Senin, 25 November 2013

Dari masa ke masa, antara generasi ke generasi, di mulai dari para ulama yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri hingga sekarang ini; mereka semua memerangi faham sesat Ibn Taimiyah

Dari masa ke masa, antara generasi ke generasi, di mulai dari para
ulama yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri hingga
sekarang ini; mereka semua memerangi faham sesat Ibn Taimiyah
Sejarah Ringkas Ibn Taimiyah Ia bernama Ahmad ibn Taimiyah, lahir di Harran dalam keluarga pancinta ilmu dalam madzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang baik dan tenang pembawaannya, ia termasuk orang yang dimuliakan oleh para ulama daratan Syam saat itu, juga dimuliakan oleh orang-orang pemerintahan hingga mereka memberikan kepadanya beberapa tugas
ilmiah sebagai bantuan mereka atas ayah Ibn Taimiyah ini. Ketika ayahnya ini
meninggal, mereka kemudian mengangkat Ibn Taimiyah sebagai pengganti untuk tugastugas ilmiah ayahnya tersebut. Bahkan mereka sengaja menghadiri majelis-majelis Ibn Taimiyah sebagai support baginya dalam tugasnya tersebut, dan mereka memberikan pujian kepadanya untuk itu. Ini tidak lain karena mereka memandang terhadap dedikasi
ayahnya dahulu dalam memangku jabatan ilmiah yang telah ia emban. Namun ternyata pujian mereka terhadap Ibn Taimiyah ini menjadikan dia lalai dan terbuai. Ibn Taimiyah tidak pernah memperhatikan akibat dari pujian-pujian yang mereka lontarkan baginya.
Dari sini, Ibn Taimiyah mulai muncul dengan faham-faham bid’ah sedikit demi sedikit.
Dan orang-orang yang berada di sekelilingnyapun lalu sedikit demi sedikit menjauhinya karena faham-faham bid’ah yang dimunculkannya tersebut.
Ibn Taimiyah ini sekalipun cukup terkenal namanya, banyak karya-karyanya dan cukup banyak pengikutnya, namun dia adalah orang yang telah banyak menyalahi konsensus (ijma’) ulama dalam berbagai masalah agama. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh al-Muhaddits al-Hafizh al-Faqih Waliyyuddin al-‘Iraqi, sebagi berikut: “Ia (Ibn Taimiyah) telah membakar ijma’ dalam berbagai masalah agama yang sangat banyak, disebutkan hingga enam puluh masalah. Sebagian dalam masalah yang terkait dengan
pokok-pokok akidah, sebagian lainnya dalam masalah-masalah furu’. Dalam seluruh masalah tersebut ia telah menyalahi apa yang telah menjadi kesepakatan ulama -sebagai Ijma’- di atasnya”.
Sebagian orang awam di masa itu, -juga seperti yang terjadi di zaman sekarangyang tidak mengenal persis siapa Ibn Taimiyah terlena dan terbuai dengan “kebesaran”namanya. Mereka kemudian mengikuti bahkan laksana “budak” bagi faham-faham yang diusung oleh Ibn Taimiyah ini. Para ulama di masa itu, di masa hidup Ibn Taimiyah sendiri telah banyak yang memerangi faham-faham tersebut dan menyatakan bahwa Ibn Taimiyah adalah pembawa ajaran-ajaran baharu dan ahli bid’ah. Di antara ulama terkemuka yang hidup di masa Ibn Taimiyah sendiri dan gigih memerangi fahamfahamnya
tersebut adalah al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-
Subki. Beliau telah menulis beberapa risalah yang sangat kuat sebagai bantahan atas kesesatan Ibn Taimiyah. Imam Taqiyyuddin as-Subki adalah ulama terkemuka multi disipliner yang oleh para ulama lainnya dinyatakan bahwa beliau telah mencapai derajat mujtahid mutlak, seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah atau lainnya. Dalam pembukaan salah satu karya bantahan beliau terhadap Ibn Taimiyah,
beliau menuslikan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Ibn Taimiyah telah membuat ajaran-ajaran baru. Ia telah
membuat faham-faham baru dalam masalah pokok-pokok akidah. Ia telah
menghancurkan sendi-sendi Islam dan rukun-rukun keyakinannya. Dalam
mempropagandakan faham-fahamnya ini, ia memakai topeng atas nama
mengikut al-Qur’an dan Sunnah. Ia menampakkan diri sebagai orang yang
menyeru kepada kebenaran dan kepada jalan surga. Sesungguhnya dia bukan
seorang yang mengikut kepada kebenaran, tapi dia adalah seorang yang telah
membawa ajaran baru, seorang ahli bid’ah. Ia telah menyimpang dari
mayoritas umat Islam dengan menyalahi berbagai masalah yang telah menjadi ijma’. Ia telah berkeyakinan pada Dzat Allah yang Maha Suci sebagai Dzat yang memiliki anggota-anggota badan dan tersusun darinya”1.
Di antara faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah dalam masalah pokok-pokok agama yang telah menyalahi ijma’ adalah; berkeyakinan bahwa jenis alam ini tidak memiliki permulaan. Menurutnya jenis (al-Jins atau an-Nau’) alam ini qadim bersama Allah.
Artinya menurut Ibn Taimiyah jenis alam ini qadim seperti Qadim-nya Allah. Bagi Ibn Taimiyah yang baharu itu hanya materi-meteri (al-Maddah) alam ini saja. Dalam hal ini,Ibn Taimiayh telah mengambil separuh kekufuran kaum filosof terdahulu yang berkeyakinan bahwa alam ini Qadim, baik dari segi jenis maupun materi-materinya. Ibn Taimiyah mengambil separuh kekufuran mereka, mengatakan bahwa yang qadim dari alam ini adalah dari segi jenisnya. Dua faham ini sama-sama sebagai suatu kekufuran
dengan kesepakatan (ijma’) para ulama, sebagaimana ijma’ ini telah dinyatakan di antaranya oleh al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ Bi Syarh Jama’ al-Jawami’. Karena keyakinan semacam ini sama dengan menetapkan adanya sesuatu yang azali kepada selain Allah, dan menetapkan sifat yang hanya dimiliki Allah bagi makhluk-makhluk-Nya.
Faham ekstrim lainnya, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah adalah Dzat yang tersusun dari anggota-anggota badan. Menurutnya Allah bergerak dari atas ke bawah,memiliki tempat dan arah, dan disifati dengan berbagai sifat benda lainnya. Dalam beberapa karyanya dengan sangat jelas Ibn Taimiyah menuliskan bahwa Allah memiliki ukuran persis sebesar ‘arsy, tidak lebih besar dan tidak lebih kecil. Faham sesat lainnya,
ia mengatakan bahwa seluruh para nabi Allah bukan orang-orang yang terpelihara (ma’shum). Juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad sudah tidak lagi memiliki kehormatan dan kedudukan (al-Jah), dan tawassul dengan Jah nabi Muhammad tersebut adalah sebuah kesalahan. Bahkan mengatakan bahwa perjalanan untuk tujuan ziarah kepada Rasulullah di Madinah adalah sebuah perjalanan maksiat yang tidak diperbolehkan untuk mengqashar shalat pada perjanan tersebut. Faham sesat lainnya; ia mengatakan bahwa siksa di dalam neraka tidak selamanya. Dalam keyakinannya, bahwa
neraka akan punah, dan semua siksaan yang ada di dalamnya akan habis. Seluruh perkara-perkara “nyeleneh” ini telah ia tuliskan sendiri dalam berbagai karyanya, dan bahkan di antaranya di kutip oleh beberapa orang murid Ibn Taimiyah sendiri.
Karena faham-faham ekstrim ini, Ibn Taimiyah telah berulangkali diminta untuk taubat dengan kembali kepada Islam dan meyakini keyakinan-keyakinan yang benar.
Namun demikian, ia juga telah berulang kali selalu saja menyalahi janji-janjinya. Dan untuk “keras kepalannya” ini, Ibn Taimiyah harus membayar mahal dengan dipenjarakan hingga ia mati di dalam penjara tersebut. Pemenjaraan terhadap Ibn Taimiyah tersebut terjadi di bawah rekomendasi dan fatwa dari para hakim empat madzhab di masa itu,
hakim dari madzhab Syafi’i, hakim dari madzhab Maliki, hakim dari madzhab Hanafi, dan dari hakim dari madzhab Hanbali. Mereka semua sepakat memandang Ibn Taimiyah sebagai seorang yang sesat, wajib diwaspadai, dan dihindarkan hingga tidak menjermuskan banyak orang.
