Rabu, 27 November 2013

AKIDAH Imam al-Ghazali ; Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah


AKIDAH Imam al-Ghazali ; Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah
al-Imâm Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), nama yang sangat akrab dengan kita, seorang teolog, sufi besar, seorang yang ahli dalam banyak disiplin ilmu. Dalam kitab karyanya yang sangat agung; Ihya‘ Ulumiddin, pada jilid pertama menuliskan bab khusus tentang penjelasan akidah mayoritas umat Islam; akidah Ahlussunnah, yaitu pada
bagian Qawa‘id al-Aqa‘id. . Di antara yang beliau tulis adalah sebagai berikut:
تعالى (اي الله) عن أن يحويه مكان كما تقدس عن أن يحده زمان, بل كان قبل أن خلق زمان و المكان وهو الان على ما (عليه كان(إحياء علوم الدين ,كتاب قواعد العقائد الفصل الاول ج 1 ص 108

Allah Maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci untuk dibatasi oleh
waktu dan zaman.Dia ada tanpa permulaan, tanpa tempat, dan tanpa zaman, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan arah) ada seperti sediakala tanpa tempat dan dan tanpa arah‖ (Ihya‘ ‗Ulumiddin, j. 1, h. 108).
Pada bagian lain dari kitab tersebut al-Imâm al-Ghazali menuliskan:
“Pokok ke empat; Adalah mengetahui bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat. Dia maha suci dari dibatasi oleh tempat. Arguman atas ini adalah bahwa setiap benda itu pasti memiliki tempat, dengan demikian ia membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dalam
tempat tersebut. Juga sesuatu yang bertempat itu tidak lepas dari dua keadaan; menetap pada tempatnya tersebut atau bergerak pindah dari satu tempat ke tempat alinnya. Dan kedua sifat ini jelas merupakan sifat-sifat dari sesuatu yang baharu. Dan sesuatu yang tidak lepas dari kebaharuan maka berarti sesuatu tersebut adalah sesuatu yang baharu‖ (Ihya‘ ‗Ulumiddin, j.
1, h. 127).
Masih dalam kitab Ihya‘ al-Imâm al-Ghazali juga menuliskan:

“Pokok ke tujuh; adalah berkeyakinan bahwa Dzat Allah suci dari bertempat pada suatu arah. Karena arah tidak lepas dari salah satu yang enam; atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Arah-arah tersebut diciptakan oleh Allah denga jalan penciptaan manusia. Allah menciptakan manusia dengan dua bagian; bagian yang megarah ke bumi yaitu bagian
kakinya, dan bagian yang berlawanan dengannya yaitu bagian kepalanya. Dengan adanya pembagian ini maka terjadilah arah, bagian ke arah kakinya disebut bawah dan bagian ke
arah kepalanya disebut atas. Demikian pula seekor semut yang merayap terbalik di atas langit-langit rumah, walaupun dalam pandangan kita tubuhnya terbalik, namun baginya arah atasnya adalah bagian yang ke arah kepalanya dan bagian bawahnya adalah adalah bagian yang ke arah bawahnya.
Pada manusia kemudian Allah menciptakan dua tangan, yang pada umumnya salah satunya memiliki kekuatan lebih atas lainnya. Maka terjadilah penamaan bagi tangan yang memiliki kekuatan lebih sebagai tangan kanan. Sementara tangan bagian lainnya yang yang berlawanan dengannya disebut dengan tangan kiri. Juga Allah menciptakan bagi manusia tersebut dua bagian bagi arah badanya; bagian yang ia lihat dan ia tuju dengan bergerak
kepadanya, dan bagian yang berada pada sebaliknya. Bagian yang pertama disebut arah depan semantara yang bagian sebaliknya disebut dengan arah belakang‖ (Ihya 'Ulumiddin, j.1, h. 128).
Kemudian al-Imâm al-Ghazali menuliskan:“Dengan demikian bagaimana mungkin Allah Yang ada tanpa permulaan (azaly) memiliki
tempat dan arah, sementara tempat dan arah itu sendiri baharu?! Bagaimana mungkin Allah yang ada tanpa permulaan dan tanpa tempat lalu kemudian berubah menjadi berada pada tempat tersebut?! Apakah Allah menciptakan alam yang alam tersebut berada di arah atasya?!
Sesesungguhnya Allah maha suci dari dikatakan ―arah atas‖ bagi-Nya. Karena bila dikatakan ―arah atas‖ bagi Allah maka berarti Dia memiliki kepala. Karena sesungguhnya penyebutan ―arah atas‖ hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kepala. Demikian pula Allah maha suci dari dikatakan ―arah bawah‖ bagi-Nya. Karena bila dikatakan arah bawah bagi Allah maka berarti Dia memiliki kaki. Karena sesungguhnya penyebutan arah bawah
hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kaki. Hal itu semua secara akal adalah sesuatu yang mustahil atas Allah‖ (Ihya' 'Ulumiddin, j. 1, h. 128).
Dalam kitab al-Arba‘in fi Ushuliddin, al-Imam al-Ghazali menuliskan:

“... dan bahwa Allah tidak bertempat di dalam sesuatu, dan tidak ada sesuatu apapun yang bertempat pada-Nya. Allah maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci dari dibatasi oleh waktu/zaman. Dia Allah ada sebelum terciptanya waktu dan tempat, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan waktu) ada sebagaimana pada sifat-Nya azaly;
tanpa tempat dan tidak terikat oleh waktu‖. (al-Arba‘in Fi Ushuliddin, h. 8)
KESIMPULAN: Akidah Rasulullah, para sahabat, dan kaum Salaf saleh, serta keyakinan mayoritas umat Islam; Ahlussunnah Wal Jama‘ah ialah ―ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH‖.

Sangat tidak masuk akal, atau tepatnya kita katakan ―tidak berakal‖, bila ada orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada di langit atau di di arsy, seperti keyakinan orang-orang
Wahhabiyah di masa sekarang. Bagaimana mereka berkeyakinan Allah berada di langit? Juga
berkeyakinan Allah berada di arsy? Di dua tempat heh. Padahal mereka yakin bahwa langit
dan arsy adalah makhluk Allah. Itu artinya dalam keyakinan mereka Allah bertempat pada makhluk-Nya sendiri. A‘udzu Billah al-‗Alyy al-‗Azhim






Tidak ada komentar:

Posting Komentar