereka yang mengaku-aku sebagai pengikut Salaf saleh ini
adalah kalimat yang sangat buruk oleh karena menyalahi akidah tasybîh mereka.
2.Rasulullah bersabda:

"اللّهمّ أنتَ الأوّلُ فَليسَ قَبلَكَ شَىءٌ، وأنْتَ البَاطِ ن فلَيسَ دُونَكَ شَىءٌ، وأنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىء وَأنْتَ الْبَاطِ ن فَلَيْسَ
دُوْنَكَ شَىء " (رَوَاه مُسلم وَغيرُه)

Maknanya: “Ya Allah Engkau al-Awwal (tidak bermula) maka tidak ada sesuatu apapun sebelum-Mu, Engkau al-Âkhir (tidak punah) maka tidak ada sesuatu apapun sesudah-Mu, Engkau azh-Zhâhir (yang segala sesuatu merupakan tanda-tanda bagi keberadaan-Nya) maka tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bâthin (yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) maka tidak ada sesuatu apapun di bawahmu”. (HR Muslim dan lainnya).
Al-Hâfizh Abu Bakr al-Bayhaqi asy-Syâfi’i al-Asy’ari berkata:

"استدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه  أي عن الله  بقول النبي صلى الله عليه وسلم: "أنت الظاهر
فليس فوقك شىء، وأنت الباطن فليس دونك شىء"، وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في
مكان"

“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah:


"أنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىء وَأنْتَ الْبَاطِ ن فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَىء " (رَوَا هُ مُسلم وَغيرُه)

Engkau azh-Zhâhir (yang segala sesuatu merupakan tanda-tanda bagi keberadaan-Nya) maka tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bâthin (yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) maka tidak ada sesuatu apapun di bawahmu”. (HR Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat.
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
"لو أنكم دَلَّيْتُم رجُلاً بحبلٍ إلى الأرض السفلى لهبط على الله" رواه الترمذي

Makna harfiah hadits ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Seandainya kalian menjulurkan seseorang yang terikat dengan tali ke arah bumi paling bawah maka pastilah ia jatuh atas Allah”. (HR. at-Tirmidzi).
 Ini adalah hadits lemah. Namun demikian hadits ini oleh sebagian ulama ditakwil, yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dari penjuru bumi ini dari berbagai arahnya, adapun Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Justru hadits ini sebagai bukti sebagaimana yang dipahami oleh para ulama bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan arah.
Al-Hâfizh Ibn Hajar al Asqalani berkata:

معناه أن علم الله يشمل جميع الأقطار، فالتقدير لهبط على علم الله، والله سبحانه وتعالى تنزه عن الحلول في
الأماكن، فالله سبحانه وتعالى كان قبل أن تحدث الأماكن" اه، نقله عنه تلميذه الحافظ السخاوي في كتابه
"المقاصد الحسنة"، وذكره أيضًا الحافظ المحدِّث المؤرخ محمد بن طولون الحنفي وأقرَّه عليه

“Makna hadits ini adalah bahwa Allah mengetahui segala penjuru bumi ini. Pemahaman redaksi “Lahabatha ‘Alâ Allâh” adalah “Lahabatha ‘Alâ ‘Ilm Allâh”; (artinya sejauh apapun seseorang diasingkan maka tetap Allah mengetahui keadaannya). Adapun Allah maha suci dari berada pada tempat dan arah. Allah maha ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah tanpa tempat dan arah. (Perkataan Ibn Hajar ini dikutip oleh muridnya sendiri; yaitu al-Hâfizh as Sakhawi dalam kitab al-Maqâshid al-Hasanah43. Juga dikutip oleh
al-Hâfizh al-Muhaddits al-Mu’arrikh Muhammad ibn Thulun al-Hanafi, dan disetujuinya).
 Al-Hâfizh al-Muhaddits Abu Bakr al-Bayhaqi setelah mengutip hadits ini menuliskan sebagai berikut:

"والذي رُويَ في ءاخر هذا الحديث إشارةٌ إلى نفي المكان عن الله تعالى، وأن العبد أينما كان فهو في القرب
والبعد من الله تعالى سواء، وأنه "الظاهر" فيصح إدراكه بالأدلة، "الباطن" فلا يصح إدراكه بالكون في مكان"

Redaksi yang diriwayatkan dalam akhir hadits ini adalah sebagai isyarat kepada penafian tempat dan arah dari Allah. Sesungguhnya jarak “jauh” atau “dekat” bagi seorang hamba semua itu bagi Allah sama saja (artinya bahwa Allah tidak terikat jarak dan arah). Dia Allah azh-Zhâhir (yang segala sesuatu merupakan tanda-tanda bagi keberadaan-Nya) dengan demikian tanda-tanda keberadaan Allah dapat kita raih dengan adanya bukti-bukti, lalu Dia Allah al-Bâthin (yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) dengan demikian tidak benar (tidak diterima oleh akal sehat) jika disimpulkan bahwa Allah berada pada tempat dan arah.
Demikian pula Abu Bakr ibn al-Arabi al-Maliki dalam Syarh Sunan at-Tirmidzi menjadikan hadits ini sebagai bukti bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, beliau menuliskan sebagai berikut:


"والمقصود من الخبر أن نسبة البارىء من الجهات إلى فوق كنسبته إلى تحت، إذ لا ينسب إلى الكون في
واحدة منهما بذاته"

“Yang dimaksud dari hadits ini adalah bahwa menyandaran arah bagi Allah itu sama saja (tidak menjadikan satu atas lainnya lebih istimewa), penyandaran kata “atas” bagi Allah tidak berbeda dengan penyandaran kata “bawah” bagi-Nya, oleh karena Dzat Allah tidak terikat oleh salah satu dari dua arah tersebut (Artinya Dzat Allah ada tanpa tempat).
 Perhatikan, tulisan Abu Bakr ibn al-Arabi di atas memberikan pemahaman yang sangat jelas bahwa Allah tidak bertempat di arsy seperti keyakinan sesat kaum Musyabbihah Mujassimah, dan juga tidak bertempat di arah bawah. Allah ada sebelum Dia menciptakan arah yang enam
(atas, bawah, depan, belakang, samping kanan, dan samping kiri). Dengan demikian Allah tidak berada di dalam sesuatu, dan tidak menyerupai segala sesutau. Sungguh Allah maha suci dari perkataan orang-orang kafir dengan kesucian yang agung.
3.Hadits shahih dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
"أقربُ ما يكونُ العبدُ مِن ربّه وهو ساجد، فأكثروا الدُّعاء

Makna harfiahnya: “Keadaan paling dekatnya seorang hamba kepada Tuhan-nya adalah saat dia sujud, maka perbanyaklah doa (saat sujud)”. (HR. Muslim)
Al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syâfi’i berkata: “Al-Badr ash-Shahib dalam kitab Tadzkirah-nya berkata: Dalam hadits ini terdapat isyarat dalam menafikan arah dari Allah.
4.Hadits shahih dari sahabat Abdullah ibn Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
"ما ينبغي لعبدٍ أن يقول: إني خيرٌ من يونس بن متَّى " اه. واللفظ للبخاري

“Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk berkata: “Sesungguhnya aku (Nabi
Muhammad) lebih baik dari Yunus ibn Matta” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Hadits ini adalah redaksi al-Imâm al-Bukhari.
Al-Hâfizh al-Muhaddits al-Faqîh al-Hanafi Murtadla az-Zabidi menuliskan sebagai berikut:“Al-Imâm Qâdlî al-Qudlât Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Iskandari al-Maliki dalam kitab al-Muntaqâ Fî Syaraf al-Musthafâ dalam menjelaskan ketiadaan tempat dan arah bagi Allah berkata: Bagi penjelasan penafian tempat dan arah bagi Allah ini al-Imâm Malik memberikan petunjuk dengan sabda Rasulullah: “Lâ Tufadl-dlilunî ‘Alâ Yûnus ibn Mattâ” (Jangan kalian agung-agungkan aku di atas nabi Yunus). Al-Imâm Malik berkata: “Sesungguhnya penyebutan secara khusus dengan nabi Yunus adalah untuk memberikan pemahaman kesucian Allah dari tempat, oleh karena nabi Muhammad diangkat ke arah atas hingga ke arsy sementara nabi Yunus diturunkan ke arah bawah hingga ke kedalaman lautan, namun demikian arah keduanya sama saja bagi Allah (artinya dua arah tersebut salah satunya tidak lebih utama dari lainnya, dan nabi Muhammad dan nabi Yunus sama-sama seorang nabi Allah). Seandainya keutamaan itu semata-mata dengan tempat dan arah maka tentu nabi Muhammad lebih dekat -dari segi
jarak- kepada Allah daripada nabi Yunus, dan tentunya Rasulullah tidak akan melarang kita melebih-lebihkan beliau di atas nabi Yunus. Kemudian al-Imâm Nashiruddin menjelaskan bahwa keutamaan itu adalah dengan derajat, bukan dengan tempat.
Demikianlah penjelasan yang telah dikutip oleh al-Imâm as-Subki dalam Risâlah ar-Radd ‘Alâ ibn Zafîl” Ibn Zafil yang dimaksud dalam risalah al-Imâm as-Subki di atas adalah Ibn Qayyim al- Jawziyyah; seorang ahli bid’ah, murid dari Ibn Taimiyah al-Mujassim; seorang sesat yang telah mengambil kesesatan dan kekufuran para filosof yang mengatakan bahwa jenis alam ini tidak memiliki permulaan. Apa yang diyakini oleh Ibn Taimiyah ini adalah jelas kufur sebagaimana telah disepakati (ijma’) oleh seluruh orang Islam seperti yang disebutkan oleh al-Imâm Badruddin az-Zarkasyi dalam kitab Tasynîf al-Masâmi’. Al-Mufassir al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:

قال أبو المعالي: قوله صلى الله عليه وسلم: "لا تفضّلوني على يونس بن متى" المعنى فإني لم أكن وأنا في
سدرة المنتهى بأقرب إلى الله منه وهو في قعر البحر في بطن الحوت، وهذا يدل على أن البارىءَ سبحانه
وتعالى ليس في جهة"

“Abul Ma’ali berkata: Sabda Rasulullah: “Lâ Tufadl-lilunî ‘Alâ Yûnus ibn Mattâ”
mengandung makna bahwa saya (Nabi Muhammad) diangkat ke arah Sidrah al-Muntaha bukan berarti lebih dekat dari segi jarak kepada Allah dari pada Nabi Yunus yang berada di dasar lautan dalam perut ikan. Ini menunjukan bahwa Allah ada tanpa arah dan tempat.
5.Al-‘Allâmah al-Muhaddits al-Faqîh Abdullah al-Harari berkata:

"ومما استدل به أهل السنة على أن العروج بالنبي إلى ذلك المستوى الذي لما وصل إليه سمع كلام الله لم يكن
لأن الله تعالى متحيز في تلك الجهة؛ أن موسى لم يسمع كلامه وهو عارج في السموات إلى محل كالمحل الذي
وصل إليه الرسول محمد، بل سمع وهو في الطور، والطور من هذا الأرض، فيعلم من هذا أن الله م وجود بلا
مكان، وأن سماع كلامه ليس مشروطا بالمكان، وأن صفاته ليست متحيزة بالمكان؛ جعل سماع محمد لكلامه
الأزلي الأبدي في وقت كان فيه محمد في مستوى فوق السوات السبع حيث يعلم الله، وموسى كان سماعه في
الطور، وإن نبينا صلى الله عليه وسلم صار مشرفا بجميع أقسام التكليم الإلهي المذكور في تلك الآية، ولم
يجتمع هذا لنبي سواه".

“Di antara yang dijadikan dalil oleh Ahlussunnah bahwa mi’raj-nya Rasulullah ke arah atas hingga hingga ke ketinggian di mana Rasulullah mendengan Kalam Allah (yang bukan huruf, suara dan bahasa) bahwa Allah tidak bertempat pada arah tersebut; adalah bahwa Nabi Musa juga mendengar Kalam Allah (yang bukan huruf, suara dan bahasa) sebagaimana Nabi Muhammad, tapi Nabi Musa bukan berada pada tempat yang tinggi
sebagaimana Nabi Muhammad, ia berada di Tursina, dan Tursina berada di bumi ini. Dari sini menjadi jelas bahwa Allah ada tanpa tempat. Mendengar terhadap Kalam Allah (yang bukan huruf, suara dan bahasa) tidak haruskan bahwa Allah sendiri berada pada tempat dan arah. Sifat-sifat Allah tidak berada pada tempat. Allah telah berkehendak pada azal untuk memperdengarkan Kalam-Nya (yang bukan huruf, suara, dan bahasa)
terhadap Nabi Muhammad ketika Nabi Muhammad berada pada suatu tempat yang tinggi (yaitu ketika Mi’raj), demikian pula Allah telah berkehendak pada azal untuk memperdengarkan Kalam-Nya (yang bukan huruf, suara, dan bahasa) terhadap Nabi Musa ketika Nabi Musa berada di Tusina (karena itulah keduanya digelar dengan Kalîmullah). Hanya saja Nabi Muhammad memiliki keistimewaan dengan segala macam “Taklîm Ilâhiy” sebagaimana disebutkan dalam ayat; yang sifat istimewa ini tidak dimiliki
oleh seorang-pun dari para Nabi Allah.
6. Dalam Hadits Shahih riwayat al-Imâm Muslim dari Anad ibn Malik:
"أن النبي صلى الله عليه وسلم استسقى فأشار بظهر كَفَّيْه إلى السماء"

Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah saat berdoa meminta hujan (istisqâ’) maka beliau berisyarat dengan punggung kedua telapak tangannya ke arah langit (di dalam berdoa).
Artinya, Rasulullah menjadikan kedua telapak tangannya dalam berdoa menghadap ke arah bumi, bukan ke arah langit. Ini memberikan pemahaman bahwa Allah yang diminta dalam berdoa tidak berada di arah langit, sebagaimana Dia juga tidak berada di arah bumi.


  • Dalil Kesucian Allah Dari Tempat Dan Arah Dari Ijma

Ketahuilah, bahwa semua orang Islam telah sepakat di atas keyakinan bahwa Allah tidak menyatu pada tempat, tidak diliputi oleh tempat, tidak bertempat di langit, dan tidak bertempat di arsy, karena Allah ada (tanpa permulaan) sebelum ada arsy, sebelum ada langit, sebelum ada tempat dan arah, dan mustahil bagi Allah berubah dari satu keadaan kepada keadaan lain dan dari satu sifat kepada sifat yang lain. Allah ada tanpa permulaan (Azaliy)
sebelum ada tempat; maka setelah Allah menciptakan tempat ia ada sebagaimana pada sifat- Nya semula yang Azaliy; yaitu ada tanpa tempat.
Berikut ini apa yang akan kita sebutkan adalah ketetapan ijma’ seluruh orang Islam dalam keyakinan Allah ada tanpa tempat dari semenjak empat belas abad yang lalu hingga sekarang, dari semenjak masa para sahabat Rasulullah hingga masa kita ini. Ini adalah bukti kuat bahwa keyakinan suci ini telah diajarkan dan telah tertanam dari semanjak dahulu; dari masa Salaf hingga masa Khalaf, dan hingga sekarang.
Ketahuilah, bahwa para ulama ahli hadits, ahli fiqih, ahli tafsir, ahli bahasa, ahli nahwu, ahli ushul, dan seluruh ulama empat madzhab dari madzhab Syafi’i, madzhab Hanafi, madzhab Maliki dan madzhab Hanbali -kecuali mereka yang disesatkan oleh Allah dalam keyakinan tajsîm-, dan para ulama ahli tasawuf sejati; mereka semua berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Ini berbeda dengan keyakinan kaum Musyabbihah
sesat yang mengatakan bahwa Dzat Allah bertempat di arsy. Na’ûdzu billâh.
1.Al-Imâm asy-Syaikh Abdul Qahir bin Thahir at Tamimiy al-Baghdadi (w 429 H) menuliskan:
"وأجمعوا  أي أهل السنة والجماعة  على أنه  أي الله  لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان"

“Dan mereka semua (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah sepakat bahwa Dia (Allah) tidak diliputi oleh tempat dan waktu tidak berlaku bagi-Nya”

2.Imam al-Haramain Abdul Malik bin Abdullah al Juwaini asy-Syâfi’i ( w 478 H) berkata:"ومذهب أهل الحق قاطبة أن الله سبحانه وتعالى يتعالى عن التحيّز والتخصص بالجهات
"ومذهب أهل الحق قاطبة أن الله سبحانه وتعالى يتعالى عن التحيّز والتخصص بالجهات

“Madzhab Ahlul Haqq (Ahlussunnah Wal Jama’ah) seluruhnya adalah bahwa Allah maha suci dari bertempat dan dari menetapa pada segala arah”

3.Al-Imâm al-Mufassir asy-Syaikh Fakhruddin ar Razi (w 606 H) menuliskan:

إنعقد الإجماع على أنه سبحانه ليس معنا بالمكان والجهة والحيّز"
“Telah terjadi kesepakatan (Ijma’) bahwa Allah bersama kita bukan dalam makna tempat dan arah.

4.Asy-Syaikh Isma’il asy-Syaibani al-Hanafi (w 629 H) berkata:

قال أهل الحق: إن الله تعالى متعالٍ عن المكان، غيرُ متمكِّنٍ في مكان، ولا متحيز إلى جهة خلافًا للكرّامية

“Ahlul Haq (kelompok yang benar) berkata: Sesungguhnya Allah maha suci dari tempat, Dia tidak berada pada suatu tempat, tidak berada pada suatu arah, pendapat ini berbeda dengan keyakinan kaum al-Karramiyyah dan al-Mujassimah (yang mengatakan Allah bertempat di arsy)”.
5.Saifuddin al-Amidi (w 631 H) berkata:

وما يُروى عن السلف من ألفاظ يوهم ظاهرها إثبات الجهة والمكان فهو محمول على هذا الذي ذكرنا من
امتناعهم عن إجرائها على ظواهرها والإيمان بتنزيلها وتلاوة كل ءاية على ما ذكرنا عنهم، وبيَّن السلف
الاختلاف في الألفاظ التي يطلقون فيها، كل ذلك اختلاف منهم في العبارة، مع اتفاقهم جميعًا في المعنى أنه
تعالى ليس بمتمكن في مكان ولا متحيّز بجهة

“Dan adapun apa yang diriwayatkan dari sebagian ulama Salaf tentang beberapa redaksi yang zahirnya seakan menetapkan adanya tempat dan arah (bagi Allah) maka itu semua harus dipahami di atas apa yang telah kita jelaskan; ialah bahwa teks-teks tersebut tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya, kita wajib beriman dengan seluruh apa yang datang dalam al-Qur’an, kita membaca setiap ayat atas apa yang telah kami sebutkan dari
para ulama Salaf tersebut. Para ulama Salaf telah menjelaskan perbedaan pendapat mereka dalam redaksi-redaksi yang mereka ungkapkan, dan perbedaan pendapat itupun hanya dalam redaksi saja (bukan dari segi makna); oleh karena semua mereka telah bersepakat bahwa Allah tidak berada pada tempat dan tidak berada pada arah.

Dan asy-Syaikh Ibn Jahbal al-Halabi asy-Syâfi’i (w 733 H) telah menuliskan karya dalam menafikan tempat dan arah sebagai bantahan terhadap Ibn Taimiyah al-Harrani al-Mujassim yang telah menghina aqidah Ahlussunnah, dan mencaci-maki para sahabat terkemuka seperti Umar, Ali dan lainnya.
6.Asy-Syaikh Ibn Jahbal berkata:

وها نحن نذكر عقيدة أهل السنة، فنقول: عقيدتنا أن الله قديم أزليٌّ، لا يُشبِهُ شيئًا ولا يشبهه شىء، ليس له
جهة ولا مكان"

“Berikut ini kami sebutkan aqidah Ahlussunnah, kita katakan: Aqidah kami
bahwa Allah tidak bermula (Qadim; Azaliy), Dia tidak menyerupai suatu apapun dan tidak ada apapun yang menyerupai-Nya, tidak ada tempat dan arah bagi- Nya.
7.Asy-Syaikh Tajuddin as-Subki asy-Syâfi’i al-Asy’ari (w 771 H) dalam mengutip tulisan Asy- Syaikh Fakhruddin ibn Asakir, berkata:

إن الله تعالى موجود قبل الخلق ليس له قَبْلٌ ولا بعَْدٌ، ولا فوقٌ ولا تحتٌ، ولا يمينٌ ولا شمالٌ، ولا أمامٌ ولا
خَلْفٌ ".

“Sesungguhnya Allah ada sebelum segala makhluk ada, tidak ada bagi-Nya
sebelum dan sesudah, tidak ada bagi-Nya atas dan bawah, tidak ada bagi-Nya
samping kanan dan samping kiri, dan juga tidak ada bagi-Nya arah depan dan
arah belakang”.
Setelah mengutip aqidah Ahlussunnah yang ditulis oleh Ibn Asakir ini kemudian as-Subki berkata:"هذا ءاخر العقيدة وليس فيها ما ينكره سُنّي "

“Ini adalah aqidah yang terakhir yang tuliskan, di dalamnya tidak ada sesuatu
apapun yang diingkari oleh seorang berfaham Ahlussunnah.
8.Penilaian as-Subki di atas dibenarkan pula oleh al-Hâfizh al-Muhaddits Shalahuddin al-Ala-i (w 761 H); seorang ahli hadits terkemuka, beliau berkata:

"وهذه "العقيدة المرشدة" جرى قائلها على المنهاج القويم، والعَقْد المستقيم، وأصاب فيما نزَّه به العليَّ العظيم
“al-Aqidah al-Mursyidah (aqidah yang berisi petunjuk kebenaran) ini; penulisnya berada di atas jalan yang benar dan keyakinan yang lurus, dia telah tepat dalam mensucikan Allah yang maha Agung”.
9.Asy-Syaikh Muhammad Mayyarah al-Maliki (w 1072 H) berkata:
"أجمع أهل الحق قاطبة على أن الله تعالى لا جهة له، فلا فوق ولا تحت ولا يمين ولا شمال ولا أمام ولا خلف
“Seluruh Ahlul Haq telah sepakat (Ijma’) bahwa Allah tidak ada arah bagi-Nya,
maka Dia tidak di atas, tidak di bawah, tidak di samping kanan, tidak di samping kiri, tidak arah depan, dan juga tidak di arah belakang.
10.Asy-Syaikh al-Azhar; asy-Syaikh Salim al-Bisyri (w 1335 H) berkata:
“Madzhab kelompok yang selamat, dan keyakinan yang telah disepakati (Ijma’) oleh seluruh orang di kalangan Ahlussunnah bahwa Allah maha suci dari menyerupai seluruh makhluk, Dia tidak sama dengan makhluk-makhluk-Nya tersebut dalam seluruh tanda-tanda kebaharuan mereka, di antara kesucian-Nya bahwa Dia maha suci dari arah dan tempat”
Perkataan asy-Syaikh Salim al-Bisyri ini dikutip dan disetujui oleh Salamah al-Qudla’i dalam karyanya berjudul “Furqân al-Qur’ân Bayn Shifât al-Khâliq Wa Shifât al Akwân”.
11.Asy-Syaikh Yusuf ad-Dajwi al Mishri (w 1365 H); anggota perkumpulan ulama terkemuka alAzhar Mesir, menuliskan:"واعلم أن السلف قائلون باستحالة العلو المكاني عليه تعالى، خلافًا لبعض الجهلة الذين يخبطون خبط عشواء
في هذا المقام، فإن السلف والخلف متفقان على التنزيه"
“Ketahuilah bahwa kaum Salaf telah menetapkan bahwa arah atas (tempat) adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah, pendapat ini berbeda dengan orang-orang bodoh; mereka yang berjalan dalam kebingungan dalam masalah ini (yaitu mereka yang menetapkan tempat dan arah bagi Allah), sesungguhnya kaum Salaf dan Khalaf telah sepakat di atas keyakinan mensucikan Allah.
12.Asy-Syaikh Yusuf ad-Dajwi juga berkata:
هذا إجماع من السلف والخلف
“Ini (kesucian Allah dari arah dan tempat) adalah konsensus (Ijma’) dari Salaf dan Khalaf”.
13.Asy-Syaikh Salamah al-Qudla-i al Azami asy-Syâfi’i (w 1376 H) berkata:
"أجمع أهل الحق من علماء السلف والخلف على تنزه الحق  سبحانه  عن الجهة وتقدسه عن المكان
“Ahlul Haq (Ahlussunnah Wal Jama’ah) dari kalangan Salaf dan Khalaf telah
sepakat di atas mensucikan Allah dari tempat dan arah.
14.Al-Muhaddits asy-Syaikh Muhammad Arabi at-Tabban al-Maliki; pengajar di madrasah al-Falah dan di Masjid al-Haram Mekah, (w 1390 H) menuliskan:
اتفق العقلاء من أهل السنة الشافعية والحنفية والمالكية وفضلاء الحنابلة وغيرهم على أن الله تبارك وتعالى منزه
“Orang-orang berakal (yang cerdas) di kalangan Ahlussunnah dari mereka yang
bermadzhab Syafi’i, bermadzhab Hanafi, bermadzhab Maliki, dan orang yang
utama dari mereka yang bermadzhab Hanbali, juga dari lainnya mereka semua
telah sepakat bahwa Allah maha suci dari arah, suci dari tubuh, dari batasan, dari tempat, dan Dia maha suci dari menyerupai suatu apapun dari segala makhluk- Nya.
15.Termasuk yang telah menetapkan dan memperjuangkan kebenaran aqidah suci yang telah menjadi ijma’ ini, --sebagaimana ia kutip dalam banyak karyanya dan dalam berbagai kesempatan pengajarannya-- adalah al-Muhaddits al-‘Allâmah asy-Syaikh Abdullah al-Harari yang dikenal dengan sebutan al-Habasyi. Beliau sangat konsen dalam memperjuangkan dan
mengajarkan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Beliau berkata:
قال أهل الحق نصرهم الله؛ إن الله سبحانه وتعالى ليس في جهة
“Ahlul Haq, -semoga pertolongan Allah selalu tercurah bagi mereka-, berkata:
Sesungguhnya Allah ada tanpa arah.
Sesungguhnya Rasulullah telah mengingatkan kita sebagai umatnya untuk mewaspadai kelompok-kelompok sesat, di antaranya dalam sebuah hadits beliau bersabda:
وإنه سيخرج من أمتي أق وام تجارى تلك الأهواء كما يتجارى الكلب بصاحبه، لا يبقى عرق ولا مفصل
إلا دخله"
“Sesungguhnya akan keluar (datang) dari umatku beberapa golongan yang
mengalir pada diri mereka berbagai macam kesesatan sebagaimana mengalir
penyakit anjing gila (al-Kalab) pada tubuh seorang yang terjangkit olehnya, tidak tersisa urat atau persendian dari tubuhnya kecuali itu semua akan dijangkiti oleh penyakit tersebut” (HR. Abu Dawud).
Saudaraku, pertahankanlah aqidah suci ini, perjuangkan ia dengan segala daya dan upaya, itulah aqidah mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, kelompok yang telah dijamin keselamatannya oleh Rasulullah.
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita di atas keyakinan suci ini.

  • Dalil Akal Kesucian Allah Dari Tempat Dan Arah
Dasar keyakinan yang dianut oleh kaum teolog Ahlussunnah ialah bahwa akal sehat tidak akan pernah bertentangan dengan ajaran-ajaran syari’at. Bahkan sebaliknya, akal sehat adalah sebagai saksi bagi kebenaran syari’at itu sendiri. Sangat tidak logis bila Allah dan Rasul-Nya meletakan ajaran-ajaran syari’at yang bertentangan dengan akal. Karena bila demikian berarti penciptaan akal sama sekali tidak memiliki faedah. Dalam pada ini al-Hâfizh
al-Khathib al-Baghdadi berkata: “Segala ajaran syari’at datang sejalan dengan akal-akal yang sehat, dan sama sekali tidak ada ajaran dalam syari’at ini yang bertentangan dengan akal”.
Pada bagian ini kita kutip pernyataan beberapa ulama dalam penjelasan dalil-dalil akal bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Sekaligus untuk menetapkan bahwa
keyakinan Allah bersemayam di ata arsy, atau bahwa Allah berada di arah atas, serta keyakinan-keyakinan tasybîh lainnya adalah keyakinan batil, berseberangan dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya serta keyakinan yang sama sekai tidak dapat diterima oleh akal sehat. Berikut ini kita kutip pernyataan mereka satu persatu dengan referensi kuat dari karya-karya mereka sendiri.
1.Al-Imâm Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syâfi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fî Ushûliddîn menuliskan sebagai berikut:

"والغرض من هذا الفصل نفي الحاجة إلى المحل والجهة خلافًا للكرّامية والحشوية والمشبهة الذين قالوا إن لله

جهة فوق. وأطلق بعضهم القول بأنه جالس على العرش مستقر عليه، تعالى الله عن قولهم. والدليل على أنه

مستغن عن المحل أنه لو افتقر إلى المحل لزم أن يكون المحل قديمًا لأنه قديم، أو يكون حادثًا كما أن المحل
حادث، وكلاهما كفر. والدليل عليه أنه لو كان على العرش على ما زعموا، لكان لا يخلو إما أن يكون مِثْل
العرش أو أصغر منه أو أكبر، وفي جميع ذلك إثبات التقدير والحد والنهاية وهو كفر. والدليل عليه أنه لو كان
في جهة وقدرنا شخصًا أعطاه الله تعالى قوة عظيمة واشتغل بقطع المسافة والصعود إلى فوق لا يخلو إما أن
يصل إليه وقتًا ما أو لا يصل إليه. فإن قالوا لا يصل إليه فهو قول بنفي الصانع لأن كل موجودين بينهما
مسافة معلومة، وأحدهما لا يزال يقطع تلك المسافة ولا يصل إليه يدل على أنه ليس بموجود. فإن قالوا يجوز أن
يصل إليه ويحاذيه فيجوز أن يماسه أيضًا، ويلزم من ذلك كفران: أحدهما: قدم العالم، لأنا نستدل على حدوث
العالم بالافتراق والاجتماع. والثاني: اثبات الولد والزوجة"
“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak  
membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan  
Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari  
kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di 
atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompokkelompok  
tersebut.




Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan  
kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim.

Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana  
tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.

Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini  
mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau  
lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah  
kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.


Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita
umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk  
dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia 
memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai.

Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya 
Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak.
Dan seandainya salah satunya memotong jarak tersebut dengan terus menerus  
mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah  
nihil; tidak ada. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa  
sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan 
dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur.



Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua  
kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan.

Karena dalam keyakinan kita salah satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu  
ialah adanya sifat berpisah dan bersatu yang ada padanya. Kedua; keyakinan tersebut  
sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah”.


2.
Al-Imâm Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i (w 505 H) dalam kitab Ihyâ ‘Ulûmiddîn
menuliskan sebagai berikut:
"الأصل الرابع: العلم بأنه تعالى ليس بجوهر يتحيَّز، بل يتعالى ويتقدّس عن مناسبة الحيّز، وبُرهانُه أن كل جوهر
متحيز فهو مختص بحيِّزه، ولا يخلو من أن يكون ساكنًا فيه أو متحركًا عنه، فلا يخلو عن الحركة أو السكون وهما
حادثان، وما لا يخلو عن الحوادث فهو حادث"
“Dasar ke empat; ialah berkeyakinan bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat dan arah. Dia Maha Suci dari memiliki arah. Dalil akal atas ini adalah bahwa segala benda pasti memiliki arah khusus baginya, dan bedan tersebut tidak lepas dari dua keadaan; dalam keadaan diam pada tempatnya atau dalam keadaan bergerak dari tempatnya tersebut. Artinya setiap benda tidak lepas dari sifat gerak dan diam, dan keduanya jelas baharu. Dan segala sesuatu yang tidak lepas dari sifat baharu maka hal tersebut menunjukkan bahwa sesuatu tersebut adalah baharu.
3.Al-Imâm Abu al-Mu’ain an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah menuliskan penjelasan logis dan dalil-dalil yang sangat kuat dalam bantahan beliau atas kaum Musyabbihah. Di antara tulisan beliau adalah sebagai berikut:
"وللمجسمة شبه ثلاثة: الأولى قولهم إن الموجودَيْن القائِميْن بالذات لا يخلُوان من أن يكون كل واحد منهما
بِجهةٍ من صاحبه. فنقول وبالله التوفيق: الموجودان القائمان بالذات كل واحد منهما في الشاهد يجوز أن يكون
فوق صاحبه والآخر تحته، أتجوّزون هذا في الحق تعالى؟ فإن قالوا:
يكون البارىء جل وعلا تحت العالم، وإن قالوا: لا، أبطلوا دليلهم، فإن قالوا: إنما لم نجوز هذا في الحق تعالى
لأن جهة تحت جهة ذم ونقيصة، والبارىء جل وعلا منزه عن النقائص وأوصاف الذم. قيل لهم: فإذًا أثبتم
التفرقة بين الشاهد والحق عند وجود دليل التفرقة
“Kaum Mujassimah memiliki tiga kerancuan: Pertama; Pernyataan mereka bahwa setiap dua sesuatu yang ada pasti keduanya memiliki jarak dan arah satu dari lainnya. Kita jawab kesesatan mereka ini; Kalian menetapkan bahwa dua sesuatu pasti memiliki jarak dan arah satu dari lainnya bagi orang yang melihatnya, apakah kalian membolehkan sifat arah semacam ini atas Allah? Jika mereka menjawab “iya” maka mereka telah membatalkan keyakinan mereka sendiri. Karena dalam keyakinan mereka Allah tidak boleh disifati
berada di bawah alam. Dan jika mereka menjawab “tidak” maka mereka juga telah membatalkan argumen mereka sendiri bahwa dua sesuatu pasti memiliki arah satu dari lainnya. Jika mereka berkata; Kita tidak membolehkan arah bawah bagi Allah karena arah ini sifat kurang dan merupakan cacian, dan Allah tidak disifati dengan sifat kurang semacam itu. Jawab; Jika demikian berarti kalian telah menetapkan adanya argumen perbedaan (at-Tafriqah) antara Allah dengan makhluk-Nya”.
4.Al-Imâm Abu Nashr Abdurrahim bin Abdul Karim yang dikenal dengan sebutan Ibnul Qusyairi (w 514 H) dalam penjelasan kebolehan mentakwil “Istawâ” dengan “Qahara” (bermakna “menguasai”) menuliskan sebagai berikut: “Di antara argumen yang dapat mematahkan kerancuan keyakinan mereka adalah kita katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam atau tempat, apakah Allah ada atau tidak? Tentunya bila mereka punya akal sehat mereka akan akan menjawab: “Ya, Allah ada”. Dari jawaban ini, -jika pendapat mereka benar bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat dan arah-, dapat disimpulkan adanya dua pemahaman. Pertama; Mereka
berkesimpulan bahwa tempat, arah, ‘arsy, serta seluruh komponen alam ini adalah sesuatu yang tidak memiliki permulaan. (Artinya, alam ini Qadim; tidak memiliki permulaan, sebagaimana Allah Qadim). Atau pemahaman kedua; Mereka berkesimpulan bahwa Allah sendiri yang baharu, sebagaimana alam ini baharu. Inilah ujung dari keyakinan sesat golongan Hasyawiyyah yang bodoh itu. --Karena mereka berkeyakinan Allah ada pada tempat dan arah--. Bagaimana mungkin yang maha Qadim (Allah) dianggap baharu (Muhdats), dan yang baharu dianggap Qadim?!.
Masih dalam at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah, al-Imâm al-Qusyairi juga menuliskan sebagai berikut:
“Jika mereka berkata: “Bukankah Allah berfirman dalam QS. Thaha: 5: “ar-Rahmân ‘Alâ al-‘Arsy Istawâ”, Bukankah zhahir ayat ini harus kita ambil? Kita jawab: Allah juga berfirman dalam QS. al-Hadid: 4 “Wa Huwa Ma’akum Ainamâ Kuntum”. Kemudian juga berfirman dalam QS. Fushshilat: 54 “Alâ Innahu Bi Kulli Syai-in Muhith”. Jika kaedahnya seperti yang kalian katakan, yaitu harus mengambil makna zhahir ayat, maka berarti dua ayat terakhir ini harus diambil makna zhahirnya pula. Dengan demikian, --dengan dasar
keyakinan kalian-- berarti Allah berada di atas ‘arsy, -dan di saat yang sama- juga berada di sisi kita dan ada bersama kita, juga berada dengan meliputi dan mengelilingi alam ini dengan Dzat-Nya. Bagaimana mungkin pemahaman semacam ini dapat diterima?!
Padahal jelas Dzat Allah maha Esa, mustahil bagi-Nya berbilang-berbilang semacam itu.
Dzat yang Maha Esa mustahil pada saat yang sama berada di semua tempat (Karena jika demikian maka Dia berbilang, tidak Esa).
Kemudian jika mereka berkata: “Firman Allah “Wa Huwa Ma’akum”, yang dimaksud adalah bahwa Allah dengan ilmu-Nya mengetahui segala apapun yang terjadi pada diri
kita, dan firman Allah “Bi Kulli Syai-in Muhith”, yang dimaksud adalah bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, dan tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya”; maka kita katakan kepada mereka: “Jika begitu, maka demikian pula dengan firman Allah “ar- Rahmân ‘Ala al-‘Arsy Istawâ”, kata “Istawâ” di sini yang dimaksud adalah Qahara Wa Hafizha Wa Abqâ. (Artinya, bahwa Allah menguasai ‘arsy, memeliharanya dan menetapkannya)”.
Yang dimaksud oleh al-Imâm al-Qusyairi ialah bahwa jika mereka memberlakukan takwil terhadap beberapa ayat Mutasyabihat dan tidak mengambil makna-makna zhahirnya, seperti terhadap firman Allah (Wa Huwa Ma’akum) dan firman Allah (Innahu Bi Kulli Syai-in Muhith), lalu mengapa mereka mencela orang yang mentakwil kata “Istawâ” dengan “Qahara”,
atau dengan makna “Istawla”?! Pemahaman semacam apa itu?! Ini adalah bukti bahwa pendapat mereka hanya didasarkan kepada hawa nafsu belaka.
Selanjutnya al-Imâm Abu Nashr al-Qusyairi menuliskan:
"ولو أشْعر ما قلنا توهم غلبته لأشْعر قوله:{وهو القاهر فوق عباده} [سورة الأنعام/ 61 ] بذلك أيضًا حتى
يقال كان مقهورًا قبلَ خلقِ العباد، هيهاتَ، إذ لم يكن للعباد وجودٌ قبلَ خلقِه إيّاهم، بل لو كان الأمر على ما
توهمَه الجهلةُ مِنْ أنه استواءٌ بالذاتِ لأشعر ذلك بالتغيُّر واعوجاج سابقٍ على وقتِ الاستواء، فإن البارىء تعالى
كان موجودًا قبلَ العرش. ومَنْ أنصفَ عَلِمَ أنّ قولَ مَن يقول: العرشُ بالربِّ استوى أمثلُ مِن قول مَن يقول:
الربُّ بالعرشِ استوى، فالربُّ إذًا موصوفٌ بالعُلُو وفوقية الرتبةِ والعظمةِ منزهٌ عن الك ون في المكان وعن المحاذاة"
“Pemakanaan “Istawâ” dengan “Qahara” sama sekali tidak memberikan pemahaman bahwa Allah bertarung melawan ‘arsy dan Allah memenangkan pertarungan tersebut (Sabq al-Mughâlabah). Sama sekali tidak memberikan pemahaman semacam ini. Karena seandainya pemaknaan “Istawâ” dengan “Qahara” memberikan persangka demikian, maka berarti hal tersebut terjadi pula di dalam firman Allah QS. al-An’am: 18 “Wa Huwa al- Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih”, bahwa terjadi pertarungan antara Allah dengan para hamba-Nya
yang kemudian Allah dapat menundukkan dan menguasai hamba-hamba-Nya tersebut.
Apakah maknanya seperti ini?! Tentu maknanya tidak seperti ini. Tidak boleh dikatakan bahwa Allah bertarung melawan hamba-hamba-Nya. Terlebih lagi bila dikatakan bahwa Allah mulanya dikalahkan (Maqhur) oleh para hamba tersebut, lalu kemudian Allah mengalahkan dan menguasai mereka. Perkataan semacam ini jelas kufur dan sesat.
Bukankah seluruh hamba itu ciptaan Allah?! Bukankah mulanya mereka semua tidak ada, kemudian Allah mengadakan mereka?!
Sebaliknya, jika makna firman Allah QS. Thaha: 5 di atas seperti yang dipahami oleh orang-orang bodoh -dari kaum Hasyawiyyah Musyabbihah- yang mengatakan bahwa Dzat Allah bertempat di atas ‘arsy, maka hal ini berarti memberikan pemahaman adanya perubahan pada Dzat Allah. (Artinya, yang semula tanpa ‘arsy kemudian berubah menjadi bertempat di atasnya). Bukankah ‘arsy itu makhluk Allah?! Bukankah Allah ada sebelum ada ‘arsy?! Seorang yang obyektif -dan paham betul terhadap bahasa Arab- akan
mengetahui bahwa perkataan “al-‘Arsy Bi ar-Rabb Istawâ” lebih tepat dari perkataan: “ar- Rabb Bi al-‘Arsy Istawâ”. Jadi Allah disifati dengan ketinggian derajat dan keagungan, maha suci dari berada di suatu tempat dan berada di atas sesuatu dengan jarak.
Masih dalam tulisan Abu Nashr al-Qusyairi, beliau juga berkata:
وقد نبََغَت نابغةٌ من الرَّعاعِ لولا استنزالهُم للعوامِ بما يقربُ مِن أفهامهم ويُتصوّرُ في أوهامِهم لأَجْلَلْتُ هذا
المكتوب عن تلطيخه بذكرهم. يقولون: نحن نأخذُ بالظاهر ونجري الآياتِ الموهمة وعُضوًا على الظاهر ولا يجوز أن نطرقَ التأويلَ إلى شىء مِن ذلك، ويتمسكون بقول الله تعالى: {وما يعلم
تأويلَه إلا الله} [سورة ءال عمران/ 7]. وهؤلاء والذي أرواحنا بيده أضَرُّ على الإسلام من اليهود والنصارى
وثانِ، لأن ضلالاتِ الكفارِ ظاهرةٌ يتََجَنَّبُها المسلمون، وهؤلاء أَتَوا الدينَ والعوامَّ مِن طريقٍ
والجوارح والركوب والنزول والاتكاء والاستلقاءِ والاستواء بالذات والترددِ في الجهات، فمن أَصْغى إلى ظاهرهم
يبادرُ بوهمِه إلى تخيّلِ المحسوسات فاعتقدَ الفضائحَ فسالَ به السيلُ وهو لا يَدْري"
“Telah muncul sekelompok orang-orang bodoh, kalau bukan karena mereka
mendekati orang-orang awam dengan keyakinan rusak dan dengan perkara-perkara yang dibayangkan oleh benak mereka, maka aku tidak akan mengotori lembaran-lembaran buku ini dengan menyebut-nyebut mereka. Mereka berkata: “Kita mengambil semua nash-nash dalam makna zhahirnya. Ayat-ayat yang memberi prasangka bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, demikian pula hadits-hsdits yang memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk dan anggota badan, kita pahami semua dalam makna zhahirnya. Kita tidak boleh melakukan takwil terhadap nash-nash tersebut. Mereka beranggapan bahwa mereka berpegangan dengan firman Allah: “Wa Mâ Ya’lamu
Ta’wilahu Illalâh”.
Demi Allah, orang-orang semacam ini lebih berbahaya bagi Islam dari pada orang orang Yahudi, Nashrani, Majusi dan para penyembah berhala. Karena kesesatan orangorang kafir seperti ini sangat jelas, telah diketahui dan dijauhi oleh orang-orang Islam. Sedangkan orang-orang yang anti takwil, mereka berbicara masalah agama dan mendatangi orang-orang awam dengan penampilan yang dapat mengelabui orang-orang lemah. Dengan cara ini kemudian mereka menanamkan berbagai bid’ah di dalam kelompok mereka. Mereka menanamkan dalam hati orang-orang awam keyakinan sesat
bahwa Allah memiliki anggota-anggota badan, naik, turun, bersandar, terlentang, bertempat atau bersemayam, dan datang-pergi dari satu arah ke arah yang lain. Seorang yang tertipu oleh penampilan luar mereka maka ia akan mempercayai mereka, dan dengan demikian, dengan prasangka sesatnya ia menjadi berkeyakinan bahwa Allah adalah seperti benda-benda yang dapat diindra. Maka orang ini menjadi berkeyakinan rusak, dan terjatuh dalam kesesatan-kesesatan tanpa dia sadari.
5.Al-Imâm al-Muhaddits al-Hâfizh al-Mufassir Abdurrahman ibn al-Jawzi al-Hanbali (w 597 H) menjelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah, tidak disifati dengan dengan menempel (ittishâl) atau terpisah (infishâl), dan berkumpul (ijtimâ’) atau tercerai (iftirâq). Dalam karyanya berjudul al-Bâz al-Asyhab, beliau membantah tuntas salah seorang pemuka kaum Musyabbihah Mujassimah bernama “Ibn az-Zaghuni”. Di antara tulisan beliau sebagai
berikut:

قال: "فلما قال  تعالى  {ثمّ استوى} [سورة الأعراف/ 54 ] علمنا اختصاصه بتلك الجهة"، وقال
ابن الزاغوني أيضا والعياذ بالله :" " قال ابن الجوزي ما نصه :"قلتُ :
هذا رجلٌ لا يدري ما يقول، لأنه إذا قَدّر غايةً وفصلاً بين الخالق والمخلوق فقد حدده وأقر بأنه جسم وهو
يقول في كتابه إنه ليس بجوهر لأن الجوهر ما يتحيز، ثم يثبت له مكانًا يتحيز فيه.
قلت:  أي ابن الجوزي  وهذا كلام جهل من قائله وتشبيه محض فما عرف هذا الشيخ ما يجب
للخالق تعالى وما يستحيل عليه، فإن وجوده تعالى ليس كوجود الجواهر والأجسام التي لا بد لها من حيز،
والتحت والفوق إنما يكون فيما يُقابَل ويحاذَى، ومن ضرورة المحاذِي أن يكون أكبر من المحاذَى أو أصغر أو
مثله، وأن هذا ومثله إنما يكون في الأجسام، وكلّ ما يحاذِي الأجسام يجوز أن يمسها، وما جاز عليه مماسة
الأجسام ومباينتها فهو حادث، إذ قد ثبت أن الدليل على حدوث الجواهر قبولها المماسةَ والمباينة، فإن أجازوا
هذا عليه قالوا بجواز حدوثه، وإن منعوا هذا عليه لم يبق لنا طريق لإثبات حدوث الجواهر، ومتى قدّرنا مستغنيًا
عن المحل ومحتاجًا إلى الحيز، ثم قلنا: إما أن يكونا متجاورين أو متباينين كان ذلك محالاً، فإن التجاور والتباينَ
من لوازم التّحيز في المتحيّزات.
وقد ثبت أن الاجتماع والافتراق من لوازم التحيز، والحق سبحانه وتعالى لا يوصف بالتحيز، لأنه لو
كان متحيزًا لم يخل إما أن يكون ساكنًا في حيّزهِ أو متحركًا عنه، ولا يجوز أن يوصف بحركة ولا سكون ولا
اجتماع ولا افتراق، ومن جاورَ أو باين فقد تناهى ذاتًا والتناهي إذا اختص بمقدار استدعى مخصِّصًا، وكذا
ينبغي أن يقال ليس بداخلٍ في العالم وليس بخارجٍ منه، لأن الدخول والخروج من لوازم المتحيزات فهما كالحركة
والسكون وسائر الأعراض التي تختصُّ بالأجرام
وأما قولهم خلق الأماكن لا في ذاته فثبت انفصاله عنها قلنا: ذاته المقدس لا يَقبل أن يُخلَق فيه شىء
ولا أن يحل فيه شىء، وقد حملهم الحِسُّ على التشبيه والتخليط حتى قال بعضهم إنما ذكَر الاستواء على
العرش لأنه أقرب الموجودات إليه، وهذا جهل أيضًا لأن قرب المسافة لا يتصور إلا في جسم، ويَعِزُّ علينا كيف
ينُْسَبُ هذا القائل إلى مذهبنا. واحتج بعضهم بأنه على العرش بقوله تعالى: {إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يرَْفَعُ هُ} [سورة فاطر/ 10 ] وبقوله:{وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِه } [سورة الأنعام/ 18 ] وجعلوا
ذلك فوقية حسيّة ونسوا أن الفوقية الحسية إنما تكون لجسم أو جوهر، وأن الفوقية قد تطلق لعلو المرتبة فيقال:
فلان فوق فلان، ثم إنه كما قال تعالى:{فوق عباده} قال تعالى :{وهو معكم}، فمن حملها على العلم حمل
خصمُه الاستواء على القهر، وذهبت طائفة إلى أن الله تعالى على عرشه وقد ملأهُ والأشْبَه أنه مماس للعرش
والكرسي موضِعُ قدميه. قلت: المماسة إنما تقع بين جسمين وما أبقى هذا في التجسيم بقية"

وأما قولهم خلق الأماكن لا في ذاته فثبت انفصاله عنها قلنا: ذاته المقدس لا يَقبل أن يُخلَق فيه شىء
ولا أن يحل فيه شىء، وقد حملهم الحِسُّ على التشبيه والتخليط حتى قال بعضهم إنما ذكَر الاستواء على
العرش لأنه أقرب الموجودات إليه، وهذا جهل أيضًا لأن قرب المسافة لا يتصور إلا في جسم، ويَعِزُّ علينا كيف
ينُْسَبُ هذا القائل إلى مذهبنا. واحتج بعضهم بأنه على العرش بقوله تعالى: {إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يرَْفَعُ هُ} [سورة فاطر/ 10 ] وبقوله:{وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِه } [سورة الأنعام/ 18 ] وجعلوا
ذلك فوقية حسيّة ونسوا أن الفوقية الحسية إنما تكون لجسم أو جوهر، وأن الفوقية قد تطلق لعلو المرتبة فيقال:
فلان فوق فلان، ثم إنه كما قال تعالى:{فوق عباده} قال تعالى :{وهو معكم}، فمن حملها على العلم حمل
خصمُه الاستواء على القهر، وذهبت طائفة إلى أن الله تعالى على عرشه وقد ملأهُ والأشْبَه أنه مماس للعرش
والكرسي موضِعُ قدميه. قلت: المماسة إنما تقع بين جسمين وما أبقى هذا في التجسيم بقية"

Sementara Ibn az-Zaghuni al-Musyabbih pernah ditanya: “Apakah ada sifat Allah yang baharu sebelum Dia menciptakan arsy?” [Artinya; jika dikatakan Allah bertempat di arsy maka berarti sifat “bertempat” tersebut baharu karena Allah ada sebelum arsy], Ibn az-Zaghuni menjawab: “Tidak ada sifat Allah yang baharu. Allah menciptakan alam ini dari arah bawah-Nya, maka alam ini dari-Nya berada di arah bawah. Dengan demikian, jika telah tetap bahwa “arah bawah” bagi sesuatu selain Allah maka secara otomatis telah tetap bahwa “arah atas” sebagai arah bagi-Nya”.
Ibn az-Zaghuni juga berkata: “Telah tetap bahwa segala tempat itu bukan di
dalam Dzat Allah, dan Dzat Allah juga bukan pada tempat. Dengan demikian maka sesungguhnya Allah terpisah dari alam ini. Dan ini semua mestilah memiliki permulaan hingga terjadi keterpisahan antara Allah dengan alam. Dan ketika Allah berfirman: “Istawâ” maka kita menjadi paham bahwa Dia berada di arah tersebut [bertempat di arsy]”.Lalu Ibn az-Zaghuni juga berkata: “Dzat Allah pasti memiliki ujung dan penghabisan yang hanya Dia sendiri yang mengetahuinya”.
Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Orang ini tidak mengerti dengan segala apa yang ia ucapkannya sendiri. Padahal [akal sehat mengatakan] ketika ditetapkan adanya ukuran, ujung dan penghabisan serta jarak terpisah antara Allah dengan makhluk maka berarti orang itu telah berkeyakinan bahwa Allah sebagai benda. Benar, memang dia sendiri (Ibn az-Zaghuni) telah mengakui bahwa Allah sebagai benda (jism), karena dalam bukunya ia mengatakan bahwa Allah bukan jawhar (benda terkecil yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dilihat oleh mata) karena jawhar itu tidak memiliki tempat,
sementara Allah --menurutnya-- memiliki tempat; yang Dia berada pada tempat tersebut”.
Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Apa yang diungkapkan oleh Ibn az-Zaghuni [dan
orang musyabbih semacamnya] menunjukan bahwa dia adalah seorang yang bodoh, dan bahwa dia seorang musyabbih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). “Syaikh” ini benar-benar tidak mengetahui apa yang wajib pada hak Allah dan apa yang mustahil bagi-Nya. Sesungguhnya wujud Allah tidak seperti wujud segala jawhar dan segala benda; di mana setiap jawhar dan benda pastilah berada pada arah; bawah, atas, depan, [dan belakang], serta pastilah ia berada pada tempat. Lalu akal sehat mengatakan bahwa
sesuatu yang bertempat itu bisa jadi lebih besar dari tempatnya itu sendiri, bisa jadi lebih kecil, atau bisa jadi sama besar, padahal keadaan semacam ini hanya berlaku pada benda saja. Kemudian sesuatu yang bertempat itu bisa jadi bersentuhan atau tidak bersentuhan dengan tempat itu sendiri, padahal sesuatu yang demikian ini pastilah dia itu baharu.
Logika sehat menetapkan bahwa segala jawhar [dan benda] itu baharu; karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah. Jika mereka menetapkan sifat menempel dan terpisah ini bagi Allah maka berarti mereka menetapkan kebaharuan bagi-Nya. Tapi jika mereka tidak mengatakan bahwa Allah baharu maka dari segi manakah kita akan mengatakan bahwa segala jawhar (dan benda) itu baharu -selain dari segi sifat menempel
dan terpisah-? [artinya dengan dasar keyakinan mereka berarti segala jawhar -dan bendatersebut tidak baharu sebagaimana Allah tidak baharu]. Sesungguhnya bila Allah dibayangkan sebagai benda [seperti dalam keyakinan mereka] maka berarti Allah membutuhkan kepada tempat dan arah. [Oleh karena itu Allah tidak dapat diraih oleh segala akal dan pikiran, karena segala apapun yang terlintas dalam akal dan pikiran maka pastilah ia merupakan benda dan Allah tidak seperti demikian itu].
Kemudian kita katakan pula: “Sesungguhnya sesuatu yang bertempat itu
adakalanya bersampingan dengan tempat tersebut (at-Tajâwur) dan adakalanya berjauhan dari tempat tersebut (at-Tabâyun); tentu dua perkara ini mustahil bagi Allah. Karena sesungguhnya at-tajawur dan at-tabayun adalah di antara sifat-sifat benda [dan Allah bukan benda].
Akal sehat kita juga menetapkan bahwa berkumpul (al-Ijtimâ’) dan berpisah (al- Iftirâq) adalah di antara tanda-tanda dari sesuatu yang bertempat. Sementara Allah tidak disifati dengan tanda-tanda kebendaan dan tidak disifati dengan bertempat, karena jika disifati dengan bertempat maka tidak lepas dari dua kemungkinan; bisa jadi berdiam pada tempat tersebut, atau bisa jadi bergerak dari tempat tersebut. Sesungguhnya Allah
tidak disifati dengan dengan gerak (al-Harakah), diam (as-Sukûn), berkumpul (al-Ijtimâ’), dan berpisah (al-Iftirâq).
Kemudian pula; sesuatu yang bersampingan dengan tempat (at-Tajâwur) dan
berjauhan dari tempat (at-Tabâyun) maka pastilah sesuatu tersebut sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Dan sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran maka mestilah ia membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan ukurannya tersebut.
Kemudian pula; tidak boleh dikatakan bagi Allah di dalam alam, juga tidak
dikatakan di luar alam ini, karena pengertian di dalam (Dâkhil) dan di luar (Khârij) hanya
berlaku bagi segala benda yang memiliki tempat dan arah. Pengertian di dalam (dâkhil) dan di luar (khârij) sama dengan gerak (al-harakah) dan diam (as-sukûn); semua itu adalah sifat-sifat benda yang khusus hanya tetap dan berlaku pada benda-benda”.
Adapun perkataan mereka: “Allah menciptakan segala tempat di luar diri-Nya”;
ini berarti dalam keyakinan sesat mereka bahwa Allah terpisah dari tempat-tempat tersebut dan dari seluruh alam ini. Kita katakan kepada mereka: “Dzat Allah maha suci; Dzat Allah bukan benda, tidak dikatakan bagi-Nya; Dia menciptakan sesuatu [dari makhluk-Nya] di dalam Dzat-Nya, juga tidak dikatakan Dia menciptakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Dzat Allah tidak menyatu dengan sesuatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyatu dengan Dzat Allah”.
Sesungguhnya dasar keyakinan sesat mereka adalah karena mereka berangkat
dari pemahaman indrawi tentang Allah [mereka berkeyakinan seakan Allah sebagai benda], karena itulah ada dari sebagian mereka berkata: “Mengapa Allah bertempat di arsy? Adalah karena arsy sebagai benda yang paling dekat dengan-Nya”.
Apa yang mereka ungkapkan ini adalah jelas kebodohan, karena sesungguhnya dekat dalam pengertian jarak --dalam pemahaman siapapun-- hanya berlaku pada setiap benda. Lalu dengan dasar apa orang bodoh semacam ini mengatakan bahwa keyakinan sesatnya itu sebagai keyakinan madzhab Hanbali?? Sungguh kita [Ibnul Jawzi dan para ulama saleh bermadzhab Hanbali] merasa sangat dihinakan karena keyakinan bodoh ini
disandarkan kepada madzhab kita.
Sebagian mereka; dalam menetapkan keyakinan rusak Allah bertempat di arsy
mengambil dalil --dengan dasar pemahaman yang sesat-- dari firman Allah:
إلَيْه يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطّيّبُ وَالعَمَ ل الصّالِحُ يرَْفَعُه (فاطر: 10
Juga --dengan pemahaman yang sesat-- dari firman Allah:

وَهُوَ القَاهِ ر فَوْقِ عِبَادِهِ (الأنعام: 61

Dari firman Allah QS. Fathir: 10 dan QS. al-An’am: 61 ini mereka menyimpulkan bahwa secara indrawi Allah berada di arah atas. Mereka lupa (tepatnya mereka tidak memiliki akal sehat) bahwa pengertian “fawq” dalam makna indrawi hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja. Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-

Martabah” (derajat yang tinggi), padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “Fulan Fawq Fulan”; artinya; “Derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B).
Kita katakan pula kepada mereka: “Dalam QS. al-An’am: 62 Allah berfirman:
“Fawq ‘Ibâdih”, kemudian dalam ayat lainnya; QS. al Hadid: 4, Allah berfirman: “Wa Huwa Ma’akum”, jika kalian memahami ayat kedua ini dalam pengertian bahwa Allah maha mengetahui setiap orang dari kita [artinya dipahami dengan takwil “Ma’iyyah al- ‘Ilm”; maka mengapa kalian menginkari musuh-musuh kalian (yaitu kaum Ahlussunnah).yang mengartikan “fawq” atau “Istawâ” dalam pengertian bahwa Allah maha menguasai
[artinya dipahami dengan takwil “Fawqiyyah al-Qahr wa al-Istilâ”]?”.
Lebih buruk lagi, sebagian kaum Musyabbihah tersebut berkata: “Allah
bertempat di arsy dan memenuhi arsy tersebut, dan sangat mungkin bahwa Allah bersentuhan dengan arsy, sementara al-Kursy [yang berada di bawah arsy] adalah tempat kedua telapak kaki-Nya”. Na’ûdzu billâh.
Aku katakan: “Sifat bersentuhan itu hanya terjadi di antara dua benda. Sungguh, mereka kaum musyabbihah buruk itu tidak menyisakan sedikitpun dari sifat-sifat benda kecuali semua itu mereka sandangkan kepada Allah”.
6.Seorang ahli tafsir terkemuka, al-Imâm al-Fakhr ar-Razi (w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:
"فلو كان علوّ الله تعالى بسبب المكان لكان علو المكان الذي بسببه حصل هذا العلوّ لله تعالى صفة ذاتية،
ولكان حصول هذا العلوّ لله تعالى حصولاً بتبعية حصوله في المكان، فكان علو المكان أتم وأكمل من علو
ذات الله تعالى، فيكون علو الله ناقصًا وعلوّ غيره كاملا وذلك محال"

“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan, sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil”.
7.Di bagian lain dari tafsirnya dalam penafsiran firman Allah QS. Thaha: 5 al-Imâm al-Fakhr ar-Razi menuliskan sebagai berikut:

وثانيها: أن الجالس على العرش لا بد وأن يكون الجزء الحاصل منه في يمين العرش غير الحاصل في يسار
الع رش، فيكون في نفسه مؤلَّفًا مركَّبًا، وكل ما كان كذلك احتاج إلى المؤلِّف والمركِّب، وذلك محال.
وثالثها: أن الجالس على العرش إما أن يكون متمكنًا من الانتقال والحركة أو لا يُمْكِنُه ذلك، فإن كان
الأول فقد صار محل الحركة والسكون فيكون مُحْدَثًا لا محالة، وإن كان الثاني كان كالمربوط بل كان كالزَّمِن بل
أسوأ حالاً منه، فإن الزَّمِنَ إذا شاء الحركة في رأسه وحدقته أمكنه ذلك وهو غير ممكن على معبودهم.
ورابعها: هو أن معبودهم إما أن يحصل في كل مكان أو في مكان دون مكان، فإن حصل في كل مكان
لزمهم أن يحصل في مكان النجاسات والقاذورات وذلك لا يقوله عاقل، وإن حصل في مكان دون مكان افتقر
إلى مخصص يخصِّصه بذلك المكان فيكون محتاجًا وهو على الله محال
“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa Tuhan mereka duduk, bertempat atau bersemayam di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql dari berbagai segi;
Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya.
Artinya bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy sama azali seperti Allah. (Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan sesuatu yang azali kepada selain Allah)”.
Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan adanya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah kiri arsy. Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.
Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika dalam keadaan kedua maka berarti ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada atau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada di atas arsya tersebut diam saja.
Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan pertama maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat. Kemudian jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas Allah”.
8.al-‘Allâmah Saifuddin al-Amidi (w 631 H) dalam kitab Ghâyah al-Marâm menuliskan sebagai berikut:
فإن قيل ما نشاهده منَ الموجودات ليس إلا أجسامًا وأعراضًا، وإثبات قسم ثالث مما لا نعقِله، وإذا
كانت الموجودات منحصرة فيما ذكرناه فلا جائز أن يكون البارىء عرضًا لأن العرض مفتقِر إلى الجسم
والبارىء لا يفتقِر إلى شىء، وإلا كان المفتقرُ إليه أشرفَ منه وهو محال، وإذا بطل أن يكون عرضًا بقي أن
يكون جسمًا.
قلنا: منشأ الخبط ههنا إنما هو من الوهم لإعطاء الحق حكم الشاهد والحكم على غير المحسوس بما حكم
به على المحسوس، وهو كاذب غير صادق، فإن الوهم قد يرتمي إلى أنه لا جسم إلا في مكان بناء على
الناس بحيث يقضي به على العقل، وذلك كمن ينفِر عن المبيت في بيت فيه ميت لتوهمه أنه يتحرك أو يقوم،
وإن كان عقله يقضي بانتفاء ذلك، فإذًا اللبيب من ترك الوهم جانبًا ولم يتخذ غير البرهان والدليل صاحبًا.
وإذا عرف أن مستند ذلك ليس إلا مجرد الوهم، فطريق كشف الخيال إنما هو بالنظر في البرهان فإنا قد بيَّنا أنه
لا بد من موجودٍ هو مُبدىء الكائنات، وبيَّنا أنه لا جائز أن يكون له مثل من الموجودات شاهدًا ولا غائبًا،
ومع تسليم هاتين القاعدتين يتبين أن ما يقضي به الوهم لا حاصل له. ثم لو لزم أن يكون جسمًا كما في
الشاهد للزم أن يكون حادثًا كما في الشاهد وهو ممتنع لما سبق، وليس هو عرضًا وإلا لافتقر إلى مقوم يقومه
لوجوده، إذ العرض لا معنى له إلا ما وجوده في موضوع، وذلك أيضًا محال"
“Jika dikatakan; Telah tetap bahwa apapun yang kita saksikan dari segala yang ada ini tidak lain kecuali benda dan sifat-sifat benda. Menetapkan adanya sesuatu yang ke tiga adalah pendapat yang tidak diterima akal. Dengan demikian setelah tetap bahwa segala sesuatu yang ada (segala makhluk) ini tidak lepas dari benda dan sifat-sifat benda maka berarti Allah yang menciptakan itu semua mustahil sebagai sifat benda. Karena sifat
benda itu selalu membutuhkan kepada benda itu sendiri, padahal Allah mustahil membutuhkan kepada sesuatu. Karena bila Allah membutuhkan kepada sesuatu maka berarti sesuatu yang Ia butuhkannya tersebut lebih agung dan lebih mulia dari dari-Nya sendiri, dan ini jelas mustahil. Dengan demikian terbantahkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah sifat benda. Sekarang tersisa bantahan atas mereka yang mengatakan bahwa Allah adalah benda.
Kita katakan kepada mereka: Sumber kerancuan kalian dalam masalah ini adalah bahwa kalian membangun keyakinan kalian di atas prasangka. Dasar keyakinan kalian berangkat dari prasangka kesamaan antara Allah dengan sesuatu yang tampak dengan mata (benda). Kalian menghukumi kesamaan antara sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan sesuatu yang dapat disentuh. Padahal keyakinan dengan dasar prasangka semacam ini jelas hanya khayalan, kedustaan, dan sama sekali tidak benar. Prasangka berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat karena prasangka ini berangkat dari pemahaman bahwa segala sesuatu itu benda. Ini berbeda dengan kesaksian akal. Dalam kesaksian akal, alam (segala sesuatu selain Allah) tidak berada pada tempat. Karena alam itu sendiri mencakup segala apapun, selain Allah, termasuk tempat dan arah itu sendiri. Bahkan ada sebagian orang yang menjadikan prasangkanya lebih menguasai dirinya dari pada akal sehatnya. Perumpamaannya adalah seperti orang yang menolak untuk bermalam dalam satu rumah bersama sesosok mayat. Rasa takutnya sebenarnya timbul dari prasangkanya bahwa mungkin sewaktu-waktu mayat tersebut akan bergerak atau berdiri. Walaupun pada sebenarnya pada akal sehatnya mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi. Dengan demikian dapat dipaham bahwa seorang yang berakal sehat itu adalah yang meninggalkan prasangkanya dan hanya mengambil pendapat akal sehat untuk tuntunannya.
Dari sini kita simpulkan bahwa mereka yang berkeyakinan Allah bertempat tidak lain hanya didasarkan kepada prasangka belaka. Maka jalan satu-satunya untuk menetapkan keyakinan adalah dengan membuang jauh-jauh prasangka, dan membangunnya di atas dasar akal yang sehat. Sementara itu akal sehat kita telah menetapkan bahwa segala sesuatu ini pasti ada yang menciptakan. Juga akal sehat kita telah menetapkan bahwa Sang Pencipta tersebut pasti tidak serupa dengan yang diciptakannya, baik ciptaan-Nya yang dapat disaksikan oleh mata kita atau tidak. Dengan menetapkan dua dasar kaedah ini menjadi jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh prasangka tidak lain hanyalah khayalan belaka yang tidak memiliki kebenaran. Jika Allah itu disimpulkan sebagai benda -seperti dalam kesimpulan prasangka- maka berarti mestilah Dia juga memiliki ketentuanketentuan yang berlaku pada benda itu sendiri (yaitu sifat-sifat benda), dan ini jelas tertolak. Di atas sudah kita jelaskan bahwa Allah bukan sifat benda, karena bila Dia sifat benda maka ia butuh kepada benda untuk menetap padanya. Karena sifat benda itu tidak dapat berdiri sendiri, ia hanya ada dan menetap pada benda. Dan ini jelas mustahil atas Allah.
9.Masih dalam kitab Ghâyah al-Marâm, al-Imâm al-Amidi menuliskan sebagai berikut:
لو كان في جهة لم يخل إما أن يكون في كل جهة أو في جهة واحدة، فإن كان في كل جهة فلا جهة لنا
إلا والرب فيها، وهو محال، وإن كان في جهة مخصوصة، فإما أن يستحقها لذاته أو لمخصص، لا جائز أن
يستحقها لذاته، إذ نسبة سائر الجهات إليه على وتيرة واحدة، فإذًا لا بد من مُخصصٍ، وإذ ذاك فالمحال لازم
من وجهين:
الأول: أن المخصص إما أن يكون قديمًا أو حادثًا، فإن كان قديمًا لزم منه اجتماع قديمين وهو محال، وإن
كان حادثًا استدعى في نفسه مخصصًا ءاخر، وذلك يفضي إلى التسلسل وهو ممتنع.
الوجه الثاني: هو أن الاختصاص بالجهة صفة للرب تعالى قائمة بذاته، أي على قول معتقد الجهة في الله،
ولو افتقرت إلى مخصص لكانت في نفسها ممكنة، لأن كل ما افتقر في وجوده إلى غيره فهو باعتبار ذاته ممكن،
وذلك يوجب كون البارىء ممكن ا بالنسبة إلى بعض جهاته، والواجب بذاته يجب أن يكون واجبًا من جميع
جهاته"
“Jika Allah berada pada arah maka tidak lepas dari ada pada seluruh arah atau ada pada satu arah saja. Jika Ia ada pada seluruh arah maka berarti tidak ada satu arahpun bagi kita kecuali Allah berada pada arah tersebut. Dan ini jelas mustahil. Kemudian jika ia berada pada satu arah maka tidak lepas dari dua keadaan; ada yang menjadikannya pada arah tersebut atau arah tersebut ada azali; tanpa permulaan bersama-Nya. Tentunya mustahil jika arah tersebut ada azali bersama-Nya. Karena pada dasarnya seluruh arah bagi Allah itu sama saja, satu atas lainnya tidak lebih istimewa, artinya semuanya makhluk Allah. Bila Allah berada pada satu arah maka itu berarti ada yang mengkhususkan-Nya pada arah tertentu tersebut. Ini tentunya sesuatu yang mustahil, dengan melihat kepada dua segi:
Pertama: Bahwa yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut tidak lepas dari dua keadaan; antara qadim atau baharu (hâdits). Jika qadim maka berarti ada dua yang qadim; yaitu Allah dan yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut, ini jelas mustahil. Dan jika baharu maka berarti ia membutuhkan kepada lainnya. Dan lainnya ini butuh pula kepada yang yang lainnya pula. Dan seterusnya berantai demikian tanpa penghabisan (Tasalsul). Ini tentunya mustahil.
Kedua: Bahwa menurut pendapat yang mengatakan Allah memiliki arah berarti
kekhususan arah tersebut bagi Allah merupakan sifat-Nya. Itu berarti kekhususan sifat tersebut membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dan yang mengadakannya, dengan demikian secara akal berarti Dia tidak ubahnya seperti makhluk. Karena sesuatu yang ada yang membutuhkan kepada yang mengadakannya berarti sesuatu tersebut adalah makhluk. Kemudian jika ada pada Allah satu sifat saja yang baharu seperti sifat yang ada makhluk maka ini berarti dimungkinkan adanya kebaharuan pada sifat-sifat Allah yang lainnya. Padahal Allah wajib Qadim pada seluruh sifat-sifat-Nya.
10.Al-Imâm al-Mujtahid al-Hâfizh Taqiyyuddin as-Subki, sebagaimana dikutip oleh al-Imâm al- Hâfizh Murtadla az-Zabidi, berkata:
"
كان في مكان لكان متحيزًا ولو كان متحيزًا لكان مفتقِرًا إلى حيّزه ومكانه فلا يكون واجب الوجود وثبت أنه
واجب الوجود وهذا خُلْفٌ، وأيضًا فلو كان في جهة فإما في كل الجهات وهو محال وشنيع، وإما في البعض
فيلزم الاختصاص المستلزم للافتقار إلى المخصِّص المنافي للوجوب

Pencipta alam (Allah) ada tanpa arah, karena bila berada pada arah maka berarti Dia ada pada tempat, dan bila demikian maka berarti secara pasti bahwa tempat tersebut sebagai sesuatu yang harus bagi-Nya. Padahal bila Dia berada pada arah maka berarti Dia bertempat, dan bila demikian maka berarti Dia membutuhkan kepada tempat-Nya tersebut, dan bila demikian maka berarti Dia tidak lagi disebut “Wajib al-Wujud”, padahal bukankah Dia “Wajib al-Wujud” (Maha ada tanpa membutuhkan kepada suatu apapun dan tanpa permulaan)? Sementara bila Dia “membutuhkan tempat” maka berarti Dia menyalahi sifat “Wajib al-Wujud” ini. Kemudian pula jika Allah berada pada arah maka bisa jadi Dia berada disemua arah; dan jelas ini perkara mustahil dan buruk, atau bisa jadi Dia berada pada sebagian arah saja; dan bila demikian maka berarti Dia membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam kekhususan sebagian arah tersebut, dan ini juga jelas menafikan sifat-Nya sebagai Yang “Wajib a;-Wujud”.
11.al-Imâm al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam kitab Isyârât al-Marâm membahas dengan sangat detail argumen rasional bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Beliau menuliskan:
"الخامس: ما أشار إليه  أبو حنيفة  (وقال في "الفقه الأبسط": كان الله تعالى ولا مكان، كان قبل
أن يخلق الخلق كان ولم يكن أين) أي مكان (ولا خلق ولا شىء و{هو خالق كل شىء} [سورة
الأنعام/ 102 ]) مُوجِد له بعد العدم فلا يكون شىء من المكان والجهة قديمًا وفيه إشارات:
الأولى: الاستدلال بأنه تعالى لو كان في مكان وجهة لزم قدمهما، وأن يكون تعالى جسمًا، لأن
المكان هو الفراغ الذي يشغله الجسم، والجهة اسم لمنتهى مأخذ الإشارة ومقصد المتحرك فلا يكونان إلا
للجسم والجسماني، وكل ذلك مستحيل كما مر بيانه، وإليه أشار بقوله: "كان ولم يكن أين ولا خلق ولا
شىء وهو خالق كل شىء". وبطل ما ظنه ابن تيمية منهم من قدم العرش كما في شرح العضدية.
الثانية: الجواب بأن لا يكون البارىء تعالى داخل العالم لامتناع أن يكون الخالق داخلاً في الأشياء
المخلوقة، ولا خارجًا عنه بأن يكون في جهة منه لوجوده تعالى قبل خلق المخلوقات وتحقق الأمكنة والجهات،
وإليه أشار بقوله:{هو خالق كل شىء} [سورة الأنعام/ 102 ] وهو خروج عن الموهوم دون المعقول
Ke lima; Apa yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al- Absath; “Bahwa Allah azali; tanpa permulaan, Dia ada sebelum ada makhluk-Nya, Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah, Dialah Pencipta segala sesuatu. Maka setelah menciptakan segala sesuatu Dia tetap tidak membutuhkan kepada segala sesuatu. Dia maha Qadim, sementara tempat dan arah itu baharu”, dalam ungkapan al-Imâm Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar tersebut al-Imâm al-Bayyadli menyimpulkan beberapa poin penjelasan penting berikut ini.
Pertama: Dari pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas terdapat argumen yang sangat kuat, ialah bahwa jika Allah ada pada tempat dan arah maka berarti arah dan tempat tersebut mestilah qadim, dan berarti pula bahwa Allah adalah benda. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang dipenuhi oleh suatu benda. Dan definisi arah adalah nama bagi objek penghabisan bagi suatu isyarat. Keduanya; tempat dan arah hanya berlaku bagi suatu benda dan apapun yang memiliki bentuk. Semua ini mustahil atas Allah sebagaimana telah kita jelaskan. Inilah yang dimaksud oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya: “Dia ada sebelum ada makhluk-Nya. Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah. Dan Dialah Pencipta segala sesuatu”. Dengan demikian adalah pendapat batil apa yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy tidak memiliki permulaan, sebagaimana penjelasan bantahan atasnya telah panjang lebar dalam kitab Syarh al-‘Aqîdah al-Adludiyyah.
Kedua: Perkataan al-Imâm Abu Hanifah adalah merupakan jawaban bahwa
Allah tidak boleh dikatakan di dalam alam; karena tidak bisa diterima akal Sang pencipta berada di dalam yang diciptakannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di luar alam dengan mengatakan bahwa Dia di arah tertentu dari alam ini. Hal ini karena Allah ada sebelum menciptakan segala makhluk-Nya, ada sebelum segala arah dan tempat. dan Dialah Pencipta segala sesuatu. Allah berfirman: “Dia Allah Pencipta segala sesuatu” (QS. al-An’am: 102). Keyakinan ini dibangun di atas akal sehat bukan di atas prasangka.
12.Seorang teolog terkemuka (al-Mutakallim), ahi fiqih (al-Faqîh) dan pakar sejarah (al-Mu’arrikh), al-Imâm Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi ad-Damasyqi (w 725 H) mengutip perkataan seorang ulama terkenal; al-Imâm Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi dalam menafikan arah dan tempat dari Allah, berisi argumentasi logis dari al-Qurthubi yang hal ini sekaligus disepakati oleh ibn al-Mu’allim sendiri, sebagai berikut:
"قال الإمام أبو عبد الله محمد بن عمر الأنصاري القرطبي: والذي يقتضي بطلان الجهة والمكان مع ما قررناه
من كلام شيخنا وغيره من العلماء وجهان: أحدهما: أن الجهة لو قدّرت لكان فيها نفيُ الكمال، وخالق الخلق
مستغنٍ بكمال ذاته عمّا لا يكون به كاملا . والثاني: أن الجهة إما أن تكون قديمة أو حادثة، فإن كانت قديمة
أدّى إلى مُحالين، أحدهما أن يكون مع البارىء في الأزل غيرُه، والقديمان ليس أحدهما بأن يكون مكانًا للثاني
بأولى من الآخر، فافتقر إلى مخصِّصٍ يُنقَلُ الكلام إليه، وما يفُْضي إلى المحال محال"
“Al-Imâm Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi berkata: Di
antara yang dapat membatalkan pendapat adanya tempat dan arah pada Allah adalah apa yang telah kami sebutkan dari perkataan guru kita dan ulama lainnya. Ialah dengan melihat kepada dua hal: Pertama: Bahwa arah jika benar ada pada Allah maka hal itu akan menafikan kesempurnaan-Nya. Sesungguhnya Pencipta segala makhluk itu maha sempurna dan maha kaya. Ia tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun untuk menjadikan-Nya sempurna.
Kedua: Jika Allah ada pada tempat dan arah maka tidak lepas dari dua hal; tempat dan arah tersebut qadim atau keduanya baharu. Jika arah dan tempat tersebut qadim maka hal itu menghasilkan dua perkara mustahil. Salah satunya ialah berarti bahwa tampat dan arah tersebut azali; tanpa permulaan, ada bersama Allah. Dan jika ada dua sesuatu yang qadim bagaimana mungkin salah satunya bertempat pada yang lainnya. Kalau demikian berarti Ia membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya pada arah dan tempat tersebut. Ini adalah perkara mustahil.
13.Al-Hâfizh al-Muhaddits al-Imâm as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205H) dalam kitab Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn menjelaskan panjang lebar perkataan al-Imâm al- Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di atas arsy. Dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, al-Imâm al-Ghazali menuliskan sebagai berikut:
"الاستواء لو ترك على الاستقرار والتمكن لزم منه كون المتمكِّن جسمًا مماسًا للعرش: إما مثله أو أكبر منه أو
أصغر، وذلك محال، وما يؤدي إلى المحال فهو محال"
“al-Istiwâ’ jika diartikan dengan makna bertempat atau bersemayam maka hal ini mengharuskan bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah”.
Dalam menjelaskan tulisan al-Imâm al-Ghazali di atas al-Imâm az-Zabidi menuliskan sebagai berikut:
"وتحقيقه أنه تعالى لو استقر على مكان أو حاذى مكانًا لم يخل من أن يكون مثل المكان أو أكبر منه أو
أصغر منه، فإن كان مثل المكان فهو إذًا متشكل بأشكال المكان حتى إذا كان المكان مربعًا كان هو مربعًا أو
كان مثلَّثا كان هو مثلَّثا وذلك محال، وإن كان أكبر من المكان فبعضه على المكان، ويُشْعِرُ ذلك بأنه متجزىء
وله كلٌّ ينطوي على بعض، وكان بحيث ينتسب إليه المكان بأنه ربعه أو خمسه، وإن كان أصغر من ذلك
المكان بقدر لم يتميز عن ذلك المكان إلا بتحديد وتتطرق إليه المساحة والتقدير، وكل ما يؤدي إلى جواز
التقدير على البارىء تعالى فتجوّزه في حقه كفر من معتقِدِه، وكل من جاز عليه الكون بذاته على محل لم يتميز
عن ذلك المحل إلا بكون، وقبيح وصف البارىء بالكون، ومتى جاز عليه موازاة مكان أو مماسته جاز عليه
مباينته، ومن جاز عليه المباينة والمماسة لم يكن إلا حادثًا، وهل علمنا حدوث العالم إلا بجواز المماسة والمباينة
على أجزائه. وقصارى الجهلة قولهم: كيف يتصوّر موجود لا في محل؟ وهذه الكلمة تصدر عن بدع وغوائل لا
يعَْرِفُ غورَها وقعرها إلا كلُّ غوّاص على بحار الحقائق، وهيهات طلب الكيفية حيث يستحيل محال. والذي
يَدْحَضُ شُبَهَهُمْ أن يُقال لهم: قبلَ أن يَخْلُقَ العالم أو المكانَ هل كان موجودًا أم لا؟ فمِن ضرورة العقلِ أن
يقول: بلى، فيلزمه لو صحَّ قولُه: لا يُعلمُ موجود إلا في مكان أَحَدُ أمرين: إما أن يقول: المكان والعرش والعالم
قديم، وإما أن يقول: الربُّ تعالى محدَثٌ، وهذا مآلُ الجهلة والحشويةِ، ليس القديمُ بالمحدَثِ، والمحُدَثُ بالقديم.
ونعوذ بالله من الحَيْرة في الدين"

“Penjabaran rinciannya ialah bahwa jika Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka berarti Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau bisa jadi lebih kecil. Jika Allah sama besar dengan tempat tersebut maka berarti Dia membentuk sesuai bentuk tempat itu sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia juga segi empat. Jika tempat itu segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas sesuatu yang mustahil. Kemudian jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti sebagian- Nya di atas arsy dan sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy. Ini berarti memberikan paham bahwa Allah memiliki bagian-bagian yang satu sama lainnya saling tersusun. Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti sama saja mengatakan bahwa besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy dan seterusnya. Kemudian jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapapun ukuran lebih kecilnya-, itu berarti  mengharuskan akan adanya ukuran dan batasan bagi Allah. Tentu ini adalah kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah Yang Azali ada pada tempat yang juga azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara keduanya, kecuali jika dikatakan bahwa Allah ada terkemudian setelah tempat itu. Dan ini jelas sesat karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada setelah tempat. Kemudian jika dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel di atas arsy maka berarti boleh pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan menjauh atau meningalkan arsy itu sendiri. Padahal sesuatu yang menempel dan terpisah pastilah sesuatu yang baharu. Bukankah kita mengetahui bahwa setiap komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-orang bodoh dan berpemahaman pendek saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat dan arah? Karena pernyataan semacam itu benar-benar tidak timbul kecuali dari seorang ahli bid’ah yang menyerupakan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya. Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda (kayf) mustahil Dia disifati dengan sifat-sifat benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan “bagaimana (kayf)” karena “bagaimana (kayf)” adalah sifat benda- Di antara bantahan yang dapat membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam ini dan menciptakan tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu mereka akan menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas dasar keyakinan kalian -bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempatterdapat dua kemungkinan kesimpulan. Pertama; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa tempat, arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa Allah itu baharu -seperti makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan pendapat orang-orang bodoh dari kaum Hasyawiyyah. Sesungguhnya Yang Maha Qadim (Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas bukan yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang rusak.
14.Masih dalam kitab Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, al-Imâm Murtadla az-Zabidi juga menuliskan sebagai berikut:

(تنبيه) هذا المعتقد لا يخالف فيه بالتحقيق سُني لا محدِّث ولا فقيه ولا غيره ولا يجىء قط في الشرع على لسان
نبي التصريح بلفظ الجهة، فالجهة بحسب التفسير المتقدم منفية معنًى ولفظًا وكيف لا والحق يقول:{ليس كمثله
شىء} (سورة الشورى/ 11 ) ولو كان في جهة بذلك الاعتبار لكان له أمثال فضلاً عن مثل واحد
Peringatan: Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah adalah akidah yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah. Tidak ada perselisihan antara seorang ahli hadits dengan ahli fiqih atau dengan lainnya. Dan di dalam syari’at sama sekali tidak ada seorang nabi sekalipun yang menyebutkan secara jelas adanya arah bagi Allah. Arah dalam pengertian yang sudah kita jelaskan, secara lafazh maupun secara makna, benarbenar dinafikan dari Allah. Bagaimana tidak, padahal Allah telah berfirman: “Dia Allah tidak menyerupai sesuatu apapun” (QS. as-Syura: 11). Karena jika Dia berada pada tempat maka akan ada banyak yang serupa dengan-Nya.
15.Al-Hâfizh al-Imâm asy-Syaikh Abdullah al-Harari dalam banyak tulisan dan karya-karyanya telah menjelaskan dengan sangat gamblang tentang kesucian Allah dari tempat dan arah. Di antaranya yang beliau tulis dalam kitab al-Mathâlib al-Wafiyyah sebagai berikut:
مستحيل؛ وأيضًا إما أن يساوي الحيز أو ينقص عنه فيكون متناهيًا، أو يزيد عليه فيكون متجزئًا. وإذا لم يكن
في م
باعتبار عروض الإضافة إلى شىء.
يقول: "جهة العلو غير جهة السفل، جهة السفل نقص عليه يجب تنزيهه عنها، وأما جهة العلو فكمال ولا
يدل العقل على نفيها عن الله."
فالجواب أن يقال لهم:
الشأن في علو القدر، بل قد يختص الشخص من البشر بالمكان العالي ومن هو أعلى منه قدرًا يكون في المكان
المنخفض، ويحصل ذلك للسلاطين، فإن حرسهم يكونون في مكان عال وهم أسفل منهم، فلم يكن في علو
الجهة وعلو المكان شأن. ثم الأنبياء مستقرهم في الدنيا: الأرض، وفي الآخرة: الجنة، وهم أعلى قدرًا من
الملائكة الحافين حول العرش والذين هم في أعلى من مستقر الأنبياء من حيث الجهة، وك ون مستقر أولئك
“Argumen bahwa Allah ada tanpa tempat adalah karena apa bila Ia ada pada tempat maka tempat tersebut berarti azali; ada tanpa permulaan bersama Allah. Dan berarti tempat -yang azali tersebut- adalah tempat bagi segala makhluk yang baharu. Dua perkara ini tentunya mustahil. Kemudian juga bila Allah bertempat maka berarti bisa jadi Dia sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih kecil darinya, atau bisa jadi lebih besar dari-Nya. Dan bila demikian berarti Allah adalah benda yang bisa terbagi-bagi. Kemudian bila telah tetap bahwa Allah ada tanpa tempat maka itu berarti bahwa Allah ada tanpa arah. Tidak boleh dikatakan di atas, di bawah, atau di arah lainnya. Karena arah adalah batasan-batasan dan ujung penghabisan bagi tempat, atau arah itu adalah berarti tempat bagi sesuatu yang ada padanya.
Kemudian ada sebagian orang dari kaum Mujassimah mengatakan bahwa arah atas adalah kesempurnaan bagi Allah. Menurutnya berbeda dengan arah bawah, karena arah ini memberikan kekurangan dan ketidaksempurnaan. Karenanya arah bawah harus dinafikan dari Allah. Jawab kesesatan mereka ini; Seluruh arah pada dasarnya sama saja. Karena sebenarnya yang menjadi tolak ukur dalam hal ini bukan tempat yang tinggi, tapi derajat dan kedudukan. Seseorang dapat saja bertempat di arah atas atau di tempat yang sangat tinggi, sementara yang lebih mulia darinya berada di arah bawahnya. Ini seperti yang terjadi pada para penguasa, orang-orang yang menjaga mereka berada di arah atas, sementara para penguasa tersebut berada di arah bawah. Ini tidak berarti bahwa para penjaga tersebut lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya di banding para penguasa tersebut. Kemudian dari pada itu, tempat para Nabi di dunia ini adalah di bumi dan di akhirat kelak tempat mereka berada di surga. Para Nabi tersebut dari segi derajat dan kedudukan berada di atas para Malaikat yang ada di sekitar arsy dan para Malaikat lainnya yang tempatnya di arah atas. Para Malaikat yang berada di arah atas tersebut tidak berarti lebih tinggi derajatnya di banding para Nabi, bahkan menyami derajat merekapun tidak.
Pada bagian lain masih dalam al-Mathâlib al-Wafiyyah, al-Hâfizh al-Harari menuliskan:
"
بل يقولون: وراء العالم لا يوجد فراغ لا متناه ولا أجرام لا متناهية، انتهت الأجسام والأعراض بانتهاء حد
العالم، انتهى الخلاء والملاء. والملاء هو الجرم المتواصل"
“Menurut Ahlul Haq bahwa ruang (al-Khalâ’) itu memiliki penghabisan. Tidak boleh dikatakan bahwa di belakang alam ini terdapat ruang yang tidak berpenghabisan, karena hal itu mustahil. Demikian pula tidak boleh dikatakan bahwa di belakang alam ini ada benda (al-Jirm) yang bersambung tidak berpenghabisan, hal ini juga mustahil. Ahlul Haq menetapkan bahwa di belakang alam tidak ada ruang dan tidak ada benda yang tanpa penghabisan, karena alam ini adalah sesuatu yang memiliki batasan dan penghabisan.
Segala ruang dan benda menjadi habis dengan batasan dan bentuk alam itu sendiri. Tidak ada al-Khalâ’ dan tidak ada al-Mala’. Al-Mala’ adalah benda yang bersambung”.
16.Dalam kitab ash-Shirât al-Mustaqîm, al-Imâm al-Harari menuliskan sebagai berikut:
"تنزيه الله عن المكان وتصحيح وجوده بلا مكانٍ عقلا . والله تعالى غنيٌّ عن العالمين، أي مستغن عن كلّ
ما سواه أزلا وأبدًا، فلا يحتاجُ إلى مكان يقومُ به أو شىء يحُلُّ به أو إلى جهة. ويكفي في تنزيه الله عن المكان
والحيّز والجهة قوله تعالى:{ليس كمثله شىء} [سورة الشورى/ 11 ]، فلو كان له مكان لكان له أمثالٌ وأبعادٌ
الدليل من القرءان.
أما من الحديث فما رواه البخاري وابن الجارود والبيهقي بالإسناد الصحيح أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قال :"كان الله ولم يكن شىء غيره"، ومعناه أن الله لم يزل موجودًا في الأزل ليس معه غيرُهُ لا ماءٌ ولا
هواءٌ ولا أرضٌ ولا سماءٌ ولا كرسيٌّ ولا عرش ولا إنسٌ ولا جنٌّ ولا ملائكةٌ ولا زمانٌ ولا مكانٌ، فهو تعالى
موجودٌ قبل المكان بلا مكان، وهو الذي خلق المكان فليس بحاجة إليه. وهذا ما يستفاد من الحديث المذكور.
وقال البيهقيُّ في كتابه "الأسماء والصفات" ما نصه: "استدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول
النبي صلى الله عليه وسلم :"أنت الظاهرُ فليس فوقكَ شىءٌ وأنت الباطنُ فليس دونكَ شىء "، وإذا لم يكنْ
فوقَهُ شىءٌ ولا دونَهُ شىءٌ لم يكنْ في مكانٍ "اه. وهذا الحديثُ فيه الردُّ أيضًا على القائلينَ بالجهةِ في حقهِ
تعالى. وَقَدْ قال عليٌّ رضي الله عنهُ :"كانَ الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كانَ ". رواه أبو منصورٍ
البغداديُّ .
وليس محور الاعتقاد على الوهم بل على ما يقتضيه العقلُ الصحيحُ السليمُ الذي هو شاهدٌ للشرع،
وذلك أنَّ المحدودَ محتاجٌ إلى من حدَّه بذلك الحد فلا يكون إلهاً. فكما صحَّ وجودُ الله تعالى بلا مكانٍ وجهةٍ
قبل خلقِ الأماكن والجهات فكذلك يصحُّ وجوده بعد خلق الأماكن بلا مكانٍ وجهةٍ، وهذا لا يكون نفيًا
لوجوده تعالى"
“Kesucian Allah dari tempat dan kebenaran keberadaan-Nya tanpa tempat secara akal; Allah tidak membutuhkan apapun dari seluruh alam ini. Dia tidak butuh kepada lain-Nya secara Azali (tanpa permulaan) dan Abadi (tanpa penghabisan). Maka Dia tidak membutuhkan kepada tempat untuk Ia tempatinya, juga tidak butuh kepada sesuatu untuk menyatu dengannya, serta tidak membutuhkan kepada arah. Cukup dalil atas kesucian-Nya dari tempat adalah firman-Nya: “Dia Allah tidak menyerupai suatu apapun” (QS. as-Syura: 11). Karena jika Ia memiliki tempat maka akan banyak keserupaan bagi- Nya serta akan memiliki dimensi; panjang, lebar dan kedalaman. Dan siapa yang seperti demikian ini maka dia adalah makhluk baharu yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut. Ini adalah dalil dari al-Qur’an.
Adapun dalil dari hadits adalah riwayat al-Bukhari, Ibn al-Jarud dan al-Bayhaqi
dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah bersabda:
كَانَ الله وَلمَ يَكُنْ شَىء غَيْرُه (روَاه البُخَاري وَالبيهَقِيّ وابْ ن الجَارُود)
“Dia Allah ada tanpa permulaan dan belum ada apapun selain-Nya” (HR. Al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud). Makna hadits ini ialah bahwa Allah ada Azali; tanpa permulaan. Tidak ada apapun bersama-Nya. Tidak ada air, tidak ada udara, tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada kursi, tidak ada arsy, tidak ada manusia, tidak ada jin, tidak ada Malaikat, tidak ada zaman atau waktu dan tidak ada tempat. Dia Allah ada sebelum ada tempat tanpa tempat.
Dialah yang menciptakan tempat, maka Ia tidak butuh kepada-Nya. Inilah makna yang dimaksud oleh hadits di atas.
Al-Bayhaqi dalam kitab al-Asmâ’ Wa ash-Shifât berkata: “Sebagian sahabat kami (ulama Asy’ariyyah Syafi’iyyah) dalam menjelaskan kesucian Allah dari tempat
mengambil dalil dengan sabda Rasulullah:
أنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىء وأنْتَ البَاطِ ن فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَىء (روَا هُ البيْهَقيّ )
“Engkau ya Allah az-Zhâhir (yang segala sesuatu menunjukan akan keberadaan-Nya) tidak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau ya Allah al-Bâthin (yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) tidak ada suatu apapun di bawah-Mu…”. Jika Allah tidak ada suatu apapun di atas-Nya dan tidak ada suatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat”.
Kemudian Al-Imâm Ali ibn Abi Thalib berkata: “Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat ada seperti sediakala tanpa tempat”. Sesungguhnya pondasi akidah bukanlah dibangun di atas prakiraan atau prasangka, tetapi dibangun di atas akal yang sehat yang merupakan saksi bagi kebenaran syari’at. Dalam pada ini logika sehat mengatakan bahwa sesuatu yang memiliki bentuk dan batasan pasti mambutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut. Karena itu yang memiliki bentuk semacam ini tidak layak untuk menjadi tuhan. Sebagaimana bisa diterima oleh akal sehat bahwa sebelum Allah menciptakan tempat dan arah Dia ada tanpa tempat dan arah, maka demikian pula bisa diterima oleh akal sehat bahwa setelah Allah menciptakan tempat Ia ada tanpa tempat dan arah. Dan ini sama sekali bukan berarti menafikan keberadaan Allah.
17.Dalam bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah yang mengartikan al-‘Uluww pada hak Allah sebagai “Yang bertempat di arah atas”, al-Imâm al-Harari dalam kitab Izh-hâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah menuliskan sebagai berikut:
"والعلو على وجهين: علو مكان، وعلو معنى أي علو قدر، والذي يليق بالله هو علو القدر لا علو
المكان، لأنه لا شأن في علوّ المكان إنما الشأن في علو القدر، ألا ترون أن حملة العرش والحافين حوله هم أعلى
المكان يستلزم علو القدر لكان الكتاب الذي وضعه الله فوق العرش وكتب فيه: "إن رحمتي سبقت غضبي"
مساويًا لله في الدرجة على قول أولئك  أي على قول من قال إن الله فوق العرش بذاته ، ولكان اللوح المحفوظ
على قول بعض العلماء إنه فوق العرش ليس دونه، مساويًا لله في الدرجة بحسب ما يقتضيه زعمهم، فعلى هذا
المعنى يحمل تفسير مجاهد لقول الله تعالى:{الرحمنُ على العرش است وى} [سورة طه/ 5] بعلا على العرش كما
رواه البخاري
“al-‘Uluww mengandung dua segi makna; Makna ketinggian tampat dan makna
ketinggian derajat atau kedudukan. Dan makna al-‘Uluww yang sesuai bagi keagungan Allah adalah makna ketinggian derajat dan keagungan, bukan ketinggian tempat. Karena ketinggian tempat itu bukan tolak ukur untuk menetapkan kemuliaan. Yang menjadi tolak ukur adalah ketinggian derajat dan keagungan. Bukankah kita tahu bahwa para Malaikat yang menyangga arsy serta para yang ada di sekitar arsy tersebut adalah makhluk yang paling atas di banding para hamba Allah lainnya?! Namun demikian mereka bukan makhluk Allah yang paling utama. Justru para Nabi Allah yang tempatnya di bawah; di bumi lebih utama dari mereka. Kemudian jika ketinggian tempat itu menjadi tolak ukur bagi kemuliaan, -seperti yang diyakini kaum Musyabbihah yang mengatakan Allah bersemayam di atas arsy-, maka berarti kemuliaan Allah sama dengan kemuliaan kitab yang berada di atas arsy yang bertuliskan “Sesungguhnya rahmat-Ku mendahuli murka- Ku”. Kemudian itu berarti kemuliaan-Nya juga sama dengan al-Lauh al-Mahfuzh, karena sebagian pendapat mengatakan bahwa al-Lauh al-Mahfuzh berada di atas arsy. Dengan demikian penafsiran al-Imâm Mujahid terhadap QS. Thaha: 5 dengan makna al-’Uluww adalah dalam makna ketinggian derajat dan keagungan Allah, bukan dalam maknatempat, sebagaimana hal tersebut telah diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari.
18.Pada bagian lain dari kitab Izh-hâr al-‘Aqîdah al-Sunniyyah, al-Imâm al-Harari menuliskan sebagai berikut:
"ثم إن المتكلمين على لسان أهل السنة قالوا: الموجود ثلاثة أقسام موجود متحيز قائم بنفسه وهو الجواهر
والأجسام وهي ما تركب من جوهرين فأكثر كالإنسان والحيوان والشجر والقمر والعرش والنور والريح ونحو
ذلك، وموجود غير قائم بنفسه تابع للمتحيز وهو العرض كحركة الجوهر وسكونه وحرارته وبرودته وطعم
الحلاوة وطعم المرارة، وموجود ليس بمتحيز ولا تابع لمتحيز وهو الله، والدليل النقلي على ذلك قوله
تعالى:{ليس كمثله شىء} [سورة الشورى/ 11 ] لأنه لو كان كأحد القسمين الأولَين لكان له أمثال، وقد
الله لغيره بوجه من الوجوه لأن كلمة {شىء} المذكورة في الآية وقعت نكرة في معرض
النفي فهي للعموم لا للخصوص كما تدعي مُشَبّهة العصر الوهابية أن معناها أنه لا يشبه شيئًا من الأشياء
ا الله لا يشبه بعض
الأشياء، ويشبه بعض الأشياء وكفاهم هذا إلحادًا"
“Para teolog di kalangan Ahlussunnah mengatakan bahwa sesuatu yang ada (al-Maujûd) itu terbagi kepada tiga bagian. Pertama; Sesuatu (al-Maujûd) yang memilikitempat dan berdiri sendiri, yaitu benda-benda (al-Jawâhir dan al-Ajsâm). Al-jawhar adalahbenda terkecil yang tidak terbagi-bagai lagi. Al-Jism adalah benda yang tersusun darijauhar-jauhar, seperti manusia, binatang, pohon, bulan, arsy, cahaya, udara dan lainnya.
Kedua; sesuatu (al-Mawjûd) yang menetap pada benda, tidak berdiri sendiri. Yaitu sifatsifatbenda (al-A’radl), seperti gerak, diam, panas, dingin, rasa manis, rasa pahit danlainnya. Ketiga; sesuatu (al-Mawjûd) yang bukan benda dan bukan sifat-sifat benda, yaituAllah. Dalil naqliy atas ini adalah firman Allah “Dia Allah tidak menyerupai segala apapun”(QS. aa-Syura: 11). Karena jika Allah seperti sesuatu yang pertama (benda), atau sepertisesuatu yang kedua (sifat benda), maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Padahal
keserupaan tersebut telah benar-benar dinafikan dalam firman-Nya di atas. Dalam QS.as-Syura; 11 tersebut dinyatakan bahwa Allah tidak menyerupai segala suatu apapun(syai’). Dalam ayat ini digunakan kata “Syai’” dalam bentuk Nakirah dalam Shîghah Nâfy.Artinya berlaku secara umum, mencakup segala apapun. Bukan berlaku secara khususseperti yang dipahami oleh kaum Musyabbihah masa sekarang; yaitu kaum Wahhabiyyah.
Mereka mengartikan ayat QS. as-Syura: 11 di atas bahwa Allah tidak menyerupai segalasesuatu yang kita kenal saja. Mereka mengartikan demikian itu tidak lain adalah untukmenetapkan kayakinan mereka bahwa Allah sebagai bentuk atau benda yang
bersemayam di atas arsy. Seakan-akan mereka berkata Allah tidak menyerupai sesuatu,tapi menyerupai sesuatu yang lain. Cukuplah sebagai bukti bagi mereka bahwa ini adalahsuatu kesesatan dan kekufuran.
19.Pada bagian lain dari kitab Izh-hâr al-‘Aqîdah al-Sunniyyah, al-Imâm al-Harari menuliskan sebagai berikut:
"والله تعالى متنزه أيضًا عن الجهات والأماكن إذ الجهات والأماكن خَلْقُهُ أحدثها بعد أن لم تكن فلا يوصف
تعالى بالفوقية بالحيز والمكان فلو كان فوق العالم بالحيز والمكان لكان محاذيًا له والمحاذي للجسم إمّا أن يكون
مُقَدَّرًا بالمسِاحة لصحت الألُوهِيَّةُ للشمس ونحوها من الكواكب. وأمّا رفع الأيدي والوجوه إلى السماء عند
وصف للمدعو من الجلال والعظمة
“Allah ta’ala juga maha suci dari segala arah dan segala tempat, karena semua arah dan tempat itu adalah makhluk-Nya, Dia yang mengadakan itu semua dari tidak ada menjadi ada. Dengan demikian maka Allah tidak boleh disifati dengan arah atas dan bertempat, karena bila Allah berada dengan bertempat di arah atas dari alam ini maka berarti Allah membayangi alam tersebut, padahal bila demikian maka berarti Allah sebagai benda; bisa jadi sama besar dengan alam itu sendiri, bisa jadi lebih kecil, atau bisa jadi lebih besar darinya. Sementara sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran maka ia membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, dan sesuatu yang membutuhkan maka dia itu baharu. Seandainya Allah itu memiliki bentuk dan ukuran maka berartidapat diterima pula jika ketuhanan itu milik matahari atau lainnya dari bintang-bintang.
Adapun mengangkat tangan dan wajah ke arah langit ketika berdoa adalah karena langititu kiblat doa, sebagaimana ka’bah sebagai kiblat shalat; engkau menghadap ke arahnya dengan dada (tubuh). (ini tidak menunjukan bahwa Allah di dalam ka’bah, juga tidak menunjukan bahwa Allah di langit). Adapun mengangkat tangan dan kepala adalah sebagai isyarat untuk menngagungkan dan membesarkan Yang kita pinta (yaitu Allah).
Selain dalam kitab Izh-hâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, asy- Syaikh Abdullah al-Harari dalam banyak tulisannya telah menjelaskan secara detail keyakinan Ahlussunnah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, di antaranya dalam al-Maqâlât as- Sunniyyah Fî Kasyf Zhalâlât Ibn Taimiyah, Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ‘Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, al-Mathâlib al-Wafiyyah Bi Syarh al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Bughyah ath-Thâlib Li Ma’rifah al-‘Ilm ad-Dinyy al-Wâjib, Risâlah al-‘Aqîdah al-Munjiyah, dan lainnya.