Jumat, 13 Desember 2013

Membersihkan Nama al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari Dan Ajarannya Meluruskan Distorsi Tentang al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari Dan Ajarannya


  • Membersihkan Nama al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari Dan Ajarannya Meluruskan Distorsi Tentang al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ariDan Ajarannya

 A. Kedustaan Kaum Mu’tazilah dan Kaum Mujassimah Terhadap al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari

Para ahli bid’ah telah banyak berusaha dalam menyisipkan kebohongankebohongan dan faham-faham palsu atas karya-karya ulama Ahlussunnah, tidak terkecuali terhadap karya-karya al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Mereka menyisipkan keyakinan-keyakinan yang sama sekali tidak pernah diyakini, di ajarkan atau dituliskan oleh beliau dalam karya-karyanya. Banyak ulama Ahlussunah yang telah membersihkan al-Imâm al-Asy’ari dari kedustaan-kedustaan tersebut, di dikutip oleh al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah. Termasuk di antara yang juga membela al-Imâm al-Asy’ari dari berbagai kedustaan tersebut adalah antaranya al-Imâm al-Ustâdz Abu Nashr al-Qusyairi dengan risalahnya berjudul al-Imâm Abu Bakar al-Bayhaqi dalam suratnya yang beliau tujukan kepada al-Wazir al-Amid al-Kandari. Risalah ini secara detail juga dikutip oleh al-Imâm Tajuddin as- Syikâyah Ahl as-Sunnah Bi Hikâyah Ma Nâlahum Min al-Mihnan. Secara detail risalah ini Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah.
adalah berita-berita yang tidak benar. Ia hanya mendengar perkataan para
Jahmiyyah) adalah Ibn Hazm dalam karyanya berjudul al-Milal Wa an-Nihal. Ibn
Di antara orang yang telah melakukan kedustaan besar terhadap al-Imâm Abu
al-Hasan yang bahkan menyamakannya dengan Jahm ibn Shafwan (pemimpin kaum
Hazm ini sangat benci terhadap al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, hal ini sebagaimana
telah dituliskan oleh al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, sebagai
berikut:
“Ibn Hazm ini adalah orang yang sangat nekad dengan ucapan-ucapannya,
dan sangat cepat menghukumi dengan hanya adanya prasangka-prasangka pada
dirinya. Para ulama dari madzhab kita (madzhab asy-Syafi’i) sudah sejak lama
melarang membaca buku-buku karyanya. Karena karya-karyanya tersebut banyak
dipenuhi dengan kedustaan-kedustaan terhadap para ulama Ahlussunnah. Banyak
menyisipkan perkataan-perkataan sesat atas nama mereka tanpa sedikitpun
mengukur klaimnya tersebut. Dia banyak mencaci-maki mereka karena pendapatpandapat
rusak yang mereka sendiri tidak pernah mengatakannya. Dalam
bukunya; al-Milal Wa an-Nihal ia dengan nyata telah menyesatkan Imam
Ahlussunnah; al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Bahkan dalam banyak bagian dari
buku tersebut ia hampir terang-terangan mengatakan bahwa al-Imâm Abu al-
Hasan seorang yang kafir. Dalam banyak bagian bukunya ini ia mengatakan
bahwa al-Imâm Abu al-Hasan telah melakukan berbagai bid’ah. Dalam pandangan
Ibn Hazm al-Imâm Abu al-Hasan ini tidak lain hanyalah seorang pelaku bid’ah.
Namun setelah saya meneliti secara cermat, saya menemukan bahwa Ibn
Hazam ini adalah orang yang tidak mengenal siapa al-Imâm Abu al-Hasan al-
Asy’ari. Berita tentang kepribadian al-Imâm Abu al-Hasan yang sampai kepadanya
pendusta yang kemudian ia membenarkan mereka. Anehnya ternyata bagi Ibn
Hazm tidak cukup dengan hanya membenarkan saja, namun ia juga
manambahkannya dengan berbagai cacian. Karena itu, Syaikh Abu al-Walid al-
Baji, juga ulama terkemuka lainnya, telah membuat berbagai bantahan atas Ibn
Hazm ini, yang dengan sebab itu Ibn Hazm kemudian dikeluarkan dari negaranya, hingga terjadi beberapa peristiwa (buruk) menimpanya yang telah dicatat dalam sejarah, termasuk di antaranya pembersihan atas tulisan-tulisannya serta peristiwa lainnya”.
Asy-Syaikh al-‘Allâmah Arabi at-Tabban dalam Barâ-ah al-Asy’ariyyîn menuliskan sebagai berikut:
“Perkataan buruk Ibn Hazm tentang al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari ini tidak
ubahnya seperti seekor kambing yang menyeruduk batu keras dan besar untuk
menghancurkannya (artinya sama sekali tidak berpengaruh). Ibn Hazm ini tidak
hanya mencaci maki al-Imâm Abu al-Hasan, namun ia juga melakukan hal yang
sama terhadap para ulama agung lainnya. Karena itu Abu al-Abbas ibn al-Arif,
seorang ulama terkemuka di wilayah Andalusia, berkata: “(Kebuasan) Pedang al- Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafi dan (kebuasan) lidah Ibn Hazm terhadap umat ini adalah laksana dua orang bersaudara”. Padahal Ibn Hazm sendiri adalah seorang yang bingung dan rusak akidahnya. Dalam masalah sifat-sifat Allah ia
menafikannya; ia persis mengambil faham Mu’tazilah. Bahkan dalam akidah ini ia memiliki kesesatan-kesesatan yang sangat banyak. Di antara perkara yang paling buruk dari antara itu semua, yang ia ungkapkan sendiri dalam bukunya al-Milal Wa an-Nihal, ialah bahwa boleh saja bagi Allah untuk mengambil seorang anak.
Dalam menetapkan keyakinan rusaknya ini ia bersandar kepada firman Allah
dalam QS. az-Zumar: 4: ”Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang Telah diciptakan-Nya”.
Adapun kesesatan Ibn Hazm dalam masalah furû’ maka sangat banyak sekali.
Buku karyanya berjudul “al-Muhallâ” yang dikagumi oleh orang-orang lalai dan
bodoh mencakup berbagai penyimpangan dalam masalah furû’. Karena itu, bukual-Muhallâ ini, juga karya-karyanya yang lain telah dibantah oleh para ulamaMaghrib (Maroko). Mereka menamakan buku “al-Muhallâ” (semula maksudnya sebuah buku yang dihiasi dengan kebenaran) dengan nama “al-Mukhallâ” (artinyabuku yang sama sekali tidak mengandung kebenaran). Di antara kitab karya paraulama sebagai bantahan atas buku Ibn Hazm ini adalah kitab berjudul al-Mu’allâ Fi ar-Radd ‘Alâ al-Muhallâ karya al-‘Allâmah asy-Syaikh Muhammad ibn Zarqun al-Anshari al-Isybili (w 721 H), sebuah kitab yang sangat representatif dalam
mengungkap kesesatan-kesesatan Ibn Hazm. Termasuk juga yang telah
membantah kesesatan Ibn Hazm dengan berbagai argmen kuat adalah asy-Syaikh Abu al-Walid al-Baji, yang karena beliau ini Ibn Hazm menjadi sosok yang tidak memiliki nilai bagi orang-orang Maghrib secara khusus, dan para ulama wilayah timur secara umum”.
  • B. Kebencian adz-Dzahabi Terhadap al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari DanKaum Asy’ariyyah
Al-Imâm Tajuddin as-Subki (w 771 H) dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan bahwa adz-Dzahabi (w 748 H) memiliki sifat sinis terhadap al-Imâm al-Asy’ari. Adz- Dzahabi sama sekali tidak apresiatif, bahkan selalu memojokan faham-faham al-Imâm al-Asy’ari dalam berbagi kesempatan. Perlakuan adz-Dzahabi dalam meremehkan al- Imâm al-Asy’ari ini sebagimana ia tuangkan dalam karyanya sendiri; Târîkh adz- Dzahabi. Dalam menuliskan biografi al-Imâm al-Asy’ari, adz-Dzahabi sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menempatkannya secara proporsional sesuai keagungannya.
Al-Imâm Tajuddin as-Subki mengatakan bahwa adz-Dzahabi memiliki
kebencian yang sangat besar terhadap al-Imâm al-Asy’ari, hanya saja ia tidak sanggup untuk mengungkapkan itu semua karena takut diserang balik oleh Ahl al-Haq dari para pemuka Ahlussunnah. Di sisi lain adz-Dzahabi juga tidak sabar untuk mendiamkan ajaran-ajaran al-Imâm al-Asy’ari yang menurutnya sebagai ajaran yang tidak benar. Dalam menuliskan biografi al-Imâm al-Asy’ari, adz-Dzahabi tidak banyak berkomentar, di akhir tulisannya ia hanya berkata: “Barangsiapa yang ingin mengenal lebih jauh tantang al-Asy’ari maka silahkan untuk membaca kitab Tabyîn Kadzib al- Muftarî karya Abu al-Qasim Ibn Asakir”27. Yang lebih mengherankan lagi di akhir
tulisan itu kemudian adz-Dzahabi menuliskan ungkapan doa sebagai berikut:
“Ya Allah, matikanlah kami di dalam Sunnah Nabi-Mu dan masukan kami ke
surga-Mu. Jadikanlah jiwa-jiwa kami ini tenang. Kami mencintai para wali-Mu
karena-Mu, dan kami membenci para musuh-Mu karena-Mu. Kami meminta
ampun kepada-Mu bagi hamba-hamba-Mu yang telah melakukan maksiat. Jadikan kami mengamalkan ayat-ayat muhkamât dari kitab-Mu dan beriman dengan ayatayat mutsyâbihât-nya. Dan jadikan kami sebagai orang-orang yang mensifati-Mu sebagaimana Engkau mensifati diri-Mu sendiri”28.
Simak tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam mengomentari tulisan adz-
Dzahabi di atas:
“Dari sini nyata bagimu bahwa adz-Dzahabi ini sangat aneh dan
mengherankan. Engkau melihat sendiri bagaimana sikap orang miskin ini, dia
benar-benar seorang yang celaka. Saya telah mengatakan berulang-ulang bahwa adz-Dzahabi ini sebenarnya guru saya, dan saya banyak mengambil ilmu hadits darinya, hanya saja kebenaran lebih berhak untuk diikuti, dan karenanya saya wajib menjelaskan kebenaran ini. Maka saya katakan: “Wahai adz-Dzahabi, orang sepertimu bagaimana mungkin hanya menyuruh orang lain untuk membaca kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî sementara engkau sendiri malalaikan pujian terhadap Syaikh al-Asy’ari?! Padahal engkau sama sekali tidak meninggalkan nama 
seorangpun dari kaum Mujassimah kecuali engkau menuliskan biografinya secara langkap. Bahkan bukumu itu sampai menyebut-nyebut biografi beberapa orang dari madzhab Hanbali yang datang belakangan dan tidak memiliki kapasitas memadai secara keilmuan. Semua itu engkau tuliskan biografinya dengan sangat Syaikh al-Asy’ari secara proporsional?! Padahal derajat Syaikh al-Asy’ari berada jauh ribuan tingkat di atas orang-orang mujasim yang engkau tuliskan itu?! Tidak rinci dan lengkap. Lantas apakah engkau tidak mampu untuk menuliskan biografi lain ini adalah hawa nafsu dan kebencian yang telah mencapai puncaknya. 
Aku bersumpah demi Allah, engkau melakukan ini tidak lain hanya karena engkau apa yang ada dalam hatimu dari kebencian kepada Syaikh al-Asy’ari, karena tidak senang nama al-Asy’ari disebut-sebut dengan segala kebaikannya. Dan di sisi lain engkau tidak mampu untuk mengungkapkan kepada orang-orang Islam akan engkau sadar bila kebencian itu engkau ungkapkan seutuhnya maka engkau akan miskin?! Kemudian ungkapanmu “...dan jadikanlah kami orang-orang yang berhadapan dengan kekuatan seluruh orang Islam. membenci musuh-musuh-Mu” adalah tidak lain karena manurutmu Syaikh al- Sementara itu doamu yang engkau ungkapkan di akhir tulisan biografi Syaikh yang sangat ringkas itu, adakah kalimat-kalimat itu pada tempatnya wahai orang Asy’ari adalah musuh Allah, dan engkau benar-benar sangat membencinya. 
Kelak nanti engkau akan berdiri di hadapan hukum Allah untuk bertanggung jawab terhadap Syaikh, sementara semua ulama dari empat madzhab, orang-orang saleh dari kaum sufi, dan para pemuka Huffâzh al-hadîts berada di dalam barisan Syaikh yang memiliki amal saleh lebih banyak dari pada perbuatan maksiatnya, dan orangorang al-Asy’ari. Engkau kelak saat itu akan merangkak dalam kegelapan akidah tajsîm, yang engkau mengaku-aku telah bebas dari akidah sesat tersebut, padahal engkau adalah orang terdepan dalam menyeru kepada akidah sesat tersebut. 
Engkau mengaku ahli dalam masalah Ilmu Tauhid, padahal engkau sama sekali tidak memahaminya walaupun hanya seukuran atom atau seukuran tipisnya kulit biji kurma sekalipun. Aku katakan bagimu: “Siapakah sebenarnya yang mensifati Allah sesuai dengan keagungan-Nya sebagaimana Allah mensifati diri-Nya sendiri?! 
Adakah orang itu yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya secara khusus bagiku tidak harus banyak bicara dalam masalah ini, namun demikian hal ini harus saya sampaikan.
Dalam penulisan biografi Syaikh al-Asy’ari sebagaimana anda tahu sendiri, pembaca yang ingin mengenal lebih jauh tentang Syaikh al-Asy’ari untuk merujuk seperti dirimu?! Ataukah yang benar-benar memahami bahwa “Allah tidak menyerupai apapun dari segala makhluk-Nya” (QS. As-Syura: 11)?!”. Sebenarnya, bahwa sebenarnya tidak akan cukup dengan hanya dituangkan dalam beberapa lembar saja. Dalam kitab yang saya tulis ini, saya juga memerintahkan kepada para kepada kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî (karya al-Hâfizh Ibn Asakir). Namun anjuran penulisan biografi al-Hâfizh Ahmad ibn Shaleh al-Mishri menuliskan kaedah yang sangat berharga dalam metode penilaian al-jarh (Klaim negatif terhadap orang lain).Kesimpulannya ialah bahwa apa bila seseorang melakukan al-jarh terhadap orang lain yang memujinya lebih banyak dari pada yang mencacinya, serta orang-orang yang menilai positif baginya (al-Muzakkûn) lebih banyak dari pada yang menilai negatif atasnya (al-Jârihûn), maka penilaian orang ini tidak dapat diterima, sekalipun ia punya penjelasan dalam penilainnya tersebut. Terlebih lagi apa bila orang yang menilai al-jarh ini berlandaskan karena panatisme madzhab, atau karena kecemburuan masalah duniawi dan lainnya. Kemudian pada akhir tulisan kaedah aljarhini, al-Imâm Tajuddin as-Subki menuliskan: “... dan adz-Dzahabi ini adalah guru kami.
Dari sisi ini ia adalah seorang yang memiliki ilmu dan memiliki sikap teguh dalam beragama. Hanya saja dia memiliki kebencian berlebihan terhadap para ulamadan ini yang membuat miris penulis--, tidak sedikit di antara generasi muda kita
saya ini berbeda dengan anjuran adz-Dzahabi. Saya menganjurkan anda untuk
membaca Tabyîn Kadzib al-Muftarî agar anda benar-benar mengenal sosok al-
Asy’ari dan mengetahui keagungan serta bertambah kecintaan kepadanya,
sementara adz-Dzahabi menganjurkan hal tersebut tidak lain hanya untuk
menutup mata anda, karena sebenarnya dia telah bosan dengan menyebut-nyebut Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam
Ahlussunnah. Karena itu adz-Dzahabi ini tidak boleh dijadikan sandaran”.
Masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin as-Subki juga
mengutip tulisan al-Imâm al-Hâfizh Shalahuddin Khalil ibn Kaikaldi al-Ala-i dalam
penilainnya terhadap adz-Dzahabi, sebagai berikut:
“Al-Hâfizh asy-Syaikh Syamsuddin adz-Dzahabi tidak saya ragukan dalam
keteguhan beragamanya, sikap wara’-nya, dan ketelitiannya dalam memilih
berbagai pendapat dari orang lain. Hanya saja dia adalah orang yang berlebihan
dalam memegang teguh madzhab itsbât dan dia sangat benci terhadap takwil
hingga ia melalaikan akidah tanzîh. Sikapnya ini telah memberikan pengaruh besar
terhadap tabi’atnya, hingga ia berpaling dari Ahl at-Tanzîh dan sangat cenderung
kapada Ahl al-Itsbât. Jika ia menuliskan biografi seseorang yang berasal dari Ahl al-
Itsbât maka dengan panjang lebar ia akan mengungkapkan segala kebaikan yang
ada pada diri orang tersebut, walaupun kebaikan-kebiakan itu hanya sebatas
prasangka saja ia tetap akan menyebut-nyebutnya dan bahkan akan melebihlebihkannya,
dan terhadap segala kesalahan dan aib orang ini ia akan berpurapura
melalaikannya dan menutup mata, atau bahkan ia akan membela orang
tersebut. Namun apa bila yang ia menuliskan biografi seorang yang ia anggap
tidak sepaham dengannya, seperti Imam al-Haramain, al-Imâm al-Ghazali, dan
lainnya maka sama sekali ia tidak mengungkapkannya secara proporsional,
sebaliknya ia akan menuliskan nama-nama orang yang mencaci-maki dan
menyerangnya. Ungkapan-ungkapan cacian tersebut bahkan seringkali ia tulis
berulang-ulang untuk ia tampakkan itu semua dengan nyata, bahkan ia meyakini
bahwa menuliskan ungkapan-ungkapan cacian semacam itu sebagai bagian dari
agama. Di sini ia benar-benar berpaling dari segala kebaikan para ulama agung
tersebut, dan karena itu dengan sengaja pula ia tidak menuliskan kebaikankebaikan
mereka. Sementara bila ia menemukan cacat kecil saja pada diri mereka
maka ia tidak akan melewatkannya. Perlakuan ini pula yang ia lakukan terhadap
para ulama yang hidup semasa dengan kami. Dalam menuliskan biografi para
ulama tersebut jika ia tidak mampu secara terus terang mengungkapkan cacian
atas diri mereka (karena takut diserang balik) maka ia akan menuliskan ungkapan
“Allâh Yushlihuh” (semoga Allah menjadikan dia seorang yang lurus), atau
semacamnya. Ini semua tidak lain adalah karena akidah dia yang berbeda dengan
mereka”30.
Setelah mengutip pernyataan al-Hâfizh al-Ala-i di atas, al-Imâm Tajuddin as-
Subki lalu menuliskan komentar berikut:
“Sebenarnya, keadaan guru kita adz-Dzahabi ini lebih parah dari pada apa
yang digambarkan oleh al-Hâfizh al-Ala-i. Benar, dia adalah syaikh kita dan guru
kita, hanya saja kebenaran lebih berhak untuk diikuti dari pada dirinya. Ia
memiliki panatisme yang berlebihan hingga mencapai batas yang tercela. Saya
khawatir atas dirinya di hari kiamat nanti bahwa ia akan dituntut oleh mayoritas
ulama Islam dan para Imam yang telah membawa syari’at Rasulullah kepada kita,
karena sesungguhnya mayoritas mereka adalah kaum Asy’ariyyah. Sementara
adz-Dzahabi apa bila ia menemukan seorang yang bermadzhab Asy’ari maka ia
tidak akan tinggal diam untuk mencelanya. Yang saya yakini bahwa para ulama
Asy’ariyyah tersebut, walaupun yang paling rendah di antara mereka di hari
kiamat nanti kelak akan menjadi musuh-musuhnya. Hanya kepada Allah kita
berharap agar bebannya diringankan, semoga Allah memberi ilham kepada para
ulama tersebut untuk memaafkannya, juga semoga Allah memberikan syafa’at
mereka baginya. Sementara itu, para ulama yang semasa dengan kami
mengatakan bahwa semua pendapat yang berasal dari dirinya tidak boleh di
anggap dan tidak boleh dijadikan sandaran”31.
Pada bagian lain, masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin
as-Subki juga menuliskan sebagai berikut:
“Adapun kitab at-Târîkh karya guru kami; adz-Dzahabi, semoga Allah
memberikan ampunan kepadanya, sekalipun sebuah karya yang bagus dan
menyeluruh, namun di dalamnya penuh dengan panatisme berlebihan, semoga
Allah memaafkannya. Di dalamnya ia telah banyak mencaci-maki para ahli agama,
yaitu mencaci maki kaum sufi, padahal mereka itu adalah orang-orang saleh. Ia
juga banyak menjelekan para Imam terkemuka dari kalangan madzhab Syafi’i dan
madzhab Hanafi. Ia memiliki kebencian yang berlebihan terhadap kaum
Asy’ariyyah. Sementara terhadap kaum Mujassimah ia memiliki kecenderungan
bahkan ia memuji-muji mereka. Walau demikian ia tetap salah seorang Hâfizh
terkemuka dan Imam yang agung. Jika sejarawan (Mu’arrikh) sekelas adz-Dzahabi
saja memiliki kecenderungan panatisme madzhab berlebihan hingga batas seperti
ini, maka bagaimana lagi dengan para sejarawan yang berada jauh di bawah
tingkatan adz-Dzahabi?! Karena itu pendapat kami ialah bahwa penilaian al-Jarh
(cacian) dan al-Madh (pujian) dari seorang sejarawan tidak boleh diterima kecuali
apa bila terpenuhi syarat-syarat yang telah dinyatakan oleh Imam agung umat ini (Habr al-Ummah), yaitu ayahanda kami (al-Imâm Taqiyuddin as-Subki), semoga rahmat Allah selalu tercurah atasnya”.
Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya karyanya berjudul
Qam’u al-Mu’âridl Bi Nushrah Ibn Fâridl menuliskan sebagai berikut:
“Anda jangan merasa heran dengan sikap sinis adz-Dzahabi. Sungguh adz-
Dzahabi ini memiliki sikap benci dan sangat sinis terhadap al-Imâm Fakhruddin ar- Razi, padalah ar-Razi adalah seorang Imam yang agung. Bahkan ia juga sangat
sinis terhadap Imam yang lebih agung dari pada Fakhruddin ar-Razi, yaitu kepada al-Imâm Abu Thalib al-Makki; penulis kitab Qût al-Qulûb. Bahkan lebih dari pada itu, ia juga sangat sinis dan sangat benci terhadap al-Imâm yang lebih tinggi lagi derajatnya dari pada Abu Thalib al-Makki, yaitu kepada al-Imâm Abu al-Hasan al- Asy’ari. Padahal siapa yang tidak kenal al-Asy’ari?! Namanya harum semerbak di seluruh penjuru bumi. Sikap buruk adz-Dzahabi ini ia tulis sendiri dalam karyakaryanya, seperti al-Mîzân, at-Târikh, dan Siyar A’lâm an-Nubalâ’. Adakah anda akan menerima penilaian buruk adz-Dzahabi ini terhadap para ulama agung tersebut?!
Demi Allah sekali-kali jangan, anda jangan pernah menerima penilaian adz-
Dzahabi ini. Sebaliknya anda harus menempatkan derajat para Imam agung
tersebut secara proporsional sesuai dengan derajat mereka masing-masing”32.
Asy-Syaikh al-Imâm Ibn al-Wardi dalam kitab Târîkh Ibn al-Wardi pada bagian
akhir dari juz ke dua dalam penulisan biografi adz-Dzahabi mengatakan bahwa di akhir hayatnya adz-Dzahabi bersegera menyelesaikan kitab Târîkh-nya. Dalam kitab at-Târîkh ini adz-Dzahabi menuliskan biografi para ulama terkemuka di daratan Damaskus dan lainnya. Metode penulisan yang dipakai adalah dengan bertumpu kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi di antara mereka dari masa ke masa, hanya
saja buku ini kemudian berisi sikap sinis terhadap beberapa orang ulama terkemuka Saya , , --sama sekali bukan untuk tujuan
mensejajarkan diri dengan para ulama di atas dalam menilai adz-Dzahabi, tapi hanya untuk saling mengingatkan di antara kita--, menambahkan: “Al-Hâfizh Syamsuddin adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Kebanyakan apa yang diajarkan oleh Ibn Taimiyah telah benar-benar diserap olehnya, tidak terkecuali dalam masalah akidah. Di antara karya adz-Dzahabi yang sekarang ini merupakan salah satu rujukan utama kaum Wahhabiyyah dalam menetapkan akidah tasybîh mereka adalah sebuah
buku berjudul “al-‘Uluww Li al-‘Aliyy al-‘Azhîm”. Buku ini wajib dihindari dan
dijauhkan dari orang-orang yang lemah di dalam masalah akidah. Karena ternyata, --
sekarang yang terlena dengan ajaran-ajaran Ibn Taimiyah dan faham-faham
Wahhabiyyah hingga menjadikan buku adz-Dzahabi ini sebagai salah satu rujukan
dalam menetapkan akidah tasybîh mereka. Hasbunallâh.
C. Siapakah Ibn Taimiyah?
Ia bernama Ahmad ibn Taimiyah, lahir di Harran dalam keluarga pecinta ilmu
dalam madzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang baik dan tenang pembawaannya,
ia termasuk orang yang dimuliakan oleh para ulama daratan Syam saat itu, juga
dimuliakan oleh orang-orang pemerintahan hingga mereka memberikan kepadanya
beberapa tugas ilmiah sebagai bantuan mereka atas ayah Ibn Taimiyah ini. Ketika
ayahnya ini meninggal, mereka kemudian mengangkat Ibn Taimiyah sebagai
pengganti untuk tugas-tugas ilmiah ayahnya tersebut. Bahkan mereka sengaja
menghadiri majelis-majelis Ibn Taimiyah sebagai support baginya dalam tugasnya
tersebut, dan mereka memberikan pujian kepadanya untuk itu. Ini tidak lain karena
mereka memandang terhadap dedikasi ayahnya dahulu dalam memangku jabatan
ilmiah yang telah ia emban. Namun ternyata pujian mereka terhadap Ibn Taimiyah ini
menjadikan ia lalai dan terbuai. Ibn Taimiyah tidak pernah memperhatikan akibat
dari pujian-pujian yang mereka lontarkan baginya. Dari sini, Ibn Taimiyah mulai
muncul dengan faham-faham bid’ah sedikit demi sedikit. Dan orang-orang yang
berada di sekelilingnyapun lalu sedikit demi sedikit menjauhinya karena fahamfaham
bid’ah yang dimunculkannya tersebut.
Ibn Taimiyah ini sekalipun cukup terkenal namanya, banyak karya-karyanya
dan cukup banyak pengikutnya, namun dia adalah orang yang telah banyak
menyalahi konsensus (Ijma’) ulama dalam berbagai masalah agama. Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh al-Muhaddits al-Hâfizh al-Faqîh Waliyyuddin al-Iraqi,
sebagi berikut: “Ia (Ibn Taimiyah) telah membakar ijma’ dalam berbagai masalah
agama yang sangat banyak, disebutkan hingga enam puluh masalah. Sebagian dalam
masalah yang terkait dengan pokok-pokok akidah, sebagian lainnya dalam masalahmasalah
furû’. Dalam seluruh masalah tersebut ia telah menyalahi apa yang telah
menjadi kesepakatan (Ijma’) ulama di atasnya”.
Sebagian orang awam di masa itu, -juga seperti yang terjadi di zaman sekarangyang
tidak mengenal benar siapa Ibn Taimiyah terlena dan terbuai dengan
“kebesaran” namanya. Mereka kemudian mengikuti bahkan laksana “budak” bagi
faham-faham yang diusung oleh Ibn Taimiyah ini. Para ulama di masa itu, di masa
hidup Ibn Taimiyah sendiri telah banyak yang memerangi faham-faham tersebut dan
menyatakan bahwa Ibn Taimiyah adalah pembawa ajaran-ajaran baru dan ahli bid’ah.
Di antara ulama terkemuka yang hidup di masa Ibn Taimiyah sendiri dan gigih
memerangi faham-fahamnya tersebut adalah al-Imâm al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn
Abd al-Kafi as-Subki. Beliau telah menulis beberapa risalah yang sangat kuat sebagai
bantahan atas kesesatan Ibn Taimiyah. Al-Imâm Taqiyyuddin as-Subki adalah ulama
terkemuka multi disipliner yang oleh para ulama lainnya dinyatakan bahwa beliau
telah mencapai derajat mujtahid mutlak, seperti al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm Malik, al-
Imâm Abu Hanifah atau lainnya. Dalam pembukaan salah satu karya bantahan beliau
terhadap Ibn Taimiyah, beliau menuliskan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Ibn Taimiyah telah membuat ajaran-ajaran baru. Ia telah
membuat faham-faham baru dalam masalah pokok-pokok akidah. Ia telah
menghancurkan sendi-sendi Islam dan rukun-rukun keyakinan Islam. Dalam
mempropagandakan faham-fahamnya ini, ia memakai topeng atas nama mengikut
al-Qur’an dan Sunnah. Ia menampakkan diri sebagai orang yang menyeru kepada
kebenaran dan kepada jalan surga. Sesungguhnya dia bukan seorang yang
mengikut kepada kebenaran, tapi dia adalah seorang yang telah membawa ajaran
baru, seorang ahli bid’ah. Ia telah menyimpang dari mayoritas umat Islam dengan
menyalahi berbagai masalah yang telah menjadi ijma’. Ia telah berkeyakinan pada
Dzat Allah yang Maha Suci sebagai Dzat yang memiliki anggota-anggota badan
dan tersusun dari anggota-anggota tersebut”34.
Di antara faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah dalam masalah pokok-pokok
agama yang telah menyalahi ijma’ adalah; berkeyakinan bahwa jenis alam ini tidak
memiliki permulaan. Menurutnya jenis (al-Jins atau an-Nau’) alam ini qadim bersama
Allah. Artinya menurut Ibn Taimiyah jenis alam ini qadim seperti Qadim-nya Allah.
Menurutnya yang baru itu hanyalah materi-meteri (al-Mâddah) alam ini saja. Dalam
pemahamannya ini, Ibn Taimiyah telah mengambil separuh kekufuran kaum filosof
terdahulu yang berkeyakinan bahwa alam ini Qadim, baik dari segi jenis maupun
materi-materinya. Ibn Taimiyah mengambil separuh kekufuran mereka, mengatakan
bahwa yang qadim dari alam ini adalah dari segi jenisnya saja. Dua faham sama-sama
sebagai suatu kekufuran dengan kesepakatan (Ijma’) para ulama, sebagaimana Ijma’
ini telah dinyatakan di antaranya oleh al-Imâm Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynîf
al-Masâmi’ Bi Syarh Jama’ al-Jawâmi’, karena keyakinan semacam ini sama dengan
menetapkan adanya sesuatu yang azali kepada selain Allah, dan menetapkan sifat
yang hanya dimiliki Allah bagi makhluk-makhluk-Nya.
Faham ekstrim lainnya dari Ibn Taimiyah; ia mengatakan bahwa Allah adalah
Dzat yang tersusun dari anggota-anggota badan. Menurutnya Allah bergerak dari
atas ke bawah, memiliki tempat dan arah, dan disifati dengan berbagai sifat benda
lainnya. Dalam beberapa karyanya dengan sangat jelas Ibn Taimiyah menuliskan
bahwa Allah memiliki ukuran sama besar dengan arsy, tidak lebih besar dan tidak
lebih kecil dari padanya. Faham sesat lainnya, ia mengatakan bahwa seluruh Nabi
Allah bukan orang-orang yang terpelihara (Ma’shûm). Juga mengatakan bahwa Nabi
Muhammad sudah tidak lagi memiliki kehormatan dan kedudukan (al-Jâh), dan
tawassul dengan Jâh Nabi Muhammad tersebut adalah sebuah kesalahan dan
kesesatan. Bahkan mengatakan bahwa perjalanan untuk tujuan ziarah kepada
Rasulullah di Madinah adalah sebuah perjalanan maksiat yang tidak diperbolehkan
untuk mengqashar shalat dalam perjanan tersebut. Faham sesat lainnya; ia
mengatakan bahwa siksa di dalam neraka tidak selamanya. Dalam keyakinannya,
bahwa neraka akan punah, dan semua siksaan yang ada di dalamnya akan habis.
Seluruh perkara-perkara “nyeleneh” ini telah ia tuliskan sendiri dalam berbagai
karyanya, dan bahkan di antaranya di kutip oleh beberapa orang murid Ibn Taimiyah
sendiri.
Karena faham-faham ekstrim ini, Ibn Taimiyah telah berulangkali diminta
untuk taubat dengan kembali kepada Islam dan meyakini keyakinan-keyakinan yang benar. Namun demikian, ia juga telah berulang kali selalu saja menyalahi janjijanjinya.
Dan untuk “keras kepalannya” ini Ibn Taimiyah harus membayar mahal
dengan dipenjarakan hingga ia meninggal di dalam penjara tersebut. Pemenjaraan
terhadap Ibn Taimiyah tersebut terjadi di bawah rekomendasi dan fatwa dari para
hakim empat madzhab di masa itu, hakim dari madzhab Syafi’i, hakim dari madzhab
Maliki, hakim dari madzhab Hanafi, dan dari hakim dari madzhab Hanbali. Mereka
semua sepakat memandang Ibn Taimiyah sebagai seorang yang sesat, wajib
diwaspadai, dan dihindarkan hingga tidak menjermuskan banyak orang.
Peristiwa ini semua termasuk berbagai kesesatan Ibn Taimiyah secara detail
telah diungkapkan oleh para ulama dalam berbagai karya mereka. Di antaranya telah
diceritakan oleh murid Ibn Taimiyah sendiri, yaitu Ibn Syakir al-Kutubi dalam
karyanya berjudul ‘Uyûn at-Tawârîkh. Bahkan penguasa di masa itu, as-Sulthân
Muhammad ibn Qalawun telah mengeluarkan statemen resmi yang beliau
perintahkan untuk dibacakan di seluruh mimbar-mimbar mesjid di wilayah Mesir dan
daratan Syam (Siria, Libanon, Palestina, dan Yordania) bahwa Ibn Taimiyah dan para
pengikutnya adalah orang-orang yang sesat, yang wajib dihindari. Akhirnya Ibn
Taimiyah dipenjarakan dan baru dikeluarkan dari penjara tersebut setelah ia
meninggal pada tahun 728 H. Berikut ini akan kita lihat beberapa faham kontroversial
Ibn Taimiyah yang ia tuliskan sendiri dalam karya-karyanya, di mana fahamfahamnya
ini mendapatkan reaksi keras dari para ulama yang hidup semasa dengan
Ibn Taimiyah sendiri atau dari mereka yang hidup sesudahnya.
D. Di Antara Faham Kontroversi Ibn Taimiyah
Kontroversi Pertama; “Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa alam ini tidak memiliki
permulaan, ia ada azaly bersama Allah”
Dalam keyakinan Ibn Taimiyah bahwa jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini
tidak memiliki permulaan, ia azaly atau qadim sebagaimana Allah Azaly dan Qadim.
Menurut Ibn Taimiyah, yang baru dan memiliki permulaan dari alam ini hanyalah
materi-materinya saja (al-Mâddah atau al-Afrâd), sementara jenis-jenisnya adalah
sesuatu yang azaly. Keyakinan Ibn Taimiyah ini persis seperti keyakinan para filosof
terdahulu yang mengatakan bahwa alam ini adalah sesuatu yang qadim atau azaly;
tidak memiliki permulaan, baik dari segi jenis-jenisnya maupun dari segi materimaterinya.
Hanya saja Ibn Taimiyah mengambil separuh kesesatan dan kekufuran
para folosof tersebut, yaitu mengatakan bahwa yang qadim dari alam ini adalah
hanya al-Jins atau an-Nau’-nya saja.
Keyakinan sesat dan kufur ini adalah di antara beberapa keyakinan yang paling
buruk yang dikutip dari faham-faham ektrim Ibn Taimiyah. Keyakinan semacam ini
jelas berseberangan dengan logika sehat, dan bahkan menyalahi dalil-dalil tekstual,
sekaligus menyalahi apa yang telah menjadi konsensus (Ijma’) seluruh orang Islam.
Ibn Taimiyah menuslikan faham ekstrimnya ini dalam bayak karyanya sendiri, di
antaranya; Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl Li Shahîh al-Manqûl35, Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah36, Kitab Syarh Hadîts an-Nuzûl37, Majmû’ al-Fatâwâ38, Kitâb Syarh Hadîts
‘Imrân Ibn al-Hushain39, dan Kitâb Naqd Marâtib al-Ijmâ’40. Seluruh kitab-kitab ini telah
diterbitkan dan anda dapat melihat statemennya ini dengan mata kepala sendiri.
Keyakinan Ibn Taimiyah ini jelas menyalahi teks-teks syari’at, baik ayat-ayat al-
Qur’an maupun hadits-hadits Nabi, serta menyalahi konsensus (Ijma’) seluruh orang
Islam. Di samping itu juga nyata sebagai faham yang menyalahi akal sehat. Dalam
salah satu ayat al-Qur’an Allah berfirman:هُوَ الأوّلُ وَالآخِرُ (الحديد: 3
Dialah Allah al-Awwal (yang tidak memiliki permulaan), dan Dialah Allah al-
Akhir (yang tidak memiliki penghabisan)”. (QS. al-Hadid: 3).
Kata al-Awwal dalam ayat ini artinya al-Azaly atau al-Qadîm, maknanya tidak
memiliki permulaan. Makna al-Awwal, al-Azaly dan atau al-Qadîm dalam pengertian
ini secara mutlak hanya milik Allah saja. Tidak ada suatu apapun dari makhluk Allah
yang memiliki sifat seperti ini. Karena itu segala sesuatu selain Allah disebut makhluk
karena semuanya adalah ciptaan Allah, artinya segala sesuatu selain Allah menjadi
ada karena Allah yang mengadakannya. Dengan demikian segala sesuatu selain Allah
maka dia baru, semuanya ada dari tidak ada. Keyakinan Ibn Taimiyah di atas jelas
menyalahi teks al-Qur’an, karena dengan demikian sama saja ia telah menetapkan
adanya sekutu bagi Allah pada sifat Azaly-Nya. Dan menetapkan adanya sekutu bagi
Allah adalah keyakinan syirik.
Kontroversi Ke Dua: “Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah adalah Jism
(benda)”
Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah sebagai benda ia sebutkan dalam banyak
tempat dari berbagai karyanya. Dengan pendapatnya ini ia banyak membela
kesesatan kaum Mujassimah; kaum yang berkeyakinan bahwa Allah sebagai jism
(benda). Pernyataannya ini di antaranya disebutkan dalam Syarh Hadîts an-Nunzûl41,
Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl Li Shahîh al-Manqûl42, Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah43,
Majmû’ Fatâwa44, dan Bayân Talbîs al-Jahmiyyah45.
Di antara ungkapannya yang ia tuliskan dalam Bayân Talbîs al-Jahmiyyah adalah
sebagai berikut:
“Sesungguhnya tidak ada penyebutan baik di dalam al-Qur’an, hadits-hadits
Nabi, maupun pendapat para ulama Salaf dan Imam mereka yang menafian tubuh
(jism) dari Allah. Juga tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat
Allah bukan sifat-sifat benda. Dengan demikian mengingkari apa yang telah tetap
secara syari’at dan secara akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari
Allah, adalah suatu kebodohan dan kesesatan”46.
Kontroversi Ke Tiga; ”Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah berada pada
tempat dan arah, dan bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran”
Keyakinan Ibn Taimiyah bahwa Allah berada pada tempat dan bahwa Allah
memiliki bentuk dan ukuran dengan sangat jelas ia sebutkan dalam karya-karyanya
sendiri, di antaranya dalam karyanya berjudul Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl,
menuliskan sebagai berikut:
“Semua manusia, baik dari orang-orang kafir maupun orang-orang mukmin
telah sepakat bahwa Allah bertempat di langit, dan bahwa Dia diliputi dan
dibatasi oleh langit tersebut, kecuali pendapat al-Marisi dan para pengikutnya
yang sesat. Bahkan anak-anak kecil yang belum mencapai umur baligh apa bila
mereka bersedih karena tertimpa sesuatu maka mereka akan mengangkat tangan
ke arah atas berdoa kepada Tuhan mereka yang berada di langit, tidak kepada
apapun selain yang langit tersebut. Setiap orang lebih tahu tentang Allah dan
tempat-Nya di banding orang-orang Jahmiyyah”47.
Dalam karyanya berjudul as-Sab’iniyyah, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai
berikut:
“Allah berfirman: “Laysa Kamitslihi Syai’” (QS. Asy-Syura: 11), dalam ayat
ini Dia mensucikan diri-Nya bahwa Dia tidak menyerupai suatu apapun, namun
kemudian pada lanjutannya Dia berfirman: “Wa Huwa as-Sami’ al-Bashir” (QS. Asy-
Syura: 11), dalam ayat ini Dia menyerupakan diri-Nya sendiri dengan makhluk-
Nya. Padahal ayat QS. Asy-Syura; 11 ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an dalam menetapkan kesucian Allah dari menyerupai segala makhluk-Nya,
namun demikian Dia tidak lepas dari keserupaan dengan makhluk-nya; yaitu
dalam keberadaan-Nya pada tempat”48.
Dalam Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl Ibn Taimiyah menuliskan perkataan Abu
Sa’id ad-Darimi dan menyepakatinya, berkata:
“Sesungguhnya Allah memiliki batasan (bentuk) dan tidak ada yang dapat
mengetahui bentuk-Nya kecuali Dia sendiri. Tidak boleh bagi siapapun untuk
membayangkan bahwa bentuk Allah tersebut adalah sesuatu yang
berpenghabisan. Sudah seharusnya ia beriman bahwa Allah memiliki bentuk, dan
cukup ia serahkan pengetahuan tentang itu kepada-Nya. Demikian pula tempat-
Nya memiliki batasan (bentuk), yaitu bahwa Dia berada di atas arsy di atas
seluruh lapisan langit. Maka keduanya ini (Allah dan tempat-Nya) memiliki
bentuk dan batasan”49.
Kontroversi Ke Empat; ”Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah Allah duduk,
turun naik, dan berada di atas arsy”
Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah duduk sangat jelas ia sebutkan dalam
beberapa tempat dari karya-karyanya, sekalipun hal ini diingkari oleh sebagian para
pengikutnya ketika mereka tahu bahwa hal tersebut adalah keyakinan yang sangat
buruk, di antaranya dalam kitabnya berjudul Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah,
menuliskan: “Sesungguhnya mayoritas Ahlussunnah berkata bahwa Allah turun dari
arsy, namun demikian arsy tersebut tidak sunyi dari-Nya”50.
Dalam kitab Syarh Hadîts an-Nuzûl, Ibn Taimiyah menuliskan: “Pendapat ke
tiga, yang merupakan pendapat benar, yang datang dari pernyataan para ulama Salaf
dan para Imam terkemuka bahwa Allah berada di atas arsy. Dan bahwa arsy tersebut
tidak sunyi dari-Nya ketika Dia turun menuju langit dunia. Dengan demikian maka
asry tidak berada di arah atas-Nya”51.
Dan bahkan lebih jelas lagi ia sebutkan dalam Majmû’ Fatâwâ. Ibn Taimiyah
berkata: “Para ulama yang diridlai oleh Allah dan para wali-Nya telah menyatakan
bahwa Rasulullah; Muhammad didudukan oleh Allah di atas arsy bersama-Nya”52.
Keyakinan buruk Ibn Taimiyah ini disamping telah ia tuliskan dalam karyakaryanya
sendiri, demikian pula telah disebutkan oleh para ulama yang semasa
dengannya atau para ulama yang datang sesudahnya, dan bahkan oleh beberapa orang muridnya sendiri. Dengan demikian keyakinan ini bukan sebuah kedustaan
belaka, tapi benar adanya sebagai keyakinan Ibn Taimiyah. Dan anda lihat sendiri,
keyakinan inilah pula di masa sekarang ini yang dipropagandakan oleh para pengikut
Ibn Taimiyah, yaitu kaum Wahhabiyyah. Di antara bukti bahwa Ibn Taimiyah
berkeyakinan demikian adalah perkataan salah seorang ulama terkemuka yang hidup
semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri; yaitu al-Imâm al-Mufassir Abu Hayyan al-
Andalusi dalam kitab tafsirnya bejudul an-Nahr al-Mâdd menuliskan sebagai berikut:
“Saya telah membaca dalam sebuah buku karya Ahmad ibn Taimiyah, seorang
yang hidup semasa dengan kami, yang ia tulis dengan tangannya sendiri, yaitu
buku berjudul al-Arsy, di dalamnya ia berkata: “Sesungguhnya Allah duduk di
atas Kursi, dan Dia telah menyisakan tempat dari Kursi tersebut untuk Ia dudukan
Nabi Muhammad di sana bersama-Nya”. Ibn Taimiyah ini adalah orang yang
pemikirannya dikuasai oleh pemikiran at-Taj Muhammad ibn Ali ibn Abd al-Haqq
al-Barinbri, bahkan Ibn Taimiyah ini telah menyerukan dan berdakwah kepada
pemikiran orang tersebut, dan mengambil segala pemikirannya darinya. Dan kita
telah benar-benar membaca hal tersebut berada di dalam bukunya itu”53.
Klaim Ibn Taimiyah bahwa apa yang ia tuliskan ini sebagai keyakinan ulama
Salaf adalah bohong besar. Kita tidak akan menemukan seorang-pun dari para ulama
Salaf saleh yang berkeyakinan tasybîh semacam itu. Anda perhatikan pernyataan Ibn
Taimiyah di atas, sangat buruk dan tidak konsisten. Di beberapa karyanya ia
menyatakan bahwa Allah duduk di atas arsy, namun dalam karyanya yang lain ia
menyebutkan bahwa Allah duduk di atas kursi. Padahal dalam sebuah hadits shahih
telah disebutkan bahwa besarnya bentuk arsy dibandingkan dengan Kursi tidak
ubahnya seperti sebuah kerikil kecil di banding padang yang sangat luas. Artinya
bahwa bentuk arsy sangat besar, dan bahkan merupakan makhluk Allah yang paling
besar bentuknya, sementara bentuk Kursi sangatlah kecil. Di mana ia meletakan
logikanya; mengatakan bahwa Allah duduk di atas arsy, dan pada saat yang sama ia
juga mengatakan bahwa Allah duduk di atas kursi?! Hasbunallâh.
Cukup untuk membantah keyakinan sesat semacam ini dengan mengutip
pernyataan al-Imâm Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib; atau yang lebih dikenal 
dengan nama al-Imâm Ali Zain al-Abidin, bahwa beliau berkata: “Maha suci Engkau
wahai Allah, Engkau tidak di dapat diindra, tidak dapat disentuh, dan tidak dapat
diraba”54. Artinya bahwa Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran.
  • Kontroversi Ke Lima; ”Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa neraka dan segala siksaan terhadap orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan 
Termasuk kontroversi besar yang menggegerkan dari Ibn Taimiyah adalah
pernyataannya bahwa neraka akan punah, dan bahwa siksaan terhadap orang-orang
kafir di dalamnya memiliki penghabisan. Kontroversi ini bahkan diikuti oleh murid
terdekatnya; yaitu Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah55. Dalam karyanya berjudul ar-Radd
’Ala Man Qâla Bi Fanâ’ an-Nâr, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
”Di dalam kitab al-Musnad karya ath-Thabarani disebutkan bahwa di bekas
tempat neraka nanti akan tumbuh tumbuhan Jirjir. Dengan demikian maka
pendapat bahwa neraka akan punah dikuatkan dengan dalil dari al-Qur’an,
Sunnah, dan perkataan para sahabat. Sementara mereka yang mengatakan bahwa
neraka kekal tanpa penghabisan tidak memiliki dalil; baik dari al-Qur’an maupun
Sunnah”56.
Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas merupakan dusta besar terhadap para ulama
Salaf dan terhadap al-Imâm ath-Thabarani. Anda jangan tertipu, karena pendapat itu
adalah ”akal-akalan” belaka. Anda tidak akan pernah menemukan seorang-pun dari
para ulama Salaf yang berkeyakinan semacam itu. Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas
telah menyalahi teks-teks al-Qur’an dan hadits serta Ijma’ seluruh orang Islam yang
telah bersepakat bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Bahkan, dalam
lebih dari 60 ayat di dalam al-Qur’an secara sharîh (jelas) menyebutkan bahwa surga
dengan segala kenikmatan dan seluruh orang-orang mukmin akan kekal di dalamnya
tanpa penghabisan, dan bahwa neraka dengan segala siksaan serta seluruh orangorang
kafir akan kekal di dalamnya tanpa penghabisan, di antaranya dalam QS. Al-
Ahzab: 64-65, QS. At-Taubah: 68, QS. An-Nisa: 169, dan berbagai ayat lainnya.
Kemudian di dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bahwa
keduanya kekal tanpa penghabisan, di antaranya hadits shahih riwayat al-Bukhari
dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
يقَُالُ لِأهْلِ الجَْنّةِ: يَا أهْلَ الجَْنّةِ خُلُوْدٌ لاَ مَوْت، وَلأهْلِ النّار: خُلُوْدٌ لاَ مَوْت (رواه البخاري
Dikatakan kepada penduduk surga: ”Wahai penduduk surga kalian kekal
tidak akan pernah mati”. Dan dikatakan bagi penduduk neraka: ”Wahai
penduduk neraka kalian kekal tidak akan pernah mati”. (HR. al-Bukhari).
Ini adalah salah satu kontroversi Ibn Taimiyah, -selain berbagai kontroversi
lainnya- yang memicu ”perang” antara dia dengan al-Imâm al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki. Hingga kemudian al-Imâm as-Subki membuat risalah berjudul
”al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr” sebagai bantahan keras kepada Ibn Taimiyah,
yang bahkan beliau tidak hanya menyesatkannya tapi juga mengkafirkannya. Di
antara yang dituliskan al-Imâm as-Subki dalam risalah tersebut adalah sebagai berikut:
”Sesungguhnya keyakinan seluruh orang Islam adalah bahwa surga dan
neraka tidak akan pernah punah selamanya. Kesepakatan (Ijma’) keyakinan ini
telah dikutip oleh Ibn Hazm, dan bahwa siapapun yang menyalahi hal ini maka ia
telah menjadi kafir sebagaimana hal ini telah disepakati (Ijma’). Sudah barang
tentu hal ini tidak boleh diragukan lagi, karena kekalnya surga dan neraka adalah
perkara yang telah diketahui oleh seluruh lapisan orang Islam (Ma’lûm Min ad-Dîn
Bi adl-Dlarûrah). Dan sesungguhnya sangat banyak sekali dalil menunjukan di atas
hal itu”57.
Pada bagian lain dalam risalah tersebut al-Imâm as-Subki menuliskan:
”Seluruh orang Islam telah sepakat di atas keyakinan bahwa surga dan neraka
kekal tanpa penghabisan. Keyakinan ini dipegang kuat turun temurun antar
generasi yang diterima oleh kaum Khalaf dari kaum Salaf dari Rasulullah.
Keyakinan ini tertancap kuat di dalam fitrah seluruh orang Islam, yang perkara
tersebut telah diketahui oleh seluruh lapisan mereka. Bahkan tidak hanya orangorang
Islam, agama-agama lain-pun di luar Islam meyakini demikian. Maka
barangsiapa meyalahi keyakinan ini maka ia telah menjadi kafir”58.
E. Para Ulama Memerangi Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah (w 728 H) adalah sosok kontroversial yang segala kesesatannya
telah dibantah oleh berbagai lapisan ulama dari empat madzhab; ulama madzhab
Syafi’i, ulama madzhab Hanafi, ulama madzhab Maliki, dan oleh para ulama
madzhab Hanbali. Bantahan-bantahan tersebut datang dari mereka yang hidup
semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri maupun dari mereka yang datang setelahnya.
Berikut ini adalah di antara para ulama tersebut dengan beberapa karyanya masingmasing59:
1. Al-Qâdlî al-Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (w
733 H).
2. Al-Qâdlî Ibn Muhammad al-Hariri al-Anshari al-Hanafi.
3. Al-Qâdlî Muhammad ibn Abi Bakr al-Maliki
4. Al-Qâdlî Ahmad ibn Umar al-Maqdisi al-Hanbali. Ibn Taimiyah di masa hidupnya
dipenjarakan karena kesesatannya hingga meninggal di dalam penjara dengan
rekomedasi fatwa dari para hakim ulama empat madzhab ini, yaitu pada tahun 726
H. Lihat peristiwa ini dalam kitab ‘Uyûn at-Tawârikh karya al-Imâm al-Kutubi, dan
dalam kitab Najm al-Muhtadî Fî Rajm al-Mu’tadî karya al-Imâm Ibn al-Mu’allim al-
Qurasyi.
5. Asy-Syaikh Shaleh ibn Abdillah al-Batha-ihi, Syaikh al-Munaibi’ ar-Rifa’i. salah
seorang ulama terkemuka yang telah menetap di Damaskus (w 707 H).
6. Asy-Syaikh Kamaluddin Muhammad ibn Abi al-Hasan Ali as-Sarraj ar-Rifa’i al-
Qurasyi asy-Syafi’i. salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan
Ibn Taimiyah sendiri.
 Tuffâh al-Arwâh Wa Fattâh al-Arbâh
7. Ahli Fiqih dan ahli teologi serta ahli tasawwuf terkemuka di masanya; asy-Syaikh
Tajuddin Ahmad ibn ibn Athaillah al-Iskandari asy-Syadzili (w 709 H).
8. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) di seluruh wilayah negara Mesir; asy-Syaikh
Ahmad ibn Ibrahim as-Suruji al-Hanafi (w 710 H).
 I’tirâdlât ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi ‘Ilm al-Kalâm.
9. Pimpinan para hakim madzhab Maliki di seluruh wilayah negara Mesir pada
masanya; asy-Syaikh Ali ibn Makhluf (w 718 H). Di antara pernyataannya sebagai
berikut: “Ibn Taimiyah adalah orang yang berkeyakinan tajsîm, dan dalam
keyakinan kita barangsiapa berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir
yang wajib dibunuh”.
10. Asy-Syaikh al-Faqîh Ali ibn Ya’qub al-Bakri (w 724 H). Ketika suatu waktu Ibn
Taimiyah masuk wilayah Mesir, asy-Syaikh Ali ibn Ya’qub ini adalah salah seorang
ulama terkemuka yang menentang dan memerangi berbagai faham sesatnya.
11. Al-Faqîh Syamsuddin Muhammad ibn Adlan asy-Syafi’i (w 749 H). Salah seorang
ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah yang telah mengutip
langsung bahwa di antara kesesatan Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah
berada di atas arsy, dan secara hakekat Dia berada dan bertempat di atasnya, juga
mengatakan bahwa sifat Kalam Allah berupa huruf dan suara.
12. Al-Imâm al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H).
 al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr.
 ad-Durrah al-Mudliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah.
 Syifâ’ as-Saqâm Fî Ziyârah Khair al-Anâm
 an-Nazhar al-Muhaqqaq Fi al-Halaf Bi ath-Thalâq al-Mu’allaq.
 Naqd al-Ijtimâ’ Wa al-Iftirâq Fî Masâ-il al-Aymân Wa ath-Thalâq.
 at-Tahqîq Fî Mas-alah at-Ta’lîq.
 Raf’u asy-Syiqâq Fî Mas’alah ath-Thalâq.
13. Al-Muhaddits al-Mufassir al-Ushûly al-Faqîh Muhammad ibn Umar ibn Makki yang
dikenal dengan sebutan Ibn al-Murahhil asy-Syafi’i (w 716 H). Di masa hidupnya
ulama besar ini telah berdebat dan memerangi Ibn Taimiyah.
14. Al-Imâm al-Hâfizh Abu Sa’id Shalahuddin al-‘Ala-i (w 761 H). Imam terkemuka ini
mencela dan telah memerangi Ibn Taimiyah. Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî
Tarâjum Nubalâ’ al-‘Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33.
 Ahâdîts Ziyârah Qabr an-Naby.
15. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) kota Madinah al-Imâm Abu Abdillah
Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al-Hanbali (w 726 H).
16. Al-Imâm asy-Syaikh Ahmad ibn Yahya al-Kullabi al-Halabi yang dikenal dengan
sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
 Risâlah Fî Nafyi al-Jihah.
17. Al-Qâdlî Kamaluddin ibn az-Zamlakani (w 727 H). Ulama besar yang semasa
dengan Ibn Taimiyah ini telah memerangi seluruh kesesatan Ibn Taimiyah, hingga
beliau menuliskan dua risalah untuk itu. Pertama dalam masalah talaq, dan kedua
dalam masalah ziarah ke makam Rasulullah.
18. Al-Qâdlî Shafiyuddin al-Hindi (w 715 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
19. Al-Faqîh al-Muhaddits Ali ibn Muhammad al-Baji asy-Syafi’i (w 714 H). Telah
memerangi Ibn Taimiyah dalam empat belas keyakinan sesatnya, dan telah
mengalahkan serta menundukannya.
20. Sejarawan terkemuka (al-Mu-arrikh) al-Faqîh al-Mutakallim al-Fakhr ibn Mu’allim al-
Qurasyi (w 725 H).
 Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî
21. Al-Faqîh Muhammad ibn Ali ibn Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Damasyqi (w 721 H).
 Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah ath-Thalâq
 Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah az-Ziayârah
22. Al-Faqîh Abu al-Qasim Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syirazi (w 733
H).
 Risâlah Fi ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah
23. Al-Faqîh al-Muhaddits Jalaluddin al-Qazwini asy-Syafi’i (w 739 H).
24. As-Sulthan Ibn Qalawun (w 741 H). Beliau adalah Sultan kaum Muslimin saat itu,
telah menuliskan surat resmi prihal kesesatan Ibn Taimiyah.
25. Al-Hâfizh adz-Dzahabi (w 748 H) yang merupakan murid Ibn Taimiyah sendiri.
 Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.
 an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah.
26. Al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (745 H).
 Tafsîr an-Nahr al-Mâdd Min al-Bahr al-Muhîth
27. Asy-Syaikh Afifuddin Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani al-Makki (w 768 H).
28. Al-Faqîh asy-Syaikh Ibn Bathuthah, salah seorang ulama terkemuka yang telah
banyak melakukan rihlah (perjalanan).
29. Al-Faqîh Tajuddin Abd al-Wahhab ibn Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w
771 H).
 Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ
30. Seorang ulama ahli sejarah terkemuka (al-Mu-arrikh) asy-Syaikh Ibn Syakir al-
Kutubi (w 764 H).
 ‘Uyûn at-Tawârikh.
31. Asy-Syaikh Umar ibn Abi al-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w 734 H).
 at-Tuhfah al-Mukhtârah Fî ar-Radd ‘Alâ Munkir az-Ziyârah
32. Al-Qâdlî Muhammad as-Sa’di al-Mishri al-Akhna’i (w 750 H).
 al-Maqâlât al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Man Yunkir az-Ziyârah al-
Muhammadiyyah, dicetak satu kitab dengan al-Barâhîn as-Sâthi’ah karya asy-
Syaikh Salamah al-Azami.
33. Asy-Syaikh Isa az-Zawawi al-Maliki (w 743 H).
 Risâlah Fî Mas-alah ath-Thalâq.
34. Asy-Syaikh Ahamad ibn Utsman at-Turkimani al-Jauzajani al-Hanafi (w 744 H).
 al-Abhâts al-Jaliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah.
35. Al-Imâm al-Hâfizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad yang dikenal dengan Ibn Rajab al-
Hanbali (w 795 H).
 Bayân Musykil al-Ahâdîts al-Wâridah Fî Anna ath-Thalâq ats-Tsalâts Wâhidah.
36. Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H).
 ad-Durar al-Kâminah Fî A’yân al-Mi-ah ats-Tsâminah.
 Lisân al-Mizân.
 Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri.
 al-Isyârah Bi Thuruq Hadîts az-Ziyârah.
37. Al-Imâm al-Hâfizh Waliyuddin al-Iraqi (w 826 H).
 al-Ajwibah al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-As-ilah al-Makkiyyah.
38. Al-Faqîh al-Mu-arrikh al-Imâm Ibn Qadli Syubhah asy-Syafi’i (w 851 H).
 Târîkh Ibn Qâdlî Syubhah.
39. Al-Faqîh al-Mutakallim Abu Bakar al-Hushni penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr (829 H).
 Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasaba Dzâlika Ilâ al-Imâm Ahmad.
40. Salah seorang ulama terkemuka di daratan Afrika pada masanya; asy-Syaikh Abu
Abdillah ibn Arafah at-Tunisi al-Maliki (w 803 H).
41. Al-‘Allâmah Ala’uddin al-Bukhari al-Hanafi (w 841 H). Beliau mengatakn bahwa
Ibn Taimiyah adalah seorang yang kafir. Beliau juga mengkafirkan orang yang
menyebut Ibn Taimiyah dengan Syaikh al-Islâm jika orang tersebut telah
mengetahui kekufuran-kekufuran Ibn Taimiyah. Pernyataan al-’Allâmah Ala’uddin
al-Bukhari ini dikutip oleh al-Imâm al-Hâfizh as-Sakhawi dalam kitab adl-Dlau’ al-
Lâmi’.
42. Asy-Syaikh Muhammad ibn Ahmad Hamiduddin al-Farghani ad-Damasyqi al-
Hanafi (w 867 H).
 ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi al-I’tiqâdât.
43. Asy-Syaikh Ahamd Zauruq al-Fasi al-Maliki (w 899 H).
 Syarh Hizb al-Bahr.
44. Al-Imâm al-Hâfizh as-Sakhawi (902 H)
 al-I’lân Bi at-Taubikh Liman Dzamma at-Târîkh.
45. Asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan Ibn Abd as-Salam al-
Mishri (w 931 H)
 al-Qaul an-Nâshir Fî Radd Khabbath ‘Ali Ibn Nâshir.
46. Al-‘Allâmah asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad al-Khawarizmi ad-Damasyqi yang
dikenal dengan Ibn Qira (w 968 H).
47. Al-Imâm al-Qâdlî al-Bayyadli al-Hanafi (1098 H)
 Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât al-Imâm.
48. Asy-Syaikh al-‘Allâmah Ahmad ibn Muhammad al-Witri (w 980 H)
 Raudlah an-Nâzhirîn Wa Khulâshah Manâqib ash-Shâlihîn.
49. Al-Faqîh al-’Allâmah asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H).
 al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah.
 al-jawhar al-Munazh-zham Fî Ziyârah al-Qabr al-Mu’azham.
 Hâsyihah al-Idlâh Fî Manâsik al-Hajj Wa al-‘Umrah.
50. Asy-Syaikh Jalaluddin ad-Dawani (w 928 H).
 Syarh al-‘Aqâ-id al-Adludiyyah.
51. Asy-Syaikh Abd an-Nafi ibn Muhammad ibn Ali ibn Iraq ad-Damasyqi (w 962 H).
Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-Ashr karya Ibn Thulun pada
halaman 32-33.
52. Asy-Syaikhal-Qâdlî Abu Abdillah al-Maqarri.
 Nazhm al-La-âlî Fî Sulûk al-Âmâlî.
53. Asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari al-Hanafi (w 1014 H)
 Syarh asy-Syifâ Bi Ta’rif Huqûq al-Musthafâ Li al-Qâdlî ‘Iyâdl.
54. Al-Imâm asy-Syaikh Abd ar-Ra’uf al-Munawi asy-Syafi’i (w 1031 H).
 Syarh asy-Syamâ’il al-Muhammadiyyah Li at-Tirmidzi.
55. Asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad ibn Ali ibn Allan ash-Shiddiqi al-Makki (w
1057 H).
 aL-Mubrid al-Mubki Fî Radd ash-Shârim al-Manki.
56. Asy-Syaikh Ahmad al-Khafaji al-Mishri al-Hanafi (w 1069 H).
 Syarh asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ Li al-Qâdlî ‘Iyâdl.
57. Al-Mu-arrikh asy-Syaikh Ahmad Abu al-Abbas al-Maqarri (w 1041 H).
 Azhar ar-Riyâdl.
58. Asy-Syaikh Muhammad az-Zarqani al-Maliki (w 1122 H)
 Syarh al-Mawâhib al-Ladunniyyah.
59. Asy-Syaikh Abd al-Ghani an-Nabulsi ad-Damasyqi (1143 H). Beliau banyak
menyerang Ibn Taimiyah dalam berbagai karyanya.
60. Al-Faqîh ash-Shûfi asy-Syaikh Muhammad Mahdi ibn Ali ash-Shayyadi yang dikenal
dengan nama ar-Rawwas (w 1287 H).
61. Asy-Syaikh Idris ibn Ahmad al-Wizani al-Fasi al-Maliki.
 an-Nasyr ath-Thayyib ‘Alâ Syarh asy-Syaikh ath-Thayyib.
62. Asy-Syaikh as-Sayyid Muhammad Abu al-Huda ash-Shayyadi (w 1328 H).
 Qilâdah al-Jawâhir.
63. Asy-Syaikh Musthafa ibn asy-Syaikh Ahmad ibn Hasan asy-Syathi ad-Damasyqi al-
Hanbali, hakim Islam wilayah Duma, hidup sekitar tahun 1331 H.
 Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
64. Asy-Syaikh Musthafa ibn Ahmad asy-Syathi al-Hanbali ad-Damasyqi (w 1348 H).
 an-Nuqûl asy-Syar’iyyah.
65. Asy-Syaikh Mahmud Khaththab as-Subki (w 1352 H).
 ad-Dîn al-Khâlish Aw Irsyâd al-Khlaq Ilâ Dîn al-Haq.
66. Mufti kota Madinah asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad al-Khadlir asy-Syinqithi
(w 1353 H).
 Luzûm ath-Thalâq ats-Tsalâts Daf’ah Bimâ La Yastahî’ al-Âlim Daf’ah.
67. Asy-Syaikh Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandarani (w 1362
H).
 an-Naf-hah az-Zakiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
 al-Hujjah al-Mardliyyah Fî Itsbât al-Wâsithah al-Latî Nafathâ al-Wahhâbiyyah.
68. Asy-Syaikh Ahmad Hamdi ash-Shabuni al-Halabi (w 1374 H).
 Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
69. Asy-Syaikh Salamah al-Azami asy-Syafi’i (w 1376 H)
 al-Barâhîn as-Sâth’iah Fî Radd Ba’dl al-Bida’ asy-Syâ-i’ah.
 Berbagai makalah dalam surat kabar al-Muslim Mesir.
70. Mufti negara Mesir asy-Syaikh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (w 1354 H).
 Tath-hîr al-Fu’âd Min Danas al-‘I’tiqâd.
71. Wakil para Masyâyikh Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki asy-Syaikh al-
Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari (1371 H).
 Kitâb al-Maqâlât al-Kautsari.
 at-Ta’aqqub al-Hatsîts Limâ Yanfîhi Ibn Taimiyah Min al-Hadîts.
 al-Buhûts al-Wafiyyah Fî Mufradât Ibn Taimiyah.
 al-Isyfâq ‘Alâ Ahkâm ath-Thalâq.
72. Asy-Syaikh Ibrahim ibn Utsman as-Samnudi al-Mishri, salah seorang ulama yang
hidup di masa sekarang.
 Nushrah al-Imâm as-Subki Bi Radd ash-Shârim al-Manki.
73. Ulama terkemuka di kota Mekah asy-Syaikh Muhammad al-Arabi at-Tabban (w
1390 H).
 Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn.
74. Asy-Syaikh Muhammad Yusuf al-Banuri al-Bakistani.
 Ma’ârif as-Sunan Syarh Sunan at-Tirmidzi.
75. Asy-Syaikh Manshur Muhammad Uwais, salah seorang ulama yang masih hidup di
masa sekarang.
 Ibn Taimiyah Laysa Salafiyyan.
76. Al-Hâfizh asy-Syaikh Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Maghribi (w 1380 H).
 Hidâyah ash-Shughrâ’.
 al-Qaul al-Jaliyy.
77. Asy-Syaikh al-Musnid al-Habîb Abu al-Asybal Salim ibn Husain ibn Jindan, salah
seorang ulama terkemuka di Indonesia (w 1389 H)
 al-Khulâshah al-Kâfiyah Fî al-Asânid al-‘Âliyah.
78. Asy-Syaikh al-Muhaddits Abdullah al-Ghumari al-Maghribi (w 1413 H).
 Itqân ash-Shun’ah Fî Tahqîq Ma’nâ al-Bid’ah.
 ash-Shubh as-Sâfir Fî Tahqîq Shalât al-Musâfir.
 ar-Rasâ’il al-Ghumâriyyah.
 Dan berbagai tulisan beliau lainnya.
79. Asy-Syaikh Hamdullah al-Barajuri, salah seorang ulama terkemuka di Saharnafur
India.
 al-Bashâ-ir Li Munkirî at-Tawassul Bi Ahl al-Qubûr.
80. Asy-Syaikh Abu Saif al-Hamami secara terang telah mengkafirkan Ibn Taimiyah
dalam karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibâd Bi Bayân ar-Rasyâd. Beliau adalah salah
seorang ulama besar dan terkemuka di wilayah Mesir. Kitab karyanya ini telah
direkomendasikan oleh para masyaikh Azhar dan ulama besar lainnya, yaitu oleh
Syaikh Muhammad Sa’id al-Arfi, asy-Syaikh Yusuf ad-Dajwi, asy-Syaikh Mahmud
Abu Daqiqah, Asy-Syaikh Muhammad al-Bujairi, asy-Syaikh Muhammad Abd al-
Fattah Itani, asy-Syaikh Habibullah al-Jakni asy-Syinqithi, asy-Syaikh Dasuqi
Abdullah al-Arabi, dan asy-Syaikh Muhammad Hafni Bilal.
81. Asy-Syaikh Muhammad ibn Isa ibn Badran as-Sa’di al-Mishri.
82. As-Sayyid asy-Syaikh al-Faqîh Alawi ibn Thahir al-Haddad al-Hadlrami.
83. Asy-Syaikh Mukhtar ibn Ahmad al-Mu’ayyad al-Azhami (w 1340 H).
 Jalâ’ al-Awhâm ‘An Madzhab al-A-immah al-‘Izhâm Wa at-Tawassul Bi Jâh Khayr al-
Anâm -‘Alaih ash-Shalât Wa as-Salâm-. Kitab ini berisi bantahan atas kitab karya
Ibn Taimiyah berjudul Raf’u al-Malâm.
84. Asy-Syaikh Isma’il al-Azhari.
 Mir’âh an-Najdiyyah.
85. KH. Ihsan ibn Muhammad Dahlan Jampes Kediri, salah seorang ulama terkemuka
Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga.
 Sirâj ath-Thâlibîn ‘Alâ Minhâj al-‘Âbidîn Ilâ Jannah Rabb al-‘Âlamîn.
86. KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang. Salah seorang ulama terkemuka
Indonesia, perintis ormas Islam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Beliau merintis
ormas ini tidak lain hanya untuk membentengi kaum Ahlussunnah Indonesia dari
faham-faham Ibn Taimiyah yang telah diusung oleh kaum Wahhabiyyah.
 ‘Aqîdah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah.
87. KH. Sirajuddin Abbas, salah seorang ulama terkemuka Indonesia.
 I’tiqad Ahl as-sunnah Wa al-Jama’ah.
 Empat Puluh Masalah Agama
88. KH. Ali Ma’shum Yogyakarta (w 1410 H), salah seorang ulama terkemuka
Indonesia.
 Hujjah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah.
89. KH. Ahmad Abd al-Halim Kendal, salah seorang ulama besar Indonesia.
 Aqâ-id Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah. Ditulis tahun 1311 H
90. KH. Bafadlal ibn asy-Syaikh Abd asy-Syakur as-Sinauri Tuban. Salah seorang ulama
terkemuka Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat
berharga.
 Risâlah al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Tahqîq al-Musammâ Bi Ahl as-Sunnah.
 Syarh Risâlah al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Tahqîq al-Musammâ Bi Ahl as-Sunnah.
 Al-‘Iqd al-Farîd Bi Syarh Jawharah at-Tauhîd
91. Tuan Guru Zainuddin ibn Abd al-Majîd Pancor Lombok Nusa Tenggara Barat.
 Hizb Nahdlah al-Wathan
92. KH. Muhammad Syafi’i Hadzami ibn Muhammad Saleh Ra’idi, salah seorang
ulama betawi, pernah menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI
Jakarta (1990-2000).
 Taudlîh al-Adillah.
93. KH. Ahmad Makki Abdullah Mahfuzh Sukabumi Jawa Barat.
 Hishn as-Sunnah Wa al-Jama’âh
F. Penilaian adz-Dzahabi Terhadap Ibn Taimiyah
Al-Hâfizh Syamsuddin adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah.
Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, --
terutama dalam masalah akidah--, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya
tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulanbulanan
mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah pengikut madzhab al-Imâm
Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn
Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan faham-faham
ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu.
Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat
kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid
terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa
ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang
diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut:
“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah
bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau
menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri
dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak
pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat
kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini
ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan
terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam
membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun.
Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn
Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan
ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan
Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka
membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya,
adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus
terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya
terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang
ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan
semacam ini!”60.
Adapun nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam
risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai
berikut:
“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi
diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam
diriku.
Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat
sedih!!
Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang
berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!
Oh... Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang
dapat membantuku dalam menangis!!
Oh... Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan
pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang
yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!
Oh... Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal
dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan.
Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya
sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang
disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya
sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan
kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan
cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!
Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiranpikiranmu
sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?!
Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal
engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut
orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik,
karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka
perbuat”.
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan
berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka
sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul
tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi
mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikankebaikan
tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat
beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak
mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak
memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah);“Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan
sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
Hai Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci
maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan
tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau,
jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama.
Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkaraperkara
[yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu.
Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan
atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah
perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak
bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-
Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan
menjadikan hati itu buta.
Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak
makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya
mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah
mereka dengan logika kita??
Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun
kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan
menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan
tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah
karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang
orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut
disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika
orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan,
dan dilaknat.
Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana
dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan
di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang
“Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami
tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau
berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah
dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang
yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam
itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran
Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi
Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan.
Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka
engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah
mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang
yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia
membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang
semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya,
adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa
mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang
bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang
pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh
yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian
maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya
dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya
kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut,
timbanglah mereka dengan adil…!
Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau
mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?!
Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi
orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap
hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang
akan engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa
banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!
Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa
banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!
Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu
sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah
memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim)
dengan caramu tersebut?!
Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari
keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah haditshadits
tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata
yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.
Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya
bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau
sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi
Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian,
sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga
mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan
mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan
besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau
akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela
diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang,
sudah cukup, diamlah…!”.
Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat
menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap
dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh,
orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang
tidak berilmu.
Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan,
namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh
Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang
menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang
saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak
bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha
mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan
dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.
Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan
kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya
sekalian61.
G.Siapakah Ibn Qayyim al-Jawziyyah?
Ia bernama Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub az-Zar’i, dikenal dengan nama
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, lahir tahun 691 hijriyah dan wafat tahun 751 hijriyah. Al-
Dzahabi dalam kitab al-Mu’jam al-Mukhtash menuliskan tentang sosok Ibn Qayyim
sebagai berikut:
“Ia tertarik dengan disiplin hadits, matan-matan-nya, dan para perawinya. Ia juga berkecimpung
dalam bidang fiqih dan cukup kompeten di dalamnya. Ia juga mendalami ilmu nahwu dan lainnya. Ia
telah dipenjarakan beberapa kali karena pengingkarannya terhadap kebolehan melakukan perjalanan
untuk ziarah ke makam Nabi Ibrahim. Ia menyibukan diri dengan menulis beberapa karya dan
menyebarkan ilmu-ilmunya, hanya saja ia seorang yang suka merasa paling benar dan terlena dengan
pendapat-pendapatnya sendiri, hingga ia menjadi seorang yang terlalu berani atau nekad dalam banyak
permasalahan”62.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab ad-Durar al-Kaminah
menuliskan tentang Ibn Qayyim sebagai berikut:
“Ia ditaklukkan oleh rasa cintanya kepada Ibn Taimiyah, hingga tidak
sedikitpun ia keluar dari seluruh pendapat Ibn Taimiyah, dan bahkan ia selalu
membela setiap pendapat apapun dari Ibn Taimiyah. Ibn Qayyim inilah yang
berperan besar dalam menyeleksi dan menyebarluaskan berbagai karya dan ilmuilmu
Ibn Taimiyah. Ia dengan Ibn Taimiyah bersama-sama telah dipenjarakan di
penjara al-Qal’ah, setelah sebelumnya ia dihinakan dan arak keliling di atas unta
hingga banyak dipukuli ramai-ramai. Ketika Ibn Taimiyah meninggal dalam
penjara, Ibn Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara tersebut. Namun demikian Ibn Qayyim masih mendapat beberapa kali hukuman karena perkataan-perkataannya
yang ia ambil dari fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Karena itu Ibn Qayyim banyak
menerima serangan dari para ulama semasanya, seperti juga para ulama tersebut
diserang olehnya”63.
Sementara Ibn Katsir menuliskan tentang sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:
“Ia (Ibn Qayyim) bersikukuh memberikan fatwa tentang masalah talak dengan
menguatkan apa yang telah difatwakan oleh Ibn Taimiyah. Tentang masalah talak
ini telah terjadi perbincangan dan perdebatan yang sangat luas antara dia dengan
pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât); Taqiyuddin as-Subki dan ulama lainnya”64.
Ibn Qayyim adalah sosok yang terlalu optimis dan memiliki gairah yang besar
atas dirinya sendiri, yang hal ini secara nyata tergambar dalam gaya karya-karya
tulisnya yang nampak selalu memaksakan penjelasan yang sedetail mungkin. Bahkan
nampak penjelasan-penjelasan itu seakan dibuat-buatnya. Referensi utama yang ia
jadikan rujukan adalah selalu saja perkataan-perkataan Ibn Taimiyah. Bahkan ia
banyak mengutak-atik fatwa-fatwa gurunya tersebut karena dalam pandangannya ia
memiliki kekuatan untuk itu. Tidak sedikit dari faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah
yang ia propagandakan dan ia bela, bahkan ia jadikan sebagai dasar argumentasinya.
Oleh karena itu telah terjadi perselisihan yang cukup hebat antara Ibn Qayyim dengan
pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât); al-Imâm al-Hâfizh Taqiyuddin as-Subki di
bulan Rabi’ul Awwal dalam masalah kebolehan membuat perlombaan dengan hadiah
tanpa adanya seorang muhallil (orang ke tiga antara dua orang yang melakukan
lomba). Ibn Qayyim dalam hal ini mengingkari pendapat al-Imâm as-Subki, hingga ia
mendapatkan tekanan dan hukuman saat itu, yang pada akhirnya Ibn Qayyim
menarik kembali pendapatnya tersebut.
Al-Imâm Taqiyuddin al-Hishni (w 829 H), salah seorang ulama terkemuka
dalam madzhab asy-Syafi’i; penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr, dalam karyanya berjudul
Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad sebagai bantahan atas kesesatan Ibn Taimiyah
menuliskan sebagai berikut:
“Ibn Taimiyah adalah orang yang berpendapat bahwa mengadakan perjalanan
untuk ziarah ke makam para Nabi Allah adalah sebagai perbuatan haram, dan
tidak boleh melakukan qashar shalat karena perjalanan tersebut. Dalam hal ini, Ibn
Taimiyah secara tegas menyebutkan haram safar untuk tujuan ziarah ke makam
Nabi Ibrahim dan makam Rasulullah. Keyakinannya ini kemudian diikuti oleh
muridnya sendiri; yaitu Ibn Qayyim al-Jaiuziyyah az-Zar’i dan Isma’il ibn Katsir
as-Syarkuwini. Disebutkan bahwa suatu hari Ibn Qayyim mengadakan perjalan ke
al-Quds Palestina. Di Palestina, di hadapan orang banyak ia memberikan nasehat,namun ditengah-tengah nasehatnya ia membicarakan masalah ziarah ke makam
para Nabi. Dalam kesimpulannya Ibn Qayyim kemudian berkata: “Karena itu aku
katakan bahwa sekarang aku akan langsung pulang dan tidak akan menziarahi al-
Khalil (Nabi Ibrahim)”. Kemudian Ibn Qayyim berangkat ke wilayah Tripoli
(Nablus Syam), di sana ia kembali membuat majelis nesehat, dan di tengah
nasehatnya ia kembali membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam
kesimpulan pembicaraannya Ibn Qayyim berkata: “Karena itu hendakalah makam
Rasulullah jangan diziarahi…!”. Tiba-tiba orang-orang saat itu berdiri hendak
memukulinya dan bahkan hendak membunuhnya, namun peristiwa itu dicegah
oleh gubernur Nablus saat itu. Karena kejadian ini, kemudian penduduk al-Quds
Palestina dan penduduk Nablus menuslikan berita kepada para penduduk
Damaskus prihal Ibn Qayyim dalam kesesatannya tersebut. Di Damaskus
kemudian Ibn Qayyim dipanggil oleh salah seorang hakim (Qadli) madzhab
Maliki. Dalam keadaan terdesak Ibn Qayyim kemudian meminta suaka kepada
salah seorang Qadli madzhab Hanbali, yaitu al-Qâdlî Syamsuddin ibn Muslim al-
Hanbali. Di hadapannya, Ibn Qayyim kemudian rujuk dari fatwanya di atas, dan
menyatakan keislamannya kembali, serta menyatakan taubat dari kesalahankesalahannya
tersebut. Dari sini Ibn Qayyim kembali dianggap sebagai muslim,
darahnya terpelihara dan tidak dijatuhi hukuman. Lalu kemudian Ibn Qayyim
dipanggil lagi dengan tuduhan fatwa-fatwa yang menyimpang yang telah ia
sampaikan di al-Quds dan Nablus, tapi Ibn Qayyim membantah telah
mengatakannya. Namun saat itu terdapat banyak saksi bahwa Ibn Qayyim telah
benar-benar mengatakan fatwa-fatwa tersebut. Dari sini kemudian Ibn Qayyim
dihukum dan di arak di atas unta, lalu dipenjarakan kembali. Dan ketika kasusnya
kembali disidangkan dihadapan al-Qâdlî Syamsuddin al-Maliki, Ibn Qayyim
hendak dihukum bunuh. Namun saat itu Ibn Qayyim mengatakan bahwa salah
seorang Qadli madzhab Hanbali telah menyatakan keislamannya dan
keterpeliharaan darahnya serta diterima taubatnya. Lalu Ibn Qayyim
dikembalikan ke penjara hingga datang Qadli madzhab Hanbali dimaksud. Setelah
Qadli Hanbali tersebut datang dan diberitakan kepadanya prihal Ibn Qayyim
sebenarnya, maka Ibn Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara untuk dihukum. Ia
kemudian dipukuli dan diarak di atas keledai, setelah itu kemudian kembali
dimasukan ke penjara. Dalam peristiwa ini mereka telah mengikat Ibn Qayyim
dan Ibn Katsir, kemudian di arak keliling negeri, karena fatwa keduanya -yang
nyeleneh- dalam masalah talak”.Ibn Qayyim benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya;
yaitu Ibn Taimiyah, dalam berbagai permasalahan. Dalam salah satu karyanya
berjudul Badâ-i’ al-Fawâ-id, Ibn Qayyim menuliskan beberapa bait syair berisikan
keyakinan tasybîh, yang dengan kedustaannya ia mengatakan bahwa bait-bait syair
tersebut adalah hasil tulisan al-Imâm ad-Daraquthni. Dalam bukunya tersebut Ibn
Qayyim menuliskan:
“Janganlah kalian mengingkari bahwa Dia Allah duduk di atas arsy, juga
jangan kalian ingkari bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad di atas arsy
tersebut bersama-Nya”66.
Tulisan Ibn Qayyim ini jelas merupakan kedustaan yang sangat besar.
Sesungguhnya al-Imâm ad-Daraquthni adalah salah seorang yang sangat
mengagungkan al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari; sebagai Imam Ahlussunnah. Jika
seandainya ad-Daraquthni seorang yang berkeyakinan tasybîh, seperti anggapan Ibn
Qayyim, maka tentunya ia akan mengajarkan keyakinan tersebut.
Pada bagian lain dalam kitab yang sama Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa
langit lebih utama dari pada bumi, ia menuliskan: ”Mereka yang berpendapat bahwa
langit lebih utama dari pada bumi mengatakan: Cukup alasan yang sangat kuat untuk
menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi adalah karena Allah berada di
dalamnya, demikian pula dengan arsy-Nya dan kursi-Nya berada di dalamnya”67.
Penegasan yang sama diungkapkan pula oleh Ibn al-Qayyim dalam kitab
karyanya yang lain berjudul Zâd al-Ma’âd. Dalam pembukaan kitab tersebut dalam
menjelaskan langit lebih utama dari bumi mengatakan bahwa bila seandainya langit
tidak memiliki keistimewaan apapun kecuali bahwa ia lebih dekat kepada Allah maka
cukup hal itu untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi.
Asy-Syaikh Muhammmad Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn
dalam menanggapi tulisan-tulisan sesat Ibn al-Qayyim di atas berkata:
”Orang ini (Ibn al-Qayyim) meyakini seperti apa yang diyakini oleh seluruh
orang Islam bahwa seluruh langit yang tujuh lapis, al-Kursi, dan arsy adalah
benda-benda yang notabene makhluk Allah. Orang ini juga tahu bahwa besarnya
tujuh lapis langit dibanding dengan besarnya al-Kursi maka tidak ubahnya hanya
mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas; sebagaimana hal ini telah
disebutkan dalam hadits Nabi. Orang ini juga tahu bahwa al-Kursi yang demikian
besarnya jika dibanding dengan besarnya arsy maka al-Kursi tersebut tidak
ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas. Anehnya,
orang ini pada saat yang sama berkeyakinan sama persis dengan keyakinan
gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, bahwa Allah berada di arsy dan berada di langit,
bahkan keyakinan gurunya tersebut dibela matia-matian layaknya pembelaan
seorang yang gila. Orang ini juga berkeyakinan bahwa seluruh teks mutasyâbih,
baik dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi yang menurut Ahl al-Haq
membutuhkan kepada takwil, baginya semua teks tersebut adalah dalam
pengertian hakekat, bukan majâz (metafor). Baginya semua teks-teks mutasyâbih
tersebut tidak boleh ditakwil”.
  • H. Sejarah Ringkas Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Perintis Gerakan Wahhabiyyah
Permulaan munculnya Muhammad ibn Abd al-Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar
tahun 1143 H. Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahhabiyyah mulai tersebar di wilayah Nejd
dan daerah-daerah sekitarnya. Muhammad ibn Abd al-Wahhab meninggal pada tahun 1206 H. Ia
banyak menyerukan berbagai ajaran yang ia anggap sebagai berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah.
Ajarannya tersebut banyak ia ambil yang ia hidupkan kembali dari faham-faham Ibn Taimiyah yang
sebelumnya telah padam. Di antaranya; Mengharamkan tawassul dengan Rasulullah,
mengharamkan perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah atau makam lainnya dari para nabi
dan orang-orang saleh untuk tujuan berdoa di sana dengan harapan dikabulkan oleh Allah,
mengkafirkan orang yang memanggil dengan “Ya Rasulallah…!”, atau “Ya Muhammad…!”, atau
seumpama “Ya Abd al-Qadir…! Tolonglah aku…!” kecuali, -menurut mereka-, kepada yang hidup
dan yang ada di hadapan saja, mengatakan bahwa talak terhadap isteri tidak jatuh jika dibatalkan.
Menurutnya talak semacam itu hanya digugurkan dengan membayar kaffarah saja, seperti orang
yang bersumpah dengan nama Allah, namun ia menyalahinya.
Selain menghidupkan kembali faham-faham Ibn Timiyyah, Muhammad ibn Abd
al-Wahhab juga membuat faham baru, di antaranya; mengharamkan mengenakan hirz
(semacam jimat) walaupun di dalamnya hanya terkandung ayat-ayat al-Qur’an atau
nama-nama Allah, mengharamkan bacaan keras dalam shalawat kepada Rasulullah
setelah mengumandangkan adzan. Kemudian para pengikutnya, yang kenal dengan
kaum Wahhabiyyah, mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad. Hal ini
berbeda dengan Imam mereka; yaitu Ibn Taimiyah, yang telah membolehkannya Asy-Syaikh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekah pada masanya di
sekitar masa akhir kesultanan Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh yang beliau tulis
menyebutkan sebagai berikut:
“Pasal; Fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -Muhammad ibn Abd al-Wahhab- pada
permulaannya adalah seorang penunut ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah
salah seorang ahli ilmu, demikian pula saudaranya; asy-Syaikh Sulaiman ibn Abd
al-Wahhab. Ayahnya, yaitu asy-Syaikh Abd al-Wahhab dan saudaranya asy-Syaikh
Sulaiman, serta banyak dari guru-gurunya mempunyai firasat bahwa Muhammad
ibn Abd al-Wahhab ini akan membawa kesesatan. Hal ini seperti mereka lihat
sendiri dari banyak perkataan dan prilaku serta penyelewengan-penyelewengan
Muhammad ibn Abd al-Wahhab itu sendiri dalam banyak permasalahan agama.
Mereka semua mengingatkan banyak orang untuk mewaspadainya dan
menghindarinya. Di kemudian hari ternyata Allah menentukan apa yang telah
menjadi firasat mereka pada diri Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Ia telah banyak
membawa ajaran sesat hingga menyesatkan orang-orang yang bodoh. Ajaranajarannya
tersebut banyak yang berseberangan dengan para ulama agama ini.
bahkan dengan ajarannya itu ia telah mengkafirkan orang-orang Islam sendiri. Ia
mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah, tawassul dengannya, atau
tawassul dengan para nabi lainnya atau para wali Allah dan orang-orang, serta
menziarahi kubur mereka untuk tujuan mencari berkah adalah perbuatan syirik.
Menurutnya bahwa memanggil nama Nabi ketika bertawassul adalah perbuatan
syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi lainnya, atau memanggil para wali
Allah dan orang-orang saleh untuk tujuan tawassul dengan mereka adalah
perbuatan syirik. Ia juga meyakini bahwa menyandarkan sesuatu kepada selain
Allah, walaupun dengan cara majâzi (metapor) adalah pekerjaan syirik, seperti bila seseorang berkata: “Obat ini memberikan manfa’at kepadaku” atau “Wali Allah si
fulan memberikan manfaat apa bila bertawassul dengannya”. Dalam menyebarkan
ajarannya ini, Muhammad ibn Abd al-Wahhab mengambil beberapa dalil yang
sama sekali tidak menguatkannya. Ia banyak memoles ungkapan-ungkapan
seruannya dengan kata-kata yang menggiurkan dan muslihat hingga banyak
diikuti oleh orang-orang awam. Dalam hal ini Muhammad ibn Abd al-Wahhab
telah menulis beberapa risalah untuk mengelabui orang-orang awam, hingga
banyak dari orang-orang awam tersebut yang kemudian mengkafirkan orangorang
Islam dari para ahli tauhid”69.
Dalam kitab tersebut kemudian asy-Syaikh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
menuliskan:
“Banyak sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abd al-Wahhab ketika di
Madinah mengatakan bahwa dia akan menjadi orang yang sesat, dan akan banyak
orang yang akan sesat karenanya. Mereka adalah orang-orang yang di hinakan
oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Dan kemudian apa yang
dikhawatirkan oleh guru-gurunya tersebut menjadi kenyataan. Muhammad ibn
Abd al-Wahhab sendiri mengaku bahwa ajaran yang ia serukannya ini adalah
sebagai pemurnian tauhid dan untuk membebaskan dari syirik. Dalam
keyakinannya bahwa sudah sekitar enam ratus tahun ke belakang dari masanya
seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Ia mengaku bahwa dirinya
datang untuk memperbaharui agama mereka. Ayat-ayat al-Qur’an yang turun
tentang orang-orang musyrik ia berlakukan bagi orang-orang Islam ahli tauhid.
Seperti firman Allah: “Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang berdoa kepada
selain Allah; ia meminta kepada yang tidak akan pernah mengabulkan baginya hingga hari
kiamat, dan mereka yang dipinta itu lalai terhadap orang-orang yang memintanya” (QS.
al-Ahqaf: 5), dan firman-Nya: “Dan janganlah engkau berdoa kepada selain Allah
terhadap apa yang tidak memberikan manfa’at bagimu dan yang tidak memberikan bahaya
bagimu, jika bila engkau melakukan itu maka engkau termasuk orang-orang yang zhalim”
(QS. Yunus: 106), juga firman-Nya: ”Dan mereka yang berdoa kepada selain Allah sama
sekali tidak mengabulkan suatu apapun bagi mereka” (QS. al-Ra’ad: 1), serta berbagai
ayat lainnya. Muhammad ibn Abd al-Wahhab mengatakan bahwa siapa yang
meminta pertolongan kepada Rasulullah atau para nabi lainnya, atau kepada para
wali Allah dan orang-orang saleh, atau memanggil mereka, atau juga meminta
syafa’at kepada mereka maka yang melakuakn itu semua sama dengan orangorang
musyrik, dan menurutnya masuk dalam pengertian ayat-ayat di atas. Ia juga
mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau para nabi lainnya, atau para
wali Allah dan orang-orang saleh untuk tujuan mencari berkah maka sama dengan
orang-orang musyrik di atas. Dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan
orang-orang musyrik saat mereka menyembah berhala: “Tidaklah kami menyembah
mereka -berhala-berhala- kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah” (QS. al-Zumar:
3), menurut Muhammad ibn Abd al-Wahhab bahwa orang-orang yang melakukan
tawassul sama saja dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala yang
mengatakan tidaklah kami menyembah berhala-berhala tersebut kecuali untuk
mendekatkan diri kepada Allah”.
Pada halaman selanjutnya asy-Syaikh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
menuliskan:
“Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar dari Rasulullah
dalam menggambarkan sifat-sifat orang Khawarij bahwa mereka mengutip ayatayat
yang turun tentang orang-orang kafir dan memberlakukannya bagi orangorang
mukmin. Dalam hadits lain dari riwayat Abdullah ibn Umar pula bahwa
Rasulullah telah bersabda: “Hal yang paling aku takutkan di antara perkara yang
aku khawatirkan atas umatku adalah seseorang yang membuat-buat takwil al-
Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat al-Qur’an tersebut- bukan pada temapatnya”. Dua
riwayat hadits ini benar-benar telah terjadi pada kelompok Wahhabiyyah ini”71.
Asy-Syaikh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih dalam buku tersebut
menuliskan pula:
“Di antara yang telah menulis karya bantahan kepada Muhammad ibn Abd al-
Wahhab adalah salah seorang guru terkemukanya sendiri, yaitu asy-Syaikh
Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, penulis kitab Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn
Bâ Fadlal. Di antara tulisan dalam karyanya tersebut asy-Syaikh Sulaiman
mengatakan: Wahai Ibn Abd al-Wahhab, saya menasehatimu untuk menghentikan
cacianmu atas orang-orag Islam”72.
Masih dalam kitab yang sama asy-Syaikh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga
menuliskan:
“Mereka (kaum Wahhabiyyah) malarang membacakan shalawat atas
Rasulullah setelah dikumandangkan adzan di atas menara-menara. Bahkan
disebutkan ada seorang yang saleh yang tidak memiliki penglihatan, beliau
seorang pengumandang adzan. Suatu ketika setelah mengumandangkan adzan ia
membacakan shalawat atas Rasulullah, ini setelah adanya larangan dari kaum
Wahhabiyyah untuk itu. Orang saleh buta ini kemudian mereka bawa ke hadapan
Muhammad ibn Abd al-Wahhab, selanjutnya ia memerintahkan untuk dibunuh.
Jika saya ungkapkan bagimu seluruh apa yang diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah
ini maka banyak jilid dan kertas dibutuhkan untuk itu, namun setidaknya sekedar
inipun cukup.
Di antara bukti kebenaran apa yang telah ditulis oleh asy-Syaikh as-Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan dalam pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap orang yang
membacakan shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan adzan adalah
peristiwa yang terjadi di Damaskus Siria (Syam). Suatu ketika pengumandang adzan
masjid Jami’ al-Daqqaq membacakan sahalawat atas Rasulullah setelah adzan,
sebagaimana kebiasaan di wilayah itu, ia berkata: “as-Shalât Wa as-Salâm ‘Alayka Ya
Rasûlallâh…!”, dengan nada yang keras. Tiba-tiba seorang Wahhabi yang sedang
berada di pelataran masjid berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram, itu sama
saja dengan orang yang mengawini ibunya sendiri…!!”. Kemudian terjadi
pertengkaran antara beberapa orang Wahhabi dengan orang-orang Ahlussunnah,
hingga orang Wahhabi tersebut dipukuli. Akhirnya perkara ini dibawa ke mufti
Damaskus saat itu, yaitu asy-Syaikh Abu al-Yusr Abidin. Kemudian mufti Damaskus
ini memanggil pimpinan kaum Wahhabiyyah, yaitu Nashiruddin al-Albani, dan
membuat perjanjian dengannya untuk tidak menyebarkan ajaran Wahhabi. Asy-Syaikh
Abu al-Yusr mengancamnya bahwa jika ia terus mengajarkan ajaran Wahhabi maka ia
akan dideportasi dari Siria.
Kemudian asy-Syaikh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Muhammad ibn Abd al-Wahhab, perintis berbagai gerakan bid’ah ini, sering
menyampaikan khutbah jum’at di masjid ad-Dar’iyyah. Dalam seluruh
khutbahnya ia selalu mengatakan bahwa siapapun yang bertawassul dengan
Rasulullah maka ia telah menjadi kafir. Sementara itu saudaranya sendiri, yaitu
asy-Syaikh Sulaiman ibn Abd al-Wahhab adalah seorang ahli ilmu. Dalam berbagai
kesempatan, saudaranya ini selalu mengingkari Muhammad ibn Abd al-Wahhab
dalam apa yang dia lakukan, ucapakan dan segala apa yang ia perintahkan.
Sedikitpun, asy-Syaikh Sulaiman ini tidak pernah mengikuti berbagai bid’ah yang
diserukan olehnya. Suatu hari asy-Syaikh Sulaiman berkata kepadanya: “Wahai
Muhammad Berapakah rukun Islam?” Muhammad ibn Abd al-Wahhab menjawab:
“Lima”. Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Engkau telah menjadikannya enam, dengan
menambahkan bahwa orang yang tidak mau mengikutimu engkau anggap bukan
seorang muslim”.
Suatu hari ada seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abd al-Wahhab:
“Berapa banyak orang yang Allah merdekakan (dari neraka) di setiap malam
Ramadlan? Ia menjawab: “Setiap malam Ramadlan Allah memerdekakan seratus
ribu orang, dan di akhir malam Allah memerdekakan sejumlah orang yang
dimerdekakan dalam sebulan penuh”. Tiba-tiba orang tersebut berkata: “Seluruh
orang yang mengikutimu jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh dari
sepersepuluh jumlah yang telah engkau sebutkan, lantas siapakah orang-orang
Islam yang dimerdekakan Allah tersebut?! Padahal menurutmu orang-orang Islam
itu hanyalah mereka yang mengikutimu”. Muhammad ibn Abd al-Wahhab
terdiam tidak memiliki jawaban.
Ketika perselisihan antara Muhammad ibn Abd al-Wahhab dengan
saudaranya; asy-Syaikh Sulaiman semakin memanas, saudaranya ini akhirnya
khawatir terhadap dirinya sendiri. Karena bisa saja Muhammad ibn Abd al-
Wahhab sewaktu-waktu menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Akhirnya ia hijrah ke Madinah, kemudian menulis karya sebagai bantahan kepada Muhammad
ibn Abd al-Wahhab yang kemudian ia kirimkan kepadanya. Namun, Muhammad
ibn Abd al-Wahhab tetap tidak bergeming dalam pendirian sesatnya. Demikian
pula banyak para ulama madzhab Hanbali yang telah menulis berbagai risalah
bantahan terhadap Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang mereka kirimkan
kepadanya. Namun tetap Muhammad ibn Abd al-Wahhab tidak berubah
sedikitpun.
Suatu ketika, salah seorang kepala sautu kabilah yang cukup memiliki
kekuatan hingga hingga Muhammad ibn Abd al-Wahhab tidak dapat
menguasainya berkata kepadanya: ”Bagaimana sikapmu jika ada seorang yang
engkau kenal sebagai orang yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu agama berkata
kepadamu bahwa di belakang suatu gunung terdapat banyak orang yang hendak
menyerbu dan membunuhmu, lalu engkau kirimkan seribu pasukan berkuda
untuk medaki gunung itu dan melihat orang-orang yang hendak membunuhmu
tersebut, tapi ternyata mereka tidak mendapati satu orangpun di balik gunung
tersebut, apakah engkau akan membenarkan perkataan yang seribu orang tersebut
atau satu orang tadi yang engkau anggap jujur?” Muhammad ibn Abd al-Wahhab
menjawab: ”Saya akan membenarkan yang seribu orang”. Kemudian kepada
kabilah tersebut berkata: ”Sesungguhnya para ulama Islam, baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal, dalam karya-karya mereka telah mendustakan
ajaran yang engkau bawa, mereka mengungkapkan bahwa ajaran yang engkau
bawa adalah sesat, karena itu kami mengikuti para ulama yang banyak tersebut
dalam menyesatkan kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abd al-Wahhab sama sekali
tidak berkata-kata.
Terjadi pula peristiwa, suatu saat seseorang berkata kepada Muhammad ibn
Abd al-Wahhab: ”Ajaran agama yang engkau bawa ini apakah ini bersambung
(hingga Rasulullah) atau terputus?”. Muhammad ibn Abd al-Wahhab menjawab:
”Seluruh guru-guruku, bahkan guru-guru mereka hingga enam ratus tahun lalu,
semua mereka adalah orang-orang musyrik”. Orang tadi kemudian berkata: ”Jika
demikian ajaran yang engkau bawa ini terputus! Lantas dari manakah engkau
mendapatkannya?” Ia menjawab: ”Apa yang aku serukan ini adalah wahyu ilham
seperti Nabi Khadlir”. Kemudian orang tersebut berkata: ”Jika demikian berarti
tidak hanya kamu yang dapat wahyu ilham, setiap orang bisa mengaku bahwa
dirinya telah mendapatkan wahyu ilham. Sesungguhnya melakukan tawassul itu
adalah perkara yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal
ini Ibn Taimiyah memiliki dua pendapat, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa
orang yang melakukan tawassul telah menjadi kafir”74.
Yang dimaksud oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab bahwa orang-orang
terdahulu dalam keadaan syirik hingga enam ratus tahun ke belakang dari masanya
ialah hingga tahun masa hidup Ibn Taimiyah, yaitu hingga sekitar abad tujuh dan
delapan hijriyah ke belakang. Menurut Muhammad ibn Abd al-Wahhab dalam
rentang masa antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu di abad tujuh dan delapan hijriyah
dengan masa hidupnya sendiri yaitu pada abad dua belas hijriyah, semua orang di
dalam masa tersebut adalah orang-orang musyrik. Ia memandang dirinya sendiri sebagai orang yang datang untuk memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap bahwa
hanya Ibn Taimiyah yang selaras dengan jalan dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn
Taimiyah di masanya adalah satu-satunya orang yang menyeru kepada Islam dan
tauhid di mana saat itu Islam dan tauhid tersebut telah punah. Lalu ia mengangap
bahwa hingga datang abad dua belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang
melanjutkan dakwah Ibn Taimiyah tersebut. Klaim Muhammad ibn Abd al-Wahhab
ini sungguh sangat sangat aneh, bagaimana ia dengan sangat berani mengakafirkan
mayoritas umat Islam Ahlussunnah yang jumlahnya ratusan juta, sementara ia
menganggap bahwa hanya pengikutnya sendiri yang benar-benar dalam Islam?!
Padahal jumalah mereka di masanya hanya sekitar seratus ribu orang. Kemudian di
Najd sendiri, yang merupakan basis gerakannya saat itu, mayoritas penduduk
wilayah tersebut di masa hidup Muhammad ibn Abd al-Wahhab tidak mengikuti
ajaran dan faham-fahamnya. Hanya saja memang saat itu banyak orang di wilayah
tersebut takut terhadap dirinya, oleh karena prilakunya yang tanpa segan membunuh
orang-orang yang tidak mau mengikuti ajakannya.
Prilaku jahat Muhammad ibn Abd al-Wahhab ini sebagaimana diungkapkan
oleh al-Amir ash-Shan’ani, penulis kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm. Pada
awalnya, ash-Shan’ani memuji-muji dakwah Muhammad ibn Abd al-Wahhab, namun
setelah ia mengetahui hakekat siapa Muhammad ibn Abd al-Wahhab, ia kemudian
berbalik mengingkarinya. Sebelum mengetahui siapa hakekat Muhammad ibn Abd al-
Wahhab, ash-Shan’ani memujinya dengan menuliskan beberapa sya’ir, yang pada
awal bait sya’ir-sya’ir tersebut ia mengatakan:
سَلاَمٌ عَلَى نَجْدٍ وَمَنْ حَلّ فِي نَجْدِ ... وَإنْ كَانَ تَسْلِيْمِيْ عَلَى البُعْدِ لاَ يجْدِي
Salam tercurah atas kota Najd dan atas orang-orang yang berada di dalamnya,
walaupun salamku dari kejauhan tidak mencukupi”.
Bait-bait sya’ir tulisan ash-Shan’ani ini disebutkan dalam kumpulan sya’ir-sya’ir
(Dîwân) karya ash-Shan’ani sendiri, dan telah diterbitkan. Secara keseluruhan, baitbait
syair tersebut juga dikutip oleh as-Syaukani dalam karyanya berjudul al-Badr at-
Thâli’, juga dikutip oleh Shiddiq Hasan Khan dalam karyanya berjudul at-Tâj al-
Mukallal, yang oleh karena itu Muhammad ibn Abd al-Wahhab mendapatkan tempat
di hati orang-orang yang tidak mengetahui hakekatnya. Padahal al-Amir ash-Shan’ani
setelah mengetahui bahwa prilaku Muhammad ibn Abd al-Wahhab selalu membunuh
orang-orang yang tidak sepaham dengannya, merampas harta benda orang lain,
mengkafirkan mayoritas umat Islam, maka ia kemudian meralat segala pujian
terhadapnya yang telah ia tulis dalam bait-bait syairnya terdahulu, yang lalu
kemudian balik mengingkarinya. Ash-Shan’ani kemudian membuat bait-bait sya’ir
baru untuk mengingkiari apa yang telah ditulisnya terdahulu, di antaranya sebagai
berikut:رَجَعْتُ عَن القَول الّذيْ قُلتُ فِي النّجدِي ... فقَدْ صحَّ لِي عنهُ خلاَفُ الّذِي عندِي
ظنَنْتُ بهِ خَيْرًا فَقُلْتُ عَسَى عَسَى ... نَجِدْ نَاصِحًا يهَْدي العبَادَ وَيستهْدِي
لقَد خَابَ فيْه الظنُّ لاَ خَاب نصحُنا ... ومَا كلّ ظَنٍّ للحَقَائِق لِي يهدِي
وقَدْ جاءَنا من أرضِه الشيخ مِرْبَدُ ... فحَقّق مِنْ أحوَاله كلّ مَا يبدِي
وقَد جَاءَ مِن تأليفِهِ برَسَائل ... يُكَفّر أهْلَ الأرْض فيْهَا عَلَى عَمدِ
ولفق فِي تَكْفِيرِهمْ كل حُجّةٍ ... تَرَاها كبَيتِ العنْكَبوتِ لدَى النّقدِ
Aku ralat ucapanku yang telah aku ucapkan tentang seorang yang berasal dari
Najd, sekarang aku telah mengetahui kebenaran yang berbeda dengan
sebelumnya”.
“Dahulu aku berbaik sangka baginya, dahulu aku berkata: Semoga kita
mendapati dirinya sebagi seorang pemberi nasehat dan pemeberi petunjuk bagi
orang banyak”
“Ternyata prasangka baik kita tentangnya adalah kehampaan belaka. Namun
demikian bukan berarti nasehat kita juga merupakan kesia-siaan, karena
sesungguhnya setiap prasangka itu didasarkan kepada ketaidaktahuan akan
hakekat-hakekat”.
“Telah datang kepada kami “asy-Syaikh” ini dari tanah asalnya. Dan telah
menjadi jelas bagi kami dengan sejelas-jelasnya tentang segala hakekat
keadaannya dalam apa yang ia tampakkan”.
“Telah datang dalam beberapa tulisan risalah yang telah ia tuliskan, dengan
sengaja di dalamnya ia mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi, -selain
pengikutnya sendiri-”.
“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam mengkafirkan seluruh
orang Islam penduduk bumi tersebut jika dibantah maka landasan mereka
tersebut laksana sarang laba-laba yang tidak memiliki kekuatan”.
Selain bait-bait sya’ir di atas terdapat lanjutannya yang cukup panjang, dan ash-
Shan’ani sendiri telah menuliskan penjelasan (syarh) bagi bait-bait syair tersebut. Itu
semua ditulis oleh ash-Shan’ani hanya untuk membuka hekekat Muhammad ibn Abd
al-Wahhab sekaligus membantah berbagai sikap ekstrim dan ajaran-ajarannya. Kitab
karya al-Amir ash-Shan’ani beliau namakan dengan judul “Irsyâd Dzawî al-Albâb Ilâ
Haqîqat Aqwâl Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Saudara kandung Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang telah kita sebutkan di
atas, yaitu asy-Syaikh Sulaiman ibn Abd al-Wahhab, juga telah menuliskan karya
bantahan kepadanya. Beliau namakan karyanya tersebut dengan judul ash-Shawâ-iq al-
Ilâhiyyah Fî al-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, dan buku ini telah dicetak. Kemudian terdapat
karya lainnya dari asy-Syaikh Suliman, yang juga merupakan bantahan kepada
Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan para pengikutnya, berjudul “Fashl al-Khithâb Fî
ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Kemudian pula salah seorang mufti madzhab Hanbali di Mekah pada masanya,
yaitu asy-Syaikh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi al-Hanbali, wafat tahun 1295
hijriyah, telah menulis sebuah karya berjudul “as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ Dlarâ-ih al-
Hanâbilah”. Kitab ini berisi penyebutan biografi ringkas setiap tokoh terkemuka di
kalangan madzhab Hanbali. Tidak sedikitpun nama Muhammad ibn Abd al-Wahhab
disebutkan dalam kitab tersebut sebagai orang yang berada di jajaran tokoh-tokoh
madzhab Hanbali tersebut. Sebaliknya, nama Muhammad ibn Abd al-Wahhab ditulis
dengan sangat buruk, namanya disinggung dalam penyebutan nama ayahnya; yaitu
asy-Syaikh Abd al-Wahhab ibn Sulaiman. Dalam penulisan biografi ayahnya ini asy-
Syaikh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi mengatakan sebagai berikut:
“Dia (Abd al-Wahhab ibn Sulaiman) adalah ayah kandung dari Muhammad
yang ajaran sesatnya telah menyebar ke berbagai belahan bumi. Antara ayah dan
anak ini memiliki perbedaan faham yang sangat jauh, dan Muhammad ini baru
menampakan secara terang-terangan terhadap segala faham dan ajaran-ajarannya
setelah kematian ayahnya. Aku telah diberitahukan langsung oleh beberapa orang
dari sebagian ulama dari beberapa orag yang hidup semasa dengan asy-Syaikh Abd
al-Wahhab, bahwa ia sangat murka kepada anaknya; Muhammad. Karena
Muhammad ini tidak mau mempelajari ilmu fiqih (dan ilmu-ilmu agama lainnya)
seperti orang-orang pendahulunya. Ayahnya ini juga mempunyai firasat bahwa
pada diri Muhammad akan terjadi kesesatan yang sanat besar. Kepada banyak
orang asy-Syaikh Abd al-Wahhab selalu mengingatkan: ”Kalian akan melihat dari
Muhammad ini suatu kejahatan...”. Dan ternyata memang Allah telah
mentaqdirkan apa yang telah menjadi firasat asy-Syaikh Abd al-Wahhab ini.
Demikian pula dengan saudara kandungnya, yaitu asy-Syaikh Sulaiman ibn
Abd al-Wahhab, ia sangat mengingkari sepak terjang Muhammad. Ia banyak
membantah saudaranya tersebut dengan berbagai dalil dari ayat-ayat al-Qur’an
dan hadits-hadits, karena Muhammad tidak mau menerima apapun kecuali hanya
al-Qur’an dan hadits saja. Muhammad sama sekali tidak menghiraukan apapun
yang dinyatakan oleh para ulama, baik ulama terdahulu atau yang semasa
dengannya. Yang ia terima hanya perkataan Ibn Taimiyah dan muridnya; Ibn al-
Qayyim al-Jawziyyah. Apapun yang dinyatakan oleh dua orang ini, ia pandang
laksana teks yang tidak dapat diganggu gugat. Kepada banyak orang ia selalu
mempropagandakan pendapat-pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim,
sekalipun terkadang dengan pemahaman yang sama sekali tidak dimaksud oleh
keduanya. Asy-Syaikh Sulaiman menamakan karya bantahan kepadanya dengan
judul Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb.
Asy-Syaikh Sulaiman ini telah diselamatkan oleh Allah dari segala kejahatan
dan marabahaya yang ditimbulkan oleh Muhammad, yang padahal hal tersebut
sangat menghkawatirkan siapapun. Karena Muhammad ini, apa bila ia ditentang
oleh seseorang dan ia tidak kuasa untuk membunuh orang tersebut dengan
tangannya sendiri maka ia akan mengirimkan orangnya untuk membunuh orang
itu ditempat tidurnya, atau membunuhnya dengan cara membokongnya di
tempat-tempat keramaian di malam hari, seperti di pasar. Ini karena Muhammad
memandang bahwa siapapun yang menentangnya maka orang tersebut telah
menjadi kafir dan halal darahnya.
Disebutkan bahwa di suatu wilayah terdapat seorang gila yang memiliki
kebiasaan membunuh siapapun yang ada di hadapannya. Kemudian Muhammad
memerintahkan orang-orangnya untuk memasukkan orang gila tersebut dengan
pedang ditangannya ke masjid di saat asy-Syaikh Sulaiman sedang sendiri di sana.
Ketika orang gila itu dimasukan, asy-Syaikh Sulaiman hanya melihat kepadanya,
dan tiba-tiba orang gila tersebut sangat ketakutan darinya. Kemudian orang gila
tersebut langsung melemparkankan pedangnya, sambil berkata: ”Wahai Sulaiman
janganlah engkau takut, sesungguhnya engkau adalah termasuk orang-orang yang
aman”. Orang gila itu mengulang-ulang kata-katanya tersebut. Tidak diragukan
lagi bahwa hal ini jelas merupakan karamah”75.
Dalam tulisan asy-syaikh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi di atas bahwa asy-
Syaikh Abd al-Wahhab sangat murka sekali kepada anaknya; Muhammad karena
tidak mau mempelajari ilmu fiqih, ini artinya bahwa dia sama sekali bukan seorang
ahli fiqih dan bukan seorang ahli hadits. Adapun yang membuat dia sangat terkenal
tidak lain adalah karena ajarannya yang sangat ekstrim dan nyeleneh. Sementara para
pengikutnya yang sangat mencintainya, hingga mereka menggelarinya dengan Syaikh
al-Islâm atau Mujaddid, adalah klaim laksana panggang yang sangat jauh dari api. Para
pengikutnya yang lalai dan terlena tersebut hendaklah mengetahui dan menyadari
bahwa tidak ada seorangpun dari sejarawan terkemuka di abad dua belas hijriyah
yang mengungkap biografi Muhammad ibn Abd al-Wahhab dengan menyebutkan
bahwa dia adalah seorang ahli fiqih atau seorang ahli hadits.
Asy-Syaikh Ibn Abidin al-Hanafi dalam karyanya; Hâsyiyah Radd al-Muhtâr ‘Alâ
ad-Durr al-Mukhtâr menuslikan sebagai berikut:
“Penjelasan; Prihal para pengikut Muhammad ibn Abd al-Wahhab sebagai
kaum Khawarij di zaman kita ini. Pernyataan pengarang kitab (yang saya jelaskan
ini) tentang kaum Khawarij: “Wa Yukaffirûn Ash-hâba Nabiyyina…”, bahwa mereka
adalah kaum yang mengkafirkan para sahabat Rasulullah, artinya kaum Khawarij
tersebut bukan hanya mengkafirkan para sahabat saja, tetapi kaum Khawarij
adalah siapapun mereka yang keluar dari pasukan Ali ibn Abi Thalib dan
memberontak kepadanya. Kemudian dalam keyakinan kaum Khawajij tersebut
bahwa yang memerangi Ali ibn Abi Thalib, yaitu Mu’awiyah dan pengikutnya,
adalah juga orang-orang kafir. Kelompok Khawarij ini seperti yang terjadi di
zaman kita sekarang, yaitu para pengikut Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang
telah memerangi dan menguasai al-Haramain; Mekkah dan Madinah. Mereka
memakai kedok madzhab Hanbali. Mereka meyakini bahwa hanya diri mereka
yang beragama Islam, sementara siapapun yang menyalahi mereka adalah orangorang
musyrik. Lalu untuk menegakan keyakinan ini mereka mengahalalkan
membunuh orang-orang Ahlussunnah. Oleh karenanya banyak di antara ulama
Ahlussunnah yang telah mereka bunuh. Hingga kemudian Allah menghancurkan
kekuatan mereka dan membumihanguskan tempat tinggal mereka hingga mereka dikuasai oleh balatentara orang-orang Islam, yaitu pada tahun seribu dua ratus
tiga puluh tiga hijriyah (th 1233 H)”76.
Salah seorang ahli tafsir terkemuka; asy-Syaikh Ahmad ash-Shawi al-Maliki
dalam ta’lîq-nya terhadap Tafsîr al-Jalâlain menuliskan sebagai berikut:
“Menurut satu pendapat bahwa ayat ini turun tentang kaum Khawarij, karena
mereka adakah kaum yang banyak merusak takwil ayat-ayat al-Qur’an dan haditshadits
Rasulullah. Mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-harta
mereka. Dan kelompok semacam itu pada masa sekarang ini telah ada. Mereka itu
adalah kelompok yang berada di negeri Hijaz; bernama kelompok Wahhabiyyah.
Mereka mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang benar dan
terkemuka, padahal mereka adalah para pendusta. Mereka telah dikuasai oleh
setan hingga mereka lalai dari mengenal Allah. Mereka adalah golongan setan, dan
sesungguhnya golongan setan adalah orang-orang yang merugi. Kita berdo’a
kepada Allah, semoga Allah menghancurkan mereka”77.
I. Para Ulama Membantah Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab
Banyak sekali kitab-kitab karya para ulama Ahlussunnah yang mereka tulis
dalam bantahan terhadap Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran-ajarannya, baik
karya-karya yang secara khusus ditulis untuk itu, atau karya-karya dalam beberapa
disiplin ilmu yang di dalamnya dimuat bantahan-bantahan terhadapnya. Di
antaranya adalah karya-karya berikut ini dengan penulisnya masing-masing:
1. Ithâf al-Kirâm Fî Jawâz at-Tawassul Wa al-Istighâtsah Bi al-Anbiyâ’ al-Kirâm karya asy-
Syaikh Muhammad asy-Syadi. Tulisan manuskripnya berada di al-Khizanah al-
Kittaniyyah di Rabath pada nomor 1143.
2. Ithâf Ahl az-Zamân Bi Akhbâr Mulûk Tûnus Wa ‘Ahd al-Amân karya asy-Syaikh
Ahmad ibn Abi adl-Dliyaf, telah diterbitkan.
3. Itsbât al-Wâsithah al-Latî Nafathâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Abd al-Qadir ibn
Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandarani (w 1362 H).
4. Ajwibah Fî Zayârah al-Qubûr karya asy-Syaikh al-Idrus. Tulisan manuskripnya
berada di al-Khizanah al-‘Ammah di Rabath pada nomor 4/2577.
5. al-Ajwibah an-Najdiyyah ‘An al-As-ilah an-Najdiyyah karya Abu al-Aun Syamsuddin
Muhammad ibn Ahmad ibn Salim an-Nabulsi al-Hanbali yang dikenal dengan
sebutan Ibn as-Sifarayini (w 1188 H).
6. al-Ajwibah an-Nu’mâniyyah ‘An al-As-ilah al-Hindiyyah Fî al-‘Aqâ-id karya Nu’man
ibn Mahmud Khairuddin yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Alusi al-Baghdadi
al-Hanafi (w 1317 H).
7. Ihyâ’ al-Maqbûr Min Adillah Istihbâb Binâ’ al-Masâjid Wa al-Qubab ‘Alâ al-Qubûr
karya al-Imâm al-Hâfizh as-Sayyid Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari (w 1380 H).
8. Al-Ishâbah Fî Nushrah al-Khulafâ’ ar-Rasyidîn karya asy-Syaikh Hamdi Juwaijati ad-
Damasyqi.
9. al-Ushûl al-Arba’ah Fî Tardîd al-Wahhâbiyyah karya Muhammad Hasan Shahib as-
Sarhandi al-Mujaddidi (w 1346 H), telah diterbitkan.
10. Izh-hâr al-‘Uqûq Min Man Mana’a at-Tawassul Bi an-Nabiyy Wa al-Walyy ash-Shadûq
karya asy-Syaikh al-Musyrifi al-Maliki al-Jaza-iri.
11. al-Aqwâl as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Mudda’i Nushrah as-Sunnah al-Muhammadiyyah
disusun oleh Ibrahim Syahatah ash-Shiddiqi dari pelajaran-pelajaran al-Muhaddits
as-Sayyid Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari, telah diterbitkan.
12. al-Aqwâl al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya ahli fiqih terkemuka
asy-Syaikh Atha al-Kasam ad-Damasyqi al-Hanafi, telah diterbitkan.
13. al-Intishâr Li al-Awliyâ’ al-Abrâr karya al-Muhaddits asy-Syaikh Thahir Sunbul al-
Hanafi.
14. al-Awrâq al-Baghdâdiyyah Fî al-Jawâbât an-Najdiyyah karya asy-Syaikh Ibrahim ar-
Rawi al-Baghdadi ar-Rifa’i. Pemimpin tarekat ar-Rifa’iyyah di Baghdad, telah
diterbitkan.
15. al-Barâ-ah Min al-Ikhtilâf Fî ar-Radd ‘Alâ Ahl asy-Syiqâq Wa an-Nifâq Wa ar-Radd ‘Alâ
al-Firqah al-Wahhâbiyyah adl-Dlâllah karya asy-Syaikh Ali Zain al-Abidin as-Sudani,
telah diterbitkan.
16. al-Barâhîn as-Sâthi’ah Fî ar-Radd Ba’dl al-Bida’ asy-Syâ’i-ah karya asy-Syaikh Salamah
al-Uzami (w 1379 H), telah diterbitkan.
17. al-Bashâ-ir Li Munkirî at-Tawassul Bi Ahl al-Maqâbir karya asy-Syaikh Hamdullah
ad-Dajwi al-Hanafi al-Hindi, telah diterbitkan.
18. Târîkh al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ayyub Shabri Basya ar-Rumi, penulis
kitab Mir-âh al-Haramain.
19. Tabarruk ash-Shahâbah Bi Âtsâr Rasulillâh karya asy-Syaikh Muhammad Thahir ibn
Abdillah al-Kurdi. Telah diterbitkan.
20. Tabyîn al-Haqq Wa ash-Shawâb Bi ar-Radd ‘Alâ Atbâ’ Ibn Abd al-Wahhâb karya asy-
Syaikh Taufiq Sauqiyah ad-Damasyqi (w 1380 H), telah diterbitkan di Damaskus.
21. Tajrîd Sayf al-Jihâd Li Mudda’î al-Ijtihâd karya asy-Syaikh Abdullah ibn Abd al-
Lathif asy-Syafi’i. Beliau adalah guru dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab
sendiri, dan beliau telah membantah seluruh ajaran Wahhabiyyah di saat hidup
Muhammad ibn Abd al-Wahhab.
22. Tahdzîr al-Khalaf Min Makhâzî Ad’iyâ’ as-Salaf karya al-Imâm al-Muhaddits asy-
Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari.
23. at-Tahrîrât ar-Râ-iqah karya asy-Syaikh Muhammad an-Nafilati al-Hanafi, mufti
Quds Palestina, telah diterbitkan.
24. Tahrîdl al-Aghbiyâ ‘Alâ al-Istighâtsah Bi al-Anbiyâ Wa al-Awliyâ karya asy-Syaikh
Abdullah al-Mayirghini al-Hanafi, tinggal di wilayah Tha’if.
25. at-Tuhfah al-Wahbiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Dawud ibn
Sulaiman al-Baghdadi an-Naqsyabandi al-Hanafi (w 1299 H).
26. Tath-hîr al-Fu-âd Min Danas al-I’tiqâd karya asy-Syaikh Muhammad Bakhith al-
Muthi’i al-Hanafi, salah seorang ulama al-Azhar Mesir terkemuka, telah
diterbitkan.
27. Taqyîd Hawla at-Ta’alluq Wa at-Tawassul Bi al-Anbiyâ Wa ash-Shâlihîn karya asy-
Syaikh Ibn Kairan, Qadli al-Jama’ah di wilayah Maghrib Maroko. Karya
manuskrip berada di Khizanah al-Jalawi/Rabath pada nomor 153.
28. Taqyîd Hawla Ziyârah al-Auliyâ Wa at-Tawassul Bihim karya Ibn Kairan, Qadli al-
Jama’ah di wilayah Maghrib Maroko. Karya manuskrip berada di Khizanah al-
Jalawi/Rabath pada nomor 153.
29. Tahakkum al-Muqallidîn Biman Idda’â Tajddîd ad-Dîn karya asy-Syaikh Muhammad
ibn Abd ar-Rahman al-Hanbali. Dalam kitab ini beliau telah membantah seluruh
kesasatan Muhammad ibn Abd al-Wahhab secara rinci dan sangat kuat.
30. at-Tawassul karya asy-Syaikh Muhammad Abd al-Qayyum al-Qadiri al-Hazarawi,
telah diterbitkan.
31. at-Tawassul Bi al-Anbiyâ’ Wa ash-Shâlihîn karya asy-Syaikh Abu Hamid ibn Marzuq
ad-Damasyqi asy-Syami, telah diterbitkan.
32. at-Taudlîh ‘An Tauhîd al-Khilâq Fî Jawâb Ahl al-‘Irâq ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-
Wahhâb karya asy-Syaikh Abdullah Afandi ar-Rawi. Karya Manuskrip di
Universitas Cambridge London dengan judul “ar-Radd al-Wahhabiyyah”.
Manuskrip serupa juga berada di perpustakaan al-Awqaf Bagdad Irak.
33. Jalâl al-Haqq Fî Kasyf Ahwâl Asyrâr al-Khalq karya asy-Syaikh Ibrahim Hilmi al-
Qadiri al-Iskandari, telah diterbitkan.
34. al-Jawâbât Fî az-Ziyârât karya asy-Syaikh Ibn Abd ar-Razzaq al-Hanbali.
asy-Sayyid Alawi ibn al-Haddad berkata: “Saya telah melihat berbagai jawaban
(bantahan atas kaum Wahhabiyyah) dari tulisan para ulama terkemuka dari
empat madzhab, mereka yang berasal dari dua tanah haram (Mekah dan
Madinah), dari al-Ahsa’, dari Basrah, dari Bagdad, dari Halab, dari Yaman, dan
dari berbagai negara Islam lainnya. Baik tulisan dalam bentuk prosa maupun
dalam bentuk bait-bait syai’r”.
35. Hâsyiyah ash-Shâwî ‘Alâ Tafsîr al-Jalâlain karya asy-Syaikh Ahmad ash-Shawi al-
Maliki.
36. al-Hujjah al-Mardliyyah Fî Itsbât al-Wâsithah al-Latî Nafathâ al-Wahhâbiyyah karya
asy-Syaikh Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandari (w 1362 H).
37. al-Haqâ-iq al-Islâmiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Mazâ’im al-Wahhâbiyyah Bi Adillah al-Kitâb
Wa as-Sunnah an-Nabawiyyah karya asy-Syaikh Malik ibn asy-Syaikh Mahmud,
direktur perguruan al-‘Irfan di wilayah Kutabali Negara Republik Mali Afrika,
telah diterbitkan.
38. al-Haqq al-Mubîn Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyîn karya asy-Syaikh Ahmad Sa’id al-
Faruqi as-Sarhandi an-Naqsyabandi (w 1277 H).
39. al-Haqîqah al-Islâmiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Abd al-
Ghani ibn Shaleh Hamadah, telah diterbitkan.
40. ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh as-Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan, mufti madzhab Syafi’i di Mekah (w 1304 H).
41. ad-Dalîl al-Kâfi Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbi karya asy-Syaikh Misbah ibn Ahmad
Syibqilu al-Bairuti, telah diterbitkan.
42. ar-Râ-’iyyah ash-Shughrâ Fî Dzamm al-Bid’ah Wa Madh as-Sunnah al-Gharrâ’, baitbait
sya’ir karya asy-Syaikh Yusuf ibn Isma’il an-Nabhani al-Bairuti, telah
diterbitkan.
43. ar-Rihlah al-Hijâziyyah karya asy-Syaikh Abdullah ibn Audah yang dikenal dengan
sebutan Shufan al-Qudumi al-Hanbali (w 1331 H), telah diterbitkan.
44. Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr karya asy-Syaikh Muhammad Amin yang
dikenal dengan sebutan Ibn Abidin al-Hanafi ad-Damasyqi, telah diterbitkan.
45. ar-Radd ‘Alâ Ibn ‘Abd al-Wahhâb karya Syaikh al-Islâm di wilayah Tunisia, asy-
Syaikh Isma’il at-Tamimi al-Maliki (w 1248 H). Berisi bantahan sangat kuat dan
detail atas faham Wahhabiyyah, telah diterbitkan di Tunisia.
46. Radd ‘Alâ Ibn ’Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh Ahmad al-Mishri al-Ahsa-i.
47. Radd ‘Alâ Ibn Abd al-Wahhâb karya al-‘Allâmah asy-Syaikh Barakat asy-Syafi’i al-
Ahmadi al-Makki.48. ar-Rudûd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya al-Muhaddits asy-Syaikh Shaleh
al-Fulani al-Maghribi.
as-Sayyid Alawi ibn al-Haddad dalam mengomentari ar-Rudûd ‘Ala Muhammad
Ibn ’Abd al-Wahhâb karya al-Muhaddits asy-Syaikh Shaleh al-Fulani al-Maghribi ini
berkata: “Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat beberapa risalah dan
berbagai jawaban (bantahan atas kaum Wahhabiyyah) dari semua ulama empat
madzhab; ulama madzhab Hanafi, ulama madzhab Maliki, Ulama madzhab
Syafi’i, dan ulama madzhab Hanbali. Mereka semua dengan sangat bagus telah
membantah Muhammad ibn Abd al-Wahhab”.
49. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Shaleh al-Kawasy at-Tunisi. Karya
ini dalam bentuk sajak sebagai bantahan atas risalah Muhammad ibn Abd al-
Wahhab, telah diterbitkan.
50. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Muhammad Shaleh az-Zamzami
asy-Syafi’i, Imam Maqam Ibrahim di Mekah.
51. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ibrahim ibn Abd al-Qadir ath-
Tharabulsi ar-Riyahi at-Tunusi al-Maliki, berasal dari kota Tastur (w 1266 H).
52. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Abd al-Muhsin al-Asyikri al-
Hanbali, mufti kota az-Zubair Basrah Irak.
53. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh al-Makhdum al-Mahdi, mufti
wilayah Fas Maroko.
54. ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh Muhammad ibn
Sulaiman al-Kurdi asy-Syafi’i. Beliau adalah salah seorang guru dari Muhammad
ibn Abd al-Wahhab sendiri.
asy-Syaikh Abu Hamid ibn Marzuq (asy-Syaikh Muhammad Arabi at-Tabban)
dalam kitab Barâ-ah al-Asyariyyîn Min Aqâ-id al-Mukhâlifîn menuliskan: “Guru
Muhammad ibn Abd al-Wahhab (yaitu asy-Syaikh Muhammad ibn Sulaiman al-
Kurdi) telah memiliki firasat bahwa muridnya tersebut akan menjadi orang sesat
dan menyesatkan. Firasat seperti ini juga dimiliki guru Muhammad ibn Abd al-
Wahhab yang lain, yaitu asy-Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi, dan juga dimiliki
oleh ayah sendiri, yaitu asy-Syaikh Abd al-Wahhab”.
55. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya Abu Hafsh Umar al-Mahjub. Karya
manuskripnya berada di Dar al-Kutub al-Wathaniyyah Tunisia pada nomor 2513.
Copy manuskrip ini berada di Ma’had al-Makhthuthat al-Arabiyyah Cairo Mesir
dan di perpustakaan al-Kittaniyyah Rabath pada nomor 1325.
56. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ibn Kairan, Qadli al-Jama’ah di
wilayah Maghrib Maroko. Karya manuskrip di perpustakaan al-Kittaniyyah
Rabath pada nomor 1325.
57. ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh Abdullah al-Qudumi
al-Hanbali an-Nabulsi, salah seorang ulama terkemuka pada madzhab Hanbali di
wilayah Hijaz dan Syam (w 1331 H). Karya ini berisi pembahasan masalah ziarah
dan tawassul dengan para Nabi dan orang-orang saleh. Dalam karyanya ini
penulis menamakan Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan para pengikutnya
sebagai kaum Khawarij. Penyebutan yang sama juga telah beliau ungkapkan
dalam karyanya yang lain berjudul ar-Rihlah al-Hijâziyyah Wa ar-Riyâdl al-
Unsiyyah Fî al-Hawâdits Wa al-Masâ-il.
58. Risâlah as-Sunniyyîn Fî ar-Radd ‘Alâ al-Mubtadi’în al-Wahhâbiyyîn Wa al-Mustauhibîn
karya asy-Syaikh Musthafa al-Karimi ibn Syaikh Ibrahim as-Siyami, telah
diterbitkan tahun 1345 H oleh penerbit al-Ma’ahid.59. Risâlah Fî Ta-yîd Madzhab ash-Shûfiyyah Wa ar-Radd ‘Alâ al-Mu’taridlîn ‘Alayhim
karya asy-Syaikh Salamah al-Uzami (w 1379 H), telah diterbitkan.
60. Risâlah Fî Tasharruf al-Auliyâ’ karya asy-Syaikh Yusuf ad-Dajwa, telah diterbitkan.
61. Risâlah Fî Jawâz at-Tawassul Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya
mufti wilayah Fas Maghrib al-‘Allâmah asy-Syaikh Mahdi al-Wazinani.
62. Risâlah Fî Jawâz al-Istigâtsah Wa at-Tawassul karya asy-Syaikh as-Sayyid Yusuf al-
Bithah al-Ahdal az-Zabidi, yang menetap di kota Mekah. Dalam karyanya ini
beliau mengutip pernyataan seluruh ulama dari empat madzhab dalam bantahan
mereka atas kaum Wahhabiyyah, kemudian beliau mengatakan: “Sama sekali
tidak dianggap faham yang menyempal dari keyakinan mayoritas umat Islam
dan berseberangan dengan mereka, dan siapa melakukan hal itu maka ia adalah
seorang ahli bid’ah”.
63. Risâlah Fî Hukm at-Tawassul Bi al-Anbiyâ’ Wa al-Awliyâ’ karya asy-Syaikh
Muhammad Hasanain Makhluf al-Adawi al-Mishri wakil Universitas al-Azhar
Cairo Mesir, telah diterbitkan.
64. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Qasim Abu al-Fadl al-
Mahjub al-Maliki.
65. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Musthafa ibn asy-Syaikh
Ahmad ibn Hasan asy-Syathi ad-Damasyqi al-Hanbali.
66. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ahamd Hamdi ash-
Shabuni al-Halabi (w 1374 H).
67. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ahmad ibn Hasan asy-
Syathi, mufti madzhab Hanbali di wilayah Damaskus Siria, telah diterbitkan di
Bairut tahun 1330 H.
68. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ali ibn Muhammad karya
manuskrip berada di al-Khizanah at-Taimuriyyah.
69. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Utsman al-Umari al-Uqaili
asy-Syafi’i, karya manuskrip berada di al-Khizanah at-Tamuriyyah.
70. ar-Risâlah ar-Raddiyyah ‘Alâ ath-Thâ-ifah al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh
Muhammad Atha’ullah yang dikenal dengan sebutan Atha’ ar-Rumi.
71. ar-Risâlah al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Man Yunkir az-Ziyârah al-Muhammadiyyah
karya asy-Syaikh Muhammad as-Sa’di al-Maliki.
72. Raudl al-Majâl Fî ar-Radd ‘Alâ Ahl adl-Dlalâl karya asy-Syaikh Abd ar-Rahman al-
Hindi ad-Dalhi al-Hanafi, telah diterbitkan di Jeddah tahun 1327 H.
73. Sabîl an-Najâh Min Bid’ah Ahl az-Zâigh Wa adl-Dlalâlah karya asy-Syaikh al-Qâdlî
Abd ar-Rahman Quti.
74. Sa’âdah ad-Dârain Fî ar-Radd ‘Alâ al-Firqatain, al-Wahhâbiyyah Wa Muqallidah azh-
Zhâhiriyyah karya asy-Syaikh Ibrahim ibn Utsman ibn Muhammad as-Samnudi al-
Manshuri al-Mishri, telah diterbitkan di Mesir tahun 1320 H dalam dua jilid.
75. Sanâ’ al-Islâm Fî A’lâm al-Anâm Bi ‘Aqâ-id Ahl al-Bayt al-Kirâm Raddan ‘Alâ Abd al-
Azîz an-Najdi Fî Mâ Irtakabahu Min al-Auhâm karya asy-Syaikh Isma’il ibn Ahmad
az-Zaidi, karya manskrip.
76. as-Sayf al-Bâtir Li ‘Unuq al-Munkir ‘Alâ al-Akâbir, karya al-Imâm as-Sayyid Alawi ibn
Ahmad al-Haddad (w 1222 H).
77. as-Suyûf ash-Shiqâl Fî A’nâq Man Ankar ‘Alâ al-Awliyâ’ Ba’da al-Intiqâl karya salah
seorang ulama terkemuka di Bait al-Maqdis.
78. as-Suyûf al-Musyriqiyyah Li Qath’ A’nâq al-Qâ-ilîn Bi al-Jihah Wa al-Jismiyyah karya
asy-Syaikh Ali ibn Muhammad al-Maili al-Jamali at-Tunisi al-Maghribi al-Maliki.
79. Syarh ar-Risâlah ar-Raddiyyah ‘Alâ Thâ-ifah al-Wahhâbiyyah karya Syaikh al-Islâm
Muhammmad Atha’ullah ibn Muhammad ibn Ishaq ar-Rumi, (w 1226 H).
80. ash-Shârim al-Hindi Fî ‘Unuq an-Najdi karya asy-Syaikh Atha’ al-Makki.
81. Shidq al-Khabar Fî Khawârij al-Qarn ats-Tsânî ‘Asyar Fî Itsbât Ann al-Wahhâbiyyah
Min al-Khawârij karya asy-Syaikh as-Sayyid Abdullah ibn Hasan Basya ibn Fadlal
Basya al-Alawi al-Husaini al-Hijazi, telah diterbitkan.
82. Shulh al-Ikhwân Fî ar-Radd ‘Alâ Man Qâl ‘Alâ al-Muslimîn Bi asy-Syirk Wa al-Kufrân,
Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah Li Takfîrihim al-Muslimîn karya asy-Syaikh Dawud
ibn Sulaiman an-Naqsyabandi al-Baghdadi al-Hanafi (w 1299 H).
83. ash-Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Sulaiman
ibn Abd al-Wahhab. Beliau adalah saudara kandung dari Muhammad ibn Abd
al-Wahhab, telah diterbitkan.
84. ash-Shawâ-iq Wa ar-Rudûd karya asy-Syaikh Afifuddin Abdullah ibn Dawud al-
Hanbali. as-Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Haddad menuliskan: “Karya ini (ash-
Shawâ-iq Wa ar-Rudûd) telah diberi rekomendasi oleh para ulama terkemuka dari
Basrah, Bagdad, Halab, Ahsa’, dan lainnya sebagai pembenaran bagi segala
isinya dan pujian terhadapnya”.
85. Dliyâ’ ash-Shudûr Li Munkir at-Tawassul Bi Ahl al-Qubûr karya asy-Syaikh Zahir
Syah Mayan ibn Abd al-Azhim Mayan, telah diterbitkan.
86. al-‘Aqâ-id at-Tis’u karya asy-Syaikh Ahmad ibn Abd al-Ahad al-Faruqi al-Hanafi
an-Naqsyabandi, telah diterbitkan.
87. al-‘Aqâ-id ash-Shahîhah Fî Tardîd al-Wahhâbiyyah an-Najdiyyah karya asy-Syaikh
Hafizh Muhammad Hasan as-Sarhandi al-Mujaddidi, telah diterbitkan.
88. ‘Iqd Nafîs Fî Radd Syubuhât al-Wahhâbi at-Tâ’is karya sejarawan dan ahli fiqih
terkemuka, asy-Syaikh Isma’il Abu al-Fida’ at-Tamimi at-Tunusi.
89. Ghawts al-‘Ibâd Bi Bayân ar-Rasyâd karya asy-Syaikh Abu Saif Musthafa al-Hamami
al-Mishri, telah diterbitkan.
90. Fitnah al-Wahhâbiyyah karya as-Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, (w 1304 H), mufti
madzhab Syafi’i di dua tanah haram; Mekah dan Madinah, dan salah seorang
ulama terkemuka yang mengajar di Masjid al-Haram. Fitnah al-Wahhâbiyyah ini
adalah bagian dari karya beliau dengan judul al-Futûhât al-Islâmiyyah, telah
diterbitkan di Mesir tahun 1353 H.
91. Furqân al-Qur’ân Fî Tamyîz al-Khâliq Min al-Akwân karya asy-Syaikh Salamah al-
Azami al-Qudla’i asy-Syafi’i al-Mishri. Kitab berisi bantahan atas pendapat yang
mengatakan bahwa Allah adalah benda yang memiki bentuk dan ukuran.
Termasuk di dalamnya bantahan atas Ibn Taimiyah dan faham Wahhabiyyah
yang berkeyakinan demikian. Telah diterbitkan.
92. Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh
Sulaiman ibn Abd al-Wahhab, saudara kandung dari Muhammad ibn Abd al-
Wahhab sendiri. Ini adalah kitab yang pertama kali ditulis sebagai bantahan atas
segala kesesatan Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran-ajaran
Wahhabiyyah.
93. Fashl al-Khithâb Fi Radd Dlalâlât Ibn ’Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh Ahmad ibn
Ali al-Bashri yang dikenal dengan sebutan al-Qubbani asy-Syafi’i.
94. al-Fuyûdlât al-Wahbiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ ath-Thâ-ifah al-Wahhâbiyyah karya asy-
Syaikh Abu al-Abbas Ahmad ibn Abd as-Salam al-Banani al-Maghribi.
95. Qashîdah Fî ar-Radd ‘Alâ ash-Shan’âni Fî Madh Ibn ’Abd al-Wahhâb, bait-bait sya’ir
karya asy-Syaikh Ibn Ghalbun al-Laibi, sebanyak 40 bait.
96. Qashîdah Fî ar-Radd ‘Alâ ash-Shan’âni al-Ladzî Madaha Ibn ’Abd al-Wahhâb, bait-bait
sya’ir karya as-Sayyid Musthafa al-Mishri al-Bulaqi, sebanyak 126 bait.
97. Qashîdah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, bait-bait sya’ir karya asy-Syaikh Abd al-
Aziz Qurasyi al-‘Ilji al-Maliki al-Ahsa’i. Sebanyak 95 bait.
98. Qam’u Ahl az-Zâigh Wa al-Ilhâd ‘An ath-Tha’ni Fî Taqlîd A’immah all-Ijtihâd karya
mufti kota Madinah al-Muhaddits asy-Syaikh Muhammad al-Khadlir asy-Syinqithi
(w 1353 H).
99. Kasyf al-Hijâb ‘An Dlalâlah Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya manuskrip berada
di al-Khizanah at-Taimuriyyah.
100. Muhiqq at-Taqawwul Fî Mas-alah at-Tawassul karya al-Imâm al-Muhaddits Syaikh
Muhammad Zahid al-Kautsari.
101. al-Madârij as-Saniyyah Fî Radd al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Amir al-Qadiri,
salah seorang staf pengajar pada perguruan Dar al-‘Ulum al-Qadiriyyah, Karatci
Pakistan, telah diterbitkan.
102. Mishbâh al-Anâm Wa Jalâ’ azh-Zhalâm Fî Radd Syubah al-Bid’i an-Najdi al-Latî Adlalla
Bihâ al-‘Awâmm karya as-Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Haddad, (w 1222 H), telah
diterbitkan tahun 1325 H di penerbit al-‘Amirah.
103. al-Maqâlât karya asy-Syaikh Yusuf Ahmad ad-Dajwi, salah seorang ulama
terkemuka al-Azhar Cairo Mesir (w 1365 H).
104. al-Maqâlât al-Wafiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Hasan
Quzbik, telah diterbitkan dengan rekomendasi dari asy-Syaikh Yusuf ad-Dajwi
105. al-Minah al-Ilâhiyyah Fî Thams adl-Dlalâlah al-Wahhâbiyyah karya al-Qâdlî Isma’il at-
Tamimi at-Tunusi (w 1248 H). Karya manuskrip berada di Dar al-Kutub al-
Wathaniyyah Tunisia pada nnomor 2780. Copy manuskrip ini berada di Ma’had
al-Makhthuthat al-‘Arabiyyah Cairo Mesir. Sekarang telah diterbitkan.
106. Minhah Dzî al-Jalâl Fî ar-Radd ‘Alâ Man Thaghâ Wa Ahalla adl-Dlalâl karya asy-
Syaikh Hasan Abd ar-Rahman. Berisi bantahan atas ajaran Wahhabiyyah tentang
masalah ziarah dan tawassul. Telah diterbitkan tahun 1321 H oleh penerbit al-
Hamidiyyah.
107. al-Minhah al-Wahbiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhabiyyah karya asy-Syaikh Dawud ibn
Sulaiman an-Naqsyabandi al-Baghdadi (w 1299 H), telah diterbitkan di Bombay
tahun 1305 H.
108. al-Manhal as-Sayyâl Fî al-Harâm Wa al-Halâl karya as-Sayyid Musthafa al-Mishri al-
Bulaqi.
109. an-Nasyr ath-Thayyib ‘Alâ Syarh asy-Syaikh ath-Thayyib karya asy-Syaikh Idris ibn
Ahmad al-Wizani al-Fasi (w 1272 H).
110. Nashîhah Jalîlah Li al-Wahhâbiyyah karya as-Sayyid Muhammad Thahir Al-Mulla al-
Kayyali ar-Rifa’i, pemimpin keturunan Rasulullah (al-Asyraf/al-Haba-ib) di
wilayah Idlib. Karya berisi nasehat ini telah dikirimkan kepada kaum
Wahhabiyyah, telah diterbitkan di Idlib Lebanon.
111. an-Nafhah az-Zakiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Abd al-
Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandari (w 1362 H).
112. an-Nuqûl asy-Syar’iyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Musthafa
ibn Ahmad asy-Syathi al-Hanbali ad-Damasyqi, telah diterbitkan tahun 1406 di
Istanbul Turki.
113. Nûr al-Yaqîn Fî Mabhats at-Talqîn; Risâlah as-Sunniyyîn Fî ar-Radd ‘Alâ al-Mubtadi’în
al-Wahhâbiyyîn Wa al-Mustawhibîn.
114. Yahûdan Lâ Hanâbilatan karya asy-Syaikh al-Ahmadi azh-Zhawahir, salah seorang
Syaikh al-Azhar Cairo Mesir.
J. Akidah al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal
Akidah al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal dalam menyikapi teks-teks mutasyâbih baik
teks Mutasyâbihât dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi yang
shahih adalah seperti keyakinan para ulama mujtahid lainnya dari para ulama Salaf
saleh, yaitu memberlakukan metodologi takwil sesuai tuntutan teks-teks itu sendiri.
al-Imâm Ahmad tidak seperti yang dipropagandakan kaum Wahhabiyyah sebagai
Imam yang anti takwil. Dalam hal ini kaum Wahhabiyyah telah melakukan kedustaan
besar atas al-Imâm Ahmad, dan merupakan bohong besar jika mereka mengklaim diri
mereka sebagai kaum bermadzhab Hanbali. Demi Allah, madzhab al-Imâm Ahmad
terbebas dari keyakinan dan ajaran-ajaran kaum Wahhabiyyah. Dalam buku ini anda
dapat melihat dengan berbagai referensi yang sangat kuat bahwa al-Imâm Ahmad
telah memberlakukan takwil dalam memahami teks-teks Mutasyâbihât, seperti
terhadap firman Allah: ”Wa Jâ-a Rabbuka” (QS. Al-Fajr: 22), dan firman-Nya: ”Wa
Huwa Ma’akum” (QS. Al-Hadid: 4), juga seperti hadits Nabi ”al-Hajar al-Aswad Yamîn
Allâh Fi Ardlih”. Teks-teks tersebut, juga teks-teks Mutasyâbihât lainnya sama sekali
tidak dipahami oleh al-Imâm Ahmad dalam makna-makna zahirnya. Sebaliknya beliau
memalingkan makna-makna zahir teks tersebut dan memberlakukan metode takwil
dalam memahami itu semua, karena beliau berkeyakinan sepenuhnya bahwa Allah
maha suci dari menyerupai segala makhkuk-Nya dalam segala apapun.
Al-Hâfizh Abu Hafsh Ibn Syahin, salah seorang ulama terkemuka yang hidup
sezaman dengan al-Hâfizh ad-Daraquthni berkata: “Ada dua orang saleh yang diberi
cobaan berat dengan orang-orang yang buruk akidahnya, yaitu Ja’far ibn Muhammad
dan Ahmad ibn Hanbal”78.
Yang dimaksud dua Imam agung yang saleh ini adalah; pertama, al-Imâm Ja’far
ash-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir, orang yang dianggap kaum Syi’ah Rafidlah
sebagai Imam mereka hingga mereka menyandarkan kepadanya keyakinankeyakinan
buruk mereka, padahal beliau sendiri sama sekali tidak pernah
berkeyakinan demikian. Dan yang kedua adalah al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, orang
yang dianggap oleh sebagian orang yang mengaku sebagai pengikutnya, namun
mereka menetapkan kedustaan-kedustaan dan kebatilan-kebatilan terhadapnya,
seperti akidah tajsîm, tasybîh, anti takwil, anti tawassul, dan lainnya yang sama sekali
hal-hal tersebut tidak pernah diyakini oleh al-Imâm Ahmad sendiri. Di masa sekarang
ini, madzhab Hanbali lebih banyak lagi dikotori oleh orang-orang yang secara dusta
mengaku sebagai pengikutnya, mereka adalah kaum Wahhabiyyah, yang telah
mencemari kesucian madzhab al-Imâm Ahmad ini dengan segala keburukan
keyakinan dan ajaran-ajaran mereka. Hasbunallâh.
Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh Bi Akaff at-
Tanzîh menuliskan sebagai berikut:
“Saya melihat bahwa ada beberapa orang yang mengaku di dalam madzhab
kita telah berbicara dalam masalah pokok-pokok akidah yang sama sekali tidak
benar. Ada tiga orang yang menulis karya untuk itu; Abu Abdillah ibn Hamid, al-
Qâdlî Abu Ya’la, dan Ibn az-Zaghuni. Tiga orang ini telah menulis buku yang
mencemarkan madzhab Hanbali. Saya melihat mereka telah benar-benar turun
kepada derajat orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat
Allah secara indrawi. Ketika mereka mendengar hadits ”Innallâh Khalaqa Adâm ‘Alâ
Shûratih”, mereka lalu menetapkan shûrah (bentuk) bagi Allah, menetapkan
adanya wajah sebagai tambahan bagi Dzat-Nya, menetapkan dua mata,
menetapkan mulut, gigi dan gusi. Mengatakan bahwa wajah Allah memiliki sinar
yang sangat terang, menetapkan dua tangan, jari-jemari, talapak tangan, jari
kelingking, dan ibu jari. Mereke juga menetapkan dada bagi-Nya, paha, dua betis,
dan dua kaki. Mereka berkata; Adapun penyebutan tentang kepala kami tidak
pernah mendengar. Mereka juga berkata; Dia dapat menyentuh dan atau disentuh,
dan bahwa seorang hamba yang dekat dengan-Nya adalah dalam pengertian
kedekatan jarak antara Dzat-Nya dengan dzatnya. Bahkan sebagian mereka
berkata; Dia bernafas. Lalu untuk mengelabui orang-orang awam mereka berkata;
”Namun perkara itu semua tidak seperti yang terlintas dalam akal”.
Mereka telah mengambil makna zahir dari nama-nama dan sifat-sifat Allah,
lalu mereka mengatakan, seperti yang dikatakan para ahli bid’ah, bahwa itu semua
adalah sifat-sifat Allah. Padahal mereka sama sekali tidak memiliki dalil untuk itu,
baik dari dalil-dalil tekstual maupun dalil-dalil akal. Mereka berpaling dari teksteks
muhkamât yang menetapkan bahwa teks-teks Mutasyâbihât tersebut tidak boleh
diambil makna zahirnya, tetapi harus dipahami sesuai makna-makna yang wajib
bagi Allah, dan sesuai bagi keagungan-Nya. Mereka juga berpaling dari
pemahaman bahwa sebenarnya menetapkan teks-teks Mutasyâbihât secara
zahirnya sama saja dengan menetapkan sifat-sifat baharu bagi Allah.
Perkataan mereka ini adalah murni sebagai akidah tasybîh, penyerupaan Allah
dengan makhluk-Nya. Ironisnya, keyakinan mereka ini diikuti oleh sebagian orang
awam. Saya telah memberikan nasehat kepada mereka semua tentang kesesatan
akidah ini, baik kepada mereka yang diikuti maupun kepada mereka yang
mengikuti. Saya katakan kepada mereka: “Wahai orang-orang yang mengaku
madzhab Hanbali, madzhab kalian adalah madzhab yang mengikut kepada al-
Qur’an dan hadits, Imam kalian yang agung; Ahmad ibn Hanbal di bawah
pukulan cambuk, -dalam mempertahankan kesucian akidahnya- berkata:
“Bagaimana mungkin aku berkata sesuatu yang tidak pernah dikatakan
Rasulullah!?”. Karena itu janganlah kalian mangotori madzhab ini dengan ajaranajaran
yang sama sekali bukan bagian darinya”79.
Tiga orang dinyatakan Ibn al-Jawzi di atas sebagai orang-orang pencemar nama
baik madzhab Hanbali; orang pertama adalah Abu Abdillah ibn Hamid, nama
lengkapnya ialah Abu Abdillah al-Hasan ibn Hamid ibn Ali al-Baghdadi al-Warraq,
wafat tahun 403 Hijiriah. Di masa hidupnya, dia adalah salah seorang terkemuka di
kalangan madzhab Hanbali, bahkan termasuk salah seorang yang cukup produtif
menghasilkan karya tulis di kalangan madzhab ini. Di antara karyanya adalah Syarh
Kitâb Ushûl ad-Dîn, hanya saja kitab ini, juga beberapa kitab karyanya penuh dengan
kesesatan akidah tajsîm. Dari tangan orang ini pula lahir salah seorang murid
terkemukanya, yang sama persis dengannya dalam keyakinan tasybîh, yaitu al-Qâdlî
Abu Ya’la al-Hanbali.
Orang kedua; al-Qâdlî Abu Ya’la al-Hanbali, nama lengkapnya ialah Abu Ya’la
Muhammad ibn al-Husain ibn Khalaf ibn al-Farra’ al-Hanbali, wafat tahun 458
Hijriah. Ia adalah salah seorang yang dianggap paling bertanggung jawab, --sama
seperti gurunya tersebut di atas--, atas tercemarnya kesucian madzhab Hanbali.Bahkan salah seorang ulama terkemuka bernama Abu Muhammad at-Tamimi
berkata: “Abu Ya’la telah mengotori madzhab Hanbali dengan satu kotoran yang
tidak akan dapat dibersihkan walaupun dengan air lautan”. Di antara karya Abu Ya’la
ini adalah Thabaqât al-Hanâbilah; di dalamnya terdapat perkataan-perkataan tasybîh
yang secara dusta ia sandarkan kepada al-Imâm Ahmad ibn Hanbal. Padahal
sedikitpun al-Imâm Ahmad tidak pernah berkeyakinan seperti apa yang ia
sangkakannya. Termasuk salah satu karya Abu Ya’la adalah kitab berjudul Kitâb al-
Ushûl, juga di dalamnya banyak sekali keyakinan-keyakinan tasybîh; di antaranya
dalam buku ini ia menetapkan bentuk dan ukuran bagi Allah.
Faedah Penting:
Sangat penting untuk diingat, bahwa al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim ini berbeda
dengan al-Hâfizh Abu Ya’la. Yang pertama; al-Qâdlî Abu Ya’la adalah seorang
Mujassim murid dari Abu Abdillah ibn Hamid, seperti yang telah kita tuliskan di atas.
Sementara al-Hâfizh Abu Ya’la adalah salah seorang Imam besar dan terkemuka dalam
hadits yang tulen sebagai seorang sunni, nama lengkap beliau adalah Abu Ya’la
Ahmad ibn Ali al-Maushili, penulis kitab Musnad yang kenal dengan Musnad Abû
Ya’lâ.
Adapun orang yang ketiga, yaitu Ibn az-Zaghuni, nama lengkapnya adalah
Abu al-Hasan Ali ibn Abdillah ibn Nashr az-Zaghuni al-Hanbali, wafat tahun 527
Hijriah. Orang ini termasuk salah satu guru dari al-Hâfizh Ibn al-Jawzi sendiri. Ia
menulis beberapa buku tentang pokok-pokok akidah, salah satunya pembahasan
tentang teks-teks mutasyâbihât berjudul al-Idlâh Min Gharâ-ib at-Tasybîh, hanya saja di
dalamnya ia banyak menyisipkan akidah-akidah tasybîh.
Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh selain menyebutkan
tiga orang yang harus bertanggaungjawab terhadap tercemarnya madzhab Hanbali,
beliau menuliskan pula bantahan-bantahan atas orang-orang berakidah tasybîh dan
tajsîm yang mengaku bermadzhab Hanbali secara umum. Di antara apa yang
dituliskan beliau sebagai berikut:
“Janganlah kalian masukan ke dalam madzhab orang saleh dari kalangan Salaf
ini (al-Imâm Ahmad ibn Hanbal) sesuatu yang sama sekali bukan dari rintisannya.
Kalian telah membungkus madzhab ini dengan sesuatu yang sangat buruk. Karena
sebab kalian menjadi timbul klaim bahwa tidak ada seorangpun yang bermadzhab
Hanbail kecuali pastilah ia sebagai mujassim. Bahkan, ditambah atas itu semua,
kalian telah mengotori madzhab ini dengan mananamkan sikap panatisme
terhadap Yazid ibn Mu’awiyah. Padahal kalian telah tahu bahwa al-Imâm Ahmad
sendiri membolehkan untuk melaknat Yazid. Dan bahkan Abu Muhammad ata-
Tamimi berkata tentang beberapa orang pimpinan dari kalian bahwa kalian telah
mengotori madzhab ini dengan sesuatu yang sangat buruk yang tidak akan dapat
dibersihkan hingga hari kiamat”.
Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dalam kitab Manâqib al-Imâm Ahmad pada bab
20 menuliskan secara detail tentang keyakinan al-Imâm Ahmad: “Keyakinan al-Imâm
Ahmad Ibn Hanbal dalam pokok-pokok akidah”, Ia (al-Imâm Ahmad) berkata tentang
masalah iman: “Iman adalah ucapan dan perbuatan yang dapat bertambah dan dapat
berkurang, semua bentuk kebaikan adalah bagian dari iman dan semua bentuk
kemaksiatan dapat mengurangi iman”. Kemudian tentang al-Qur’an al-Imâm Ahmad
berkata: “al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk. Al-Qur’an bukan dari selain
Allah. tidak ada suatu apapun dalam al-Qur’an sebagai sesuatu yang makhluk.
Barangsiapa mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk maka ia telah menjadi kafir”.
K. Ketetapan Takwil Tafshîli Dari Para Ulama Salaf
Ada sebagian orang, umumnya dari kaum Musyabbihah Mujassimah -sekarang
Wahhabiyyah-, seringkali melempar tuduhan kepada Ahlussunnah Asy’ariyyah
Maturidiyyah sebagai kaum Mu’ath-thilah, atau Mu’tazilah, atau kadang mereka sebut
Afrâkh al-Mu’tazilah (cicit-cicit Mu’tazilah). Alasan mereka adalah karena kaum
Asy’ariyyah dan Maturidiyyah sering memberlakukan takwil terhadap teks-teks
mutsyabihât dari al-Qur’an dan Hadits, dan menurut mereka orang yang
memberlakukan takwil sama saja dengan ta’thîl (mengingkari teks-teks tersebut),
dalam istilah mereka ”al-Mu’awwil Mu’ath-thil”.
Catatan ini tidak hendak diperpanjang dengan menuliskan definisi takwil.
Berikut ini adalah terjemahan dari kitab Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ’Alâ Man Khâlaf al-
Qur’ân karya al-Imâm al-Hâfizh Abdullah al-Harari dalam menjelaskan bahwa takwil
tidak hanya diberlakukan oleh para ulama Khalaf, tidak pula hanya diberlakukan oleh
para ulama dari kalangan Asy’ariyyah dan Maturidiyyah saja, tapi jauh sebelum itu
metodologi takwil ini telah diberlakukan oleh para sahabat, tabi’în, dan para ulama
Salaf saleh terdahulu. Berikut ini adalah terjemahan dari kitab dimaksud:
”Takwil tafshîli sekalipun sering diberlakukan oleh umumnya ulama Khalaf,
namun demikian banyak pula dari ulama Salaf yang memberlakukan metode
tersebut. Bahkan metode takwil tafshîli ini dipakai oleh para ulama Salaf terkemuka,
seperti al-Imâm Abdullah ibn Abbas dari kalangan sahabat Rasulullah, al-Imâm
Mujahid (murid Abdullah Ibn Abbas) dari kalangan tabi’in, termasuk al-Imâm Ahmad
ibn Hanbal dan al-Imâm al-Bukhari dari golongan yang datang sesudah mereka.
Adapun takwil tafshîli dari sahabat Abdullah ibn Abbas adalah seperti yang
telah disebutkan al-Imâm al-Hâfizh ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-
Bukhâri, sebagai berikut:
“Adapun kata “as-Sâq”, telah diriwayatkan dari Abdullah ibn Abbas dalam
takwil firman Allah:
يوَْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ (القلم: 42
bahwa yang dimaksud dengan kata “as-Sâq” dalam ayat ini adalah “Perkara
yang dahsyat”. Artinya di hari tersebut (hari kiamat) akan dibukakan segala
perkara dan urusan yang sulit dan dahsyat. Karenanya dalam bahasa Arab 
seringkali dipakai pernyataan “Qâmat al-Harb ‘Alâ as-Sâq…”, artinya peperangan
terjadi dengan sangat dahsyat. Kemudian dalam sebuah sya’ir dikatakan:
قَدْ سَنّ أصْحَابُكَ ضَرْبَ الأعْنَاقِ وَقَامَتِ الحَْرْبُ بِنَا عَلَى سَاقِ
Sahabat-sahabatmu telah melakukan pukulan-pukulan di atas tengkuk para musuh,
dengan adanya kami peperangan terjadi dengan sangat dahsyat”.
Sementara itu diriwayatkan dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari dalam
menafsirkan ayat QS. al-Qalam: 42 tersebut mengatakan bahwa orang-orang
mukmin di saat kiamat nanti dibukakan bagi mereka akan cahaya yang agung
(maksudnya pertolongan dari Allah). Al-Imâm Ibn Furak berkata: ”Yang dimaksud
dengan ayat tersebut ialah bahwa orang-orang mukmin mendapatkan berbagai
karunia dan pertolongan”. Al-Muhallab berkata: ”Yang dimaksud ayat tersebut
adalah bahwa orang-orang mukmin mendapatkan rahmat dari Allah, sementara
pada saat yang sama orang-orang kafir mendapatkan siksa dari-Nya” 81.
Al-Imâm al-Hâfizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asmâ’ Wa ash-Shifât menuliskan
sebagai berikut: ”Al-Khaththabi berkata: Tidak sedikit dari beberapa Syaikh yang
terperangkap dalam pencarian makna as-Sâq. Padahal telah ada takwil bagi ayat
tersebut dari sahabat Abdullah ibn Abbas bahwa yang dimaksud adalah Allah dengan
kekuasaan-Nya membukakan segala urusan yang sulit dari orang-orang mukmin saat
itu” 82 .
Al-Imâm al-Bayhaqi dalam meriwayatkan takwil Ibn Abbas di atas menyebutkan
dua sanad untuk itu, dan keduanya berkualitas hasan. Dalam riwayat al-Bayhaqi ini
Ibn Abbas berkata: ”Jika kalian mendapatkan kesulitan dalam memahami ayat al-
Qur’an maka carilah pemaknaan bahasanya di dalam syair”, kemudian beliau
menyebutkan syair dalan bentuk Bahr Rajaz di atas ”Qad Sanna Ash-hâbuka…”.
Kemudian al-Khaththabi dalam memaknai “as-Sâq” dalam sebuah syair-nya
mengatakan: “… Fi Sanah Qad Kusyifat ‘An Sâqiha”, artinya terdapat peristiwa pada
suatu tahun, di mana pada tahun tersebut segala kesulitan telah dibukakan” 83 .
Adapun takwil dari al-Imâm Mujahid adalah sebagaimana telah diriwayatkan
oleh al-Hâfizh al-Bayhaqi, sebagai berikut:
“Telah mengkabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hâfizh dan Abu Bakar al-
Qadli, keduanya berkata: Mengkabarkan kepada kami Abu al-Abbas Muhammad
ibn Ya’qub, berkata: Mengkabarkan kepada kami al-Hasan ibn ‘Ali ibn ‘Affan,
berkata: Mengkabarkan kepada kami Abu Usamah, dari an-Nadlr, dari Mujahid,
dalam takwil firman Allah:
فَأَيْنَمَا توَُلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (البفرة: 115
ia (Mujahid) berkata: “Yang dimaksud dengan “Wajhullâh” adalah “Kiblatullâh”
(kiblat Allah), maka di manapun engkau berada, baik di barat maupun di timur,
engkau tidak menghadapkan mukamu kecuali kepada kiblat Allah tersebut” (Yang
dimaksud adalah ketika shalat sunnah di atas binatang tunggangan, ke manapun
binatang tunggangan tersebut mengarah maka hal itu bukan masalah) 84.
Adapun takwil dari al-Imâm Ahmad, juga telah diriwayatkan oleh al-Bayhaqi di
dalam pembicaraan biografi al-Imâm Ahmad sendiri. Diriwayatkannya dari al-Hakim
dari Abu ‘Amr as-Sammak dari Hanbal, bahwa al-Imâm Ahmad ibn Hanbal telah
mentakwil firman Allah:
وَجَآءَ رَبُّكَ (الفجر: 22
bahwa yang dimaksud ayat ini bukan berarti Allah datang dari suatu tempat, tapi
yang dimaksud adalah datangnya pahala yang dikerjakan ikhlas karena Allah.
Tentang kualitas riwayat ini al-Bayhaqi berkata: “Kebenaran sanad riwayat ini tidak
memiliki cacat sedikitpun”, sebagaimana riwayat ini telah dikutip oleh Ibn Katsir
dalam kitab Târîkh-nya 85.
Dalam riwayat lain yang juga riwayat al-Bayhaqi dari al-Imâm Ahmad dalam
takwil firman Allah QS. al-Fajr: 22 di atas, bahwa al-Imâm Ahmad berkata: “Yang
dimaksud adalah datangnya pahala perbuatan yang dilakukan ikhlas karena Allah”.
Kemudian al-Bayhaqi berkata: “Kebenaran sanad riwayat ini tidak memiliki cacat
sedikitpun”. Dalam penyebutan biografi al-Imâm Ahmad, al-Bayhaqi menuliskan
sebagai berikut:
“Mengkabarkan kepada kami al-Hakim, berkata: Mengkabarkan kepada kami
Abu ‘Amr ibn as-Sammak, berkata: Mengkabarkan kepada kami Hanbal ibn Ishak,
berkata: Aku telah mendengar pamanku Abu Abdillah (Ahmad ibn Hanbal)
berkata: ”Mereka (kaum Mu’tazilah) mengambil dalil dalam perdebatan
denganku, --ketika itu di istana Amîr al-Mu’minîn--, mereka berkata bahwa di hari
kiamat surat al-Baqarah akan datang, demikian pula surat Tabarak akan datang.
Aku katakan kepada mereka bahwa yang akan datang itu adalah pahala dari
bacaan surat-surat tersebut. Dalam makna firman Allah QS. al-Fajr 22, bukan
berarti Allah datang, tapi yang dimaksud adalah datangnya kekuasaan Allah.
Karena sesungguhnya kandungan al-Qur’an itu adalah pelajaran-pelajaran dan
nasehat-nasehat”86.
Kemudian al-Hafzih al-Bayhaqi menuliskan:
“Dalam peristiwa ini terdapat penjelasan kuat bahwa al-Imâm Ahmad tidak
meyakini makna “al-Majî’” --dalam QS. al-Fajr di atas-- dalam makna datangnya
Allah dari suatu tempat. Demikian pula beliau tidak meyakini makna “an-Nuzûl”
pada hak Allah yang --disebutkan dalam hadits-- dalam pengertian turun pindah
dari satu tempat ke tempat yang lain seperti pindah dan turunnya benda-benda.
Tapi yang dimaksud dari itu semua adalah untuk mengungkapkan dari datangnya
tanda-tanda kekuasaan Allah, karena mereka (kaum Mu’tazilah) berpendapat
bahwa al-Qur’an jika benar sebagai Kalam Allah dan merupakan salah satu dari
sifat-sifat Dzat-Nya, maka tidak boleh makna al-Majî’ diartikan dengan datangnya
Allah dari suatu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu al-Imâm Ahmad menjawab
pendapat kaum Mu’tazilah dengan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
datangnya pahala bacaan dari surat-surat al-Qur’an tersebut. Artinya pahala
bacaan al-Qur’an itulah yang akan datang dan nampak pada saat kiamat itu”87.
Dari penjelasan di atas terdapat bukti kuat bahwa al-Imâm Ahmad memaknai
ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah, juga hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah, tidak
dalam pengertian zhahirnya. Karena pengertian zhahir teks-teks tersebut seakan Allah
ada dengan memiliki tempat dan kemudian berpindah-pindah, juga seakan Allah
bergerak, diam, dan turun dari atas ke bawah, padahal jelas ini semua mustahil atas
Allah. Hal ini berbeda dengan pendapat Ibn Taimiyah dan para pengikutnya -kaum
Wahhabiyyah-, mereka menetapkan adanya tempat bagi Allah, juga mengatakan
bahwa Allah memiliki sifat-sifat tubuh, hanya saja untuk mengelabui orang-orang
awam, mereka mengungkapkan kata-kata yang seakan bahwa Allah Maha Suci dari
itu semua, kadang mereka biasa berkata “Bilâ Kayf…(Sifat-sifat Allah tersebut jangan
ditanyakan bagaimana?)”, kadang pula mereka berkata “’Alâ Mâ Yalîqu Billâh…
(Bahwa sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat yang sesuai bagi keagungan Allah).
Kita katakan kepada mereka: ”Andaikan al-Imâm Ahmad berkeyakinan bahwa
Allah bergerak, diam, pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, maka beliau akan
memaknai ayat-ayat tersebut dalam makna zhahirnya, juga beliau akan akan
memahami makna al-Majî’ dalam makna datang dari suatu tempat atau datang dari
arah atas ke arah bawah seperti datangnya para Malaikat. Namun sama sekali al-Imâm
Ahmad tidak mengatakan demikian”.
Al-Imâm al-Hâfizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat meriwayatkan
dari Abu al-Hasan al-Muqri’, sebagai berikut:
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Amr al-Shaffar, berkata:
Mengkabarkan kepada kami Abu ‘Uwanah, berkata: Mengkabarkan kepada kami
Abu al-Hasan al-Maimuni, berkata: Suatu hari aku keluar menuju Abu Abdillah
Ahmad ibn Hanbal. Ia (al-Imâm Ahmad) berkata: ”Masuklah”. Maka aku masuk ke
rumahnya. Aku berkata kepadanya: ”Beritakan kepadaku tentang kejadian saat
mereka (kaum Mu’tazilah) berdebat denganmu, apakah yang mereka jadikan dalil
atasmu?!” Ia berkata: ”Mereka berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an yang
mereka takwilkan dan tafsirkan sendiri, mereka berdalil dengan firman Allah:
مَايَأْتِيهِم مِّن ذِكْرٍ مِّن مَُِِّّّحْدَثٍ (الأنبياء: 2
Apa yang datang kepada mereka dari pada al-Dzikr (al-Qur’an) adalah sesuatu yang
baru” (QS. al-Anbiya’: 2).
Aku katakan kepada mereka bahwa yang dimaksud baru dari al-Qur’an
tersebut adalah proses turunnya kepada kita, bukan al-Qur’an itu sendiri yang
baharu.
Saya (al-Bayhaqi) berkata: ”Takwil al-Imâm Ahmad ini benar. Di antara
bukti kebenaran takwil beliau terhadap ayat QS. al-Anbiya’: 2 tersebut adalah
sebuah riwayat yang telah mengkabarkannya kepadaku oleh Abu Bakar
Muhammad ibn al-Hasan ibn Furak, berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami
Abdullah ibn Ja’far, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Yunus ibn Habib,
berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu Dawud, berkata: Telah
mengkabarkan kepada kami Syu’bah dari ‘Ashim dari Abi Wa’il dari sahabat
Abdullah ibn Mas’ud, berkata: ”Suatu saat aku datang kepada Rasulullah, aku
mengucapkan salam kepadanya, namun ia tidak menjawab salamku. Maka aku
mencari-cari perkara apa yang telah terjadi pada diriku. Kemudian aku berkata
kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah adakah sesuatu telah terjadi pada diriku?
Rasulullah berkata:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُحْدِثُ مِنْ أمْرِهِ مَا شَاءَ، وَإنّ مِمّا أُحْدِثَ ألاّ تُكَلِّمُوْا فِي الصّلاَة
”Sesungguhnya Allah “membuat sesuatu yang baru” dari segala urusan-Nya bagi
nabi-Nya terhadap apapun yang Dia kehendaki. Dan sesungguhnya di antara “yang baru”
--artinya yang Dia wahyukan kepadaku-- adalah ”Janganlah kalian mengajak berbicara
dalam keadaan shalat”.
(Pengertian “yang baru” di sini adalah kejadiannya kepada makhluk-Nya,
bukan dalam pengertian bahwa Allah memiliki kehendak yang baharu).
Takwil tafshîli semacam ini juga telah datang dari al-Imâm Malik ibn Anas. Asy-
Syaikh al-Zurqani telah mengutip riwayat dari Abu Bakar ibn al-Arabi, bahwa al-Imâm
Malik telah mengomentari hadits: “Yanzilu Rabbunâ…” (Hadîts an-Nuzûl), beliau
berkata: “an-Nuzûl dalam hadits ini maknanya kembali kepada perbuatan (Af’âl)
Allah, bukan dalam pengertian -sifat- Dzat-Nya. Dan makna yang dimaksud dari
hadits ini adalah bahwa Allah memerintah beberapa Malaikat-Nya untuk turun
dengan membawa perintah dan larangan-Nya. An-Nuzûl dalam pengertian turun
secara indrawi ini adalah sifat Malaikat yang perintah oleh Allah tersebut. Dapat pula
an-Nuzûl dalam pengertian maknawi, yaitu artinya bahwa Allah telah berkehandak
akan suatu kejadian pada makhluk-Nya, yang kejadian perkara tersebut pada
makhluk tersebut adalah sesuatu baru. (Adapun sifat berkehendak Allah tidak baru).
Artinya, bahwa proses kejadian perkara yang dikehendaki oleh Allah yang terjadi
pada makhluk tersebut dinamakan dengan an-Nuzûl dari suatu keadaan kepada
keadaan yang lain, dan penggunaan bahasa semacam ini adalah termasuk
penggunaan bahasa Arab yang benar89.
Al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri berkata:
“Ibn al-Arabi berkata: Diriwayatkan bahwa orang-orang ahli bid’ah menolak
hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah tersebut, sementara para ulama Salaf
memakainya, dan sebagain ulama lainnya menerima hadits tersebut dengan
adanya takwil. Pendapat terakhir inilah yang aku pegang. Dalam teks hadits
disebutkan “Yanzilu”, an-Nuzûl di sini maknanya kembali kepada perbuatan (Af’âl)
Allah, bukan dalam pengertian -sifat- Dzat-Nya. Dan makna yang dimaksud dari
hadits ini adalah bahwa Allah memerintah beberapa Malaikat-Nya untuk turun
dengan membawa perintah dan larangan-Nya. Makna an-Nuzûl dapat bermakna
dalam pengertian indrawi; yaitu yang terjadi pada tubuh atau benda-benda, tapi
juga dapat bermakna dalam pengertian maknawi. Jika engkau memaknai an-Nuzûl
tersebut dalam pengertian indrawi maka yang dimaksud adalah para Malaikat
yang turun dengan perintah Allah. Dan jika engkau memaknai an-Nuzûl dalam
pengertian maknawi maka artinya ialah bahwa Allah telah berkehandak akan
suatu kejadian pada makhluk, yang kejadian perkara tersebut pada mereka itu
baru, artinya proses kejadian perkara dari kehendak Allah yang terjadi pada
makhluk tersebut dinamakan dengan an-Nuzûl dari suatu keadaan kepada
keadaan yang lain. Pengertian semacam ini adalah termasuk penggunaan bahasa
Arab yang benar”.
Kesimpulannya, dari pernyataan ini, Ibn al-Arabi telah melakukan takwil
terhadap hadits tersebut dari dua segi. Pertama; mentakwil makna “Yanzilu”
dalam pengertian bahwa itu adalah Malaikat yang turun karena perintah Allah.
Kedua; mentakwil dengan menjadikannya sebagai bentuk majâz isti’ârah, yang
artinya bahwa Allah mengabulkan segala segala doa pada waktu tersebut
(sepertiga akhir malam) dan mengampuni setiap orang yang meminta ampun
kepada-Nya.
Takwil hadits an-Nuzûl seperti di atas, juga diriwayatkan persis seperti
demikian tersebut dari al-Imâm Malik ibn Anas. Beliau mentakwilnya bahwa yang
turun tersebut adalah rahmat dan karunia Allah, atau dalam bentuk takwil kedua
yaitu bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat Allah (artinya dalam bentuk
majâz), sebagaimana dalam bahasa Arab jika dikatakan “Panglima itu melakukan
suatu perbuatan…”, maka yang dimaksud adalah orang-orang bawahannya, bukan
panglima itu sendiri.
Al-Hâfizh al-Bayhaqi meriwayatkan pula dari Abu Abd ar-Rahman Muhammad
ibn al-Husain al-Sullami tentang takwil al-Imâm Sufyan ats-Tsawri dalam firman
Allah:وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ (الحديد: 4
Al-Bayhaqi menuliskan sebagai berikut:
“Mengkabarkan kepada kami Abu al-Hasan Muhammad ibn Mahmud al-
Maruzi al-Faqih, berkata: Mengkabarkan kepada kami Abu Abdillah Muhammad
ibn Ali al-Hafizh, berkata: Mengkabarkan kepada kami Abu Musa Muhammad ibn
al-Mutsanna, berkata: Mengkabarkan kepadaku Sa’id ibn Nuh, berkata:
Mengkabarkan kepada kami al-Hasan ibn Syaqiq, berkata: Mengkabarkan kepada
kami Abdullah ibn Musa al-Dlabiyy, berkata: Mengkabarkan kepada kami Ma’dan
al-‘Abid, berkata: Aku telah bertanya kepada Sufyan ats-Tsawri tentang makna
firman Allah: ”Wa Huwa Ma’akum Aynamâ Kuntum” (QS. Al-Hadid: 4), beliau
menjawab: “Yang dimaksud adalah Dia Allah bersama kalian dengan ilmunya
(Artinya Allah mengetahui segala apapun yangterjadi, bukan dalam pengertian
bahwa Dzat Allah mengikuti atau menempel dengan setiap orang)” 91.
Kemudian dalam kitab Shahîh al-Bukhâri dalam makna firman Allah:
كُلُّ شىءٍ
( هََْالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ (القصص:
al-Imâm al-Bukhari mentakwilnya, beliau menuliskan: “Segala sesuatu akan punah
kecuali kekuasaan Allah”, dapat pula ayat tersebut bermakna: “Segala sesuatu akan
punah kecuali pahala-pahala dari kebaikan yang dikerjakan ikhlas karena Allah”92.
Dalam Shahîh al-Bukhâri diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah berkata
bahwa suatu ketika datang seseorang bertamu menghadap Rasulullah. Lalu
Rasulullah mengutus tamu tersebut ke tempat beberapa orang isterinya --untuk
dijamu--. Namun para istri Rasulullah berkata: “Kita tidak memiliki apapun kecuali
air dan kurma”. Kemudian Rasulullah berkata: Siapakah di antara kalian yang mau
menjamunya? Seseorang dari kaum Anshar berkata: ”Saya wahai Rasulullah!”. Lalu
orang Anshar ini membawa tamu tersebut ke tempat isterinya. Ia berkata kepada
istrinya: ”Muliakanlah tamu Rasulullah ini!”. Perempuan itu menjawab: “Kita tidak
memiliki apapun kecuali makanan untuk anak-anakku”. Suaminya berkata:
“Siapkanlah makanan tersebut, nyalakanlah lampu dan tidurkanlah anak-anakmu apa
bila nanti kita hendak makan malam”. Lalu perempuan tersebut mempersiapkan
makanan, menghidupkan lampu dan menidurkan anak-anaknya. Tiba-tiba
perempuan tersebut berdiri, seakan hendak membetulkan lampu, namun malah
memadamkannya. Kemudian dua orang suami istri memperlihatkan diri kepada
tamu Rasulullah tersebut seakan-akan keduanya sedang makan menemaninya. Suami
istri ini kemudian melewati malam tersebut dalam keadaan lapar. Di pagi harinya
orang Anshar menghadap Rasulullah, tiba-tiba Rasulullah berkata kepadanya:
”Dlahika Allâh al-Laylah”. Dalam riwayat lain Rasulullah berkata: ”’Ajaba Min
Fi’âlikumâ”. Dari peristiwa ini kemudian turun firman Allah:
وَيؤُْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ خَِِْصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نفَْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (الحشر: 9
“Mereka tidak mendahulukan diri mereka sekalipun pada diri mereka terdapat
kesulitan, dan barangsiapa menghindari kebakhilan maka dia itu adalah termasuk
orang-orang yang beruntung” (QS. al-Hasyr: 9)93.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar mengomentari hadits ini, berkata:
“Penisbatan kata adl-Dlahk dan at-Ta’ajjub kepada Allah adalah dalam
pengertian majâz (metafor), yang dimaksud dari keduanya adalah bahwa Allah
meridlai apa yang telah diperbuat oleh sahabat Anshar tersebut terhadap tamu
Rasulullah (Artinya bukan dalam pengertian bahwa Allah ”tertawa”, atau Allah
”terheran-heran”)” 94.
Dan bahkan al-Imâm al-Bukhari telah mentakwil kata “adl-Dlahk” dalam hadits
di atas dalam pengertian rahmat (ar-Rahmah). Artinya, bahwa Allah merahmati apa
yang telah dilakukan oleh sahabat Anshar tersebut. Takwil al-Imâm al-Bukhari ini
sebagaimana telah dikutip oleh al-Imâm al-Khaththabi, berkata: “al-Bukhari telah
mentakwil makna adl-Dlahk di beberapa tulisan lain dengan makna rahmat (ar-Rahmah). Takwil ini dekat dengan kebenaran. Dan mentakwilnya dengan pengetian
ridla lebih dekat lagi”95.
Kemudian al-Imâm al-Bukhari juga telah mentakwil firman Allah:
مَّامِن دَابَّةٍ إِلاَّهُوَ ءَاخِذٌ بِنَاصِيَتِهَآ (هود: 56
al-Imâm al-Bukhari mengatakan bahwa yang dimaksud ayat tersebut ialah bahwa
Allah Maha menguasai seluruh makhluk-Nya, bukan dalam pengertian zhahirnya
bahwa Allah yang mengambil ubun-ubun makhluk-Nya”.
L. Kebiasaan Kaum Musyabbihah Melakukan Reduksi Terhadap Karya-Karya
Para Ulama
Sejarah mencatat bahwa para ahli bid’ah tidak akan pernah berhenti untuk
menyebarkan ajaran-ajaran bid’ah mereka. Segala usaha mereka lakukan untuk
menyebarluaskan bid’ah-bid’ah mereka dan menghancurkan ajaran yang benar, di
antaranya dengan jalan melakukan reduksi terhadap karya-karya para ulama. Orangorang
mereka terdahulu telah melakukan “kejahatan intelektual” ini terhadap banyak
karya para ulama, demikian pula hal yang sama dilakukan oleh para pengikut mereka
di masa sekarang ini.
Setidaknya ada dua jalan yang mereka tempuh dalam melakukan kejahatan
intelektual ini. Pertama; mereka memasukan sisipan-sisipan palsu dari ajaran-ajaran
bid’ah mereka ke dalam karya-karya para ulama Ahl al-Haq. Kedua; menghapus atau
merubah ungkapan-ungkapan dari karya-karya ulama tersebut yang tidak sejalan,
bertentangan, atau bahkan ungkapan-ungkapan para ulama yang mereka anggap
dapat mematikan ajaran-ajaran bid’ah mereka.
Contoh Pertama; Usaha kaum Musyabbihah dalam melakukan reduksi dengan
memasukan sisipan-sisipan palsu adalah apa yang terjadi dengan karya-karya al-Imâm
Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Imâm Ibn Jarir ath-Thabari, al-Imâm al-Qurthubi, al-Imâm
al-Alusi, al-Imâm asy-Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani dan para ulama lainnya. Karya al-
Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari berjudul al-Ibânah Fî Ushûl ad-Diyânah oleh mereka
disisipi dengan keyakinan-keyakinan tasybîh yang sama sekali bukan tulisan al-Imâm
al-Asy’ari sendiri. Terutama kitab al-Ibânah yang beredar sekarang berasal dari
cetakan India, di dalamnya banyak sekali sisipan-sisipan akidah tasybîh. Al-Muhaddits
Asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari mengatakan bahwa kitab al-Ibânah yang
sekarang beredar sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,
karena kitab ini sudah lama sekali berada di bawah kekuasaan kaum Musyabbihah,
hingga mereka telah melakukan reduksi terhadapnya dalam berbagai permasalahn
pokok akidah Terhadap al-Imâm Ibn Jarir ath-Thabari mereka melakukan hal sama dengan
kitab tafsirnya; Tafsîr ath-Thabari. Akidah tasybîh dan tajsîm telah mereka masukan
dalam kitab tafsir ini, yaitu pada firman Allah:
عَسَى أَن يبَْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا (الإسراء: 79
mereka memasukan keyakian sesat mereka dengan mengatakan bahwa Allah akan
mendudukan Nabi Muhammad di atas arsy bersama-Nya, bahkan mereka
mengatakan bahwa jarak antara Allah dengan Nabi Muhammad kelak tidak lebih dari
empat jari saja. Na’ûdzu Billâh.
Terhadap al-Imâm al-Qurthubi mereka melakukan hal yang sama dengan kitab
tafsirnya; Jâmi’ al-Bayân. Akidah tasybîh dan tajsîm telah mereka masukan dalam kitab
ini, yaitu pada firman Allah:وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (الأنعام: 18
Seorang yang membaca penafsiran ayat ini dalam tafsir ini dengan teliti akan
merasa heran, ia akan mendapati penjelasan penafsirannya yang satu dengan lainnya
saling bertentangan. Sungguh sangat tidak logis, bila satu karya dari satu orang
penulis, namun catatan di dalamnya berisi berbagai pemahaman yang bertentangan.
Benar, dapat diterima bila perbedaan-perbedaan tersebut untuk tujuan diriwayatkan
saja. Namun demikian hal inipun dengan catatan bahwa segala apa yang
diriwayatkannya tersebut bukan sebagai kebatilan-kebatilan yang sama sekali tidak
berdasar, karena sesuatu yang batil dalam keadaan apapun tidak boleh diriwayatkan.
Terhadap al-Alusi mereka melakukan hal yang sama dengan kitab tafsirnya;
Tafsîr al-Alûsi. Terlebih lagi kitab Tafsîr al-Alûsi terbitan Munir Agha yang mengklaim
dirinya sebagai as-Salafi asy-Syahir (mengaku sebagai pengikut Salaf). Kitab tafsir
dengan terbitan yang kita sebutkan yang cukup banyak dipasaran, di dalamnya
terdapat ta’lîq (tulisan tambahan dalam footnote) yang berisikan faham-faham tasybîh
dan tajsîm yang sangat buruk. Di antara sisipan palsu yang dimasukan di dalam kitab
ini adalah dalam firman Allah:يَاأَيهَُّا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ (المائدة: 35
Seorang yang membaca penafsiran yang cukup panjang dari ayat ini dalam kitab
Tafsîr al-Alûsi akan mendapati bagian akhirnya menyalahi dengan apa yang ada di
bagian awalnya.
Hal yang sama mereka lakukan pula terhadap asy-Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani
dengan kitab karyanya berjudul al-Ghunyah. Orisinilitas kitab ini sudah tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Di dalamnya terdapat banyak sekali sisipan-sisipan akidah
tasybîh yang telah ditanamkan oleh kaum Musyabbihah; yang sedikitpun akidah
tersebut bukan keyakinan asy-Syaikh Abd al-Qadir. Di antaranya, mereka memasukan
akidah sesat mereka bahwa Allah bertempat di langit. Pada bagian lainnya mereka juga menyisipkan bahwa Allah bersemayam dan bertempat di atas arsy. Yang lebih
mengherankan mereka membuat propaganda bahwa kebanyakan cerita yang
berkembang sekarang tentang asy-Syaikh Abd al-Qadir hanya sebuah distorsi belaka.
Semua cerita prihal kewaliannya menurut mereka tidak berdasar sama sekali, yang
benar --masih menurut mereka--, asy-Syaikh Abd al-Qadir adalah seorang yang
berkeyakinan seperti keyakinan al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, karena itu beliau
bermadzhab Hanbali.
Kita katakan kepada mereka; Benar, asy-Syaikh Abd al-Qadir berkeyakinan
seperti keyakinan al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, dan benar pula asy-Syaikh Abd al-Qadir
bermadzhab Hanbali, namun keyakinan beliau tidak seperti keyakinan kalian. Asy-
Syaikh Abd al-Qadir seorang Ahl at-Tanzîh, sementara kalian adalah Ahl at-Tasybîh.
Contoh Kedua; Usaha mereka dalam melakukan reduksi terhadap kitab-kitab
para ulama dengan merubah atau menghapus ungkapan-ungkapan yang mereka
anggap tidak sejalan dengan keyakinan mereka. Usaha ini telah banyak mereka
lakukan antar generasai hingga generasi mereka berikutnya, dan bahkan hingga
selarang ini. Contoh kasus ini seperti yang telah diceritakan oleh al-Imâm Tajuddin as-
Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah dalam penulisan biografi al-Imâm Ahmad ibn
Shaleh al-Mishri:
“Bencana yang paling besar adalah penyelewengan atau reduksi -terhadap
karya para ulama- yang terjadi dalam bidang akidah yang didasarkan kepada
panatisme atau hawa nafsu untuk tujuan meraih dunia. Kasus seperti ini jauh lebih
banyak terjadi di antara orang-orang belakangan ini (al-Muta-akhirûn) di banding
orang-orang terdahulu (al-Mutaqaddimûn). Demikian pula kasus adanya reduksi
dalam karya-karya para ulama di dalam bidang akidah jauh lebih banyak terjadi di
kalangan al-Muta’akhirûn. Ini terjadi dengan sebagian orang-orang Mujassimah di
masa sekarang ini yang telah melakukan perubahan terhadap kitab Syarh Shahîh
Muslim karya Syaikh Muhyiddin ibn Syaraf an-Nawawi. Mereka menghapus
tulisan-tulisan an-Nawawi dalam bahasannya tentang hadits-hadits sifat Allah.
Hal ini tidak lain karena an-Nawawi seorang yang berakidah Asy’ariyyah, dan apa
yang telah ditulisnya dalam Syarh Shahîh Muslim ini tidak sejalan dengan apa yang
mereka inginkannya.
Perbuatan reduksi terhadap karya-karya para ulama semacam ini bagiku
adalah termasuk dari dosa-dosa besar. Karena perbuatan ini sama saja dengan
merubah syari’at Allah, termasuk karena perbuatan semacam ini juga dapat
menjadikan banyak orang tidak percaya lagi terhadap kitab-kitab syari’at yang
telah ditulis atau kitab-kitab yang sudah ada pada tangan mereka. Semoga Allah
menghinakan dan merendahkan orang melakukan perbuatan semacam ini”.
Asy-Syaikh Muhammad Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min
‘Aqâ-id al-Mukhalifîn menuliskan sebagai berikut:
“Pengibar bendera usaha reduksi dengan jalan menghapus ungkapanungkapan
para ulama dalam karya-karya mereka di masa sekarang ini adalah
pemilik majalah al-Manar Mesir. Guru kami al-Muhaddits asy-Syaikh Falih azh-
Zahiri dalam karyanya berjudul Anjah al-Masâ’i Fî Shifat as-Sâmi’ Wa al-Wâ’i
mengutip pernyataan Ibn Qudamah al-Hanbali dari kitabnya berjudul al-Mughnî
tentang masalah hukum-hukum masjid bahwa tawassul dengan para wali Allah
dan orang-orang saleh baik dengan mereka yang sudah meninggal atau masih
hidup telah disepakati oleh empat madzhab bahwa hal itu adalah sesuatu yang
dibolehkan. Setahun kemudian penerbit al-Manar menerbitkan kitab karya asy-
Syaikh Falih ini, namun ternyata tulisan beliau tentang kebolehan tawassul tersebut
telah mereka hapuskan”97.
Saya, penulis buku ini katakan: “Tradisi buruk kaum Musyabbihah ini turuntemurun
berlangsung hingga sekarang ini. Kaum Wahhabiyyah di masa sekarang ini
yang notabene kaum Musyabbihah juga telah melakukan perubahan yang sangat fatal
dalam salah satu karya al-Imâm Abu Hanifah berjudul al-Washiyyah. Dalam risalah al-
Washiyyah yang merupakan risalah akidah Ahlussunnah, al-Imâm Abu Hanifah
menuslikan: “Istawâ ‘Alâ al-’Arsy Min Ghair An Yakûna Ihtiyâj Ilayh Wa Istiqrâr ‘Alayh”
(Artinya; Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada arsy itu sendiri
dan tanpa bertempat di atasnya). Namun dalam cetakan kaum Wahhabiyyah tulisan
tersebut dirubah menjadi “Istawâ ‘Alâ al-’Arsy Min Ghair An Yakûna Ihtiyâj Ilayh Wa
Istiqarra ‘Alayh”, maknanya berubah total menjadi: ”Dia Allah Istawâ atas arsy dari
tanpa membutuhkan kepada arsy, dan Dia bertempat di atasnya”. Padahal, sama
sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat, mengatakan bahwa Allah tidak
membutuhkan kepada arsy, namun pada saat yang sama juga mengatakan bahwa
Allah bertempat di atas arsy. Yang paling mengherankan ialah bahwa dalam buku
cetakan mereka ini, manuskrip risalah al-Imâm Abu Hanifah tersebut mereka sertakan
pula. Dengan demikian, baik disadari oleh mereka atau tanpa disadari, mereka sendiri
yang telah membuka ”kedok” dan “kejahatan ilmiah” yang ada pada diri mereka,
karena bagi yang membaca buku ini akan melihat dengan sangat jelas kejahatan
tersebut.
Anda tidak perlu bertanya di mana amanat ilmiah mereka? Di mana akal sehat
mereka? Dan kenapa mereka melakukan ini? Karena sebenarnya itulah tradisi
mereka. Bahkan sebagian kaum Musyabbihah mengatakan bahwa berbohong itu
dihalalkan jika untuk tujuan mengajarkan akidah tasybîh mereka. A’ûdzu Billâh. Inilah
tradisi dan ajaran yang mereka warisi dari “Imam” mereka, “Syaikh al-Islâm” mereka;
yaitu Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang seringkali ketika mengungkapkan
kesesatan-kesesatannya lalu ia akan mengatakan bahwa hal itu semua memiliki dalil
dan dasar dari atsar-atsar para ulama Salaf saleh terdahulu, padahal sama sekali tidak
ada. Misalkan ketika Ibn Taimiyah menuliskan bahwa “Jenis alam ini Qadim; tidak
memiliki permulaan”, atau ketika menuliskan bahwa “Neraka akan punah”, atau
menurutnya “Perjalanan (as-Safar) untuk ziarah ke makam Rasulullah di Madinah
adalah perjalanan maksiat”, atau menurutnya “Allah memiliki bentuk dan ukuran”,
serta berbagai kesesatan lainnya, ia mengatakan bahwa keyakinan itu semua memiliki
dasar dalam Islam, atau ia berkata bahwa perkara itu semua memiliki atsar dari para
ulama Salaf saleh terdahulu, baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan tabi’in, padahal itu semua adalah bohong besar. Kebiasaan Ibn Taimiyah ini
sebagaimana dinyatakan oleh muridnya sendiri; adz-Dzahabi dalam dua risalah yang
ia tulisnya sebagai nasehat atas Ibn Taimiyah, yang pertama an-Nashîhah adz-
Dzhabiyyah dan yang kedua Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.
M. Siapakah ad-Darimi al-Mujassim?
Ad-Darimi al-Mujassim yang kita maksud di sini adalah Utsman ibn Sa’id as-
Sajzi, wafat tahun 272 Hijriyah. Ad-Darimi yang kita maksud di sini berbeda dengan
ad-Darimi penulis kitab as-Sunan (Sunan ad-Dârimi). Ad-Darimi yang ke dua ini
bernama Abdullah ibn Abd ar-Rahman, wafat tahun 255 Hijriyah, salah seorang ahli
hadits terkemuka dan merupakan salah seorang guru dari al-Imâm Muslim. Adapun
Utsman ibn Sa’id ad-Darimi yang kita sebut pertama adalah orang terkemuka dalam
akidah tajsîm, bahkan dapat dikatakan sebagai peletak awal dan perintis penyebaran
akidah buruk ini. Ia menulis sebuah buku berjudul Kitâb an-Naqdl, yang menurutnya
buku ini ia tulis sebagai bantahan terhdap Bisyr al-Marisi. Padahal di dalamnya ia
tuliskan banyak sekali akidah tajsîm dan akidah “berhala” (Watsaniyyah); persis seperti
akidah kaum Yahudi dan Nasrani yang berkeyakinan bahwa tuhan seperti manusia.
Bagi penulis, mengungkapkan siapa sebenarnya ad-Darimi al-Mujassim ini
adalah kepentingan yang sangat mendesak. Karena orang-orang Musyabbihah
Mujassimah di masa sekarang ini, seperti Wahhabiyyah seringkali mengutip
perkataan-perkataannya. Sementara pada saat yang sama sebagian orang di kalangan
Ahlussunnah, yang terpelajar sekalipun terlebih orang-orang awam, banyak yang
tidak mengetahui siapa sebenarnya ad-Darimi yang mereka jadikan sandaran
tersebut. Banyak sekali yang tidak mengetahui perbedaan antara ad-Darimi al-
Mujassim (Utsman ibn Sa’id) dan ad-Darimi penulis kitab as-Sunan (al-Imâm Abdullah
ibn Abd ar-Rahman), yang karenanya tidak sedikit orang-orang di kalangan
Ahlussunnah terkecoh dengan sanggahan-sanggahan kaum Musyabbhihah yang
mereka kutip dari ad-Darimi al-Mujassim ini.
Berikut ini kita kutip beberapa ungkapan akidah tajsîm yang ditulis oleh ad-Darimi al-
Mujassim dalam kitab an-Naqdl supaya kita dapat menghindari dan mewaspadainya. Karena
sesungguhnya setiap orang dari kita dianjurkan untuk mengenal keburukan-keburukan untuk
tujuan menghindari itu semua. Terlebih di masa akhir zaman seperti ini di mana akidah tasybîh dan
tajsîm semakin menyebar di tangah-tangah masyarakat kita.
Ad-Darimi al-Mujassim, dalam kitab karyanya tersebut menuliskan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah al-Hayy al-Qayyûm (Yang maha hidup dan tidak
membutuhkan kepada apapun dari makhluk-Nya) maha berbuat terhadap segala
suatu apapun yang Dia kehe ndaki. Dia bergerak sesuai apa yang Dia kehendaki.
Dia turun dan naik sesuai dengan apa yang Dia kehendaki. Meggenggam dan
menebarkan, berdiri dan duduk sesuai dengan apa yang Dia kehendaki. Karena
sesungguhnya tanda nyata perbedaan antara yang hidup dengan yang mati adalah
adanya gerakan. Setiap yang hidup pasti ia bergerak, dan setiap yang mati pasti ia
tidak bergerak.
Ungkapan ad-Darimi ini sangat jelas sebagai ungkapan tajsîm. Akidah semacam
ini tidak mungkin diterima oleh akal sehat. Karenanya, akidah ini terbantahkan oleh
argumen-argumen logis, tentu juga oleh dalil-dalil al-Qur’an dan hadits, serta oleh
pernyataan dan kesepakatan (Ijma’) para ulama kita. Kayakinan yang mengatakan
bahwa Allah berdiri, duduk, dan bergerak tidak ubahnya persis seperti keyakinan
kaum Hindu para penyembah sapi. Kemudian juga keyakinan bahwa Allah bersifat
seperti sifat-sifat makhluk semacam itu tidak lain merupakan akidah hulûl; yaitu
keyakinan sesat mengatakan bahwa Allah bersatu dengan makhluk-Nya. Dan akidah
semacam ini telah disepakati oleh para ulama kita di kalangan Ahlussunnah sebagai
akidah kufur.
Pada bagian lain dalam Kitab an-Naqdl tersebut, ad-Darimi menuliskan sebagai
berikut:
“Para musuh kita berkeyakinan bahwa Allah tidak memiliki bentuk (al-Hadd),
tidak memiliki sisi penghabisan dan batasan (al-Ghâyah Wa an-Nihâyah). Ini adalah
dasar keyakinan Jahm ibn Shafwan yang merupakan pondasi dan akar seluruh
kesesatannya dan kerancuannya. Dan kesesatan semacam ini Shafwan adalah
orang yang pertama kali membawanya, sebelumnya tidak pernah ada seorang-pun
yang mengungkapkan kesesatan seperti ini”99.
Setelah menuliskan ungkapan ini, ad-Darimi kemudian membeberkan
keyakinannya bahwa Allah memiliki bentuk dan batasan serta penghabisan. A’ûdzu
Billâh. Padahal segala apapun yang memiliki bentuk pasti merupakan benda (Jism)
dan memiliki arah. Sementara itu para ulama kita di kalangan Ahl al-Haq telah
menetapkan konsensus (Ijma’) bahwa seorang yang berkeyakinan Allah sebagai
benda maka orang tersebut bukan seorang muslim, sekalipun dirinya mengaku
sebagai orang Islam. Lihat konsensus ini di antaranya telah dituliskan oleh al-Imâm
Abu Manshur al-Baghdadi dalam beberapa karyanya, seperti al-Farq Bayn al-Firaq, al-
Asmâ’ Wa ash-Shifât dan at-Tabshirah al-Baghdâdiyyah.
Pada halaman lainnya, ad-Darimi al-Mujassim menuliskan sebagai berikut:
“Allah berada jauh dari makhluk-Nya. Dia berada di atas arsy, dengan jarak antara
arsy tersebut dengan langit yang tujuh lapis seperti jarak antara Dia sendiri dengan
para makhluk-Nya yang berada di bumi”100.
Kemudian pada halaman lainnya, ia menuliskan: “Dan jika Allah benar-benar
berkehandak bertempat di atas sayap seekor nyamuk maka dengan sifat kuasa-Nya
dan keagungan sifat ketuhanan-Nya Dia mampu untuk melakukan itu, dengan
demikian maka terlebih lagi untuk menetap di atas arsy (Artinya menurut dia benarbenar
Allah bertempat di atas arsy)Ungkapan ad-Darimi ini benar-benar membuat merinding bulu kuduk seorang
ahli tauhid. Ia mengatakan jika Allah maha kuasa untuk bertempat pada sayap seekor
nyamuk, maka lebih utama lagi untuk bertempat pada arsy. Ini murni merupakan
akidah tasybîh. Apakah dia tidak memiliki logika sehat?! Apakah dia tidak
mengetahui hukum akal?! Apakah dia tidak bisa membedakan antara Wâjib ‘Aqly
Mustahîl ‘Aqly dan Jâ’iz ‘Aqly?! Sudah pasti yang disembah oleh ad-Darimi al-
Mujassim ini bukan Allah. Siapakah yang dia sembah?! Tidak lain yang ia sembah
hanyalah khayalannya sendiri.
Kemudian pada halaman lainnya dalam Kitâb an-Nadl, ad-Darimi menuliskan
sebagai berikut: “Dari mana kamu tahu bahwa puncak gunung tidak lebih dekat
kepada Allah dari pada apa yang ada di bawahnya?! Dan dari mana kamu tahu
bahwa puncak sebuah menara tidak lebih dekat kepada Allah dari pada apa yang ada
di bawahnya?!”102.
Ungkapan ad-Darimi ini hendak menetapkan bahwa seorang yang berada di
tempat tinggi lebih dekat jaraknya kepada Allah di banding yang berada di tempat
rendah. Dengan demikian, sesuai pendangan ad-Darimi, mereka yang berada di atas
pesawat dengan ketinggian ribuan kaki dari bumi lebih dekat kepada Allah. Na’ûdzu
Billâh. Keyakinan ad-Darimi ini di kemudian hari diikuti oleh Ibn Taimiyah al-Harrani
dan Ibn al-Qayyim, yang juga dijadikan dasar akidah oleh para pengikutnya, yaitu
kaum Wahhabiyyah di masa sekarang ini. Hasbunallâh.
Adapun seorang muslim ahli tauhid maka ia berkeyakinan bahwa Allah ada
tanpa tempat dan tanpa arah. Segala tempat dan segala arah dalam pengertian jarak
pada hakekatnya bagi Allah sama saja, artinya satu sama lainnya tidak lebih dekat
atau lebih jauh dari Allah. Karena makna “dekat” kepada Allah bukan dalam
pengertian jarak, demikian pula makna “jauh” dari Allah bukan dalam pengertian
jarak. Tapi yang dimaksud “dekat” atau “jauh” dalam hal ini adalah sejauh mana
ketaatan sorang hamba terhadap segala perintah Allah.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِب (العلق: 19
“Dan Sujudlah engkau -Wahai Muhammad- dan “mendekatlah” (QS. Al-‘Alaq:
19).
Kemudian dalam hadits riwayat an-Nasa-i, Rasulullah bersabda:
أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ (رواه النسائي

Tidak ada komentar:

Posting Komentar