Senin, 25 November 2013

Al-Imâm al-Hâfizh al-‘Allâmah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri berkata:

Al-Imâm al-Hâfizh al-‘Allâmah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as-
Shiddiqi al-Bakri berkata:
“Ketahuilah --semoga petunjuk Allah selalu tercurah bagi anda--, bahwa aku telah meneliti madzhab Hanbali yang telah dirintis oleh Imam Ahmad bin Hanbal, aku mendapati bahwa beliau adalah sosok yang sangat kompeten dalam berbagai disiplin ilmu agama, beliau telah mencapai puncak keilmuan dalam bidang fiqih dan dalam pendapat madzhab-madzhab terdahulu, hingga tidak ada suatu permasalahan sekecil
apapun kecuali beliau telah menuliskan penjelasan atau catatan untuk itu, hanya saja metodologi yang dipakainya murni seperti para ulama Salaf sebelumnya; yang karenanya beliau tidak menulis kecuali hanya teks-teks yang benar-benar telah turun-temurun hingga ke generasinya (al Manqûlât).
Karena itu aku melihat madzhab Hanbali ini tidak memiliki karya-karya yang padahal jenis karya-karya semacam itu sangat banyak ditulis oleh musuh-musuh mereka.
Lalu untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka aku menulis beberapa kitab tafsir yang cukup besar, di antaranya; al-Mughnî dalam beberapa jilid, Zâd al-Masîr, Tadzkirah al- Arîb, dan lainnya. Dalam bidang hadits aku menuliskan beberapa kitab, di antaranya;
Jâmi al-Masânîd, al-Hadâ-iq, Naqiy an-Naql, dan kitab yang cukup banyak dalam al- Jarh Wa at-Ta’dîl.
Aku juga mendapati madzhab Hanbali ini tidak memiliki catatan-catatan
tambahan (ta’lîqât) terhadap karya-karya terdahulu dalam masalah-masalah khilâfiyyah, kecuali ada satu orang saja, yaitu al-Qâdlî Abu Ya’la yang dalam hal ini ia berkata: “Aku
selalu mengutip berbagai pendapat dari orang-orang luar madzhab Hanbali yang biasa menyebutkan berbagai pendapat dalam madzhab mereka masing-masing ketika mereka berdebat dengan lawan-lawan mereka, namun sedikitpun mereka tidak pernah
menyinggung pendapat dalam madzhab Hanbali. Aku akui di hadapan mereka, memang benar kami dalam madzhab Hanbali tidak memiliki ta’lîq dalam masalah-masalah Fiqih.Oleh karena itu maka akumenuliskanbeberapa ta’lîq”.
Al-Imâm al-Hâfizh al-‘Allâmah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as-
Shiddiqi al-Bakri berkata:
“Ketahuilah --semoga petunjuk Allah selalu tercurah bagi anda--, bahwa aku telah meneliti madzhab Hanbali yang telah dirintis oleh Imam Ahmad bin Hanbal, aku mendapati bahwa beliau adalah sosok yang sangat kompeten dalam berbagai disiplin ilmu agama, beliau telah mencapai puncak keilmuan dalam bidang fiqih dan dalam pendapat madzhab-madzhab terdahulu, hingga tidak ada suatu permasalahan sekecil
apapun kecuali beliau telah menuliskan penjelasan atau catatan untuk itu, hanya saja metodologi yang dipakainya murni seperti para ulama Salaf sebelumnya; yang karenanya beliau tidak menulis kecuali hanya teks-teks yang benar-benar telah turun-temurun hingga ke generasinya (al Manqûlât).
Karena itu aku melihat madzhab Hanbali ini tidak memiliki karya-karya yang
padahal jenis karya-karya semacam itu sangat banyak ditulis oleh musuh-musuh mereka.
Lalu untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka aku menulis beberapa kitab tafsir yang cukup besar, di antaranya; al-Mughnî dalam beberapa jilid, Zâd al-Masîr, Tadzkirah al- Arîb, dan lainnya. Dalam bidang hadits aku menuliskan beberapa kitab, di antaranya; Jâmi al-Masânîd, al-Hadâ-iq, Naqiy an-Naql, dan kitab yang cukup banyak dalam al- Jarh Wa at-Ta’dîl.
Aku juga mendapati madzhab Hanbali ini tidak memiliki catatan-catatan
tambahan (ta’lîqât) terhadap karya-karya terdahulu dalam masalah-masalah khilâfiyyah, kecuali ada satu orang saja, yaitu al-Qâdlî Abu Ya’la yang dalam hal ini ia berkata: “Aku selalu mengutip berbagai pendapat dari orang-orang luar madzhab Hanbali yang biasa menyebutkan berbagai pendapat dalam madzhab mereka masing-masing ketika mereka berdebat dengan lawan-lawan mereka, namun sedikitpun mereka tidak pernah menyinggung pendapat dalam madzhab Hanbali. Aku akui di hadapan mereka, memang
benar kami dalam madzhab Hanbali tidak memiliki ta’lîq dalam masalah-masalah Fiqih.
Oleh karena itu maka aku menuliskan beberapa ta’lîq”.
Aku (Ibnul Jawzi) katakan: “Ironisnya tulisan-tulisan ta’lîq Abu Ya’la ini
sedikitpun tidak didasarkan kepada penjelasan pendapat yang benar, juga tidak dengan menjelaskan alasan mendasar dalam membantah faham-faham yang tidak sependapat, di samping itu di dalamnya ia juga menyebutkan qiyas-qiyas yang rusak”.
Kemudian lagi aku melihat ada beberapa orang dalam madzhab kita ini (madzhab Hanbali) yang kadang merujuk kepada ta’lîq-ta’lîq; seperti ta’lîq al-Ishthilâm, ta’lîq As’ad, ta’lîq al-‘Âmili, dan ta’lîq asy-Syarîf, bahkan mereka sering mengutip dan meminjam berbagai istilah yang dipergunakan dalam ta’lîq-ta’lîq tersebut, oleh karena itu maka aku menuliskan banyak ta’lîq dalam berbagai kitab dalam berbagai masalah dalam madzhab ini, di antaranya kitab al-Inshâf Fî Masâ-il al-Khilâf, kitab Jannah al- Nazhar Wa Junnah al-Fithr, dan kitab ‘Umdah ad-Dalâ-il Wa Masyhûr al-Masâ-il.
Kemudian aku menulis kumpulan-kumpulan hadits ta’lîq yang dapat dijadikan
dalil oleh para penganut madzhab Hanbali ini, di dalamnya aku jelaskan setiap riwayat yang sahih dari yang cacat, lalu hasil tulisan itu semua aku jadikan sebuah kitab yang berjudul al-Bâz al-Asyhab al-Munqidl Alâ Mukhâlif al-Madzhab. Kemudian dalam masalah-masalah furû’ aku menuliskan kitab dengan judul al-Mudzhah-hab Fî al- Madzhab, kitab Masbûk al-Dzahab, dan Kitab al-Bulghah. Dalam masalah Ushul aku
menulis buku dengan judul Minhâj al-Wushûl Ilâ ‘Ilm al-Ushûl. Jumlah keseluruhan karya yang telah aku tulis sebanyak dua ratus lima puluh kitab.
Aku melihat ada beberapa orang dalam madzhab Hanbali ini yang berbicara
dalam masalah akidah dengan pemahaman-pemahaman yang ngawur. Ada tiga orang yang menulis karya terkait dengan masalah ini, yaitu; Abu Abdillah bin Hamid27, al- Qâdlî Abu Ya’la (murid Abu Abdillah bin Hamid)28, dan Ibn az-Zaghuni29. Mereka semua telah menulis kitab-kitab yang telah merusak madzhab Hanbali, bahkan dengan sebab itu aku melihat mereka telah turun ke derajat orang-orang yang sangat awam.
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادم على صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah” (bentuk)bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan,
jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”,
mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu --dan ini yang sangat menyesakkan-- mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara
zahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli. Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya, juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan.
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya
mengatakan “Sifat Fi’il” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”.
Kemudian setelah mereka menetapkan semua itu sebagai sifat Dzat-Nya, mereka berkata:
“Kita tidak boleh memahami itu semua dalam makna arahan bahasa, seperti “al-Yad” menjadi “an-Ni’mah” (kenikmatan) dan “al-Qudrah” (kekuasaan), “al-Majî’” dan “al- Ityân” menjadi “al-Birr” (karunia dan kebaikan) atau “al-Luthf” (pertolongan), dan atau “as-Sâq” menjadi “asy-Syiddah” (kesulitan)”. Mereka berkata: “Kita memberlakukan kandungan semua teks tersebut dalam makna zahirnya”.
Padahal makna zahir teks-teks tersebut adalah sifat-sifat yang berlaku pada
manusia. Benar, sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna zahirnya jika itu dimungkinkan [artinya jika tidak ada perkara yang menuntutnya untuk ditakwil], namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam zahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis). Ironisnya, dan ini sangat mengherankan, mereka
mengaku sebagai orang-orang yang jauh dari keyakinan tasybîh, bahkan mereka sangat marah jika akidah tasybîh tersebut disandangkan kepada mereka, mereka berkata: “Kami adalah Ahlussunnah”.
Sesungguhnya pernyataan mereka bahwa teks-teks mutasyâbihât harus dipahami dalam makna zahir pada dasarnya adalah pemahaman tasybîh. Yang menyedihkan ialah bahwa mereka ini diikuti oleh orang-orang awam. Aku telah menasehati mereka semua; baik orang-orang yang diikuti maupun mereka yang mengikuti. Aku katakan kepada mereka: “Wahai saudara-saudaraku, kalian adalah para pengikut teks-teks syari’at (Ashhâb
an-Naql). Imam besar kalian; Ahmad bin Hanbal --semoga rahmat Allah selalu
tercurah baginya-- di bawah pukulan-pukulan cambuk berkata: “Bagaimana mungkin aku mengatakan sesuatu yang tidak pernah dinyatakan oleh Allah dan Rasul-Nya?”. Karena itu kalian jangan membuat ajaran-ajaran aneh dalam madzhab suci ini yang nyata-nyata bukan bagian darinya.
Kalian berkata dalam mensikapi hadits-hadist mutasyâbihât: “Kita harus pahami semua teks itu dalam makna zahirnya”, padahal sesungguhnya makna zahir dari“qadam” adalah salah satu anggota badan, yaitu “kaki”. Lihat, ketika Nabi Isa disebut sebagai “Ruh Allah”; orang-orang Nasrani --laknat Allah atas mereka-- meyakininya dalam makna zahir bahwa Allah adalah ruh yang telah menyatu dengan Maryam. [Seperti itukah cara berkeyakinan kalian?]. Lalu ada lagi sebagian dari kalian yang berkata: “ استوى
بذاته المقدس ” “Istawâ Bi Dzâtih al-Muqaddas”; padahal jelas tambahan kata “ بذاته ” seperti ini sama dengan memahami teks tersebut secara indrawi [tentu lebih sesat lagi yang mengartikan makna Istawâ dengan istaqarra; bersemayam atau bertempat].
Sesungguhnya dalam menyikapi teks-teks mutasyâbihât semacam ini kita tidak boleh menyampingkan potensi akal sehat yang merupakan landasan utama dalam memahami setiap teks. Dengan jalan akal inilah kita mengenal Allah [artinya dengan jalan memahami dalil-dalil aqliyyah dan naqliyyah]. Lalu akal kita telah menetapkan bahwa Allah maha Qadim, artinya tidak bermula [dan segala sesuatu selain-Nya memiliki permulaan karena semuanya adalah ciptaan-Nya; maka bagaimana mungkin Dia bertempat pada ciptaan-Nya?]. Seandainya kalian berkata: “Kita membaca hadits-hadits
tersebut, dan kita berdiam diri dari mengungkit makna-maknanya”, maka tentu kalian tidak akan diserang oleh siapapun. Sesungguhnya yang buruk dari kalian itu ialah bahwa kalian mengatakan: “Teks-teks itu semua harus dipahami dalam makna-makna zahirnya”.
Janganlah kalian memasukan ajaran-ajaran aneh ke dalam madzhab orang salaf yang saleh ini (Ahmad bin Hanbal); yang nyata-nyata itu semua bukan dari ajarannya.
Kalian telah merusak madzhab ini dengan “bungkus” yang buruk, hingga tidak disebut siapapun seorang yang bermadzhab Hanbali kecuali ia dicap sebagai Mujassim (seorang berkeyakinan sesat bahwa Allah sebagai benda). Selain itu kalian juga telah merusak madzhab ini dengan sikap fanatik terhadap Yazid bin Mu’awiyah. Padahal kalian sendiri tahu bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, perintis madzhab ini membolehkan melaknat Yazid. Bahkan Syekh Abu Muhammad at-Tamimi sampai berkata tentang salah seorang
imam kalian (yaitu Abu Ya’la al-Mujassim): “Dia (Abu Ya’la) telah menodai madzhab ini dengan noda yang sangat buruk, yang noda tersebut tidak akan bisa dibersihkan hingga hari kiamat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar