Rabu, 27 November 2013

AKIDAH PARA SAHABAT ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN ARAH


AKIDAH PARA SAHABAT ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN ARAH (Waspadai Aqidah Salafy)
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وصلى الله على رسول الله وسلم وبع

Engkau tidaklah menemukan yang serupa dengan-Nya (Allah)‖. (QS. Maryam: 65)
Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah; kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat).
Dalil atas keyakinan tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah:
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yangmenyerupai-Nya‖. (QS. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas
terkecil (para ulama menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jism). Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;
1. Benda Lathif; benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan,ruh, angin dan sebagainya.
2. Benda Katsif; benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al-Jawhar al-Fard, juga
bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifatsifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang
serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.
Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam bersabda: ―Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya‖. (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, 'arsy, langit,manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk). 
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat danarah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.
Sebagaimana ditegaskan juga oleh sayyidina ‗Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-:"Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat" (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).
Al-Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata:"Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu 'alayhi wa sallam:"Engkau Ya Allah azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat".
Al-Imam as-Sajjad Zain al-‗Abidin ‗Ali ibn al-Husain ibn ‗Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:"Engkaulah ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat". (Diriwayatkan oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya‘ ‗Ulumiddin dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah).
Adapun ketika seseorang menghadapkan kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa,hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka'bah, hal ini tidak berarti bahwa Allah
berada di dalamnya, akan tetapi karena ka'bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah seperti al-Imam al-Mutawalli (w 478H) dalam kitabnya al-Ghun-yah, al-Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihya‗Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al-Imam
Taqiyyuddin as-Subki (w 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil, dan masih banyak lagi.
Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi -Semoga Allah meridlainya- (w 321 H) berkata:"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung,telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah,kanan, kiri, depan dan belakang); tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah
penjuru tersebut".
Perkataan al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi ini merupakan Ijma‘ (konsensus) para sahabat dan ulama Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi'raj bahwa Allah berada di arah
atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya. Melainkan maksud Mi'raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya keajaibankeajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur'an surat al-Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) -Semoga Allah meridlainya- berkata:Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat" (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma
Wa ash-Shifat).
Al-Imam al-Asy‘ari juga berkata: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua tempat". Perkataan al-Imam al-Asy'ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak (w 406 H)
dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya'rani (w 973 H) dalam kitab al-Yawaqit Wa al-Jawahir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwash: "Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana". Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Perkataan al-Imam ath-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhlukmakhluk-Nya, juga sebagai bantahan atas pengikut paham Hulul; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dua keyakinan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma' (konsensus) seluruh orang Islam sebagaimana dikatakan oleh al-Imam as-
Suyuthi (w 911 H) dalam kitab al-Hawi Li al-Fatawi, dan Imam lainnya. Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati seperti al-Imam al-Junaid al-Baghdadi (w 297 H), al-Imam Ahmad ar-Rifa'i (w 578 H), Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati; mereka semua selalu mengingatkan orang-orang Islam dari para pendusta yang menjadikan tarekat dan tasawuf sebagai sebagai wadah untuk meraih dunia, padahal
mereka berkeyakinan Wahdah al-Wujud dan Hulul.
Dengan demikian keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Sementara keyakinan sebagian orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy, adalah keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama Salaf
bersepakat bahwa barangsiapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat di antara sifatsifat manusia maka ia telah kafir, sebagaimana hal ini ditulis oleh al-Imam al-Muhaddits as- Salafi Abu Ja‘far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama―al-‗Aqidah ath-Thahwiyyah‖. Beliau berkata:"Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telahkafir‖.
Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Al-Imam al-Ghazali berkata “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib
disembah‖.
Hal itu karena beriman kepada Allah dengan benar adalah syarat diterimanya amal saleh seseorang, tanpa beriman kepada Allah dengan benar maka segala bentuk amal saleh tidak akan diterima oleh Allah.
Wa Allahu A‘lam Bi ash-Shawab. Wa al-Hamdu Lillahi Rabb al-‗Alamin


  • Konsensus Para Sahabat Dan Imam Empat Madzhab; "Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah" (Waspadai Aqidah Salafy)

Berikut ini adalah pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab,serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan lebar halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang menyalahinya.
1. al-Khalifah ar-Rasyid, al-Al-Imam ‗Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata:
“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat‖ (Diriwayatkan olehal-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
Beliau juga berkata “Sesungguhnya Allah menciptakan ‗arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya‖ (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
2. Seorang tabi‘in yang agung, al-Al-Imam as-Sajjad Zain al-‗Abidin ‗Ali ibn al-Husain ibn‗Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:“Engkau wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat‖ (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla
az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya‘ ‗Ulumiddin, j. 4, h. 380).
Juga berkata:“Engkau wahai Allah yang maha suci dari segala bentuk dan ukuran‖ (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya‘ ‗Ulumiddin, j. 4,h. 380).
3. al-Al-Imam Ja‘far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‗Abidin ‗Ali ibn al-Husain (w 148 H) berkata:“Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di
atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-‖ (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 6).
4. al-Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu‘man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata “Allah ta‘ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika
mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas,bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)‖ (Lihat al-Fiqhul Akbar karya
Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‗Ali al-Qari, h. 136-137).
Juga berkata:“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu
apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu‖ (Lihat al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h.20).
Juga berkata:“Dan kita mengimani adanya ayat ―ar-Rahman ‗Ala al-‗Arsy Istawa‖ -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‘an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada‗‗arsy tersebut da tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara‗‗arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan
kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‗arsy- di manakah Dia?
Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung‖ (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‗Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Perkataan Imam Abu Hanifah ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam bantahan terhadap pendapat kaum Musyabbihah dan kaum Mujassimah, termasuk kelompok yang bernamaWahhabiyyah  sekarang; mereka yang mengaku sebagai kelompok salafi. Kita katakan kepada mereka: Para ulama salaf telah sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah seorang terkemuka di kalangan mereka. Beliau telah mendapatkan pelajaran dari para ulama tabi‘in, dan para ulama tabi‘in tersebut telah mengambil pelajaran dari para sahabat Rasulullah.
Adapun ungkapan Imam Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa telah menjadi kafir seorang yang berkata ―Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah ia di langit atau di bumi!?‖, demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: ―Allah di atas ‗arsy, dan aku tidak tahu arah‗arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?‖, hal ini karena kedua ungkapan tersebut menetapkan
adanya tempat dan arah bagi Allah. Karena itu Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang mengatakan demikian. Karena setiap yang membutuhkan kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yanga baharu. Maksud ungkapan Imam Abu Hanifah
tersebut bukan seperti yang disalahpahami oleh orang-orang Musyabbihah bahwa Allah berada di atas langit atau di atas ‗arsy. Justru sebaliknya, maksud ungkapan beliau ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, sebagaimana dalam ungkapan-ungkapan beliau sendiri yang telah kita tulis di atas.
Maksud dua ungkapan Imam Abu Hanifah di atas juga telah dijelaskan oleh Imam al-‗Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz. Beliau berkata: ―-Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang mengatakan dua uangkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa
Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)‖ (Dikutip oleh Mulla ‗Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar,h. 198).
Pernyataan Imam al-‗Izz ibn ‗Abd as-Salam ini juga dikuatkan oleh as-Syekh Mulla ‗Ali al-Qari. Ia berkata: ―Tanpa diragukan lagi bahwa al-Izz ‗ibn ‗Abdissalam adalah orang yang paling paham terhadap maksud dari perkataan Imam Abu Hanifah tersebut. Karenanya kita wajib membenarkan apa yang telah beliau nyatakan‖ (Lihat Mulla ‗Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 198).
5. Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris as-Syafi‘i (w 204 H), perintis madzhab Syafi‘i,dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan:“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya
yang azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad asifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti
sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan terpisahpisah.
Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, astri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil‖ (Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama dalam pembahasan firman Allah QS. Thaha: 5, al- Imam as-Syafi‘i menuliskan sebagai berikut “Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: ―ar-Rahman ‗Ala al-‗Arsy Istawa‖? Jawab:
Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga
seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala
tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan‖ (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
6. Al-Imam al-Mujtahid Abu ‗Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini
as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada
madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya‖ (Lihat IbnHajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar