Senin, 25 November 2013

Menjelaskan Beberapa Kesalahan Mendasar Orang-Orang Yang Mengaku Bermadzhab Hanbali

Menjelaskan Beberapa Kesalahan Mendasar
Orang-Orang Yang Mengaku Bermadzhab Hanbali
Beberapa nama penulis kitab yang telah aku sebutkan di atas, dasar kesalahanyang terjadi pada diri mereka adalah dalam tujuh perkara berikut:
1. Mereka selalu menamakan setiap teks yang memberitakan tentang Allah sebagai sifat-sifat-Nya, padahal tujuan teks-teks tersebut hanya untuk mengungkapkan penyandaran saja (al-Idlâfah). [Artinya penyandaran sesuatu kepada nama Allah untuk menunjukan bahwa Allah memuliakan sesuatu tersebut]. Sementara, tidak setiap bentuk Idlâfah itu dalam pengertian sifat, contohnya firman Allah tentang Nabi Isa:
( ونفَخت فيه من روحي (الحجر: 29
Kata ” من روحي ” dalam ayat ini tidak boleh dipahami bahwa Allah memiliki sifat
yang disebut dengan ”ruh” [lalu sebagian ruh tersebut adalah bagian dari Nabi Isa yang ditiupkan kepadanya]. (Tetapi yang dimaksud adalah bahwa ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allah). Barangsiapa memahami bahwa setiap Idlâfah itu sebagai sifat maka dia seorang yang telah sesat dan ahli bid’ah.
2. Mereka selalu saja berkata: ”Hadits-hadits yang kita bicarakan ini adalah haditshadits mutasyâbihât yang maknanya tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah saja”, lalu mereka berkata: ”Kita harus memahami hadits-hadits tersebut sesuai makna zahirnya”.
Kata-kata seperti ini adalah ungkapan yang sangat aneh, mereka mengatakan
”Makna-maknanya tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah saja”, tapi
begitu mereka sendiri memaknai itu semua dalam makna zahirnya. Padahal
siapapun tahu bahwa makna zahir dari kata ”Istawâ” adalah duduk, dan makna zahir ”nuzûl” adalah pindah dengan bergerak dari satu tempat (atas) ke tempat yang lain (bawah). [Lalu adakah pantas jika Allah disifati dengan sifat-sifat benda semacam ini? Allah maha suci dari apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang agung].
3. Mereka sendiri telah menetapkan sifat-sifat bagi Allah sesuai dengan apa yang mereka kehendaki, padahal sesungguhnya seluruh sifat-sifat Allah itu hanya kita tetapkan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri dengan dalildalil yang pasti (tawqîfiyyah).
4. Dalam menetapkan sifat-sifat Allah mereka tidak pernah membedakan antara hadits-hadits yang masyhur; seperti sabda Rasulullah:
ينزلُ ربنا إلَى السماء الدنيا
dengan hadits-hadits yang tidak benar; seperti hadits:
رأيت ربي في أحسن صورة
dengan hanya bahwa keduanya diriwayatkan dalam hadits lalu secara langsung mereka menetapkan sifat-sifat bagi Allah; tidak peduli baik itu dengan dasar yang masyhur atau tidak.
5. Dalam menetapkan sifat-sifat Allah mereka tidak membedakan antara hadits marfû’ (yang langsung berasal dari Rasulullah) dengan hadits mawqûf (yang berasal dari pernyataan seorang sahabat, atau yang berasal dari pernyataan seorang tabi’in). Dengan hanya bahwa semua itu diriwayatkan dalam sebuah hadits lalu secara langsung mereka menetapkan sifat-sifat bagi Allah; tidak peduli baik itu hadits marfû’ atau mawqûf.
6. Dalam memahami sifat-sifat Allah, terhadap beberapa teks mereka melakukan takwil sementara terhadap beberapa teks lainnya mereka tidak memakai takwil [Artinya pemahaman mereka hanya didasarkan kepada hawa nafsu belaka].
Seperti dalam sebuah hadits:
من أتانِي يمشي أتيته هرولة
[Makna literal hadits ini tidak boleh kita ambil, mengatakan:
”Siapa mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku (Allah) akan
mendatanginya dengan lari kecil”. Makna zahirnya seakan Allah
berlari].
Mereka memahami hadits ini dengan takwil, mereka tidak memahaminya dalam makna zahirnya. Mereka berkata: ”Kandungan hadits ini adalah untuk
mengungkapkan karunia dan nikmat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-
Nya”.
7. Mereka memahami kandungan hadits-hadits mutasyâbihât dalam makna indrawi. Ini nyata dan sangat jelas ada dalam ungkapan-ungkapan mereka, seperti kata:”Yanzil bi dzâtih ” ينزل بذاته ”, Yantaqil ” ينتقل ”, Yatahawwal ” يتحول ”. [Ini ungkapanungkapan sesat, karena itu semua hanya berlaku untuk sifat-sifat benda. Dalam pemahaman mereka; yanzil bidzâtih artinya; ”Allah turun dengan Dzat-Nya”,
yantaqil artinya; ”Allah pindah”, dan yatahawwal artinya; ”Allah berubah dari
satu keadaan kepada keadaan yang lain”]. Lalu mereka berkata: ”Lâ kamâ na’qil
لا كما نعقل” ”; artinya: ”Itu semua tidak seperti yang kita bayangkan dalam akal
pikiran kita”. Kata-kata terakhir inilah yang banyak mengelabui orang-orang
awam. Padahal kesimpulan mereka ini jelas telah menyalahi akal sehat karena
berangkat dari pemahaman indrawi dan sifat-sifat benda pada hak Allah.
Berangkat dari sini aku melihat bahwa menuliskan buku bantahan terhadap
kesesatan mereka adalah sebuah keharusan, supaya keyakinan-keyakinan buruk semacam itu tidak lagi disandarkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Bahkan mungkin saja seandainya aku terus berdiam diri maka mereka akan mengatakan bahwa akidah buruk yang mereka yakini itu merupakan keyakinan diriku. Bagi siapapun jangan menganggap perkara semacam ini masalah remeh, karena berpijak dan mengamalkan sebuah dalil;
terlebih dalam masalah-masalah akidah yang menyangkut pengetahuan kita kepada Allah tidak boleh hanya didasarkan kepada taqlid buta.
Suatu ketika Imam Ahmad ditanya sebuah masalah, lalu beliau memberi fatwa
sebagai jawabannya, tiba-tiba seseorang berkata kepadanya: ”Fatwa seperti itu tidak pernah disampaikan oleh Imam Abdullah bin al-Mubarak”, maka Imam Ahmad menjawab: ”Abdullah bin al-Mubarak tidak turun dari langit”.
Imam Syafi’i --semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya-- berkata: ”Aku
telah melakukan istikhârah untuk membuat catatan bantahan kepada Imam Malik -- semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya--”.
Tiga orang yang telah aku sebutkan di atas (Abu Abdillah bin Hamid, Abu Ya’la,dan Ibn az-Zaghuni) telah menuliskan beberapa kitab dalam mengungkapkan akidah buruk seperti yang kita jelaskan di atas, dan Abu Ya’la telah menuliskan buku khusus mencakup hadits-hadits yang ia pahami seperti demikian itu; maka dalam buku ini aku sebutkan kerancuan mereka satu per satu secara tersusun, dimulai dengan menjelaskan
ayat-ayat yang telah mereka kutip.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar