Selasa, 26 November 2013

MENJELASKAN BEBERAPA TEKS MUTASYABIH (SAMAR) DALAM ALQURAN

Menjelaskan Beberapa Teks Mutasyabih Dalam Al-Qur’an
Diantaranya adalah sebagai berikut;

  • Pertama:Firman Allah:

ويبقَى وجه ربك (الرحمن: 27 ) / يريدونَ وجهه (الأنعام : 52 )، كُلّ شىءٍ
( هالك إلا وجهه (القصص: 88 )، يريدونَ وجه الله (الروم: 38
[Ayat-ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya yang
mengatakan seakan Allah memiliki anggota badan; wajah atau
muka].
Para ahli tafsir berkata: ”Makna ” ويبقى وجه ربك ”; artinya ” ويبقى ربك ”; ”Dan
Tuhanmu (Allah) maha kekal”. Demikian pula pemahaman firman Allah yang senada dengan ayat di atas, firman-Nya: ” يريدون وجهه ”; para ahli tafsir berkata: ”Artinya ” ;”يريدونه ”Mereka bertujuan ikhlas karena Allah”. Sementara Imam ad-Dlahhak dan Abu Ubaidah menafsirkan firman Allah ” كل شىء هالك إلا وجهه ”; artinya ” إلا هو ”; ”Segala sesuatu akan punah kecuali Allah”.
Kaum Musyabbihah; di antaranya pemuka-pemuka mereka tiga orang yang telah kita sebutkan di atas, berpendapat bahwa ”al-Wajh” pada hak Allah adalah sebagai sifat-Nya yang merupakan bagian dari Dzat-Nya. Entah dari mana mereka menyimpulkan pemahaman sesat seperti ini, yang jelas mereka tidak memiliki argumen untuk itu; dan argumen apapun yang mereka kemukakan pasti berangakat dari pemahaman indrawi,
karena itulah mereka mengatakan bahwa al-Wajh adalah bagian dari Dzat-Nya. [Artinya Mereka menetapkan makna al-Wajh sebagai bagian dan dan atau anggota badan bagi Allah]. Padahal dengan dasar pemahaman sesat seperti ini maka berarti mereka
mengartikan ayat di atas dengan: ”Segala sesuatu akan punah; termasuk Dzat Allah, dan yang kekal hanyalah wajah-Nya saja”. Na’ûdzu billâh.
Sementara Ibnu Hamid berkata: ”Kita menetapkan wajah (muka) bagi Allah,
tetapi kita tidak menetapkan kepala bagi-Nya”.
Aku (Ibnul Jawzi) katakan: ”Ucapan Ibnu Hamid ini benar-benar telah
menjadikan badanku merinding. Sangat jelas apa yang diungkapkannya ini merupakan akidah tasybîh yang menyesatkan. Dengan ungkapannya semacam ini nyatalah bahwa ia telah menetapkan bagian-bagian dan anggota-anggota badan bagi Allah walaupun ia tidak menetapkan kepala bagi-Nya”.


  • Ke Dua:

 Firman Allah:
ولتصنع علَى عينِي (طه: 39 )، واصنع الفُلْك بأعينِنا (هود: 37 ) / تجرِي
( بأعيننا (القمر: 14 )، فَإنك بأعيننا (الطور: 48
[Ayat-ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya yang
mengatakan seakan Allah memiliki anggota badan; mata. Makna
zahirnya ayat-ayat ini seakan mengatakan bahwa Allah memiliki
satu mata, dua mata, dan atau banyak mata].
Semua yang dimaksud dari ayat-ayat semacam ini [artinya penyandaran kata
”’Ain” ” عين ” kepada Allah; bukan dalam pengertian bahwa Allah memiliki anggota mata] tetapi dalam pengertian bahwa perkara tersebut ”dilihat oleh Allah” [artinya dipelihara dan dijaga oleh-Nya]”. Adapun dalam beberapa ayat diungkapkan dalam bentuk jamak; ”Kami” [seperti pada kata ” بأعيننا ”] adalah karena dalam bahasa Arab penggunaan ungkapan semacam ini biasa dipakai, misalkan seorang raja berkata: ” أمرناونهينا ”; ”Perintah kami dan larangan kami”, [Di antara tujuan ungkapan jamak; ”kami”semacam ini adalah untuk menunjukkan keagungan dan kemuliaan].
Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim berpendapat bahwa ”’Ain” pada hak
Allah adalah sifat-Nya yang merupakan bagian dari Dzat-Nya [Sama persis dengan apa yang diyakini oleh Ibnu Hamid di atas]. Sebenarnya akidah tasybîh sesat Abu Ya’la ini telah didahului oleh orang sebelumnya, yaitu orang bernama Abu Bakr bin Khuzaimah. Dalam memahami ayat-ayat di atas Ibn Khuzaimah berkata: ”Tuhan kita memiliki dua
mata yang dengan kedua matanya tersebut Dia melihat”. Sementara itu Ibnu Hamid berkata: ”Wajib beriman bahwa Allah memiliki dua mata”.
Ungkapan-ungkapan semacam itu jelas merupakan bid’ah, dan mereka tidak akan memiliki argumen untuk dijadikan alasan bagi pemahaman sesat tersebut. Mereka menyimpulkan bahwa Allah memiliki dua mata hanya karena didasarkan kepada makna zahir hadits Nabi: ” ليس بأعور ”, [makna zahir hadits ini mengatakan ”Allah tidak buta”]
padahal yang dimaksud hadits tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa Allah maha suci dari segala bentuk kekurangan, cela dan aib, sedikitpun bukan untuk menetapkan bahwa Allah memiliki anggota-anggota badan dan atau memiliki bagian-bagian. Seorang yang berkeyakinan tanzîh maka dia akan paham bahwa al-’ain pada hak Allah yang dimaksud bukan sebagai anggota badan dan bukan sebagai bagian dari Dzat-Nya [karena Allah maha suci dari bagian-bagian].


  • Ke Tiga:

 Firman Allah:
لما خلقت بيدي (ص: 75 ) / يد الله فَوق أيديهم (الفتح: 10 )، بلْ يداه
مبسوطَتان (المائدة: 64 )، بيده ملكُوت كُلّ شىء (يس: 83 )، بيدك الْخير
( (ءال عمران: 26 )، والسماءَ بنيناها بأيد (الذاريات: 47
[Ayat-ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya yang
mengatakan seakan bahwa Allah memiliki anggota badan; tangan.
Makna zahir ayat-ayat ini seakan mengatakan bahwa Allah
memiliki satu tangan, dua tangan, dan atau tangan yang sangat
banyak].Kata al-yad ” اليد ” dalam bahasa Arab memiliki makna yang sangat banyak, di antaranya dalam makna an-Ni’mah wa al-Ihsân ” النعمة والإحسان ”, artinya; ”Karunia (nikmat) dan kebaikan”. Adapun makna perkataan orang-orang Yahudi dalam firman Allah: Yadullâh Maghlûlah ” يد لله مغلولة ” adalah dalam makna Mahbûsah ’An an-Nafaqah محبوسة عن النفقة” ”, artinya menurut orang-orang Yahudi Allah tidak memberikan karunia dan nikmat, [bukan arti ayat tersebut bahwa Allah memiliki tangan yang terbelenggu].
Makna lainnya, kata al-yad dalam pengertian ”al-Quwwah”, ” القوة ” ; artinya
”Kekuatan atau kekuasaan”. Orang-orang Arab biasa berkata: ”Lahû Bi Hadzâ al-Amr Yad”, ” له بهذا الأمر يد ”, artinya: ”Orang itu memiliki kekuatan (kekuasaan) dalam urusan ini”. Firman Allah: ” بل يداه مبسوطتان ”; yang dimaksud adalah dalam pengertian ini, artinya bahwa nikmat dan kekuasaan Allah sangat luas [bukan artinya bahwa Allah memiliki dua tangan yang sangat lebar].
Demikian pula firman Allah tentang penciptaan Nabi Adam: ” لما خلقت بيدي ”; juga
dalam pengertian bahwa Allah menciptakan Nabi Adam dengan kekuasaan-Nya dan dengan karunia dari-Nya. Kemudian pula diriwayatkan dari Imam al-Hasan dalam tafsir firman Allah: ” يد لله فوق أيديهم ”; beliau berkata: ”Kata ” يد ” di sini yang dimaksud adalah karunia dan nikmat Allah”. Inilah penafsiran-panafsiran dari para ulama Ahli Tahqîq.
Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la berkata: ” اليدان adalah bagian dari sifat Dzat
Allah”. [Artinya ia menetapkan bahwa Dzat Allah memiliki anggota-anggota badan yang memiliki bagian-bagian]. Na’ûdzu billâh.
Apa yang diungkapkan oleh Abu Ya’la ini adalah pendapat sesat yang sama sekali tidak memiliki argumen dan hanya didasarkan kepada hawa nafsu belaka. Dalam alasannya yang sangat lemah dia berkata: ”Sendainya Nabi Adam tidak memiliki keistimewaan tentu Allah tidak akan mengungkapkan dengan kata ” اليد ” dalam penciptaannya. Allah mengungkapkan dengan kata ”Bi Yadayya” diartikan dalam makna kekuatan atau kekuasaan maka berarti Nabi Adam tidak memiliki keistimewaan dibanding makhluk hidup lainnya; oleh karena semua makhluk diciptakan dengan kekuatan dan kekuasaan Allah, dan tentunya tidak akan diungkapkan dalam
redaksi ”mutsannâ” (bentuk kata untuk menunjukan dua)”. [Dengan argumen ini Abu Ya’la hendak menetapkan bahwa Allah memiliki dua tangan].
Kita jawab kesesatan Abu Ya’la ini: ”Tidak demikian wahai Abu Ya’la. Dalam
bahasa Arab bentuk kata mutsannâ biasa dipakai untuk mengungkapkan kekuatan dan kekuasaan, seperti bila dikatakan: ” ليس لي بهذا الأمر يدان ”; artinya ”Saya tidak memiliki kekuatan untuk mengurus perkara ini”. Dalam sebuah bait sya’ir, Urwah bin Hizam berkata:
فَقَالا شفَاك اللهُ والله ما لنا بِما ضمت منك االضلوع يدان
[Artinya: ”Mereka berdua berkata: ”Semoga Allah
memudahkannya bagimu, karena demi Allah kami tidak memiliki
kekuatan (kekuasaan) untuk memudahkan segala kesulitan yang
tengah menimpamu”].
Adapun perkataan kaum Musyabbihah bahwa penggunaan kata ”ﺍﻟﻴﺪﺍﻥ” [dalam 
bentuk mutsannâ] dalam penciptaan Nabi Adam yang langsung disandarkan kepada  Allah [yaitu menjadi ”Bi Yadayya” ” ”] adalah untuk mengungkapkan keistimewaan,artinya bahwa penciptaan Nabi Adam ini berbeda dengan penciptaan Allah terhadap 
binatang-binatang yang lain; kita jawab kesesatan mereka ini bahwa dalam al-Qur’an  Allah berfirman: ﺃﻧﺎ ﺧﻠﻘﻨﺎ ﻟﻬﻢ ﻣﻤﺎ ﻋﻤﻠﺖ ﺃﻳﺪﻳﻨﺎ ﺃﻧﻌﺎﻣﺎ (ﻳﺲ: 71
Dalam ayat ini dipakai kata ”ﺃﻳﺪﻳﻨﺎ” [bentuk jamak] yang langsung disandarkan kepada  Allah. Ayat ini tidak untuk menunjukan bahwa binatang-binatang ternak memiliki keistimewaan di atas seluruh binatang lainnya hanya karena redaksi penciptaannya dengan kata ”ﺃﻳﺪﻳﻨﺎ” yang langsung disandarkan kepada Allah. [Apakah hanya dengan 
alasan bahwa penciptaan Nabi Adam dan binatang-binatang ternak disandarkan langsung kepada Allah lalu kemudian keduanya memiliki keistimewaan yang sama?!]. Kemudian dari pada itu, Allah berfirman:
ﻭﺍﻟﺴﻤﺎﺀَ ﺑﻨﻴﻨﺎﻫﺎ ﺑﺄﻳﺪ (ﺍﻟﺬﺍﺭﻳﺎﺕ: 47
[Dalam ayat ini dipergunakan kata ” 
ٍ”; bentuk jamak dari ”ﻳﺪ”.  Ayat ini tidak boleh dipahami makna zahirnya yang mengatakan seakan Allah memiliki anggota badan; tangan yang sangat 
banyak].  Makna “ ” dalam ayat ini adalah “ﺓ
ّ”, artinya “kekuatan”, dengan demikian makna 
ayat tersebut: ”Dan langit telah Kami (Allah) membangunnya(menciptakannya) dengan kekuatan”. [Dalam ayat ini disebutkan penciptaan langit dengan kata “ﺑﺄﻳﺪ ﺑﻨﻴﻨﺎﻫﺎ” yang 
disandarkan langsung kepada Allah; ini tidak serta-merta bahwa langit memiliki keistimewaan yang sama dengan Nabi Adam. Dengan demikian menjadi jelas bahwa redaksi ” 
” (bentuk mutsannâ) dalam penciptaan Nabi Adam bukan untuk menetapkan 
bahwa Allah memiliki dua tangan]. Adapun tentang penciptaan Nabi Adam yang diungkapkan dengan redaksi; ” ﻓﻴﻪ ﻧﻔﺦ
ﺭﻭﺣﻪ ﻣﻦ”; adalah untuk tujuan pemuliaan [artinya penyandaran secara langsung kepada Allah di sini disebut dengan Idlâfah at-Tasyrîf; bahwa penciptaan Nabi Adam sangat dimuliakan oleh Allah], ini berbeda dengan penciptaan makhluk lainnya yang diungkapkan dengan “al-Fi’l wa at-Takwîn”, “ﻭﺍﻟﺘﻜﻮﻳﻦ ﺍﻟﻔﻌﻞ” [artinya disebutkan dengan proses penciptaan; tanpa langsung disandarkan kepada Allah]. Firman Allah tentang penciptaan Nabi Adam ini (QS. Shad: 75) harus dipahami demikian, tidak boleh dipahami bahwa Allah memiliki anggota badan; memiliki dua anggota tangan, karena pemahaman seperti ini jelas tidak sesuai bagi keagungan Allah. 
Sesungguhnya Allah dalam perbuatan-Nya tidak membutuhkan kepada peralatan- peralatan, dan tidak membutuhkan kepada anggota-anggota badan; Allah maha suci dari itu semua. Sangat tidak layak bagi kita untuk mencari-cari pemahaman tentang kemuliaan 
penciptaan Nabi Adam lalu kita melalaikan kesucian Allah dengan menetapkan anggota tangan bagi-Nya, padahal Allah maha suci dari bagian-bagian dan maha suci dari alat-alat (anggota-anggota badan) dalam segala perbuatan-Nya, karena sifat-sifat yang demikian itu adalah sifat-sifat benda. Yang sangat parah dan mengherankan salah satu dari tiga orang pemuka akidah 
tasybîh yang kita sebutkan di atas berkeyakinan bahwa Allah besentuhan; dengan dasar akidah sesat ini ia mengatakan bahwa Allah dengan tangan-Nya menyentuh tanah yang merupakan bahan bagi penciptaan Nabi Adam. Lalu orang ini mengatakan bahwa tangan- Nya tersebut adalah bagian dari Dzat-Nya. Na’ûdzu billâh.
 Siapapun yang berakidah tasybîh semacam ini jelas berkeyakinan bahwa Allah sebagai benda (jism); dan itu artinya --dengan dasar keyakinan buruk seperti ini-- bahwa Allah menyatu (bersentuhan) dengan 
tanah yang merupakan bahan bagi penciptaan Nabi Adam, dan setelah bersentuhan dengan tanah lalu Allah mulai menciptakan Nabi Adam; adakah dapat diterima akal sehat pemahaman semacam ini padahal jelas merupakan perkara indrawi?! Adakah dalam keyakinan mereka bahwa Allah memiliki jarak; artinya jauh dari tanah tersebut, dan lalu Allah butuh untuk mendekat kepadanya?! Na’ûdzu billâh. Allah sendiri telah membantah 
orang yang berkeyakinan proses penciptaan Nabi Adam semacam ini dengan firman-Nya:ﺇﻥ ﻣﺜﻞ ﻋﻴﺴﻰ ﻋﻨﺪ ﺍﷲ ﻛﻤﺜﻞ ﺀﺍﺩﻡ ﺧﻠﻘﻪ ﻣﻦ ﺗﺮﺍﺏ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﻟﻪ ﻛﻦ ﻓﻴﻜﻮﻥ (ﺀﺍﻝ 
ﻋﻤﺮﺍﻥ: 59) [Maknanya: “Sesungguhnya perumpamaan Nabi Isa bagi Allah 
sebagaimana Nabi Adam; Dia (Allah) menciptakan Nabi Adam 
dari tanah kemudian mengatakan bagi tanah: “Jadilah”30, maka 
terjadilah”. (QS. Ali Imran: 59] 


  • Ke Empat:

 Firman Allah:
ويحذّركُم اللهُ نفْسه (ءال عمران: 28 ) ، تعلَم ما في نفْسِي ولا أعلَم ما في
( نفْسِك (المائدة: 116
[Ayat-ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya yang
seakan mengatakan bahwa Allah memiliki jiwa, raga, tubuh, atau
fisik].Makna “nafs”, “ نفس ” pada ayat-ayat di atas bukan dalam pengertian bahwa Allahmemiliki jiwa, raga atau tubuh (fisik). Para ahli tafsir berkata: “ ويحذركم لله نفسه ” artinya:“Wa Yuhadz-dzirukumullâh Iyyâh”, “ ويحذركم لله إياه ”; maksudnya: “Allah mengingatkankalian supaya kalian takut terhadap-Nya” [bukan maknanya supaya kalian takut kepada jiwa dan raga Allah].
Adapun makna perkataan Nabi Isa kepada Allah (QS. Al-Ma’idah: تعلم ما في “ :( 116نفسي ولا أعلم ما في نفسك ” ; artinya “Ta’lamu Mâ ‘Indî Wa Lâ A’lamu Mâ ‘Indak”, “ تعلم ماعندي ولا أعلم ما عندك ” ; maksudnya: “Engkau (Wahai Allah) mengetahui segala apa yang ada pada diriku, sementara aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu” [bukan artinya;“Aku tidak mengetahui yang ada pada jiwa dan raga-Mu”].
Jadi penyebutan kata “nafs” dalam ayat di atas dengan disandarkan kepada Allah yang dimaksud adalah Dzat Allah; bukan dalam  pengertian bahwa Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan raga31. Berbeda dengan pendapat Abu Ya’la yang mengatakan bahwa Allah memiliki “nafs” yang ia artikan sebagai tubuh yang merupakan bagian dari Dzat-Nya. Pendapat seperti ini jelas tidak memiliki landasan kecuali di atas paham tasybîh, dengan ini Abu Ya’la telah menjadikan Allah sebagai bagian-bagian yang
memiliki susunan-susunan; ia menjadikan Dzat sebagai sesuatu yang lain, lalu kata“nafs” ia pahami sebagai sesuatu yang lain pula yang merupakan bagian dari Dzat-Nya.

  • Ke Lima:
  •  Firman Allah:

( لَيس كَمثْله شيءٌ (الشورى: 11
Secara literal makna ayat ini ialah: “Tidak ada suatu apapun yang seperti
keserupaan-Nya”, jadi seakan Allah memiliki keserupaan (mitsl) [dan mitsl itulah yang tidak memiliki keserupaan]. Padahal yang dimaksud oleh ayat ini bukan pemahaman rusak semacam itu, tetapi makna yang benar, sebagaimana dipahami dan dijelaskan oleh para ahli bahasa, adalah bahwa kata “ مثل ” dalam penggunaan bahasa seperti ini
menduduki “sesuatu yang sedang dibicarakan” [dalam hal ini Allah]. Dalam bahasa Arab bila dikatakan; “ar-Rajul Mitslî Lâ Yukallim Mitslak”, “ الرجل مثلي لا يكلم مثلك ” ; maka maknanya “Orang seperti saya tidak akan berbicara dengan orang sepertimu”; bukan artinya untuk menetapkan bahwa ada orang yang menyerupai saya dan ada orang yang menyerupai kamu, lalu dua orang yang serupa dengan saya dan kamu itu tidak saling berbicara, tetapi ungkapan semacam ini untuk menegaskan bahwa saya tidak akan
berbicara denganmu.
Demikian pula dengan ayat di atas; sama sekali bukan untuk menetapkan adanya keserupaan (mitsl) bagi Allah, tetapi untuk menegaskan bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan bahwa tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya.

  • Ke Enam:

 Firman Allah:
( يوم يكْشف عن ساقٍ (القلم: 42
[Ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya yang seakan
mengatakan bahwa Allah memiliki betis (bagian dari kaki) dan bahwa Allah akan membuka betis-Nya tersebut. Pemahaman seperti ini jelas menyesatkan].
Makna yang benar sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama bahwa yang
dimaksud “Sâq”, “ ساق ” dalam ayat ini adalah “asy-Syiddah”, “ الشدة ”, artinya “kesulitan yang sangat dahsyat”; dengan demikian makna ayat tersebut adalah: “Hari di mana kesulitan yang sangat dahsyat akan diangkat (dihilangkan)”. Penggunaan kata seperti ini biasa dipakai dalam bahasa Arab, seperti dalam sebuat bait sya’ir;
وقَامت الْحرب علَى ساقٍ
[Artinya: “Peperangan terjadi dengan sangat dahsyat”].
Dalam bait sya’ir lainnya mengatakan:
وأنْ شمرت عن ساقها الْحرب شمرا
[Artinya: “Bahwa peperangan telah menyingsingkan
kedahsyatannya”, artinya peperangan tersebut terjadi dengan
sangat dahsyat. Kata “ ساق ” di sini berarti “ شدة ”, artinya “dahsyat”].
Ibnu Qutaybah berkata: “Dasar penggunaan kata “Sâq” dalam makna ini adalah karena bila seseorang tengah menghadapi urusan yang besar dan dahsyat maka ia membutuhkan kepada kekuatan tekad dan kesungguhan dalam menghadapinya, lalu ia menyingsingkan celananya hingga nampak betisnya, dari sini kemudian kata “Sâq” dalam bahwa Arab biasa dipergunakan (dipinjamkan) untuk mengungkapkan tentang
adanya kesulitan yang sangat dahsyat” [dalam Istilah Ilmu Balaghah disebut Majâz Isti’ârah].
Dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih
masing-masing menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ عز وجلّ يكْشف عن ساقه (راه البخاري ومسلم)
Penyandaran (Idlâfah) kata “Sâq” dalam hadits ini bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah memiliki betis, tapi Idlâfah di sini dimaksudkan untuk mengungkapkan bahwa Allah akan menghilangkan atau mengangkat segala kesulitan yang sangat dahsyat di di
hari kiamat kelak dari orang-orang mukmin. Dan makna “Yaksyifu”, “ يكشف ” artinya“Yuzîlu”, “ يزيل ”; artinya mengangkat atau menghilangkan.
Diriwayatkan bahwa Sa’id ibn Jabir sangat marah terhadap orang yang
memahami firman Allah dalam QS. al-Qalam: 42 di atas dalam makna literalnya, lalu beliau berkata: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah terangkatnya segala kesulitan yang sangat dahsyat di saat itu”.
Sementara pendapat lainnya; dari Abu Amr az-Zahid menyebutkan bahwa kata
“Sâq” biasa pula dipergunakan dalam makna “nafs” [secara hafiyah kata “nafs” pada hak manusia atau makhluk bermakna raga, tubuh, atau fisiknya. Adapun kata “nafs”pada hak Allah dalam makna Dzat-Nya, artinya Hakekat-Nya; bukan dalam makna raga,tubuh atau fisik). Kata “Sâq” dalam makna “nafs” ini seperti perkataan sahabat Ali ibn Abi Thalib saat beliau memerangi kaum Khawarij:
لا بد من محاربتهِم ولو تلفَت ساق
[Artinya: “Saya pasti memerangi mereka (kaum Khawarij)
sekalipun harus hancur raga (tubuh dan fisik) saya”].
Adapun kata “Sâq” dalam makna “nafs” pada hak Allah adalah dalam pengertian Dzat-Nya (Hakekat-Nya), dengan demikian maka makna ayat dalam QS. Al-Qalam: 42 di atas adalah bahwa kelak di hari kiamat Dzat Allah akan dilihat [oleh orang-orang mukmin penduduk surga dengan tanpa tempat, tanpa arah, dan tanpa disifati dengan sifat-sifat
benda]. Dalam makna ini sesuai dengan sebuah hadits diriwayatkan dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah bersabda:
يكْشفلَهم الْحجاب فَينظُرون إلَى اللهِ عز وجلّ فَيخرون للهِ سجدا ويبقَى
أقْوام في ظُهورهم مثْلُ صياصي البقَر يريدون السجود فلا يستطيعون، فذلك
قولُه تعالَى (يوم يكْشف عن ساقٍ ويدعونَ إلَى السجود فلا يستطيعون)
[Artinya: “Nanti hijab akan dibuka bagi mereka, maka mereka
akan melihat kepada Allah, maka mereka turun bersujud. Tersisa
beberapa kaum yang di pundak mereka terdapat semacam punukpunuk
sapi, mereka hendak sujud namun mereka tidak mampu
melakukannya. Peristiwa itulah yang dimaksud dengan firman
Allah: “ يوم يكشف عن ساق ويدعون إلى السجود فلا يستطيعون ”, artinya: “Di
hari itu akan diangkat segala kesulitan dan kesusahan yang sangat
dahsyat, mereka diseru untuk sujud namun mereka tidak mampu melakukannya”].

Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim memahami kata “Sâq” dalam makna makna literalnya, ia berkeyakinan bahwa Allah memiliki betis, karena itulah ia  mengatakan bahwa “Sâq” adalah bagian dari sifat Dzat-Nya. Pemahaman sesatnya ini sama persis dengan pemahamannya tentang makna “al-Qadam”, “ﺍﻟﻘﺪﻡ”, ia pahami secara literal, ia mengatakan bahwa Allah memiliki telapak kaki yang diletakan di dalam neraka. 
Dalam pemahaman sesatnya ini ia mengutip riwayat tidak benar bahwa menurutnya sahabat Abdullah ibn Mas’ud berkata: “Allah membuka betis kaki kanan-Nya hingga kemudian mengeluarkan sinar yang menerangi bumi”. 
 Aku (Ibnul Jawzi) katakan: “Pemahaman literal Abu Ya’la tentang makna “Sâq” dan makna “Qadam” ini murni merupakan keyakinan tasybîh (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Dan apa yang ia sebutkan dari perkataan sahabat Abdullah ibn Mas’ud adalah bohong besar dan sangat mustahil. Tidak boleh menetapkan suatu sifat 
bagi Allah dengan riwayat palsu semacam ini. Juga tidak boleh diyakini bahwa Dzat Allah sebagai sinar atau cahaya yang menerangi bumi [karena bila demikian maka apa  bedanya dengan matahari, bulan, bintang dan lainnya yang notabene makhluk-Nya?!]. 
Adapun argumen Abu Ya’la yang mengatakan bahwa penyandaran kata “Sâq” kepada  Allah memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki betis [artinya menurut Abu Ya’la teks ini tidak boleh ditakwil]; adalah pendapat bodoh yang tidak berdasar. Sesungguhnya dalam penggunaan bahasa jika dikatakan: “Kasyafa ‘An Syiddatih”, “ﻪ
” maka maknanya sama saja dengan jika dikatakan: “Kasyafa ‘An Sâqih”, “ﺳﺎﻗﻪ ﻋﻦ ﻛﺸﻒ”. Orang- orang Musyabbih semacam Abu Ya’la ini tidak memahami penggunaan bahasa; ia memahami makna “Yaksyifu” “ﻳﻜﺸﻒ” dalam makna “Yazh-haru” “ﻳﻈﻬﺮ” [yang berarti 
“nampak”], padahal makna “ﻳﻜﺸﻒ” di sini adalah “Yuzîlu Wa Yar’fa” “ﻭﻳﺮﻓﻊ ﻳﺰﻳﻞ” ; 
artinya menghilangkan dan mengangkat. 
 Sementara Ibnu Hamid al-Mujassim berkata: “Wajib beriman bahwa Allah 
memiliki betis yang merupakan bagian dari Dzat-Nya, dan siapapun yang mengingkari kebenaran ini maka ia telah menjadi kafir”. 
 Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Seorang awam saja jika berkata-kata seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Hamid di atas sangatlah buruk, maka tentu lebih buruk lagi jika orang yang berkata demikian itu seorang yang dianggap berilmu. Sesungguhnya seorang yang memahami teks-teks semacam ini dengan takwil jauh lebih dapat ditoleransi dan dibenarkan, karena pada dasarnya seorang yang memberlakukan takwil telah 
mengembalikan pemahaman-pemahaman teks kepada dasar penggunaan bahasa, sementara mereka, orang-orang Musyabbih semacam Abu Ya’la dan Ibnu Hamid, menetapkan anggota-anggota badan bagi Allah, seperti pemahaman literal mereka terhadap makna “Sâq” dan makna “Qadam”. Pemahaman mereka semacam ini jelas 

berkesimpulan bahwa Allah sebagai benda yang memiliki bentuk”. 

  • Ke Tujuh:
  •  Firman Allah:

  • ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ (ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ: 54)، / ﺛﻢ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ (ﻳﻮﻧﺲ: 
  • 3)، ﺛﻢ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ (ﺍﻟﺮﻋﺪ: 2)، ﺛﻢ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ (ﺍﻟﻔﺮﻗﺎﻥ
    • 59)، ﺛﻢ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ (ﺍﻟﺴﺠﺪﺓ: 4)، ﺛﻢ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ (ﺍﺪﻳﺪ
    • 4)، ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ (ﻃﻪ: 5)

    Imam al-Khalil ibn Ahmad [ahli bahasa terkemuka; guru Imam Sibawaih] 
    berkata: “Makna al-‘Arsy “ﺍﻟﻌﺮﺵ” adalah as-Sarîr “ﺍﻟﺴﺮﻳﺮ”; artinya ranjang [atau 
    singgasana]. Setiap ranjang atau singgasana yang ditempati oleh seorang raja secara bahasa disebut dengan arsy. Penggunaan kata “‘Arsy” dalam bahasa Arab sangat dikenal, baik di masa jahiliyah maupun setelah kedatangan Islam. Dalam al-Qur’an penggunaan 
    kata arsy di antaranya dalam firman Allah:
    ﻭﺭﻓﻊ ﺃﺑﻮﻳ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻭﺧﺮﻭﺍ ﻟﻪ ﺳﺠﺪﺍ (ﻳﻮﺳﻒ: 100
    [Maknanya: “Dan Nabi Yusuf menaikan kedua ibu bapaknya 
    (Nabi Ya’qub) ke atas arsy (singgasana), dan mereka semua turun 
    baginya bersujud]” (QS. Yusuf: 100) 

     Juga dalam firman-Nya tentang perkataan Nabi Sulaiman:
    ﻗﺎﻝ ﻳﺎﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻤﻸ ﺃﻳﻜﻢ ﻳﺄﺗﻴﻨﻲ ﺑﻌﺮﺷﻬﺎ (ﺍﻟﻨﻤﻞ: 38
    [Maknanya: “Nabi Sulaiman berkata: Wahai pembesar-pembesar 
    siapakah di antara kalian yang dapat mendatangkan arsy-nya 
    kepadaku? (yang dimaksud mendatangkan singgasana Ratu 
    Bilqis)]”. (QS. An-Naml: 38 ). 
     Ketahuilah, kata Istawâ “ﺍﺳﺘﻮﻯ” dalam bahasa Arab memiliki berbagai macam 
    arti, di antaranya bermakna I’tadala “ﺍﻋﺘﺪﻝ”; artinya “sama sepadan”. Dalam makna ini sebagian kabilah Bani Tamim berkata: ﻓﺎﺳﺘﻮﻯ ﻇﺎﻟﻢ ﺍﻟﻌﺸﻴﺮﺓ ﻭﺍﻟﻤﻈﻠﻮﻡ
    [Artinya “Menjadi sama antara orang yang zalim dari kaum 
    tersebut dengan orang yang dizaliminya”. Kata Istawâ dalam bait 
    sya’ir ini artinya “sama sepadan”]. 
      Kata Istawâ dapat pula bermakna tamma “ ” ; artinya sempurna. Dalam makna ini seperti firman Allah tentang Nabi Musa:ﻭﻟﻤﺎ ﺑﻠﻎ ﺃﺷﺪﻩ ﻭﺍﺳﺘﻮﻯ ﺀَﺍﺗﻴﻨﺎﻩ ﺣﻜﻤﺎ ﻭﻋﻠﻤﺎ (ﺍﻟﻘﺼﺺ: 14
    [”Ketika dia (Nabi Musa) telah mencapai kekuatannya dan telah 
    sempurna Kami (Allah) berikan kepadanya kenabian dan ilmu”]. (QS. Al-Qashash: 14). 
      Kata Istawâ dapat pula bermakna al-Qashd Ilâ asy-Syai’ “ﺍﻟﺸﻰء ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﺼﺪ” artinya;  bertujuan terhadap sesuatu. Dalam makna ini seperti firman Allah:
    ﺛﻢ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ (ﻓﺼﻠﺖ: 11
    [Yang dimaksud Istawâ dalam ayat ini ialah qashada “ﻗﺼﺪ”, artinya 
    bahwa Allah berkehendak (bertujuan) untuk menciptakan langit]. 
     Kata Istawâ dapat pula dalam makna al-Istîlâ’ ‘Alâ asy-Syai’ “ﺍﻟﺸﻰء ﻋﻠﻰ ﺍﻻﺳﺘﻴﻼء” 
    artinya; menguasai terhadap sesuatu. Dalam makna ini sebagaimana perkataan seorang penyair: ﺇﺫﺍ ﻣﺎ ﻏﺰﺍ ﻗﻮﻣﺎ ﺃﺑﺎﺡ ﺣﺮﻳﻤﻬﻢ ﻭﺃﺿﺤﻰ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻣﻠﻜﻮﻩ ﻗﺪ ﺍﺳﺘﻮﻯ
    [Maknanya: “Apa bila ia memerangi suatu kaum maka ia 
    mendapatkan kebolehan atas sesuatu yang terlarang dari mereka, 
    dan jadilah ia terhadap apa yang mereka miliki telah menguasai”]. 
     Isma’il bin Abi Khalid ath-Tha’i meriwayatkan bahwa arsy adalah yaqut yang 
    berwarna merah. Para ulama Salaf memahami ayat ini sebagaimana datangnya [dalam teks-teks syari’at] tanpa memberlakukan tafsir dan takwil terhadapnya. Sementara itu ada golongan yang datang belakangan (al-Muta’akhirîn) yang memahami ayat ini dalam makna indrawi [yaitu kaum Musyabbihah]. Di antara mereka ada yang menambahkan kata “Dzat” “ﺫﺍﺕ” ; mereka berkata: “Istawâ ‘Alâ ‘Arsyihi Bi 
    Dzâtih” “ﺑﺬﺍﺗﻪ ﻋﺮﺷﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﺘﻮﻯ” [ini ungkapan sesat hendak mengatakan bahwa Allah dengan Dzat-Nya bertempat di arsy]. Padahal tambahan kata tersebut dari mereka sendiri, 

    karena tidak ada riwayat dari siapapun yang menyebutkan redaksi demikian. Tambahan redaksi ini tidak lain hanya datang dari pemahaman indrawi mereka, dalam hal ini mereka berkata: “al-Mustawî ‘Alâ asy-Syai’ Innamâ Yastawî Bi Dzâtih” “ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﺘﻮﻱ
    ﺑﺬﺍﺗﻪ ﻳﺴﺘﻮﻱ ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﺸﻰء”. [Mereka memahami kata Istawâ hanya dalam makna bertempat dan bersemayam, karena itu dalam kesimpulan sesat mereka Allah bertempat dengan Dzat- Nya di atas arsy]. Ibnu Hamid al-Musyabbih berkata: “Pemahaman Istawâ di sini adalah bahwa Allah menempel (pada arsy), Istawâ ini adalah sifat Dzat-Nya, dan makna Istawâ di sini 
    adalah duduk”. Ibnu Hamid juga berkata: “Sebagian golongan dari para sahabat kami [orang- orang yang mengaku bermadzhab Hanbali] berpendapat bahwa Allah bertempat di arsy, namun Dia tidak memenuhi arsy. Dan bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad di atas arsy bersama-Nya”. Ibnu Hamid juga berkata: “Pengertian an-Nuzûl [dalam hadits “ﺎ
    ”] adalah 
    berpindah [dari atas ke bawah]”. Ini artinya dalam keyakinan sesat Ibnu Hamid bahwa Allah ketika turun maka 
    Dzat-Nya menjadi jauh lebih kecil dari pada arsy [karena dalam riwayat sahih disebutkan bahwa besarnya langit dibanding arsy seperti kerikil dibanding padang yang luas]. Yang sangat mengherankan dari mereka dengan keyakinan rusak ini mereka berkata: “Kami bukan kaum Mujassimah (golongan yang mengatakan Allah sebagai benda)”. Sementara Ibn az-Zaghuni al-Musyabbih pernah ditanya: “Apakah ada sifat Allah yang baharu sebelum Dia menciptakan arsy?” [Artinya; jika dikatakan Allah bertempat di 
    arsy maka berarti sifat “bertempat” tersebut baharu karena Allah ada sebelum arsy], Ibn az-Zaghuni menjawab: “Tidak ada sifat Allah yang baharu. Allah menciptakan alam ini dari arah bawah-Nya, maka alam ini dari-Nya berada di arah bawah. Dengan demikian, 
    jika telah tetap bahwa “arah bawah” bagi sesuatu selain Allah maka secara otomatis telah tetap bahwa “arah atas” sebagai arah bagi-Nya”. Ibn az-Zaghuni juga berkata: “Telah tetap bahwa segala tempat itu bukan di 
    dalam Dzat Allah, dan Dzat Allah juga bukan pada tempat. Dengan demikian maka sesungguhnya Allah terpisah dari alam ini. Dan ini semua mestilah memiliki permulaan hingga terjadi keterpisahan antara Allah dengan alam. Dan ketika Allah berfirman: “ﺍﺳﺘﻮﻯ” maka kita menjadi paham bahwa Dia berada di arah tersebut [bertempat di arsy]”. Lalu Ibn az-Zaghuni juga berkata: “Dzat Allah pasti memiliki ujung dan penghabisan yang hanya Dia sendiri yang mengetahuinya”. Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Orang ini tidak mengerti dengan segala apa yang ia ucapkannya sendiri. Padahal [akal sehat mengatakan] ketika ditetapkan adanya ukuran, ujung dan penghabisan serta jarak terpisah antara Allah dengan makhluk maka berarti 
    orang itu telah berkeyakinan bahwa Allah sebagai benda. Benar, memang dia sendiri (Ibn az-Zaghuni) telah mengakui bahwa Allah sebagai benda (jism), karena dalam bukunya ia mengatakan bahwa Allah bukan jawhar (benda terkecil yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dilihat oleh mata) karena jawhar itu tidak memiliki tempat, sementara Allah -
    -menurutnya-- memiliki tempat; yang Dia berada pada tempat tersebut”. Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Apa yang diungkapkan oleh Ibn az-Zaghuni [dan 
    orang musyabbih semacamnya] menunjukan bahwa dia adalah seorang yang bodoh, dan bahwa dia seorang musyabbih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Si “syekh” ini benar-benar tidak mengetahui apa yang wajib pada hak Allah dan apa yang mustahil 
    bagi-Nya. Sesungguhnya wujud Allah tidak seperti wujud segala jawhar dan segala benda; di mana setiap jawhar dan benda pastilah berada pada arah; bawah, atas, depan, [dan belakang], serta pastilah ia berada pada tempat. Lalu akal sehat mengatakan bahwa sesuatu yang bertempat itu bisa jadi lebih besar dari tempatnya itu sendiri, bisa jadi lebih 
    kecil, atau bisa jadi sama besar, padahal keadaan semacam ini hanya berlaku pada benda saja. Kemudian sesuatu yang bertempat itu bisa jadi bersentuhan atau tidak bersentuhan dengan tempat itu sendiri, padahal sesuatu yang demikian ini pastilah dia itu baharu. 
    Logika sehat menetapkan bahwa segala jawhar [dan benda] itu baharu; karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah. Jika mereka menetapkan sifat menempel dan terpisah ini bagi Allah maka berarti mereka menetapkan kebaharuan bagi-Nya. Tapi jika 
    mereka tidak mengatakan bahwa Allah baharu maka dari segi manakah kita akan mengatakan bahwa segala jawhar (dan benda) itu baharu -selain dari segi sifat menempel dan terpisah-? [artinya dengan dasar keyakinan mereka berarti segala jawhar --dan benda-- tersebut tidak baharu sebagaimana Allah tidak baharu]. Sesungguhnya bila Allah 
    dibayangkan sebagai benda [seperti dalam keyakinan mereka] maka berarti Allah membutuhkan kepada tempat dan arah. [Oleh karena itu Allah tidak dapat diraih oleh segala akal dan pikiran, karena segala apapun yang terlintas dalam akal dan pikiran maka pastilah ia merupakan benda dan Allah tidak seperti demikian itu]
    Kemudian kita katakan pula: “Sesungguhnya sesuatu yang bertempat itu 
    adakalanya bersampingan dengan tempat tersebut (at-Tajâwur) dan adakalanya berjauhan dari tempat tersebut (at-Tabâyun); tentu dua perkara ini mustahil bagi Allah. Karena 
    sesungguhnya at-tajawur dan at-tabayun adalah di antara sifat-sifat benda [dan Allah  bukan benda].
    Akal sehat kita juga menetapkan bahwa berkumpul (al-Ijtimâ’) dan berpisah (alIftirâq) adalah di antara tanda-tanda dari sesuatu yang bertempat. Sementara Allah tidak disifati dengan tanda-tanda kebendaan dan tidak disifati dengan bertempat, karena jika disifati dengan bertempat maka tidak lepas dari dua kemungkinan; bisa jadi berdiam pada tempat tersebut, atau bisa jadi bergerak dari tempat tersebut. Sesungguhnya Allah tidak disifati dengan dengan gerak (al-Harakah), diam (as-Sukûn), berkumpul (al-Ijtimâ’), dan berpisah (al-Iftirâq Kemudian pula; sesuatu yang bersampingan dengan tempat (at-Tajâwur) dan berjauhan dari tempat (at-Tabâyun) maka pastilah sesuatu tersebut sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Dan sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran maka 
    mestilah ia membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan ukurannya tersebut. Kemudian pula; tidak boleh dikatakan bagi Allah di dalam alam, juga tidak dikatakan di luar alam ini, karena pengertian di dalam (Dâkhil) dan di luar (Khârij) hanya berlaku bagi segala benda yang memiliki tempat dan arah. Pengertian di dalam (dâkhil) dan di luar (khârij) sama dengan gerak (al-harakah) dan diam (as-sukûn); semua itu 
    adalah sifat-sifat benda yang khusus hanya tetap dan berlaku pada benda-benda”. Adapun perkataan mereka: “Allah menciptakan segala tempat di luar diri-Nya”; ini berarti dalam keyakinan sesat mereka bahwa Allah terpisah dari tempat-tempat tersebut dan dari seluruh alam ini. Kita katakan kepada mereka: “Dzat Allah maha suci; Dzat Allah bukan benda, tidak dikatakan bagi-Nya; Dia menciptakan sesuatu [dari makhluk-Nya] di dalam Dzat-Nya, juga tidak dikatakan Dia menciptakan sesuatu di luar 
    Dzat-Nya. Dzat Allah tidak menyatu dengan sesuatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyatu dengan Dzat Allah”. Sesungguhnya dasar keyakinan sesat mereka adalah karena mereka berangkat dari 
    pemahaman indrawi tentang Allah [mereka berkeyakinan seakan Allah sebagai benda], karena itulah ada dari sebagian mereka berkata: “Mengapa Allah bertempat di arsy? Adalah karena arsy sebagai benda yang paling dekat dengan-Nya”. Apa yang mereka ungkapkan ini adalah jelas kebodohan, karena sesungguhnya dekat dalam pengertian jarak --dalam pemahaman siapapun-- hanya berlaku pada setiap benda. Lalu dengan dasar apa orang bodoh semacam ini mengatakan bahwa keyakinan sesatnya itu sebagai keyakinan madzhab Hanbali?? Sungguh kita [Ibnul Jawzi dan para ulama saleh bermadzhab Hanbali] merasa sangat dihinakan karena keyakinan bodoh ini 
    disandarkan kepada madzhab kita. Sebagian mereka; dalam menetapkan keyakinan rusak Allah bertempat di arsy mengambil dalil --dengan dasar pemahaman yang sesat-- dari firman Allah: 
    ﺇﻟﻴﻪ ﻳﺼﻌﺪ ﺍﻟﻜﻠﻢ ﺍﻟﻄﻴﺐ ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﻳﺮﻓﻌﻪ (ﻓﺎﻃﺮ: 10
    Juga --dengan pemahaman yang sesat-- dari firman Allah:
    ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻘﺎﻫﺮ ﻓﻮﻕ ﻋﺒﺎﺩﻩ (ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ: 61
    Dari firman Allah QS. Fathir: 10 dan QS. al-An’am: 61 ini mereka menyimpulkan bahwa secara indrawi Allah berada di arah atas. Mereka lupa (tepatnya mereka tidak memiliki akal sehat) bahwa pengertian “fawq”, “ﻓﻮﻕ” dalam makna indrawi hanya berlaku bagi 
    setiap jawhar dan benda saja. Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “ﺔ
    ”; “derajat yang tinggi”, padahal dalam bahasa Arab 
    biasa dipakai ungkapan: “ﻓﻼﻥ ﻓﻮﻕ ﻓﻼﻥ”; artinya; “Derajat si fulan (A) lebih tinggi 
    dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B). Kita katakan pula kepada mereka: “Dalam QS. al-An’am: 62 Allah berfirman: “ﻋﺒﺎﺩﻩ ﻓﻮﻕ”, kemudian dalam ayat lainnya; QS. al Hadid: 4, Allah berfirman: “ﻣﻌﻜﻢ ﻭﻫﻮ”, 
    jika kalian memahami ayat kedua ini dalam pengertian bahwa Allah maha mengetahui setiap orang dari kita [artinya dipahami dengan takwil “ﻢ
     ”]; maka mengapa kalian 
    menginkari musuh-musuh kalian (yaitu kaum Ahlussunnah) yang mengartikan “ﻓﻮﻕ” atau “ﺍﺳﺘﻮﻯ” dalam pengertian bahwa Allah maha menguasai [artinya dipahami dengan takwil “ﻭﺍﻻﺳﺘﻴﻼء ﺍﻟﻘﻬﺮ ﻓﻮﻗﻴﺔ”]?”. Lebih buruk lagi, sebagian kaum Musyabbihah tersebut berkata: “Allah bertempat 
    di arsy dan memenuhi arsy tersebut, dan sangat mungkin bahwa Allah bersentuhan dengan arsy, sementara al-Kursy [yang berada di bawah arsy] adalah tempat kedua telapak kaki-Nya”. Na’ûdzu billâh. Aku katakan: “Sifat bersentuhan itu hanya terjadi di antara dua benda. Sungguh, 
    mereka kaum musyabbihah buruk itu tidak menyisakan sedikitpun dari sifat-sifat benda kecuali semua itu mereka sandangkan kepada Allah”


    • Dalam Menolak Kesesatan Kaum Mujassimah; Kaum Yang Mengatakan Bahwa Allah Sebagai Benda (Jism) 


     Jika ada yang berkata: ”Telah diriwayatkan dalam dua kitab Sahih (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) dari hadits Syuraik bin Abi Namir dari Anas bin Malik dalam menceritakan peristiwa Mi’raj, bahwa ia (Anas bin Malik) berkata:
    (ﻗﻴﻞ) ﻓﻌﻼ ﺑﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﺒﺎﺭ ﺗﻌﺎﻟﻰ
    [Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: 

    “Maka Rasulullah terus naik [bersama Jibril] kepada Allah”
    Makna literal ini seakan menetapkan bahwa Allah bertempat di 
    arah atas]. 

     Lalu dalam riwayat ini pula, bahwa ia (Anas bin Malik) berkata:
    (ﻗﻴﻞ) ﻭﻫﻮ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻧﻪ: ﻳﺎ ﺭﺏ ﺧﻔﻒ ﻋﻨﺎ
    [Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, makna literal ini 
    seakan mengatakan bahwa Allah berada pada suatu tempat, lalu 
    Rasulullah berdoa kepada-Nya: ”Ya Allah ringankan (perintah 
    shalat itu) dari kami”]. 
     Jawab: ”Imam Abu Suliman al Khath-thabi telah mengatakan bahwa redaksi di atas hanya berasal dari Syuraik seorang saja (ﻚ

    . Redaksi seperti itu tidak 
    pernah disebutkan oleh siapapun selain oleh Syuraik, dan Syuraik ini adalah orang yang banyak meriwayatkan hadits-hadits dengan redaksi yang lain dari para perawi lainnya; ”ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ﺑﻤﻨﺎﻛﻴﺮ ﺍﻟﺘﻔﺮﺩ ﻛﺜﻴﺮ”. Kemudian, ”tempat” itu tidak boleh dinyatakan bagi Allah [karena Allah bukan benda], adapun redaksi ”ﻣﻜﺎﻧﻪ ﻓﻲ ﻭﻫﻮ” [artinya; ”Dan dia berada di tempatnya”] yang dimaksud ”dia” di sini adalah Rasulullah. [artinya bahwa Rasulullah kembali ke tempatnya semula saat beliau menerima wahyu, dan di tempat itulah beliau 
    berdoa kepada Allah agar diringankan perintah shalat atas umatnya]. Semakna dengan pemahaman hadits ini; hadits lainnya yang berbunyi: 
    [Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Aku meminta izin kepada Tuhanku, dan Dia sedang berada di 
    rumah-Nya”. Makna literalnya seakan menetapkan tempat bagi 
    Allah]. 
     Bukan maksud hadits ini bahwa Allah bertempat di sebuah rumah, tetapi yang dimaksud adalah rumah atau tempat tinggal yang dimuliakan oleh Allah bagi para wali-Nya. [Ini yang dimasud dengan Idlâfah at-Tasyrîf, Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash- Sihfat mempertegas bahwa yang dimaksud adalah surga). Bahkan al-Qâdlî Abu Ya’la sendiri dalam kitabnya yang berjudul al-Mu’tamad telah menetapkan bahwa Allah tidak 
    disifati dengan tempat. 
     [Ayat Pertama]: Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh kaum Mujassimah adalah firman Allah:ﺃﺃﻣﻨﺘﻢ ﻣﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ (ﺍﻠﻚ: 16)
    [Makna literal ayat ini tidak boleh kita ambil, makna literalnya 
    mengatakan seakan Allah berada di langit: ”Adakah kalian merasa 
    aman terhadap yang ada di langit?”]. 
     Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna zahirnya [seperti pemahaman sesat kaum Musyabbihah yang menyimpulkannya bahwa Allah berada di langit], karena dasar kata ”ﻓﻲ” [yang artinya ”di dalam”] dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah 
    tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”( ﻟﻠﻈﺮﻓﻴﺔ ); padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun. Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi 

    seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit [dan itu artinya bisa jadi sama besar, lebih besar, atau lebih kecil dari langit itu sendiri]. Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah. 
     [Ayat Ke Dua]: Di antara ayat lainnya, firman Allah:
    ﺎ ﺣﺴﺮﺗﻰ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻓﺮﻃﺖ ﻓﻲ ﺟﻨﺐ ﺍﷲ (ﺍﻟﺰﻣﺮ: 56)
    [Makna literal ayat ini tidak boleh kita ambil, makna literalnya 
    mengatakan: ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku 
    dalam pinggang Allah”. Pemahaman literal seperti ini 
    menyesatkan karena menetapkan anggota badan bagi Allah]. 
     [Makna ”al-Janb”, ”ﺍﻟﺠﻨﺐ” dalam ayat ini bukan artinya ”pinggang” seperti pemahaman sesat kaum Mujassimah], tetapi yang dimaksud dengan ”ﷲ ﺟﻨﺐ ﻓﻲ” adalah ” ﷲ ﻁﺎﻋﺔ ﻓﻲﻭﺃﻣﺮﻩ”; maka pemahaman yang benar bagi ayat tersebut adalah: ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam ketaatan kepada Allah dan melalaikan perintah- Nya”. Sesungguhnya kelalaian (at-Tafrîth) itu hanya terjadi dalam berbuat baik kepada- Nya, adapun ”al-Janb” dalam makna pinggang yang merupakan anggota badan; 
    sedikitpun tidak pernah ada ungkapan yang mengatakan adanya kelalaian (at-Tafrîth) di sana Sementara Ibnu Hamid al-Mujassim berkata: ”Kita beriman bahwa Allah memiliki pinggang dengan dasar ayat ini”. 
     Apa yang dinyatakan Ibnu Hamid ini sangat aneh dan menggerankan, betul-betul tanpa dasar logika. Padahal makna at-Tafrîth (kelalaian) ini tidak pernah terjadi pada ”Janb” (makna pinggang; anggota badan) yang ada pada makhluk, lalu dari mana ia menetapkan bagi Allah makna ”al-Janb” sebagai makna ”pinggang” dan bahkan menetapkan at-tafrîth (kelalaian) bagi makna tersebut? 
     Dalam sebuah syair, Tsa’labah berkata:ﺧﻠﻴﻠﻲ ﻛﻔﺎ ﻭﺍﺫﻛﺮﺍ ﺍﷲ ﻓﻲ ﺟﻨﺒﻲ
    [Maknanya: ”Wahai kekasihku, hentikanlah [ratapanmu], aku 

    perintahkan engkau sebutlah nama Allah”]. 
    Makna kata ”ﺟﻨﺒﻲ ﻓﻲ” dalam bait sya’ir ini adalah ”ﺃﻣﺮﻱ ﻓﻲ”; artinya ”Dengan perintahku” atau ”Aku perintahkan kepadamu”. Bait sya’ir tersebut bukan bermakna: ”Sebutlah nama Allah pada pinggangku”, [tentunya pemaknaan seperti ini menyesatkan]. 
     [Ayat Ke Tiga]: 

     Di antara ayat lainnya, firman Allah:ﻨﻔﺨﻨﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺭﻭﺣﻨﺎ (ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ: 91
    [Makna literal ayat ini tidak boleh kita ambil, makna literalnya 
    mengatakan: ”Maka Kami (Allah) tiupkan padanya (Maryam) dari 
    ruh Kami”. Makna literal ini seakan mengatakan bahwa Allah 

    adalah ruh yang sebagian dari ruh tersebut adalah ruh Nabi Isa].
    [Makna ayat ini bukan seperti pemahaman sesat kaum Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah adalah ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut dibagikan kepada Nabi Isa saat menciptakannya]. Para ahli tafsir berkata: ”Yang dimaksud ”Min Rûhinâ” , ” ﻣﻦ
    ﺭﻭﺣﻨﺎ” adalah ”Min Rahmatinâ”, ”ﺭﺣﻤﺘﻨﺎ ﻣﻦ” ; artinya bahwa Allah memberikan rahmat dan kemuliaan bagi Nabi Isa. Adapun penyebutan kata ”ﺭﻭﺡ” dalam ayat tersebut dengan disandarkan kepada Allah (yaitu kepada zhamîr ”ﻧﺎ”) adalah karena kejadian peristiwa tersebut (penciptaan Nabi Isa) dengan perintah Allah. 
     [Ayat Ke Empat]: 

     Di antara ayat lainnya, firman Allah: ﻳﺆﺫﻭﻥ ﺍﷲَ (ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ: 57
    [Ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna literalnya yang 
    seakan bahwa Allah disakiti atau diperangi]. 
     [Makna ayat ini bukan artinya Allah yang disakiti, oleh karena siapakah yang dapat mengalahkan Allah?], tetapi yang dimaksud dengan ”ﷲ ﻳﺆﺫﻭﻥ” dalam ayat ini adalah dalam makna: ”Yu-dzûna Awliyâ-ahu”, ”ﺃﻭﻟﻴﺎﺋﻪ ﻳﺆﺫﻭﻥ” ; artinya yang disakiti di sini adalah para wali Allah. Contoh penggunaan bahasa seperti ini seperti dalam ayat lainnya dalam 

    QS. Yusuf: 82, Firman Allah:ﻭﺍﺳﺄﻝ ﺍﻟﻘﺮﻳﺔ (ﻳﻮﺳﻒ: 82
    [Makna literal ayat ini: ”Tanyalah ke kampung!!”]. 
     Firman Allah ini bukan artinya: ”Bertanyalah ke kampung!!”, [Bagaimana mungkin kampung akan berkata-kata], tetapi yang dimaksud adalah: ”Bertanyalah kepada penduduk kampung tersebut”. 

     Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:ﺣﺪ ﺟﺒﻞ ﻳﺤﺒﻨﺎ ﻭﻧﺤﺒﻪ
    [Maknanya: “Gunung Uhud adalah gunung yang mencintai kita, 
    dan kita mencintainya”. (Yang dimaksud adalah penduduknya)]. 
     Seorang penyair berkata:ﺃﻧﺒﺌﺖ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺑﻌﺪﻙ ﺃﻭﻗﺪﺕ
     ﻭﺍﺳﺘﺐ ﺑﻌﺪﻙ ﻳﺎ ﻛﻠﻴﺐ ﺍﻟﻤﺠﻠﺲ
    [Maknanya: “Engkau diberitahukan bahwa api telah dinyalakan 
    jauh darimu, dan api itu melahap kejauhanmu wahai orang yang 
    terlena di tempat”. (yang dimaksud adalah bahwa api itu 
    membesar dan mendekati orang itu)]. 

     [Ayat Ke Lima]: Di antara ayat lainnya firman Allah:
    ﻫﻞ ﻳﻨﻈﺮﻭﻥ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﺄﺗﻴﻬﻢ ﺍﷲُ ﻓﻲ ﻇﻠﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﻤﺎﻡ (ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ: 210
    [Ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna literalnya, 

    mengatakan: ”Tidakah mereka (orang-orang kafir) menunggu-nunggu kecuali kedatangan Allah kepada mereka dalam kegelapan 
    dari awan?!”. Makna literal ini seakan mengatakan bahwa Allah 
    akan datang, artinya pindah dari suatu tempat ke tampat lain, dan 
    bergerak, serta seakan Allah mengendarai awan]. 
     [Pemahaman ayat ini tidak seperti kesimpulan sesat kaum Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah akan datang kepada orang-orang kafir dalam kegelapan awan, dalam pemahaman mereka bahwa Allah bergerak dan pindah dari suatu tempat ke tempat lain], tetapi pemahaman yang benar adalah bahwa kata “ﻅﻠﻞ ﻓﻲ” dalam ayat tersebut 
    adalah dalam pengertian “ﺑﻈﻠﻞ”; artinya Allah akan mendatangkan kepada mereka (orang- orang kafir) awan gelap yang merupakan siksaan bagi mereka. [Allah bukan benda; Dia tidak disifati dengan datang, bergerak, dan ataupun berpindah-pindah]. Demikian pula dengan firman Allah:ﻭﺟﺎﺀَ ﺭﺑﻚ (ﺍﻟﻔﺠﺮ: 22)
    [Ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna literalnya, yang 
    mengatakan seakan Allah akan datang; bergerak dan pindah dari 
    suatu tempat ke tempat yang lain]. 
     [Kata ”Jâ’a”, “ﺟﺎء” pada hak Allah dalam ayat ini bukan dalam pengertian datang, bergerak, dan atau berpindah dari satu tempat ke tampat lain]. Al-Qâdlî Abu Ya’la sendiri telah meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal bahwa ia (Ahmad) memaknai firman 
    Allah QS. Al Baqarah: 210 “ﷲ ﻳﺄﺗﻴﻬﻢ ﺃﻥ” dengan mentakwilnya, Imam Ahmad berkata: “Yang dimaksud ayat ini adalah datangnya tanda-tanda kekuasaan Allah dan perintah- Nya (ﻭﺃﻣﺮﻩ ﻗﺪﺭﺗﻪ)”. Pemahaman Imam Ahmad ini beliau simpulkan dari firman Allah sendiri dalam ayat lainnya, yaitu “ﺭﺑﻚ ﺃﻣﺮ ﻭﻳﺄﺗﻲ”. Tidak hanya itu, bahkan dalam kitab Taurat sekalipun dalam pemahaman “ﺭﺑﻚ ﻭﺟﺎء” disebutkan bahwa yang dimaksud adalah datangnya tanda-tanda kekuasaan Allah. 
     Sementara Ibnu Hamid al-Mujassim berkata: “Pemahaman dengan takwil seperti itu adalah pemahaman yang salah, yang benar adalah bahwa Allah akan turun dengan Dzat-Nya dengan cara berpindah”. 
     Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Ungkapan Ibnu Hamid ini jelas dalam makna 
    indrawi. Ungkapannya ini tidak beda dengan pembicaraan masalah benda”. 
     Imam Ibnu Aqil [salah seorang ulama Ahlussunnah dalam madzhab Hanbali] dalam menjelaskan firman Allah QS. Al Isra: 85 “ﺭﺑﻲ ﺃﻣﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﻗﻞ”; [Katakan wahai Muhammad bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku], berkata: “Dengan ayat ini Allah telah melarang setiap makhluk-Nya untuk tenggelam (mempertanyakan) sesuatu yang padahal notabenenya makhluk (yaitu ruh), terlebih lagi untuk tenggelam mempertanyakan tentang 
    (hakikat) Allah maka itu lebih terlarang”. 
     Para ulama menuliskan sya’ir berikut ﻛﻴﻔﻴﺔ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻤﺮﺀُ ﻳﺪﺭﻛﻬﺎ 
     ﻓﻜﻴﻒ ﻛﻴﻔﻴﺔ ﺍﻟﺠﺒﺎﺭ ﻲ ﺍﻟﻘﺪﻡ
    [Maknanya: “Hakikat jiwa tidak ada seorang-pun yang dapat 
    meraihnya, maka terlebih lagi meraih hakikat Allah (yang maha 

    perkasa) pada sifat Qidam-Nya”]

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar