Sabtu, 30 November 2013

Pembelaan Nashiruddin al-Albani pada Syeikh Khajandi


  • Pembelaan Nashiruddin al-Albani pada Syeikh Khajandi

Pendapat Syekh Khajandi tersebut di atas mengenai pengharamannya untuk taqlid pada satu imam tertentu dan sebagainya yang tersebut di atas ini dibenarkan oleh Nashiruddin al-Albani (baca keterangan mengenai al-Albani pada halaman sebelumnya) dan dibela mati-matian, suatu hal yang meng- herankan sekali. Pembelaan Syeikh Al-Albani tidak lain karena Syeikh Khajandi ini sepaham dan satu kelompok golongan dengannya dan al-Albani sengaja mentakwil kata-kata Khajandi yang salah ini agar tidak terus menerus menjadi sorotan ummat muslimin.
I. Al-Albani mengatakan: “Sanggahan dan alasan yang dikemukakan Dr. Sa’id Ramdhan terhadap pendapat Syekh Khajandi itu tidak benar. Dia (Albani) pembela Syeikh Khajandi ini mengatakan juga bahwa para sahabat dan ulama selama tiga abad tidak pernah menetapi satu madzhab tertentu”
Jawaban:
Dr. Sa’id Ramdhan membuktikan bahwa alasan yang dikemukakannya itu adalah benar. Syeikh Sa’id ini mengutip ucapan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 1/21:
(“ Waddiinu wal fighu wal ‘ilmu intasyaro fil Ummati ‘an ashhaabi bni Mas’ud wa ashhaabi Zaidi bni tsaabit wa ashhaabi ‘abdillah bni ‘Abbas. Fa’ilmun Naasi ‘ammatan ‘an ashhaabi haaulaail arba’ati. Fa ammaa ahlul madiinati fa’ilmuhum ‘an ashhaabi Zaidi bni Tsaabit wa ‘Abdillahi bni ‘Umar. Wa ammaa ahlu makkata fa’ilmuhum ‘an ashhaabi ‘Abdillahi bni ‘Abbas ra. Wa ammaa ahlul ‘iraaqi fa’ilmuhum ‘an ashhaabi ‘Abdillahi bni Mas’uud “)
Artinya: “Agama, figh dan ilmu tersebar ketengah-tengah ummat ini melalui para pengikut Ibnu Mas’uud, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Umar dan ‘Abdullah bin ‘Abbas. Secara umum ummat Islam ini memperoleh ilmu agama dari mereka yang empat ini. Penduduk Madinah memperoleh ilmu dari para pengikut Zaid bin Tsabit dan ‘Abdullah bin Umar. Penduduk Mekkah memperoleh ilmu dari para pengikut Abdullah bin Abbas dan penduduk Iraq memperoleh ilmu dari para pengikut ‘Abdullah bin Mas’ud “.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim. Bahkan dalam sejarah perkembangan syari’at Islam telah pula diketahui bahwa ‘Atho’ bin Abi Robah dan Mujahid pernah menjadi mufti di Mekkah dalam waktu yang cukup lama. Dan penduduk Mekkah saat itu hanya mau menerima fatwa dari kedua Imam ini sampai-sampai khalifah yang memerintah saat itu sempat menyerukan agar orang-orang tidak mengambil fatwa kecuali dari dua Imam tersebut. Dan para ulama dari golongan tabi’in tidak ada yang mengingkari seruan khalifah itu. Begitu pula tidak ada yang menyalahkan sikap kaum muslimin saat itu yang hanya menetapi madzhab kedua imam tersebut.
II. Syekh al-Albani membela beberapa pendapat Syeikh Khajandi yang aneh dan telah menyimpang jauh dari kebenaran. Dia memberi takwil (perubahan arti) beberapa pendapat Syekh Khajandi berikut ini:
a. Kata-kata Syekh Khajandi; “Adapun madzhab-madzhab itu dia hanyalah pendapat para ulama, dan cara mereka memahami sebagian masalah serta bentuk dari ijtihad mereka. Dan pendapat serta ijtihad-ijtihad seperti ini, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk mengikutinya”.
Menurut al-Albani yang dimaksud ‘seseorang’ di atas adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk berijtihad, bukan semua orang.
b. Kata-kata Syekh Khajandi; “Menghasilkan ijtihad tidaklah sulit, cukup dengan memiliki kitab Muwattho’, Bukhori Muslim, Sunan Abi Daud, Jaami’ at-Turmudzi dan Nasa’i. Kitab-kitab ini tersebar luas dan mudah diperoleh. Anda haruslah mengetahui kitab-kitab ini “.
Menurut al-Albani ucapan Syeikh Khajandi ini juga khusus untuk orang-orang yang telah mencapai derajad mujtahid dan mampu mengistinbath hukum dari nash. Jadi bukan ditujukan kepada semua orang.
c. Kata-kata Syeikh Khajandi; “Jika telah didapatkan nash dari Al-Qur’an, Hadits dan ucapan para sahabat, maka wajiblah mengambilnya, tidak boleh berpindah kepada fatwa para ulama”.
Menurut al-Albani ucapan Syekh Khajandi ini khusus untuk orang yang telah mendalami ilmu syari’at dan memiliki kemampuan untuk menganalisa dalil dan madlulnya.
Jawaban:

Pembelaan al-Albani kepada Syeikh Khajandi selalu diberikan takwil agar tetap dikesankan berada di atas kebenaran. Sedikitpun Nashiruddin al-Albani tidak mau menyalahkan Syeikh Khajandi. Bahkan ketika Dr. Sa’id Ramdhan berkata kepada al-Albani dalam satu pertemuan singkat dengannya bahwasanya seorang ulama tidak akan menggunakan satu pernyataan yang sifatnya umum, lalu dia menghendaki maksud lain yang tidak sejalan dengan dzhohir pernyataannya itu. Nashiruddin al-Albani menjawab bahwa Syeikh Khajandi itu adalah lelaki keturunan Bukhara yang menggunakan bahasa non arab. Karenanya dia tidak memiliki kemampuan mengungkapkan sesuatu sebagaimana layaknya orang-orang arab. Dia sekarang sudah wafat. Dan karena dia seorang muslim maka haruslah kita membawa ucapan-
ucapannya itu kepada sesuatu yang lebih tepat dan pantes dan kita haruslah selalu ber-husnuz dhon (bersangka baik) kepadanya.
Seperti inilah Syeik al-Albani berdalih Husnuz dhon kepada seorang muslim dia selalu menakwil ucapan-ucapan Khajandi walaupun sudah jelas dan nyata menyimpang dari kebenaran. Tidak lain karena Syeikh Khajandi adalah orang yang sepaham dan satu kelompok dengan al-Albani. Kalau yang punya pendapat itu bukan dari kelompoknya, maka tentulahseperti sifat kebiasaan al-Albaniakan dibantahnya, dicela dan didamprat habis-habisan!!.
Menurut Syekh Sa’id Ramdhan , andai saja al-Albani itu mau menakwil ucapan-ucapan para tokoh Sufi seperti Syeikh Muhyiddin bin Arobi seper empat saja dari takwilan yang diberikan kepada Syeikh Khajandi maka tidaklah dia akan sampai mengkafirkan dan menfasikkan mereka (para sufi)!
Syeikh Khajandi yang mengatakan bahwa Jika telah didapatkan nash…… sampai fatwa para ulama (baca keterangan pada II c di atas) walaupun sudah dibela sama al-Albani namun Dr. Sa’id tetap membantahnya.
Dr. Sa’id Ramdhan berkata: Coba saja berikan kitab Bukhori Muslim kepada semua kaum muslimin lalu suruh mereka memahami hukum-hukum agama dari nash-nash yang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian lihatlah kebodohan, kebingungan dan kekacauan yang akan terjadi! Selanjutnya Syeikh Sa’id ini mengatakan bahwa Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ‘I’laamul Muwaqqi’in 4/234 telah mengatakan sesuatu yang benar-benar berbeda dengan apa yang diucapkan oleh Syeikh Khajandi yang telah didukung oleh al-Albani itu. Ibnul Qoyyim berkata:
(“Alfaaidatu tsaaminah wal arba’uun] idzaa kaana ‘indar rojuli ashshohiihaani au ahaduhumaa au kitaabun min sunani Rasuulillahi saw. muutsagun bimaa fiihi fahal lahu an yuftiya bimaa yajiduhu fiihi?...wash showaabu fii haadzihil mas alatit tafshiilu fain kaanat dalaalatul hadiitsi dhoohiratan bayyinatan likulli man sami’ahu laa yahtamilu ghoirol muroodi falahu an ya’mala bihi wa yuftiya bihi wa laa yathlubut tazkiyata lahuu min gouli fagiihi au imaamin balil hujjatu goulu Rasuulillahi saw. Wa in kaanat dalaalatuhu khofiyyatan laa yatabayyanul muroodu minhaa lam yajuz lahu an ya’mala wa laa yuftiya bimaa yatauwah-hamuhu muroodan hattaa yas-alu wa yathluba bayaanal hadiitsi wa wajhahu…”).
Artinya: “(Faidah ke 48): Apabila seseorang memiliki dua kitab shohih (Bukhori & Muslim) atau salah satunya atau satu kitab dari sunnah-sunnah Rasulalillah saw., yang terpercaya, bolehkan ia berfatwa dengan apa yang dia dapatkan dalam kitab-kitab tersebut? Jawaban yang benar dalam masalah ini adalah melakukan perincian (tafshil). Bila makna yang dikandung oleh hadits itu sudah cukup jelas dan gamblang bagi setiap orang yang mendengarnya dan tidak mungkin lagi diartikan lain, maka dia boleh mengamalkannya serta berfatwa dengannya tanpa harus meminta rekomen- dasi lagi kepada ahli figih atau seorang imam. Bahkan hujjah yang harus diambil adalah sabda Rasulalillah saw. Akan tetapi bila kandungan hadits tersebut masih samar dan kurang jelas maksudnya (bagi setiap orang), maka dia tidaklah boleh mengamalkannya dan tidak boleh pula berfatwa dengannya atas dasar perkiraan pikirannya sehingga ia bertanya terlebih dahulu dan meminta penjelasan tentang hadits itu “.
Selanjutnya Ibnul Qoyyim berkata:
(“ Wa hadzaa kulluhu idzaa tsammata nau’u ahliyyatin walakinnahuu gooshirun fii ma’rifatil furuu’I wa gowaa’idil ushuuliyyiina wal ‘arabiyyati. Wa idzaa lam takun tsammata ahliyyatun gotthu fafardhuhu maa goolahullahu ta’aalaa: Fas-aluu ahla ddzikri in kuntum laa ta’lamuun [An-Nahl:43] “).

Artinya: “Semua yang dibicarakan di atas hanyalah apabila orang itu memiliki sedikit keahlian namun pengetahuannya dalam ilmu figih, kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu bahasa belum mencukupi. Akan tetapi apabila seseorang tidak memiliki kemampuan apa-apa, maka ia wajib bertanya, sebagaimana firman Allah swt.: ‘Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang mempunyai ilmu jika memang kamu tidak mengetahui’ (An-Nahl:43) “.
III. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Syeikh Khajandi mengatakan telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf: Barang siapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah….dan seterusnya (baca keterangan sebelumnya) dan Dr. Sa’id Ramdhan telah membuktikan bahwa ucapan yang dikatakan Khajandi dari Imam ad-Dahlawi itu adalah tidak benar. Tujuan Syeikh Sa’id Ramdhan membongkar ketidak benaran ucapan yang di atas namakan ad-Dahlawi ini adalah agar mereka (para pembela Syeikh Khajandi) merenungkan masalah ini dan memeriksa kembali apa yang telah beliau buktikan ini. Dan seharusnya mereka (pembela-pembela Syeikh Khajandi) berterima kasih dan menerima adanya kebenaran yang dibuktikan oleh Dr. Sa’id Ramdhan dan kesalahan yang dilakukan oleh mereka.
Namun yang terjadi justru sebaliknya sebagaimana kebiasaan golongan ini [Syeikh Khajandi dan kawan-kawannya] mereka tidak senang dengan pelurusan-pelurusan yang Syeikh Sa’id Ramdhan lakukan yakni menyingkap kebohongan yang mereka atas namakan kepada Imam ad-Dahlawi. Mereka (kelompok Syeikh Khajandi) bersusah-payah membuka lembar demi lembar kitab Ad-Dahlawi yang kira-kira cocok atau mendekati kebenaran dengan kutipan Syeikh Khajandi itu. Pada akhirnya mereka ini berkata:
“Kami telah memeriksa risalah al-Inshaaf karangan Imam ad-Dahlawi rahima hullah dan ternyata didalamnya terdapat sebagian ucapan yang disebut Syeikh Khajandi. Bunyi ucapan itu adalah: ‘Ketahuilah bahwa kaum muslimin di abad pertama dan kedua hijriah tidak menyepakati taqlid kepada satu madzhab tertentu. Abu Thalib al-Makki dalam kitanya Quutul Qulub mengatakan bahwa kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan tulisan tentang Islam merupakan hal yang baru. Dan pendapat yang berdasarkan ucapan orang banyak dan fatwa yang berdasarkan satu madzhab kemudian mengambil ucapan itu dan dan menyampaikannya menurut madzhab tersebut, baik dalam urusan apa saja ataupun urusan figih, semua itu tidak pernah terjadi pada dua abad yang pertama dan kedua. Melainkan manusia diketika itu hanya dua kelompok yaitu ulama dan orang-orang awam. Berdasarkan informasi, orang-orang awam itu dalam masalah-masalah yang sudah disepakati yang tidak ada lagi perbedaan diantara kaum muslimin dan mayoritas mujtahidin tidaklah mereka itu taqlid kecuali kepada pemegang syari’at yakni Nabi Muhammad saw.. Jika mereka menemui satu masalah yang jarang terjadi, maka mereka meminta fatwa kepada mufti yang ada tanpa menentukan apa madzhabnya “.
Namun demikian apabila kita perhatikan dengan seksama maka ucapan Imam ad-Dahlawi yang mereka kutip, tidak ada kaitannya sama sekali dengan ucapan Syeikh Khajandi yang mengatas namakan mengutip kitab Imam ad-Dahlawi!!.
Untuk memperkuat pembelaaan terhadap Syeikh Khajandi mereka juga mengatakan: Adapun ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya terdapat dalam kitab Hujjatulloohil Baalighah jilid1/154-155. Dimana Imam ad-Dahlawi mengutip ucapan Ibnu Hazmin:
(“ Goola Ibnu Hazmin: Innat taqliida haraamun wa laa yahillu liahadin an ya’khudza qoula ahadin ghoiri rasuulillahi saw. bilaa burhaanin”).
Artinya: “Ibnu Hazmin berkata: ‘ Taqlid itu haram dan seseorang dengan tanpa dalil tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulallahillahi saw.’ ”.
Berikutnya mereka membeberkan ucapan-ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin dengan cukup panjang.
Jawaban:
Padahal ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin bukanlah seperti itu . Perhatikanlah keterangan Imam ad-Dahlawi berikut ini:
(“ I’lam an hadzihil madzaahibal arba’atal mudawwanatal muharrorota godij tama’atil ummatu au man yu’taddu bihi ‘alaa jawaazi taqliidihaa ilaa yauminaa haadzaa wa fii dzaalika minal mashoolihi maalaa yakhfaa laa siyyamaa fii haadzihil ayyaamil latii goshurat fiihal himamu jiddan wa usyribatin nufuusul hawaa wa a’jaba kullu dzii ro’yin biro’yihi ”).
Artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri. “
Selanjutnya Imam ad-Dahlawi langsung berkata:
(“ Famaa dzahaba ilaihi ibnu Hazmin haitsu goola innat taqliida haraamun wa laa yahillu liahadin an ya’khudza qoula ahadin ghoiri rasuulillahi saw. bilaa burhaanin…innamaa yatimmu fiiman lahu dhorbun minal ijtihaadi walau fii mas-alatin waahidatin “).
Artinya: “Maka pendapat Ibnu Hazmin yang mengatakan: ‘Sesungguhnya taqlid itu haram dan tidak boleh bagi seseorang dengan tanpa dalil mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulillah saw….barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan ber- ijtihad walaupun pada satu masalah”.
Demikianlah sebenarnya kelengkapan ucapan Imam ad-Dahlawi dalam Hujjatulloohil Baalighah. Maka kita bisa bandingkan sendiri kutipan para pembela Syeikh Khajandi itu dengan ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya. Mereka hanya mengutip sampai kata-kata ….Tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain ucapan Rasulillah saw. dan mengenyampingkan/membuang terusan kalimat itu justru yang paling penting dan inti dari sebuah pendapat yaitu …barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan berijtihad walaupun pada satu masalah. Begitulah sifat kebiasaan golongan ini sering membuang/mengenyampingkan kalimat-kalimat aslinya atau kalimat-kalimat lain yang berlawanan dengan faham mereka (baca keterangan akidah golongan salafi/wahabi dalam makalah ini).
Beginilah kefanatikan golongan ini terhadap imam-imam mereka sampai-sampai mereka berani merekayasa dan membuang ucapan para imam lainnya demi untuk menegakkan dan membenarkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur dikeluarkan/ditulis oleh imam-imam mereka atau oleh mereka sendiri. Sifat mereka seperti ini jelas telah menunjukkan kefanatikan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kefanatikan para pengikut madzhab empat terhadap imam-imamnya. Yang mana kefanatikan para pengikut madzhab yang empat ini selalu dicela oleh golongan ini.
Para pengikut madzhab yang empat betapapun fanatiknya mereka tidaklah akan berani merekayasa atau membuang ucapan-ucapan para imam lainnya demi untuk mempertahankan pendapat mereka atau pendapat imam-imam mereka. Renungkanlah!

IV. Nashiruddin al-Albani dalam rangka menyalahkan pendapat Syeikh Sa’id Ramdhan yang hanya membagi manusia menjadi kelompok yaitu Mujtahid dan Mukallid tanpa menambahkan adanya kelompok ketiga yakni Muttabi’, mengetengahkan dalil dari kutipan ucapan Imam as-Syatibi dalam kitab beliau Al-I’tishom. Al-Albani mengutip sebagai berikut (“Almukallafu biahkaamis syarii’ati laa yakhluu min ahadin umuurin tsalaatsatin: ahaduhumaa an yakuuna mujtahidan fiihaa fahukmuhu maa addaahu ilahi ijtihaaduhu fiihaa. Wats tsaanii an yakuuna mugallidan shirfan kholiyyan minal ‘ilmil haakimi jumlatan falaa budda lahu min gooidin yaguuduhu. Wats tsaalitsu an yakuuna ghoira baalighin mablaghal mujtahidiina lakinnahuu yafhamud daliila wa maugi’ahu wa yashluhu fahmuhu lit tarjiihi “).
Artinya: “Orang yang terkena beban hukum syari’at (mukallaf) tidaklah terlepas dari tiga perkara; Pertama, ia adalah seorang mujtahid dalam bidang syari’at, maka hukumnya adalah melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihadnya. Kedua, ia adalah mukallid murni yang sama sekali kosong dari ilmu, maka hukumnya harus ada orang yang membimbingnya. Ketiga, ia tidak mencapai tingkatan para mujtahidin namun ia memahami dalil dan kedudukannya serta pemahamannya pantas untuk melakukan tarjih”.
Jawaban:
Sampai disini al-Albani dan kawan-kawannya menulis/menyudahi keterangan Imam as-Syatibi padahal masih ada kelanjutannya yang justru bagian terpenting dari keterangan Imam as-Syatibi menyangkut kedudukan orang yang masuk bagian ketiga yakni Muttabi’.
Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ini mempersilahkan semua orang untuk memeriksa kitab Al-I’tishom jilid 111 halaman 253 guna melihat bagian terpenting yang sengaja dibuang oleh al-Albani dan kawan-kawannya. Berikut keterangannya:
“(Untuk muttabi’ ini) kemampuan tarjih dan analisanya pun tidaklah lepas daripada diterima atau tidaknya. Jika tarjihnya itu diterima, maka jadilah ia seperti mujtahid dalam masalah itu dan mujtahid hanyalah mengikut kepada ilmu yang dapat menjadi pemberi putusan (hakim). Dia haruslah memperhati kan ilmu itu dan tunduk kepadanya. Maka siapa yang menyerupai mujtahid jadilah dia seorang mujtahid. Lalu jika kita tidak menerima tarjihnya itu, maka mestilah dia kembali kederajat orang awam (mukallid). Dan orang awam hanyalah mengikuti mujtahid dari segi ketundukannya kepada kebenaran ilmu yang dapat memberi putusan. Begitu juga halnya orang-orang yang menduduki posisinya “.
Dengan keterangan di atas jelaslah bahwa menurut pandangan Imam as-Syatibi kedudukan Muttabi’ pada akhirnya akan sama seperti Mujtahid kalau ia telah mencapai derajatnya dan ia akan kembali seperti orang awam kalau ia belum mampu mencapainya. Akan tetapi sayang sekali al-Albani dan kawan-kawannya justru memotong/membuang bagian terpenting dari penjelasan Imam as-Syatibi itu.
Akhirnya Dr. Sa’id Ramdhan berkomentar: “Bagaimana seorang muslim dapat mempercayai agama seseorang yang memutar balikkan fakta suatu tulisan bahkan mengubah kalimat dari tempatnya yang semula sebagai- mana anda sendiri telah melihatnya? Bagaimana seorang muslim harus percaya kepadanya untuk mengambil hukum syari’at dan mempercayai ucapannya yang telah banyak membodoh-bodohkan para imam mujtahid?
Beginilah sebagian wejangan dan bantahan Syekh Said Ramdhan terhadap ucapan Syeikh Khajandi yang semuanya ini saya kutip dari buku Argumentasi Ulama Syafiiyyah oleh Ustadz Mujiburrahman.

Masalah Taqlid (Ikut-ikutan) Kepada Imam Madzhab


  • Masalah Taqlid (Ikut-ikutan) Kepada Imam Madzhab 

Sebagian golongan ada yang mengikuti ulamanya yakni ikut melarang, membid’ahkan, mencela keras bahkan sampai berani mengkafirkan orang-orang muslim yang mengikuti salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali [ra]). Ulama golongan ini berkata: “Sesungguhnya ilmu figih dan syariat Islam yang anda ajarkan selama ini dengan susah payah itu sebenarnya hanyalah buah pikiran para imam madzhab yang tentang masalah hukum yang mereka rangkaikan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Empat madzhab itu adalah suatu bid’ah yang diadakan dalam agama Islam serta mereka ini sama sekali bukan dari Islam. Kitab-kitab empat imam ini ialah kitab-kitab yang bisa membawa kehancuran (Kutub al-Mushaddiah)”.
Ulama yang melarang taqlid ini telah membikin heboh dunia Islam karena beliau telah mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti salah satu dari empat madzhab. Nama ulama yang melarang ini adalah Syekh Khajandi yang menulis dalam kitabnya Halil Muslim Multazamun Bittibaa’i Madzhabin Mu’ayyan Minal Madzaahibil Arba’ah. Beliau ini juga mengatakan bahwa orang-orang yang taqlid kepada imam-imam mujtahid adalah orang yang bodoh, tolol dan sesat. Mereka ini telah memecah belah agama sehingga menjadi beberapa golongan dan mereka inilah yang dimaksudkan firman Allah swt. dalam surat At-Taubah: 31: “Mereka menjadikan orang-orang alim dan para rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Dan firman Allah pada surat Al-Kahfi: 103-104:
“Katakanlah (wahai Muhammad); Maukah kalian Kami tunjukkan tentang orang-orang yang merugi amal ibadahnya..? Yaitulah orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka menyangka bahwa merekalah yang berbuat sebaik-baiknya.”
Syekh Khajandi dan orang-orang yang sepaham dengannya sangat keterlaluan didalam upaya merendahkan dan menjatuhkan martabat para imam madzhab yang sudah diakui sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang oleh ulama-ulama pakar dunia. Syekh ini sama halnya dengan golongan wahabi/salafi merasa dirinya yang paling pandai, suci dan paling mengerti tentang hukum-hukum Islam sehingga mudah mensesatkan atau mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka.
Berikut ini sebagian isi kitab Syeikh Khajandi yang sangat berbahaya dan membingungkan ummat Islam yang saya kutip dari kitab Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ustadz Mujiburrahman. Begitu juga dalil-dalil Syeikh ini yang mengarahkan sesat, bodoh perilaku orang yang bertaqlid terhadap salah satu dari imam empat itu, walaupn yang taqlid itu tergolong orang awam. Setiap dalil yang Syeikh Khajandi tulis saya akan tulis jawabannya sekali menurut Dr.Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buuti dalam kitabnya ‘Al-laa madzhabiyyah Akhthoru bid’ah tuhaddidus syari’atal Islamiyyah’ .
l. Syekh Khajandi berkata; bahwa Islam itu tidak lebih dari hukum-hukum yang sederhana yang dengan mudah dapat dimengerti oleh orang arab atau muslim manapun. Beliau membuktikan kebenaran pernyataannya ini dengan mengetengahkan beberapa dalil berikut ini:
Pertama; hadits Jibril as. ketika bertanya kepada Rasulallah saw. tentang makna Islam. Kemudian Rasulallah menjawab dengan menyebutkan rukun-rukun Islam yang lima. Tidak lebih dari itu!
Kedua; hadits tentang seseorang yang mendatangi Rasulallah saw. seraya berkata: ‘Wahai Rasulallah, tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang apabila aku kerjakan, maka aku akan masuk surga’. Lalu Rasulallah saw. bersabda; ‘Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah…sampai akhir hadits’ “.
Ketiga; hadits tentang seseorang yang datang dan mengikat ontanya dimasjid Rasulallah saw., kemudian masuk menghadap Nabi saw. dan bertanya tentang rukun Islam yang paling penting.
Selanjutnya berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh ini menegas- kan bahwa Islam itu tidaklah lebih dari beberapa kata dan beberapa hukum yang sederhana yang bisa dipahami oleh setiap muslim, arab ataupun non arab. Hal ini karena setelah Nabi saw.menyebutkan tentang rukun Islam yang lima, lelaki yang bertanya itupun langsung pergi dan tidak menoleh lagi. Ini membuktikan bahwa rukun-rukun Islam itu adalah satu permasalahan yang mudah dan penjelasannya tidaklah perlu sampai taqlid kepada seorang imam atau menetapi seorang mujtahid. Madzhab-madzhab yang ada tidak- lah lebih dari sekedar pemahaman para ulama terhadap beberapa masalah. Allah serta Rasul-Nya tidaklah pernah mewajibkan seorangpun untuk meng- ikutinya.
Jawaban:
Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuti mengomentari ucapan Syeikh Khayandi di atas sebagai berikut:
“Seandainya benar bahwa hukum-hukum Islam itu terbatas pada masalah-masalah yang telah disampaikan oleh Rasulallah saw. kepada orang arab badui (pedusunan), lalu pergi dan tidak memerlukan penjelasan lagi, niscaya tidaklah kitab-kitab shohih dan musnad-musnad itu dipenuhi oleh ribuan hadits yang mengandung berbagai macam hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin. Begitu juga Rasulallah pun tidak akan berlama-lama berdiri hingga keletihan untuk memberi pelajaran kepada utusan Tsaqif tentang hukum-hukum Allah swt. dan itu terjadi selama beberapa hari.
Penjelasan Rasulallah tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang bagaimana melaksanakan rukun-rukun tersebut. Yang pertama membutuhkan waktu tidak lebih dari beberapa menit sedangkan yang terakhir membutuhkan kesungguhan dalam belajar dan juga disiplin. Oleh karena itulah, maka utusan yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk memahami rukun Islam itu selalu saja diikuti oleh seorang sahabat yang khusus dipersiapkan guna tinggal bersama dan mengajari mereka berbagai hukum Islam dan kewajiban-kewajibannya. Maka diutuslah Khalid bin Walid ke Najran, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Muaz bin Jabal Ke Yaman, Utsman bin Abi ‘Ash ke Tsaqif. Mereka [ra] ini diutus kepada orang-orang yang sekelas (sederajad ilmunya) dengan orang Arab badui yang oleh Syeikh Khajandi dijadikan sebagai dalil bahwa mereka ini dapat memahami Islam dengan cepat. (Tidak lain) tujuan para sahabat (yang diutus ini) adalah untuk mengajari mereka rincian hukum-hukum Islam sebagai tambahan dari pengajaran dan penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulallah saw.
Memang pada masa awal Islam permasalahan-permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum-hukumnya masih sangat sedikit. Hal ini karena daerah kekuasaan Islam dan jumlah kaum muslimin saat itu masih sedikit. Akan tetapi masalah/problem ini bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam dan banyaknya adat- istiadat yang tidak ada sebelumnya. Terhadap semua masalah ini haruslah ditemukan hukumnya, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ataupun Qiyas (analogi). Inilah dia sumber-sumber hukum Islam. Karenanya tidaklah ada hukum Islam kecuali yang dinyatakan oleh salah satu dari sumber-sumber ini.
Bagaimana mungkin memisahkan antara Islam dengan apa yang telah disimpulkan oleh ke empat imam madzhab dan orang-orang setaraf (selevel) mereka dari sumber-sumber hukum Islam yang pokok ini…? Bagaimana Syeikh Khajandi itu bisa mengatakan; ‘Adapun madzhab-madzhab yang ada hanyalah pendapat para ulama dan ijtihad mereka terhadap suatu masalah. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikuti pendapat, ijtihad serta pemahaman-pemahaman mereka itu‘. Ucapan Syeikh ini sama persis dengan ucapan seorang orientalis Jerman yang bernama Sheckert dimana dengan sombong dan kasar mengatakan; ‘Figih Islam yang ditulis oleh para imam madzhab adalah hasil dari produk pemikiran hukum yang istimerwa yang diperindah dengan mengait-ngaitkannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah’.
Rasulallah saw. telah mengutus para sahabat yang memiliki keahlian dalam menghafal, memahami dan menyimpulkan suatu hukum kepada beberapa kabilah dan negeri serta menugaskan mereka untuk mengajarkan hukum-hukum Islam, haram-halal kepada ummat. Telah menjadi kesepakat- an bahwa mereka akan ber-ijtihad jika mereka kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Hadits. Rasulallah saw. pun menyetujui kesepakatan mereka itu.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dari Syu’bah ra. bahwa ketika Nabi saw. mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman, beliau saw.bersabda: ‘Apa yang akan kamu perbuat jika kamu menghadapi satu perkara?’. Mu’az menjawab: ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah’. Rasulallah saw. kembali bertanya; ‘Jika tidak ada dalam Kitabullah..?’. Mu’az menjawab:’Saya akan putuskan dengan Sunnah Rasulallah’. Rasulallah bertanya lagi: ‘Jika tidak ada dalam Sunnah Rasulallah…?’. Mu’az menjawab: ‘Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan saya tidak akan melebihkannya’. Mu’az berkata:’Rasulallahpun akhirnya menepuk-nepuk dada saya dan bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadi- kan utusan Rasul-Nya sesuai dengan apa yang diridhoi olehnya’.
Inilah ijtihad dan pemahaman ulama dari kalangan sahabat. Mereka menggunakannya untuk memutuskan hukum dan menerapkannya ditengah-tengah masyarakat. Langkah mereka ini telah disetujui bahkan dipuji oleh Nabi kita Muhammad saw. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa madzhab-madzhab itu adalah ijtihad dan pemahaman-pemahaman yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikutinya?
Dengan demikian, maka hukum Islam itu tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi yang hanya berargumentasi dengan beberapa dalil yang sudah kami kemukakan itu. Hukum Islam itu meluas dan mencakup hal-hal yan berkenaan dengan sisi-sisi kehidupan, baik itu pribadi maupun sosial dalam berbagai situasi dan kondisi. Semua hukum-hukum itu kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung melalui dilalah ddhahirnya yakni kandungan hukumnya yang memang sudah jelas dan tidak memerlukan penafsiran lagi maupun melalui perantara penelitian, ijtihad dan istinbath. Mana saja diantara dua cara ini yang ditempuh oleh kaum muslimin untuk memahami hukum, maka itulah hukum Allah yang terbebankan pada dirinya dan dia haruslah tetap pada hukum tersebut. Itulah pula hukum yang harus diberikan kepada siapapun yang datang meminta fatwa kepadanya.
Kalau benar bahwa hukum Islam itu adalah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi, maka apalah artinya Rasulallah saw. mengutus para sahabat pilihan ke berbagai kabilah dan negeri…?
2. Syeikh Khajandi berkata; bahwa dasar berpegang teguh kepada Islam adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya inilah yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Adapun mengikuti imam-imam madzhab, maka samalah artinya dengan kita telah merubah diri. Semula kita mengikuti yang ma’shum yakni Qur’an dan Sunnah kemudian pindah mengikuti yang tidak ma’shum yakni imam-imam madzhab itu. Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa kedatangan madzhab-madzhab yang empat itu hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah saw.
Jawaban:
Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi menjawab atas ucapan-ucapan Syeikh ini sebagai berikut: “Ma’shumnya Al-Qur’an adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Allah melalui firman-Nya itu. Dan ma’shumnya sunnah atau hadits adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi saw. melalui haditsnya itu. Adapun pemahaman manusia terhadap Al-Qur’an dan hadits itu sangatlah jauh dari sifat ma’shum, walaupun itu dari golongan mujtahid apalagi dari golongan orang awam. Kecuali nash-nash Al-qur’an dan hadits yang termasuk dalil-dalil qath’i (pasti) dan yang membahasnya adalah orang-orang arab yang mengerti kaidah-kaidah bahasa arab, maka kema’shuman pemahamannya itu lahir dari kegath’iyyan (kepastian) dalil tersebut.
Apabila sarana untuk mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Hadits adalah pemahaman, sementara pemahaman terhadap keduanya adalah satu usaha yang tidak mungkin terlepas dari kesalahan selain yang sudah dikecualikan di atas maka pemahaman mereka yang termasuk mujtahid pun tidak bisa dikatakan ma’shum, apa lagi pemahaman orang-orang awam. Lalu apa artinya seruan kepada orang awam untuk meninggalkan taqlid dengan alasan bahwa Al-Qur’an dan Hadits bersifat ma’shum..? Apakah jika pemahaman terhadap nash yang ma’shum diberikan kepada golongan awam, maka itu akan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya..? Padahal diketika hal itu diserahkan kepada yang mujtahid pun kema’shuman pemahaman tetap tidak akan pernah terjadi.
Syeikh Khajandi juga melalui ucapannya itu jelas memiliki persangkaan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para imam madzhab itu tidak berasal dari sumber Al-Qur’an dan Hadits sehingga dikatakan bahwa madzhab-madzhab tersebut berseberangan dengan madzhab Rasulallah saw., dan kemunculannya hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah tersebut. Sebuah persangkaan yang sangat keterlaluan…!
3. Syeikh Khajandi berkata; Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa jika seseorang wafat dia akan ditanya didalam kuburnya tentang madzhab dan aliran!
Jawaban:
Mengomentari ucapan ini Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi berkata: Ucapan ini menunjukkan adanya anggapan beliau bahwa kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada ummat manusia hanyalah perkara-perkara yang akan menjadi pertanyaan dua malaikat didalam kubur. Apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat tersebut, maka itulah kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan dan apa yang tidak akan ditanyakan, maka itu bukan termasuk kewajiban yang disyari’atkan. Itulah konsekwensi dari ucapan Syeikh yang gegabah. Padahal dalam referensi akidah Islam, tidak ada penegasan bahwa malaikat akan bertanya didalam kubur nanti tentang hutang-piutang, jual-beli dan beberapa bentuk muamalah yang lain. Walau pun demikian masalah tersebut dan juga masalah-masalah lain yang tidak masuk dalam materi pertanyaan kedua malaikat tersebut, tetap menjadi permasalahan agama yang banyak dibahas oleh para ulama kita. Jadi walaupun masalah taqlid kepada salah satu madzhab diantara madzhab-madzhab yang empat tidak akan dipertanyakan oleh kedua malaikat didalam kubur nanti, bukanlah berarti dia harus disingkirkan dari pembahasan. Hal ini karena dalil-dalil tentang keharusan orang awam bertaqlid kepada seorang imam sangatlah valid dan logis sebagaimana nanti akan diuraikan secara lebih rinci.Dengan demikian maka sebagaimana dikatakan oleh seluruh ulama dan kaum muslimin bahwa kewajiban duniawi yang digantungkan dileher kaum muslimin jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat didalam kubur mereka.
Kalau Syeikh Khajandi itu menghujat madzhab, maka mengapa yang menjadi sasarannya hanya madzhab yang empat…? Apa bedanya madzhab imam yang empat ini dengan madzhab Zaid bin Tsabit, Mu’az bin Jabal, Abdullah bin ‘Abbas dan yang lainnya dalam hal memahami beberapa hukum Islam? Apa perbedaan madzhab yang empat ini dengan madzhab ahlu al-ra’yi di Irak dan madzhab ahlu al-hadits di Hijaz dan pelopor berdiri- nya dua madzhab ini adalah para sahabat nabi dan tabi’in yang terbaik?
Bukankah mereka yang mengikuti imam madzhab yang empat dan madzhab-madzhab yang tersebut di atas adalah juga termasuk para mukallid…? Apakah Syeikh Khajandi itu akan mengatakan bahwa jumlah madzhab itu puluhan, bukan hanya empat dan semuanya bertentangan dan menyaingi madzhab Rasulallah saw....? Ataukah Syeikh ini akan berkata bahwa madzhab-madzhab yang keluar dari agama dan memecah-belah madzhab Rasulallah hanyalah madzhab yang empat itu, sedangkan madzhab-madzhab yang sebelum mereka, semuanya adalah benar dan dapat berdampingan bersama madzhab Rasulallah saw…..?
Kita tidak tahu mana diantara dua pertanyaan terakhir ini yang dipilih oleh Syeikh Khajandi. Namun yang jelas dari kedua-dua pernyataan terakhir di atas ini, yang paling manisnya adalah satu kepahitan dan yang paling utamanya adalah satu kedustaan. (Ahlaahuma murrun wa afdhaluhuma kazibun waftiro’un).

Jumat, 29 November 2013

Busyra (Berita Gembira) untuk Ahlussunnah; al Asya-'irah dan al Maturidiyyah


  • Busyra (Berita Gembira) untuk Ahlussunnah; al Asya-'irah dan al Maturidiyyah
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: "Konstantinopel
(Istanbul sekarang) pasti akan dikuasai, maka sebaik-baik pemimpin
adalah pemimpin yang berhasil manguasainya dan sebaik-sebaik tentara
adalah tentara tersebut" (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
Musnadnya).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam memuji
sultan Muhammad al Fatih karena beliau adalah seorang sultan yang
shalih, aqidahnya sesuai dengan aqidah Rasulullah. Seandainya

aqidahnya menyalahi aqidah Rasulullah, Rasulullah tidak akan dari arah
dan tempat.
Al Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) dalam
Syarh Ihya 'Ulum ad-Din, Juz II, h. 6, mengatakan: "Jika dikatakan
Ahlussunnah Wal Jama'ah maka yang dimaksud adalah al Asy'ariyyah dan al
Maturidiyyah". Kemudian beliau mengatakan: "Al Imam al 'Izz ibn Abd
as-Salam mengemukakan bahwa aqidah al Asy'ariyyah disepakati oleh
kalangan pengikut madzhab Syafi'i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan
orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala' al Hanabilah)". Apa 
yang dikemukakan oleh al 'Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para
ulama di masanya, seperti Abu 'Amr ibn al Hajib (pimpinan ulama
Madzhab Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama
Madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-
Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki". Al
Hakim meriwayatkan dalam al Mustadrak dan al Hafizh Ibn 'Asakir

dalam Tabyin Kadzib al Muftari bahwasanya ketika turun ayat:
فَسوف يأْتي اللهُ ِبقَومٍ يحبهم ويحبونه ] [سورة المائدة : 54
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam menunjuk kepada sahabat Abu
Musa al Asy'ari dan bersabda: "Mereka adalah kaum orang ini". Al
Qurthubi mengatakan dalam Tafsirnya, Juz VI, h. 220: "Al Qusyairi
berkata: pengikut Abu al Hasan al Asy'ari adalah termasuk kaumnya". (telah
maklum bahwa al Imam Abu al Hasan al Asy'ari, Imam Ahlussunnah
Wal Jama'ah adalah keturunan sahabat Abu Musa al Asy'ari).

Kaedah yang Sekarang Sering dilupakan Oleh Banyak Orang "Barang siapa disibukkan dengan hal-hal yang fardlu dari hal-hal yang
sunnah (sehingga tidak sempat melakukannya) maka dia (dianggap)
ma'dzur (diterima alasannya dan dimaklumi), dan barangsiapa yang
disibukkan dengan hal-hal yang sunnah dari yang fardlu (sehingga dia
tidak melaksanakannya) maka dia adalah orang yang tertipu (setan
menampakkan amal ini di matanya sebagai amal yang baik padahal
amal-amal yang fardlu itu lebih banyak mendekatkan diri seseorang 
kepada Allah dari pada amal-amal yang sunnah)". (dituturkan oleh al
Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani dalam Syarh al Bukhari).
Termasuk di antara hal-hal yang difardlukan oleh agama adalah
menyebarkan aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah dan memperingatkan

masyarakat dari orang-orang yang menyalahinya .

Para ulama dari kalangan empat madzhab membagi kufur menjadi tiga macam:


  • Para ulama dari kalangan empat madzhab membagi kufur menjadi tiga macam:

1. Kufur I'tiqadi, seperti orang yang meyakini bahwa Allah
berada di arah atas atau arah-arah lainnya, bersemayam atau
duduk di atas 'arsy, atau meyakini Allah seperti cahaya atau
semacamnya.
2. Kufur Fi'li, seperti sujud kepada berhala, melempar mushhaf
atau lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat al Qur'an atau
nama-nama yang diagungkan ke tempat sampah atau
menginjaknya dengan sengaja dan lain-lain.
3. Kufur Qauli, seperti mencaci Allah, mencaci maki nabi,
malaikat atau Islam, meremehkan janji dan ancaman Allah,
menentang-Nya, mengharamkan perkara-perkara yang jelasjelas
halal, menghalalkan perkara-perkara yang jelas-jelas

haram dan lain-lain
Kaedah:
1. Setiap keyakinan, perbuatan atau perkataan yang mengandung
pelecehan terhadap Allah, Rasul-Nya, malaikat-Nya, syi'ar agama-
Nya, hukum-hukum-Nya, janji-janji dan ancaman-Nya adalah
kekufuran maka hendaklah seseorang menjauhi semua ini dengan
segala upaya serta dalam keadaan apapun.
2. Barang siapa yang jatuh pada salah satu macam kekufuran
tersebut maka ia dihukumi kafir. Dan wajib baginya

meninggalkan kekufuran tersebut dan segera masuk Islam dengan
mengucapkan dua kalimah Syahadat. Jika ia membaca istighfar
sebelum mengucapkan syahadat maka istighfar tersebut tidak
bermanfaat baginya. Ini adalah ijma' para ulama.
3. Para ulama Islam menyepakati (Ijma') bahwa orang yang jatuh
dalam kufur yang sharih (tidak mempunyai kemungkinan arti lain
selain kufur), tidak sedang sabq al-lisan dan tidak dalam keadaan
dipaksa dengan ancaman bunuh, maka ia dihukumi kafir, meski
dia tidak mengetahui bahwa kata yang dia ucapkan menyebabkan
kekufuran. Meski dia dalam keadaan marah atau bercanda.

Meskipun dia tidak berniat untuk keluar dari agama Islam 
Pembagian kekufuran tersebut di atas berdasarkan ayat-ayat al
Qur'an :

Dalil kufur I'tiqadi:ِإنما الْمؤمنونَ الَّذي ءَامنوا ِباللهِ ورسوله ُثم َلم يرتابوا...]
[ [سورة الحجرات :
Maknanya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orangorang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka
tidak ragu-ragu…" (Q.S. al Hujurat: 15)

Dalil Kufur Fi'li:
Maknanya: "Janganlah kalian bersujud kepada matahari dan janganlah
(pula) kepada bulan…" (Q.S. Fushshilat: 37)

Dalil Kufur Qauli:
Maknanya: "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa
yang mereka katakan) tentulah mereka akan menjawab sesungguhnya
kami hanyalah bersendagurau dan bermain-main saja. Katakanlah
apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu berolokolok
?, tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah

beriman …" (Q.S. at-Tubah 65-66)
Maknanya: "Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama)
Allah, bahwa mereka telah mengatakan (sesuatu yang menyakitimu).
Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kufur dan menjadi
kafir sesudah mereka sebelumnya muslim …" (Q.S. at-Taubah: 74)
Lebih lanjut bacalah kitab-kitab fiqh madzhab empat;
Madzhab Syafi'i (kitab Raudlah ath-Thalibin karya Imam an-Nawawi
(W. 676 H), Kifayah al Akhyar karya Syekh Taqiyyuddin al Hushni (W.
829 H), Sullam at-Taufiq karya al Habib 'Abdullah ibn Husain ibn
Thahir (W. 1272 H), Madzhab Maliki (Minah al Jalil Syarh
Mukhtashar Khalil karya Syekh Muhammad 'Illasy (W. 1299 H) dan
lain-lain), Madzhab Hanafi (Hasyiyah Radd al Muhtar karya Syekh Ibn
'Abidin (W. 1252 H) dan kitab-kitab lain), Madzhab Hanbali
(Kasysyaf al Qina' karya Syekh Manshur ibn Yunus ibn Idris al Buhuthi,

ulama abad XI Hijriyah dan lain-lain).

Siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah ?

Siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah ?
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat
Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang
dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:
فَمن َأراد بحبوحةَ الْجنة فَلْيلْزمِ الْجماعةَ" (رواه الترمذي
Maknanya: "…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di
surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh
pada aqidah al Jama’ah”. (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim,
dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih)
Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah,
Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan
al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H) -semoga
Allah meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah
yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka,
dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al
hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan
terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk
mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah dan
lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada
keduanya. Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al

Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut
al Maturidi). Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi
dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.
Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf juz II
hlm. 6, mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal
Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”.
Mereka adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas).
Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab
Maliki, para pengikut madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari
madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas
ummatnya tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang
senantiasa mengikuti mereka.
Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan dalam
mengetahui aqidah al Firqah an-Najiyah yang merupakan golongan
mayoritas, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia
disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Rasulullah
shallalllahu ‘alayhi wasallam ditanya tentang sebaik-baik perbuatan,
beliau menjawab:Maknanya: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. al
Bukhari)
Sama sekali tidak berpengaruh, ketika golongan Musyabbihah mencela
ilmu ini dengan mengatakan ilmu ini adalah ‘ilm al Kalam al Madzmum
(ilmu kalam yang dicela oleh salaf). Mereka tidak mengetahui bahwa
‘ilm al Kalam al Madzmum adalah yang dikarang dan ditekuni oleh
Mu’tazilah, Musyabbihah dan ahli-ahli bid’ah semacam mereka.
Sedangkan ‘ilm al Kalam al Mamduh (ilmu kalam yang terpuji) yang
ditekuni oleh Ahlussunnah, dasar-dasarnya sesungguhnya telah ada di
kalangan para sahabat. Pembicaraan dalam ilmu ini dengan membantah ahli bid’ah telah dimulai pada zaman para sahabat.
Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- membantah golongan Khawarij
dengan hujjah-hujjahnya. Beliau juga membungkam salah seorang
pengikut ad-Dahriyyah (golongan yang mengingkari adanya pencipta
alam ini). Dengan hujjahnya pula, beliau mengalahkan empat puluh
orang Yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Beliau
juga membantah orang-orang Mu’tazilah. Ibnu Abbas -semoga Allah
meridlainya- juga berhasil membantah golongan Khawarij dengan
hujjah-hujjahnya. Ibnu Abbas, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Abdullah ibn ‘Umar -
semoga Allah meridlai mereka semua- juga telah membantah kaum
Mu’tazilah. Dari kalangan Tabi’in; al Imam al Hasan al Bishri, al Imam
al Hasan ibn Muhammad ibn al Hanafiyyah cucu sayyidina ‘Ali, dan
khalifah ‘Umar ibn Abd al 'Aziz -semoga Allah meridlai mereka- juga
telah membantah kaum Mu’tazilah. Dan masih banyak lagi ulamaulama
salaf lainnya, terutama al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah
meridlainya-, beliau sangat mumpuni dalam ilmu aqidah, demikian pula
al Imam Abu Hanifah, al Imam Malik dan al Imam Ahmad -semoga
Allah meridlai mereka- sebagaimana dituturkan oleh al Imam Abu
Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam Ushul ad-Din, al Hafizh Abu
al Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam Tabyin Kadzib al Muftari, al
Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam Tasynif al Masami’ dan al
'Allaamah al Bayadli (W 1098 H) dalam Isyaraat al Maram dan lainlain.
Telah banyak para ulama yang menulis kitab-kitab khusus
mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Risalah
al 'Aqidah ath-Thahawiyyah karya al Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-
Thahawi (W 321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam
‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al ‘Aqidah al Mursyidah karangan al Imam
Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-Shalahiyyah yang
ditulis oleh al Imam Muhammad ibn Hibatillah al Makki (W 599 H);
beliau menamakannya Hadaiq al Fushul wa Jawahir al Ushul, kemudian
menghadiahkan karyanya ini kepada sulthan Shalahuddin al Ayyubi
(W 589 H) -semoga Allah meridlainya-, beliau sangat tertarik dengan
buku tersebut sehingga memerintahkan untuk diajarkan sampai
kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, sehingga buku tersebut
kemudian dikenal dengan sebutan al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.
Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab
Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah
as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk
mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum
adzan Shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam
(Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah dan Madinah,
sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam
al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak
terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al 'Aqidah

as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan itu terus berlangsung.

Sekelumit tentang sekte Wahabi/Salafi

Sekelumit  tentang sekte Wahabi/Salafi
Golongan Wahabi/Salafi ini berpegang dengan akidah atau keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab sebagai penerus Ibnu Taimiyyah (kita bicarakan tersendiri mengenai sejarah singkat Ibnu Abdul Wahhab). Golongan ini juga sering menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw. secara tekstual (apa adanya kalimat) dan literal (makna yang sebenarnya) atau harfiah dan meniadakan arti majazi atau kiasan. Oleh karenanya mereka sering menjasmanikan (tajsim) dan menyerupakan (tasybih) Allah swt. secara hakiki/sesungguhnya kepada makhluk-Nya. Na’udzubillah. Insya Allah nanti kita utarakan tersendiri contoh riwayat-riwayat Tajsim dan Tasybih.
Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Banyak ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah mengenai Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Karena ini bertentangan dengan firman Allah swt. sebagai berikut:
Dalam surat Syuura (42): 11; ‘ Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya’.Surat Al-An’aam (6): 103; ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’. Surat Ash-Shaffaat (37): 159; ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’, dan ayat-ayat lainnya.
Dengan adanya penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. secara tekstual ini, mereka mudah membid’ahkan dan mensyirikkan Tawassul (berdo'a pada Allah sambil menyertakan nama Rasulallah atau seorang sholeh/wali dalam do’a itu), Tabarruk (pengambian barokah), permohonan syafa’at pada Rasulallah saw. dan para wali Allah, peringatan-peringatan keagamaan, kumpulan majlis-majlis dzikir (istighothah, tahlilan dan sebagainya), ziarah kubur, taqlid (ikut-ikutan) kepada imam madzhab dan lain sebagainya (kita bicarakan sendiri pada babnya masing-masing). Sebenarnya semua itu adalah kebaikan, banyak hadits dan wejangan ulama pakar yang berkaitan dengan masalah-masalah di atas itu.
Sebenarnya masih banyak lagi yang bisa dicantumkan disini mengenai pertentangan akidah golongan ini dengan madzhab lainnya, tapi insya Allah keterangan singkat yang ada di buku ini para pembaca sudah bisa mengetahui dan menilai sendiri bagaimana akidah dan paham golongan Wahabi/Salafi ini, begitu juga bisa menilai sendiri apakah akidah golongan ini yang paling benar dibandingkan dengan madzhab sunnah lainnya?
Golongan Salafi/Wahabi dan pengikutnya ini sering berkata bahwa mereka akan mengajarkan syari’at Islam yang paling murni dan benar, sehingga mudah mensesatkan sampai-sampai berani mengkafirkan, mensyirikkan sesama muslimin yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka. (baca pengkafiran Muhamad Abdul Wahhab terhadap para ulama pakar pada halaman selanjutnya)
Menurut pendapat sebagian orang bahwa faham golongan Wahabi/Salafi (baca makalah dibuku ini dan diwebsite-website yang menentang ajaran Muhammad Ibnu Abdul-Wahhab) pada zaman modern ini seperti golongan al-Hasyawiyyah, karena kepercayaan-kepercayaan dan pendapat-pendapat mereka mirip dengan golongan yang dikenali sebagai al-Hasyawiyyah pada abad-abad yang awal. Istilah al-Hasyawiyyah adalah berasal daripada kata dasar al-Hasyw yaitu penyisipan, pemasangan dan kemasukan.
Ahmad bin Yahya al-Yamani (m.840H/1437M) mencatatkan bahwa: Nama al-Hasyawiyyah digunakan kepada orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits sisipan yang sengaja dimasukkan oleh golongan al-Zanadiqah sebagaimana sabda Nabi saw. dan mereka menerimanya tanpa melakukan interpretasi semula, dan mereka juga menggelarkan diri mereka Ashab al-Hadith dan Ahlal-Sunnah wa al-Jama`ah...Mereka bersepakat mempercayai konsep pemaksaan (Allah berhubungan dengan perbuatan manusia) dan tasybih (bahwa Allah seperti makhluk-Nya) dan mempercayai bahwa Allah mempunyai jasad dan bentuk serta mengatakan bahwa Allah mempunyai anggota tubuh dan lain sebagainya.
Al-Syahrastani (467-548H/1074-1153M) menuliskan bahwa: Terdapat sebuah kumpulan Ashab al-Hadits, yaitu al-Hasyawiyyah dengan jelas menunjukkan kepercayaan mereka tentang tasybih (yaitu Allah serupa makhluk-Nya) ...sehingga mereka sanggup mengatakan bahwa pada suatu ketika, kedua-dua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemui-Nya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan) berakibat banjir Nabi Nuh a.s sehingga mata-Nya menjadi merah, dan `Arasy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia melampaui `Arasy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut. [Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h.141.]
Begitu juga faham sekte Wahabi ini seakan-akan menjiplak atau mengikuti kaum Khawarij yang juga mudah mengafirkan, mensyirikkan, mensesatkan sesama muslimin karena tidak sependapat dengan fahamnya. Kaum khawarij ini kelompok pertama yang secara terang-terangan menonjolkan akidahnya dan bersitegang leher mempertahankan prinsip keketatan dan kekerasan terhadap kaum muslimin yang tidak sependapat dan sefaham dengan mereka.
Kaum khawarij ini mengkafirkan Amirul Mu’minin Imam Ali bin Abi Thalib kw dan para sahabat Nabi saw. yang mendukungnya. Kelompok ini ditetapkan oleh semua ulama Ahlus-Sunnah sebagai ahlul-bid’ah, dan dhalalah/sesat berdasarkan dzwahirin-nash (makna harfiah nash) serta keumuman maknanya yang berlaku terhadap kaum musyrikin. Kaum ini mudah sekali mengkafir-kafirkan kaum muslimin yang tidak sefaham dengan mereka, menghalal kan pembunuhan, perampasan harta kaum muslimin selain golongannya/madzhabnya.
Ibnu Mardawih mengetengahkan sebuah riwayat berasal dari Mas’ab bin Sa’ad yang menuturkan sebagai berikut:
“Pernah terjadi peristiwa, seorang dari kaum Khawarij menatap muka Sa’ad bin Abi Waqqash (ayah Mas’ab) ra. Beberapa saat kemudian orang Khawarij itu dengan galak berkata: ‘Inilah dia, salah seorang pemimpin kaum kafir!’. Dengan sikap siaga Sa’ad menjawab; ‘ Engkau bohong!. Justru aku telah memerangi pemimpin-pemimpin kaum kafir ‘. Orang khawarij yang lain berkata: ‘ Engkau inilah termasuk orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya ‘! Sa’ad menjawab: ‘Engkau bohong juga! Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah, Tuhan mereka, mengingkari perjumpaan dengan-Nya (yakni tidak percaya bahwa pada hari kiamat kelak akan dihadapkan kepada Allah swt.) ’! Riwayat ini dikemukakan juga oleh Al-Hafidz didalam Al-Fath.
Thabrani mengetengahkan sebuah riwayat juga didalam Al-Kabir dan Al-Ausath, bahwa “ ‘Umarah bin Qardh dalam tugas operasi pengamanan didaerah dekat Al-Ahwaz mendengar suara adzan. Ia berangkat menuju ketempat suara adzan itu dengan maksud hendak menunaikan sholat berjama’ah. Tetapi alangkah terkejutnya, ketika tiba disana ternyata ia berada ditengah kaum Khawarij sekte Azariqah. Mereka menegurnya: ‘Hai musuh Allah, apa maksudmu datang kemari?’! Umarah menjawab dengan tegas: ‘Kalian bukan kawan-kawanku’!
Mereka menyahut: ‘Ya, engkau memang kawan setan, dan engkau harus kami bunuh’! Umarah berkata; ‘ Apakah engkau tidak senang melihatku seperti ketika Rasulallah saw. dahulu melihatku? ‘. Mereka bertanya: ‘ Apa yang menyenangkan beliau darimu? ‘Umarah menjawab: ‘ Aku datang kepada beliau saw. sebagai orang kafir, lalu aku meng-ikrarkan kesaksianku, bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan bahwa beliau saw. adalah benar-benar utusan Allah. Beliau saw. kemudian membiarkan aku pergi ’. Akan tetapi sekte Azariqah tidak puas dengan jawaban ‘Umarah seperti itu. Ia lalu diseret dan dibunuh “. Peristiwa ini dimuat juga sebagai berita yang benar dari sumber-sumber yang dapat dipercaya.
Sikap dan tindakan kaum khawarij tersebut jelas mencerminkan penyelewengan akidah mereka, dan itu merupakan dhalalah/kesesatan. Perbuatan mereka ini telah dan selalu dilakukan oleh pengikut mereka disetiap zaman. Mereka ini sebenarnya adalah orang-orang yang dipengaruhi oleh bujukan hawa nafsunya sendiri dan berpegang kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits secara harfiah atau tekstual. Mereka beranggapan hanya mereka/golongannya sajalah yang paling benar, suci dan murni, sedangkan orang lain yang tidak sefaham dengan mereka adalah sesat, berbuat bid’ah, kafir dan musyrik! Mereka ini tidak sudi mendengarkan siapapun juga selain orang dari kelompok mereka sendiri. Mereka memandang ummat Islam lainnya dengan kacamata hitam, sebagai kaum bid’ah atau kaum musyrikin yang sudah keluar meninggalkan agama Islam!
Padahal Islam menuntut dan mengajarkan agar setiap muslim bersangka baik/husnud-dhon terhadap ummat seagama, terutama terhadap para ulama. Membangkit-bangkitkan perbedaan pendapat mengenai soal-soal bukan pokok agama yakni yang masih belum tercapai kesepakatan diantara para ulama menyebabkan prasangka buruk terhadap mereka atau dengan cara lain yang bersifat celaan, cercaan, tuduhan dan lain sebagainya.

Dalil-dalil larangan mensesatkan, mengkafirkan sesama muslimin!


  • Dalil-dalil larangan mensesatkan, mengkafirkan sesama muslimin! 

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang
قُلْ كُلٌّ َيْعَملُ َعلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبكُُّم اَْعلَُم بَِمنْ ُهَواَهَْدى سَبِْيلا
Katakanlah (hai Muhammad): Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’: 84)
كُم ُهَو أْعلَُم بَِمن اثَّقَى فَلاَ تُزَكُّوا
“….janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia (Allah) lebih mengetahui siapa yang bertaqwa.” (An-Najm: 32)
pada akhir-akhir ini sebagian golongan umat Islam yang mengklaim dirinya telah menjalankan syari’at (agama) paling benar, paling murni, pengikut para Salaf Sholeh dan menuduh serta melontarkan kritik tajam sebagai perbuatan sesat dan syirik kepada sesama muslim, bahkan sampai berani mengkafir- kannya, hanya karena perbedaan pendapat dengan melakukan ritual-ritual Islam seperti ziarah kubur, berkumpul membaca tahlilan/yasinan untuk kaum muslimin yang telah meninggal, berdo’a sambil tawassul kepada Nabi saw. dan para waliyyullah/sholihin, mengadakan peringatan keagamaan diantaranya maulidin/kelahiran Nabi saw., pembacaan Istighotsah, dan sebagainya. Bahkan ada yang sampai berani mengatakan bahwa pada majlis-majlis peringatan keagamaan tersebut adalah perbuatan mungkar karena didalamnya terdapat, minuman khamar (alkohol), mengisap ganja dan perbuatan-perbuatan munkar lainnya. Golongan yang sering mengata- kan dirinya paling benar itu tidak segan-segan menuduh orang dengan fasiq, sesat, kafir, bid’ah dholalah, tahrif Al-Qur'an (merubah al-Qur’an) dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. La haula walaa quwwata illah billahi. Ini fitnahan yang amat keji dan membuat perpecahan antara sesama muslim.
Alasan yang sering mereka katakan bahwa semuanya ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulallah saw., atau para sahabat, dengan mengambil dalil hadits-hadits dan ayat-ayat Al Qur’an yang menurut paham mereka bersangkutan dengan amalan-amalan tersebut. Padahal ayat-ayat ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang mereka sebutkan tersebut ditujukan untuk orang-orang kafir dan orang-orang yang membantah, merubah dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya.
Golongan pengingkar ini sering mengatakan hadits-hadits mengenai suatu amalan yang bertentangan dengan pahamnya itu semuanya tidak ada, palsu, lemah, terputus dan lain sebagainya, walaupun hadits-hadits tersebut telah dishohihkan oleh ulama-ulama pakar hadits.
Begitu juga bila ada ayat Ilahi dan hadits yang maknanya sudah jelas tidak perlu ditafsirkan lagi serta makna ini disepakati oleh ulama-ulama pakar dan sebagian ulama dari golongan pengingkar ini sendiri, mereka dengan sekuat tenaga akan merubah makna ayat dan hadits ini bila berlawanan dengan paham golongan ini sampai sesuai/sependapat dengan pahamnya. Disamping itu golongan pengingkar ini akan mentakwil (menggeser arti) omongan ulama mereka yang menyetujui arti dari ayat ilahi dan hadits itu sampai sesuai dengan paham mereka. Oleh karenanya banyak ulama pakar hadits dari berbagai madzhab mencela dan mengeritik kesalahan golongan pengingkar yang sudah jelas itu. Para pembaca bisa meneliti dan menilai sendiri nantinya apa yang tercantum dalam buku dihadapan anda ini.
Kita semua tahu bahwa firman Allah swt. (Alqur’an) yang diturunkan pada Rasulallah saw. itu sudah lengkap tidak satupun yang ketinggalan dan dirubah. Bila ada orang yang mengatakan bahwa kalimat-kalimat/tekts yang tertulis didalam Alqur’an telah dirubah dan lain sebagainya, omongan seperti ini harus diteliti dan diselidiki apakah omongan ini bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Begitu juga dalam ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah mengenai masalah haram atau halal telah diterangkan dengan jelas. Bila tidak ada keterangan yang jelas untuk suatu masalah, para ulama akan menilai dan meneliti amalan itu, apakah sejalan dan tidak bertentangan dengan syari’at yang telah digariskan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya.
Bila amalan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at, malah sebaliknya banyak hikmah dan manfaat bagi ummat muslimin khususnya, maka para ulama ini tidak akan mengharamkan amalan tersebut. Karena mengharam- kan atau menghalalkan suatu amalan harus mengemukakan nash-nash yang khusus untuk masalah itu. Apalagi amalan-amalan dzikir yang masih ada dalilnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang semuanya mengingatkan kita kepada Allah swt. dan Rasul-Nya serta bernafaskan tauhid, umpamanya, kumpulan/majlis dzikir (tahlilan, istighotsah, peringatan keagamaan ..), ziarah kubur, bertawasul dalam do’a, bertabarruk dan lain sebagainya, tidak ada alasan orang untuk mengharamkannya. Jadi dalil-dalil yang mereka sebutkan untuk melarang amalan-amalan yang dikemukakan tadi, itu tidaklah tepat, karena hal itu termasuk kategori dzikir kepada Allah swt. dan merupakan perbuatan kebaikan. Dan semua perbuatan baik dengan cara apapun asal tidak melanggar dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah digariskan malah dianjurkan oleh agama.
Yang lebih mengherankan, para ulama golongan pengingkar amalan-amalan tadi, berani menvonis bahwa amalan-amalan itu bid’ah munkar, sesat, syirik dan lain sebagainya. Kalau seorang ulama sudah berani memfitnah seperti itu, apalagi orang-orang awam yang membaca tulisan tersebut justru lebih berbahaya lagi, karena mereka hanya menerima dan mengikuti tanpa tahu dan berpikir panjang mengenai kata-kata ulama tersebut.
Perbedaan pendapat antara kaum muslimin itu selalu ada, tetapi bukan untuk dipertentangkan dan dipertajam dengan saling mensesatkan dan mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Pokok perbedaan pendapat soal-soal sunnah, nafilah yang dibolehkan ini hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama kedua belah pihak. Karena masing-masing pihak sama-sama berpedoman pada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulallah saw. (hadits), namun berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya (sudut pandang mereka).
Janganlah setelah menafsirkan dan menguraikan ayat-ayat Allah dan hadits Nabi saw. mengecam dan menyalahkan atau berani mensesatkan/meng- kafirkan kaum muslimin dan para ulama dalam suatu perbuatan karena tidak sepaham dengan madzhabnya. Orang seperti ini sangatlah fanatik dan extreem yang menganggap dirinya paling benar dan faham sekali akan dalil-dalil syari’at, menganggap kaum muslimin dan para ulama yang tidak sependapat dengan mereka, adalah sesat, bodoh dan lain sebagainya. Kami berlindung pada Allah swt., dalam hal tersebut. Allah Maha Mengetahui hamba-Nya yang benar jalan hidupnya. Ingat firman Allah swt. di atas (Al-Isra’[17]: 84 dan An Najm [53]: 32).
Kita boleh mengeritik atau mensalahkan suatu golongan muslimin, bila golongan ini sudah jelas benar-benar menyalahi dan keluar dari garis-garis syari’at Islam. Umpama mereka meniadakan kewajiban sholat setiap hari, menghalalkan minum alkohol, makan babi dan lain sebagainya, yang mana hal ini sudah jelas dalam nash bahwa sholat itu wajib dan minum alkohol dan makan babi itu haram. Jadi bukan mensesatkan, mengkafirkan amalan-amalan sunnah yang baik, seperti berkumpulnya orang untuk berdzikir bersama pada Allah swt. (pembacaan istighothah, yasinan, tahlilan, ziarah kubur dan lain sebagainya), apalagi sampai-sampai menghalalkan darah mereka karena tidak sependapat dengan golongan tersebut, ‘Audzubillahi.
Begitu juga kita boleh mengeritik/mensalahkan suatu golongan muslimin yang meriwayatkan hadits tentang tajsim/penjasmanian atau penyerupaan/tasybih Allah swt. sebagai makhluk-Nya (Umpama; Allah mempunyai tangan, kaki, wajah secara hakiki atau arti yang sesungguhnya), karena semua ini tidak dibenarkan oleh ulama-ulama pakar Islam karena hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah swt. yang mengatakan tidak ada sesuatu- pun yang menyerupai-Nya dan sebagainya, baca surat Asy-Syuura [42]: 11: surat Al-An’aam [6]: 103; dan surat Ash-Shaffaat [37]: 159 dan lain-lain. Dengan demikian perbedaan pendapat antara golongan muslimin yang sudah jelas dan tegas melanggar syari’at Islam, inilah yang harus diselesai- kan dengan baik antara para ulama setiap golongan tersebut. Jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, cela-mencela antara setiap kaum muslimin.
Kami ambil satu contoh: “Pengalaman seorang pelajar di kota Makkah berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra yang suka menyalahkan dan juga mengenyampingkan ulama-ulama lain yang tidak sepaham dengan nya mendatangi seorang ulama yang berpendapat tentang jaiznya/boleh- nya melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat-ayat mutasyabihat/samar seperti ayat: Yadullah fauqo aidiihim (tangan Allah di atas tangan mereka), Tajri bi a’yunina ([kapal] itu berlayar dengan mata Kami) dan lain sebagainya. Ulama yang membolehkan ta’wil itu berpendapat bahwa kata tangan pada ayat itu berarti kekuasaan (jadi bukan berarti tangan Allah swt secara hakiki/sebenarnya) sedangkan kata mata pada ayat ini berarti pengawasan.
Ulama tunanetra yang memang tidak setuju dengan kebolehan menakwil ayat-ayat mutasyabihat di atas itu langsung membantah dan mengajukan argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan menuduh pelakuan takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Qur’an. Ulama yang membolehkan takwil itu setelah didamprat habis-habisan dengan tenang memberi komentar: “Kalau Uaya tidak boleh takwil, maka anda akan buta di akhirat”. Ulama tunanetra itu bertanya: “Mengapa anda mengatakan demikian?”. Dijawab: Bukankah dalam surat al–Isra’ ayat 72 Allah swt berfirman: “Barangsiapa buta didunia, maka di akhirat pun dia akan buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar”.
Kalau saya tidak boleh takwil, maka buta pada ayat ini pasti diartikan dengan buta mata dan tentunya nasib anda nanti akan sangat menyedihkan yakni buta diakhirat karena didunia ini anda telah buta mata (tunanetra). Karena- nya bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang yang membolehkan takwil sehingga kalimat buta pada ayat di atas menurut mereka diartikan dengan: buta hatinya jadi bukan arti sesungguhnya yaitu buta matanya. Ulama yang tunanetra itu akhirnya diam membisu, tidak memberikan tanggapan apa-apa".
Banyak sekali ayat-ayat Ilahi dan perintah Rasulallah saw. agar kita bersangka baik dan tidak mengkafirkan antara sesama muslim, bila ada perbedaan dengan mereka alangkah baiknya jika diselesaikan dengan ber- dialog!
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125: ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Sebagai ummat yang terbaik, kita tentu tidak ingin tercerai berai hanya lantaran berbeda pandangan dalam beberapa masalah yang tidak prinsipil. Kalau kita teliti lebih dalam ajaran-ajaran Islam, maka kita akan temukan persamaan diantara golongan masih jauh lebih banyak daripada perbedaan dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam tersebut. Tapi kenyataan yang terjadi justru perbedaan yang tidak banyak itulah yang sering diperuncing dan ditampakkan sementara persamaan yang ada malah disembunyikan.
Jika perkumpulan (majlis) dzikir dan peringatan keagamaan dilarang, tidak disenangi dan dianggap sebagai perbuatan bid’ah dholalah (sesat), bagai mana dengan majlis yang tanpa di-iringi dengan dzikrullah dan shalawat pada Nabi saw. seperti berkumpulnya kaum muslimin disuatu tempat hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja?
Mari kita perhatikan hadits-hadits Nabi saw. berikut ini:
Rasulallah saw. bersabda: “Lan yadkhula ahadan minkum ‘amaluhul jannata qooluu wa laa anta yang Rasulallah, qoola wa laa anaa illaa an yataghom- madaniyallahu bi fadhlin minhu wa rohmatin”
Artinya: “Tidak ada seorangpun diantara kamu yang akan masuk surga lantaran amal ibadahnya. Para sahabat bertanya: ‘Engkau juga tidak wahai Rasulallah?’ Nabi menjawab: ‘Saya juga tidak, kecuali kalau Allah melimpah kan kepadaku karunia dan rahmat kasih sayang-Nya’ ”. (HR. Muslim)
Juga sabda Nabi saw dalam hadits yang lain:
“Ayyuhan Naas ufsyuu as salaama wa ath’imuu ath tho’aama wa shiluu al arhaama wa sholluu bil laili wan naasu niyaamu tadkhuluu al jannata bi salaamin”
Artinya:“Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambungkanlah hubungan persaudaraan dan dirikanlah sholat ditengah malam niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh keselamatan”.
Memahami hadits di atas ini maka kita akan seharusnya bertanya; ‘Apakah mungkin karunia dan rahmat kasih sayang Allah swt. akan dilimpahkan kepada kita sementara perbedaan yang kecil dalam masalah ibadah sunnah senantiasa kita perbesar dengan saling mengejek, mengolok-olok, men- fitnah, mensesatkan, saling melukai bahkan saling bunuh….?’
Kunci untuk masuk surga tidaklah cukup dengan hanya melakukan shalat tengah malam saja, tapi harus ada upaya untuk menyebarkan salam, memberi bantuan dan menyambung tali persaudaraan. Tanpa adanya tiga upaya ini, maka sebagian kunci surga kita telah terbuang. Bukankah perbedaan paham disikapi dengan saling sesat menyesatkan satu sama lain, sudah tentu, akan mengakibatkan munculnya permusuhan, membikin kesulit an dan memutuskan tali persaudaraan. Menuduh, mengolok-ngolok kaum muslimin dengan tuduhan dan memberi gelar yang sangat buruk seperti bid’ah dholalah, laknat atau syirik ini sama dengan ‘kufur’.
Kalau memang dakwah golongan yang suka mengolok-olok ini senantiasa berdasarkan Al-Qur’an, mengapa mereka melanggar tuntunan Al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat ayat 11 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah satu kelompok mengolok olok kelompok yang lain karena bisa jadi mereka yang diolok-olok itu justru lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Janganlah pula sekelompok wanita mengolok-olok kelompok wanita yang lain karena bisa jadi kelompok wanita yang diolok-olok justru lebih baik dari kelompok wanita yang mengolok-olok. Janganlah kalian mencela sesamamu dan janganlah pula kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jelek sebutan sesudah beriman adalah sebutan ‘fasiq’. Karenanya siapa yang tidak bertobat (dari semua itu), maka merekalah orang-orang yang dzalim”.
Begitu juga kalau dakwah golongan tersebut senantiasa berdasarkan kepada hadits Nabi saw yang shahih, lalu mengapa mereka melanggar beberapa hadits shahih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim:
“Almu’minu lil mu’mini kal bunyaana ya syuddu ba’dhohu ba’dhan”
Artinya: “Seorang mukmin itu terhadap mukmin yang lain adalah laksana bangunan, yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain”
Hadits lainnya riwayat Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar:

اِذَا قَالَ الرَُّجلُ لأِخِهِ: ي َا كَافُِر! فَقَدْ ب َاَء بِهَا أحَُدُهمَا فَاِْن كَاَن
.كَمَا قَالَ وَاِلىَ رََجعَتْ َعلَْيهِ
Artinya: “Barangsiapa yang berkata pada saudaranya ‘hai kafir’ kata-kata itu akan kembali pada salah satu diantara keduanya. Jika tidak (artinya yang dituduh tidak demikian) maka kata itu kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)”.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhori:
“Man syahida an Laa ilaha illallahu was taqbala giblatanaa wa shollaa sholaatana wa akala dzabiihatanaa fa hua al muslimu lahu lil muslimi ‘alaihi maa ‘alal muslimi”
Artinya: “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, menganut kiblat kita (ka’bah), shalat sebagaimana shalat kita, dan memakan daging sembelih an sebagaimana sembelihan kita, maka dialah orang Islam. Ia mempunyai hak sebagaimana orang-orang Islam lainnya. Dan ia mem- punyai kewajiban sebagaimana orang Islam lainnya”.
Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintah kan:
.كُفُّوْا َعنْ أهْلِ (لاَ إَِِلَه إِلاَّ اﻟﻠﻪُ) لاَ تُكَفِّرُوُهْم بِبٍ وَفِى رِوَاَيةٍ َولاَ تُخْرُِجوْهُْم مِنَ الإِْسَلامِ بَِعمَلٍذَْ
“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan: “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal (perbuatan)”.
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasul- Allah saw. bersabda:
رُسْولَ اﻟﻠﻪِ .صَ. ي َقُْولُ: َمنْ َدَعا َرُجلاً بِالكُْفْرِ أْو قَالَ: عَُدوُّ اﻟﻠﻪِ َوليَْسَ كَذَِلكَ َوَعنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اََّ
(أِلاَّ حَاَر َعلَْيهِ(رواه البخاري و مسلم
“Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:
َوَعنْ عِتْبَاَن اْبنِ مَالكٍِ (ر) فِي حَدِْيثِهِ الطَّوِي ْلِ المَْْشُهْورِ اَّلذِي تَقَدََّّمِ فِي َبابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ: قَاَم
النَّبِيّ .صَ. ي ُصَلِّّي فَقَالَ: اَْينَ مَاِلكُُ ْبنُ الدُّخُْشمِ ؟ فَقَالَ َرُجلٌ: ذَالكَِ مُنَافِقٌ, لاَ ي ُحِبُّ اﻟﻠﻪَ َولاَ َرُسولَُه,
فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالكَِ, أَلاَ تَرَاُه قَدْ قَالَ: لاَ اِلََه اِلاَّ اﻟﻠﻪُ ُيرِي ْدُ بِذَالكَِ َوْجَه اﻟﻠﻪِ وَاِنَّ اﻟﻠﻪَ قدْ َحرََّم َعلَي
(النَّاِر َمنْ قَالَ: لاَ اِلََه اِلاَّ اﻟﻠﻪُ ي َْبتَغِي بِذَالكَِ َوْجَه اﻟﻠﻪ (رواه البخاري و مسلم
“Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: ‘Dimanakah Malik bin Adduch-syum’? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: ‘Jangan berkata demikian, tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan ikhlas karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucap kan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah’ ”.
Dari Zaid bin Cholid Aljuhany ra berkata: Rasulallah saw. bersabda;
َعنْ زَْيدِ أْبنِ خَالدٍِ اَلُْجهَنِيَّّ(ر) قاَلَ: قاَلَ َرُسْولُ اﻟﻠﻪِ .صَ . لاَ تَسُبُّوْا
ُه ُيوْقِظُ للِصََّلاةِ (رواه أيو داود ￿ (الدِّي
“Jangan kamu memaki ayam jantan karena ia membangunkan untuk sembahyang”. (HR.Abu Daud).
Binatang yang dapat mengingatkan manusia untuk sholat shubuh yaitu berkokoknya ayam jago pada waktu fajar telah tiba itu tidak boleh kita maki/cela, bagaimana dengan orang yang suka mencela, mensesatkan saudara- nya yang mengadakan majlis dzikir (peringatan maulidin nabi, pembacaan Istighotsah dan sebagainya) yang disana selalu didengungkan kalimat-kalimat ilahi, sholawat pada Nabi saw.. serta pujian-pujian pada Allah swt. dan Rasul-Nya yang semuanya ini tidak lain bertujuan untuk mengingatkan serta mendekatkan diri pada Allah swt. agar menjadi hamba yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya? Pikirkanlah
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah ra telah mendengar Rasulallah saw. bersabda:
ُه سَمَِع النَّبِيَّ.صَ. ي َقُْولُ: أِنَّ العَْبْدَ لََيتَكَلَُّم بِالكَلَِمةِ مَا َيتَبَيَّنُ فِْيهَا ي َزِلُّ بِهَا أِلىَ النَّار ￿ َوَعنْ أبِيْ ُهَرْيَرَة (ر) أَّ
(اَْبعَدَ مِمَّا َبْينَ المَْشرِقِ وَالمَغْرِبِ (رواه البخاري ومسلم
“Sungguh adakalanya seorang hamba berbicara sepatah kata yang tidak diperhatikan, tiba-tiba ia tergelincir ke dalam neraka oleh kalimat itu lebih jauh dari jarak antara timur dengan barat". (HR.Bukhori dan Muslim)
Memahami hadits ini kita disuruh hati-hati untuk berbicara, karena sepatah kata yang tidak kita perhatikan bisa menjerumuskan kedalam api neraka. Nah kita tanyakan lagi, bagaimana halnya dengan seseorang yang sering mensesatkan golongan muslimin yang selalu mengadakan majlis dzikir, peringatan-peringatan agama yang didalam majlis-majlis tersebut selalu dikumandangkan tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan lain sebagainya? Pikirkanlah!
Didalam surat An-Nisaa [4]: 94 artinya; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu ‘Kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya).. sampai akhir ayat.”
Lihat ayat ini dalam waktu perang pun kita tidak boleh menuduh atau mengucapkan pada orang yang memberi salam (dimaksud juga orang yang mengucapkan Lailaaha illallah) sebagai bukan orang mukmin sehingga kita membunuhnya.
Masih banyak riwayat yang melarang orang mencela, mengkafirkan sesama muslimin yang tidak dikemukakan disini. Jelas buat kita dengan adanya ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulallah saw. di atas, kita bisa bandingkan sendiri bagaimana tercelanya orang yang suka menuduh sesat, kafir, syirik terhadap sesama musliminnya yang senang melakukan amalan-amalan kebaikan (diantaranya dzikir bersama, tahlilan, memperingati hari lahir Nabi saw. dan sebagainya) disebabkan mereka tidak sefaham atau sependapat dengan orang ini? Begitu juga orang yang mencela, mensesatkan satu madzhab karena tidak sepaham dengan madzhabnya.
Sebab tuduhan ini sangat berbahaya. Nabi saw. menyuruh agar kita harus berhati-hati dan tidak sembarangan untuk berbicara, yang mana ucapan itu bisa mengantarkan kita ke neraka. Malah perintah Allah swt. (dalam surat Toha ayat 43-44) kepada Nabi Musa dan Harun -‘alaihimassalam- agar mereka pergi keraja Fir’aun yang sudah jelas kafir dan melampaui batas untuk mengucapkan kata-kata yang lunak/halus terhadapnya, barangkali dia (Fir’aun) bisa sadar/ingat kembali dan takut pada Allah swt. Untuk orang kafir (Fir’aun) saja harus berkata halus apalagi sesama muslim. Wallahu a'lam.
Buku dihadapan para pembaca ini menjawab seputar masalah Bid’ah (masalah baru), Tawassul, Tabarruk dan sebagainya yang penulis kutip dan kumpulkan bagian-bagian yang penting saja dari keterangan dan tulisan para ulama. Insya Allah akan lebih jelas bagi kita untuk bisa membedakan bid’ah dholalah yang dilarang dan bid’ah hasanah yang dianjurkan agama.

Kamis, 28 November 2013

Penjelasan Status Hadits Dha'if (LEMAH)


Penjelasan Status Hadits Dha'if

Di kalangan masyarakat awam, penulis melihat adanya kecenderungan menganggap bahwa hadis dha’if (lemah) sebagai hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam melakukan suatu amalan. Hal ini diakibatkan oleh penyebutannya yang seringkali terkesan negatif dan terpisah-pisah (yaitu hanya menyebut kelemahan suatu riwayat hadis tanpa mengkonfirmasikannya dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, yang mungkin dapat mengangkat statusnya dari kelemahan). Padahal, kelemahan suatu riwayat bisa sangat relatif sifatnya, bisa sedikit dan bisa juga banyak. Dan apa yang mungkin tidak diketahui oleh seorang periwayat hadis secara pasti, sangat mungkin diketahui oleh periwayat yang lain, sebagaimana sisi kekuatan suatu riwayat hadis yang diketahui oleh seorang ahli hadis, sangat mungkin tidak diketahui oleh ahli hadis yang lain. Imam Ibnu Katsir menyebutkan:

 وقد نبه الشيخ أبو عمرو ههنا على أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعير الحكم بضعفه في نفسه، إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يروى إلا من هذا الوجه. (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، بيروت، ص. 85)
“Dan Syaikh Abu ‘Amr telah memperingati di sini bahwasanya tidak lazim menghukumi kedha’ifan sanad (jalur riyawat) suatu hadis yang dianggap cacat semata-mata dari hukum dha’ifnya sanad hadis tersebut, dikarenakan ter kadang hadis itu memiliki pensanadan (jalur periwayatan) lain, kecuali bila ada seorang Imam hadis yang menyatakan bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan kecuali hanya melalui jalur ini.“ (Lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, hal. 85).

Pada kitab dan halaman yang sama, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan ungkapan itu dengan penjelasan berikut: 

من وجد حديثا بإسناد ضعيف، فلأحوط أن يقول: “إنه ضعيف بهذا الإسناد”، ولا يحكم بضعف المتن –مطلقا من غير تقييد- بمجرد ضعف ذلك الإسناد، فقد يكون الحديث واردا بإسناد آخر صحيح، إلا أن يجد الحكم بضعف المتن منقولا عن إمام من الحفاظ والمطلعين على الطرق.
“Siapa yang mendapati sebuah hadis dengan pensanadan (jalur periwayatan) yang dha’if, maka yang lebih aman hendaknya ia berkata, ‘sesungguhnya hadis ini dha’if dengan jalur periwayatan ini’, dan matan (redaksi/lafaz) hadis tersebut tidak dihukumi dha’if –secara umum tanpa ikatan— semata-mata karena lemahnya jalur periwayatan tersebut, maka terkadang hadis tersebut datang (diriwayatkan) dengan jalur periwayatan lain yang shahih, kecuali bila ditemukan hukum kedha’ifan matan (redaksi/lafaz)nya yang dinukil dari seorang Imam dari kalangan Huffazh (penghafal hadis) yang meneliti jalan-jalannya (jalur-jalur  periwayatan hadis).     

Penjelasan di atas adalah kelaziman yang harus dilakukan seorang penerima hadis pada saat ia mendapatkan informasi bahwa suatu hadis itu dha’if (lemah), di mana ia tidak serta merta langsung menyatakan hukum dha’if secara mutlak, apalagi menyatakan bahwa hadis dha’iftersebut tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah atau dalil.

Hadis dha’if berbeda dari hadis maudhu’ (palsu). Hadis dha’if tetap harus diakui sebagai hadis, dan menjadikannya sebagai dalil atau dasar untuk melakukan suatu amalan kebaikan yang berkaitan dengan fadha’il al-a’mal (keutamaan amalan) adalah sah menurut kesepakan para ulama hadis. Perhatikan isyarat-isyarat para ulama berikut ini:

مع أنهم أجمعوا على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال (شرح سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 98)
“… sementara mereka (para ahli hadis) telah berijma’ (bersepakat) atas bolehnya mengamalkan hadis dha’if (lemah) di dalam fadha’il al-a’mal (keutamaan amalan)” (lihatSyarh Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 98).

باب التشدد في أحاديث الأحكام والتجوز في   فضائل الأعمال. قد ورد واحد من السلف انه لا يجوز حمل الأحاديث المتعلقة بالتحليل والتحريم الا عمن كان بريئا من التهمة بعيدا من الظنة واما أحاديث الترغيب والمواعظ ونحو ذلك فإنه يجوز كتبها عن سائر المشايخ (الكفاية في علم الرواية، الخطيب البغدادي، ج. 1، ص. 133)
“Bab bersikap ketat pada hadis-hadis hukum, dan bersikap longgar pada fadha’il al-a’mal. Telah datang satu pendapat dari seorang ulama salaf bahwasanya tidak boleh membawa hadis-hadis yang berkaitan dengan penghalalan dan pengharaman kecuali dari orang (periwayat) yang terbebas dari tuduhan, jauh dari dugaan. Adapun hadis-hadis targhib (stimulus/anjuran) dan mawa’izh (nasehat) dan yang sepertinya, maka boleh menulisnya (meriwayatkannya) dari seluruh masyayikh (para periwayat hadis)” (lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, hal. 85).    

قال: ويجوز رواية ما عدا الموضوع في باب الترغيب والترهيب، والقصص والمواعظ، ونحو ذلك، إلا في صفات الله عز وجل، وفي باب الحلال والحرام. (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، ص. 85)
“(Ibnu Katsir) berkata: ‘Dan boleh meriwayatkan selain hadis maudhu’ (palsu) pada bab targhib (stimulus/anjuran) dan tarhib (ancaman), kisah-kisah dan nasehat, dan yang seperti itu, kecuali pada sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla dan pada bab halal & haram”(lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir,Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, hal. 85).

Dan banyak lagi pernyataan-pernyataan ulama hadis tentang hal tersebut yang tidak mungkin disebutkan keseluruhannya di sini.

Kaitannya dengan pembahasan bid’ah adalah bahwa kaum Salafi & Wahabi terkesan mudah mengkategorikan suatu amalan sebagai bid’ah, atau minimal sebagai amalan yang harus dihindari  hanya karena hadis yang dijadikan dalil untuk itu mereka anggap dha’if. Padahal, amalan-amalan yang didasari oleh hadis-hadis dha’if tersebut tergolong  fadha’il al-a’mal (keutamaan amalan) atau furu’ (perkara cabang) yang bukan pokok di dalam penentuan hukum agama. Contohnya, hadis-hadis yang dijadikan dalil untuk menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit. 

Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyatakan:
 واستدلوا على الوصول، وبالقياس على ما تقدم من الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق، فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة، وبالأحاديث الآتي ذكرها، وهي وإن كانت ضعيفة، فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا، وبأن المسلمين ما زالوا في كل عصر، يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من غير نكير، فكان ذلك إجماعا. ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. (شرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور، الحافظ جلال الدين السيوطي، دار الفكر، بيروت، ص. 269)
“Dan mereka (jumhur ulama) mengambil dalil atas sampainya (hadiah pahala kepada mayit), dan dengan qiyas kepada apa yang telah disebutkan daripada do’a, sedekah, puasa, haji, dan memerdekakan budak, maka sesungguhnya tidak ada beda dalam hal memindahkan pahala antara entahkah amalan itu haji, sedekah, wakaf, do’a, atau bacaan al-Qur’an. Dan dengan hadis-hadis yang akan disebutkan, meskipun dha’if, maka semuanya menunjukkan bahwa hal tersebut (menghadiahkan pahala kepada mayit) memiliki asal (landasan di dalam agama), dan bahwa kaum muslimin di setiap masa masih terus berkumpul dan membacakan al-Qur’an untuk mayit-mayit mereka tanpa ada yang mengingkarinya, maka menjadilah hal itu sebagai ijma’. Semua itu telah disebutkan oleh al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali di dalam sebuah juz yang ia tulis tentang masalah tersebut.” (Lihat Syarh al-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur,al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi, Dar el-Fikr, Beirut, hal. 269).

Demikianlah contoh kearifan para ulama hadis dalam menilai dan menyikapi dalil-dalil yang secara zhahir dianggap dha’if. Sayangnya sikap seperti ini tidak ditiru oleh orang-orang yang gemar sekali menuduh bid’ah setiap perkara baru berbau agama. Terkadang bermodalkan sedikit pengetahuan tentang tahqiq al-hadits (penelitian hadis) mereka dengan mudahnya mencampakkan suatu amalan ke dalam keranjang bid’ah sesat hanya karena mereka nilai dalilnya dha’if (lemah).

Ini adalah sebuah masalah yang kerapkali muncul di kalangan para pelajar ilmu hadis, terutama bagi mereka yang baru merasa bisa meneliti hadis sendiri. Yang kemudian menambah masalah tersebut semakin tidak karuan adalah ketika dalam menyebutkan kedha’ifan hadis tersebut, orang-orang tersebut sering mendasarinya dengan penilaian hadis menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani yang kredibilitasnya tidak diakui oleh para ulama hadis, sebagaimana dibahas di artikel sebelumnya