Peristiwa ini semua termasuk berbagai kesesatan Ibn Taimiyah secara detail telah diungkapkan oleh para ulama dalam berbagai karya mereka. Di antaranya telah diceritakan oleh murid Ibn Taimiyah sendiri, yaitu Ibn Syakir al-Kutbi dalam karyanya berjudul ‘Uyun at-Tawarikh. Bahkan di masa itu, Sultan Muhammad ibn Qalawun telah mengeluarkan statemen yang beliau perintahkan untuk dibacakan di seluruh mimbarmimbar mesjid di wilayah Mesir dan daratan Syam (Siria, Libanon, Palestina, dan Yordania) bahwa Ibn Taimiyah dan para pengikutnya adalah orang-orang yang sesat,yang wajib dihindari. Akhirnya Ibn Taimiyah dipenjarakan dan baru dikeluarkan dari
penjara tersebut setelah ia meninggal pada tahun 728 H.
Berikut ini akan kita lihat beberapa faham kontroversial Ibn Taimiyah yang ia
tuliskan sendiri dalam karya-karyanya, di mana faham-fahamnya ini mendapatkan reaksi keras dari para ulama yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri atau dari mereka yang hidup sesudahnya.
Kontroversi Pertama; “Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa alam ini tidak memiliki
permulaan, ia ada azali bersama Allah”
Dalam keyakinan Ibn Taimiyah bahwa jenis-jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari
alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim sebagaimana Allah Azali dan Qadim. Menurutnya, yang baharu dan memiliki permulaan dari alam ini adalah materimaterinya saja (al-Maddah atau al-Afrad), sementara jenis-jenisnya adalah sesuatu yang azali. Keyakinan Ibn Taimiyah ini persis seperti keyakinan para filosof terdahulu yang mengatakan bahwa alam ini adalah sesuatu yang qadim atau azali; tidak memiliki permulaan, baik dari segi jenis-jenisnya maupun dari segi materi-materinya. Hanya saja Ibn Taimiyah mengambil separuh kesesatan dan kekufuran para folosof tersebut, yaitu
mengatakan bahwa yang qadim dari alam ini adalah hanyalah al-Jins atau an-Nau’-nya saja.
Keyakinan sesat dan kufur ini adalah di antara beberapa keyakinan yang paling buruk yang dikutip dari faham-faham ektrim Ibn Taimiyah. Keyakinan semacam ini jelas berseberangan dengan logika sehat, dan bahkan menyalahi dalil-dalil tekstual, sekaligus menyalahi apa yang telah menjadi konsensus (Ijma’) seluruh orang Islam. Ibn Taimiyah menuslikan faham ekstrimnya ini dalam bayak karyanya. Di antaranya dalam;
Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul2, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah3,Kitab Syarh Hadits an-Nuzul4, Majmu’ al-Fatawa5, Kitab Syarh Hadits ‘Imrah ibn al- Hushain6, dan Kitab Naqd Maratib al-Ijma’7. Seluruh kitab-kitab ini telah diterbitkan dan anda dapat melihat statemennya ini dengan mata kepala sendiri.
Keyakinan Ibn Taimiyah ini jelas menyalahi teks-teks syari’at, baik ayat-ayat al- Qur’an maupun hadits-hadits nabi, dan menyalahi konsensus atau ijma’ seluruh orang Islam. Juga nyata sebagai faham yang menyalahi akal sehat. Di dalam salah satu ayat al- Qur’an Allah berfirman:“Dialah Allah al-Awwal (yang tidak memiliki permulaan), dan Dialah Allah al-Akhir (yang tidak memiliki penghabisan)”. QS. al-Hadid: 3.
Kata al-Awwal dalam ayat ini artinya al-Azali atau al-Qadim. Maknanya tidak memiliki permulaan. Makna al-Awwal, al-Azali dan atau al-Qadim dalam pengertian ini secara mutlak hanya milik Allah saja. Tidak ada suatu apapun dari makhluk Allah yang memiliki sifat seperti ini. Karena itu segala sesuatu selain Allah disebut makhluk, karena semuanya adalah ciptaan Allah, semuanya menjadi ada karena ada yang mengadakan. Dengan demikian semua makhluk tersebut baru, semuanya ada dari tidak ada. Keyakinan
Ibn Taimiyah di atas jelas menyalahi teks al-Qur’an, sama saja ia telah menetapkan adanya sekutu bagi Allah dalam sifat ke-azalian-Nya. Dengan demikian keyakinan ini adalah keyakinan syirik.
Kontroversi Ke Dua: “Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah adalah Jism (benda)” Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah adalah benda ia sebutkan dalam banyak tempat dari berbagai karyanya, dan bahkan membela kesesatan kaum Mujassimah; kaum yang berkeyakinan bahwa Allah sebagai jism. Pernyataannya ini di antaranya disebutkan dalam Syarh Hadits an-Nunzul8, Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul9,
Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah10, Majmu’ Fatawa11, dan Bayan Talbis al-
Jahmiyyah12. Di antara ungkapannya yang ia tuliskan dalam Bayan Talbis al-Jahmiyyah adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya tidak ada penyebutan baik di dalam al-Qur’an,hadits-hadits nabi, maupun pendapat para ulama Salaf dan para Imam mereka yang menafian tubuh (jism) dari Allah. Juga tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat benda. Dengan demikian mengingkari apa yang telah tetap secara syari’at dan secara akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari Allah, adalah suatu kebodohan dan kesesatan”13.
Kontroversi Ke Tiga; ”Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah berada pada tempat dan arah, dan bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran”
Keyakinan Ibn Taimiyah bahwa Allah berada pada tempat dan bahwa Allah
memiliki bentuk dan ukuran dengan sangat jelas ia sebutkan dalam karya-karyanya sendiri. Di antaranya dalam karyanya berjudul Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
“Semua manusia, baik dari orang-orang kafir maupun orang-orang mukmin
telah sepakat bahwa Allah bertempat di langit, dan bahwa Dia diliputi dan
dibatasi oleh langit tersebut, kecuali pendapat al-Marisi dan para pengikutnya
yang sesat. Bahkan anak-anak kecil yang belum mencapai umur baligh apa
bila mereka bersedih karena tertimpa sesuatu maka mereka akan mengangkat
tangan ke arah atas berdoa kepada Tuhan mereka yang berada di langit, tidak
kepada apapun selain langit tersebut. Setiap orang lebih tahu tentang Allah
dan tempat-Nya di banding orang-orang Jahmiyyah”14.
Dalam karyanya berjudul as-Sab’iniyyah, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai
berikut: “Allah berfirman (Laisa Kamitslihi Syai’) Dia Allah tidak menyerupai suatu apapun) QS. Asy-Syura: 11, pada ayat ini ia mensucikan diri-Nya bahwa Dia tidak menyerupai suatu apapun. Kemudian Allah berfirman (Wa Huwa as-
Sami’ al-Bashir), pada ayat ini Dia menyerupakan diri-Nya sendiri dengan
makhluk-Nya. Ayat QS. Asy-Syura; 11 ini adalah ayat yang paling jelas
dalam al-Qur’an dalam menetapkan kesucian Allah dari menyerupai segala
makhluk-Nya, namun demikian Dia tidak lepas dari keserupaan dengan
makhluk-nya dalam keberadaan dengan tempat”15.
Dalam Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Ibn Taimiyah menuliskan perkataan Abu
Sa’id ad-Darimi dan menyepakatinya, berkata:
“Sesungguhnya Allah memiliki batasan (bentuk) dan tidak ada yang
mengetahui bentuk-Nya kecuali Dia sendiri. Tidak boleh bagi siapapun untuk
membayangkan bahwa bentuk Allah tersebut adalah sesuatu yang
berpenghabisan. Seharusnya ia beriman bahwa Allah memiliki bentuk, dan
cukup ia serahkan pengetahuan tentang itu kepada-Nya. Demikian pula
tempat-Nya memiliki batasan (bentuk), yaitu bahwa Dia berada di atas ‘arsy
di atas seluruh lapisan langit. Maka keduanya ini (Allah dan tempat-Nya)
memiliki bentuk dan batasan”Kontroversi Ke Empat; ”Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah duduk” Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah bersifat dengan duduk sangat jelas ia sebutkan dalam beberapa tempat dari karya-karyanya, sekalipun hal ini diingkari oleh sebagian para pengikutnya ketika mereka tahu bahwa hal tersebut adalah keyakinan yang sangat “buruk”. Di antaranya dalam kitab berjudul Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah,
Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut: “Sesungguhnya mayoritas Ahlussunnah berkata bahwa Allah turun dari ‘arsy, namun demikian ‘arsy tersebut tidak sunyi dari-Nya”17.
Dalam kitab Syarh Hadits an-Nuzul, Ibn Taimiyah menuliskan: “Pendapat ke tiga,yang merupakan pendapat benar, yang datang dari pernyataan para ulama Salaf dan para imam terkemuka bahwa Allah berada di atas ‘arsy. Dan bahwa ‘arsy tersebut tidak sunyi dari-Nya ketika Dia turun menuju langit dunia. Dengan demikian maka ‘asry tidak berada di arah atas-Nya”18.
Dan bahkan lebih jelas lagi ia sebutkan dalam Majmu’ Fatawa. Ibn Taimiyah
berkata: “Para ulama yang diridlai oleh Allah dan para wali-Nya telah menyatakan bahwa Rasulullah; Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya”19.
Keyakinan buruk Ibn Taimiyah ini disamping telah dinyatakan sendiri dalam
karya-karyanya, demikian pula telah disebutkan oleh para ulama yang semasa dengannya atau para ulama yang datang sesudahnya. Dengan demikian keyakinan ini bukan sebuah kedustaan belaka, tapi benar adanya sebagai keyakinan Ibn Taimiyah. Dan oleh karena itu keyakinan inilah di masa sekarang ini yang dipropagandakan oleh para pengikutnya.
Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah; yaitu Al-Imam al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi dalam kitab tafsirnya berjudul an-Nahr al-Madd menuliskan sebagai berikut:
“Saya telah membaca dalam sebuah buku karya Ahmad ibn Taimiyah,
seorang yang hidup semasa dengan kami, dengan tulisan tangannya sendiri,
buku berjudul al-‘Arsy, ia berkata: Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi,
dan Dia telah menyisakan tempat dari Kursi tersebut untuk Ia dudukan nabi
Muhammad di sana bersama-Nya. Ibn Taimiyah ini adalah orang yang
pemikirannya dikuasai oleh pemikiran at-Taj Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abd
al-Haqq al-Barinbri. Bahkan Ibn Taimiyah ini telah menyerukan dan
berdakwah kepada pemikiran orang tersebut, dan mengambil segala pemikirannya darinya. Dan kita telah benar-benar membaca hal tersebut di dalam bukunya tersebut”.
Klaim Ibn Taimiyah bahwa apa yang ia tuliskan ini sebagai keyakinan ulama
Salaf adalah bohong besar. Kita tidak akan menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf saleh yang berkeyakinan tasybih semacam itu. Anda perhatikan pernyataan Ibn  Taimiyah di atas, sangat tidak buruk dan tidak konsisten. Di beberapa karyanya ia menyatakan bahwa Allah duduk di atas ‘arsy, namun dalam karyanya yang lain ia menyebutkan bahwa Allah duduk di atas kursi. Padahal dalam sebuah hadits shahih telah disebutkan bahwa besarnya bentuk antara ‘arsy di banding dengan kursi tidak ubahnya
seperti sebuah kerikil kecil di banding padang yang sangat luas. Artinya bahwa bentuk ‘arsy sangat besar sekali, dan merupakan makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Di mana logikanya, ia mengatakan bahwa Allah duduk di atas ‘arsy, dan pada saat yang sama ia juga mengatakan bahwa Allah duduk di atas kursi?!
Cukup untuk membantah keyakinan sesat semacam ini dengan mengutip pernyataan al- Imam ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib; atau yang lebih dikenal dengan nama al-Imam ‘Ali Zain al-‘Abidin, bahwa beliau berkata: “Maha suci Engkau wahai Allah, Engakau tidak di dapat diindra, tidak dapat di sentuh, dan tidak dapat di raba”. Artinya bahwa Allah bukan benda yang berbentuk dan berukuran.
Kontroversi Ke Lima; ”Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Neraka dan siksaan
siksaan terhadap orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan”
Termasuk kontroversi besar yang menggegerkan dari Ibn Taimiyah adalah
pernyataannya bahwa neraka akan punah, dan bahwa siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan. Kontroversi ini bahkan diikuti oleh murid terdekatnya; yaitu Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah22. Dalam karyanya berjudul ar-Radd ’Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut: ”Di dalam kitab al-Musnad karya ath-Thabarani disebutkan bahwa di bekas tempat neraka nanti akan tumbuh tumbuhan Jirjir. Dengan demikian maka pendapat bahwa neraka akan punah dikuatkan dengan dalil dari al-Qur’an, Sunnah, dan perkataan para sahabat. Sementara
mereka yang mengatakan bahwa neraka kekal tanpa penghabisan tidak memiliki dalil baik dari al-Qur’an maupun Sunnah”.
Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas merupakan dusta besar terhadap para ulama
Salaf dan terhadap al-Imam ath-Thabarani. Anda jangan tertipu, karena pendapat itu adalah ”akal-akalan” belaka. Anda tidak akan pernah menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf yang berkeyakinan semacam itu. Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas telah menyalahi teks-teks al-Qur’an dan hadits serta ijma’ seluruh orang Islam yang telah bersepakat bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Dalam kurang lebih dari 60 ayat di dalam al-Qur’an secara sharih (jelas) menyebutkan bahwa surga dengan segala
kenikmatan dan seluruh orang-orang mukmin kekal di dalamnya tanpa penghabisan, dan bahwa neraka dengan segala siksaan serta seluruh orang-orang kafir kekal di dalamnya tanpa penghabisan. Di antaranya dalam QS. Al-Ahzab: 64-65, QS. At-Taubah: 68, QS. An-Nisa: 169, dan berbagai ayat lainnya.
Kemudian di dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bahwa keduanya kekal tanpa penghabisan. Di antaranya hadits shahih riwayat al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:”Dikatakan kepada penduduk surga: ”Wahai penduduk surga kalian kekal
tidak akan pernah mati”. Dan dikatakan bagi penduduk neraka: ”Wahai
penduduk neraka kalian kekal tidak akan pernah mati”. (HR. al-Bukhari)
Ini adalah salah satu kontroversi Ibn Taimiyah, -selain berbagai kontroversi
lainnya- yang memicu ”peperangannya” dengan al-Imam al-Hafizh al-Mujtahid
Taqiyyuddin as-Subki. Hingga kemudian al-Imam as-Subki membuat risalah berjudul ”al-I’tibar Bi Baqa al-Jannah Wa an-Nar” sebagai bantahan keras kepada Ibn Taimiyah, yang bahkan beliau tidak hanya menyesatkannya tapi juga mengkafirkannya. Di antara yang dituliskan al-Imam as-Subki dalam risalah tersebut adalah sebagai berikut:
”Sesungguhnya keyakinan seluruh orang Islam bahwa surga dan neraka tidak
akan pernah punah. Kesepakatan (Ijma’) kayakinan ini telah dikutip oleh Ibn
Hazm, dan bahwa siapapun yang menyalahi hal ini maka ia telah menjadi
kafir sebagaimana hal ini telah disepakati (Ijma’). Sudah barang tentu hal ini
tidak boleh diragukan lagi, karena kekalnya surga dan neraka adalah perkara
yang telah diketahui oleh seluruh lapisan orang Islam. Dan sangat banyak dalil menunjukan di atas hal itu.”Seluruh orang Islam telah sepakat di atas keyakinan bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Keyakinan ini dipegang kuat turun temurun antar generasi yang diterima oleh kaum Khalaf dari kaum Salaf dari Rasulullah.
Keyakinan ini tertancap kuat di dalam fitrah seluruh orang Islam yang telah
diketahui oleh seluruh lapisan mereka. Bahkan tidak hanya orang-orang Islam,
agama-agama lainpun di luar Islam meyakini demikian. Maka barang siapa
meyalahi keyakinan ini maka ia telah menjadi kafir”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar