Senin, 09 Desember 2013

Kemuliaan Keturunan (Ahlul-Bait) Rasulallah Saw


  • Kemuliaan Keturunan (Ahlul-Bait) Rasulallah Saw


kami ingin mengutip dan mengumpulkan riwayat-riwayat mengenai kemuliaan Ahlul-Bait nasab atau keturunan Rasulallah saw. di dalam pandangan Islam yang ditulis oleh ulama-ulama pakar. Didalam bab ini kami mengutip juga makalah-makalah diantaranya: Ramalan seorang Nabi dalam catatan kitab Hindu akan datangnya seorang Rasul dan keturunannya; Sebagian isi makalah yang ditulis oleh Syeikh Segaf Ali Alkaff, Jeddah sebagai sanggahan makalah yang ditulis oleh Syeikh Ali Tantawi; Jawaban Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Saudi Arabia pada seorang Iraq mengenai nasab keturunan Rasulallah saw.; Makalah Prof. Dr. HAMKA mengenai gelar Sayyid atau Habib. Dengan ada semua keterangan ini insya Allah para pembaca khususnya bisa mengetahui bahwa keturunan Rasulallah saw. itu belum punah dan akan wujud sampai akhir zaman.
Pembahasan mengenai keturunan Rasulallah saw. ini sama sekali tidak ber- maksud hendak membuka perdebatan atau polemik, tidak lain bermaksud menyampaikan wasiat Rasulallah saw. kepada kaum muslimin yang belum pernah mendengar atau mengenalnya. Karena semua yang diwasiatkan serta dianjurkan oleh Rasulallah saw. pada kita adalah wahyu dari Allah swt. sebagaimana firman-Nya:“Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS Al-Hasyr: 7)
Semua ucapan Rasulallah saw. adalah kebenaran yang diwahyukan Allah swt. pada beliau saw. sebagaimana firman-Nya:‘Dan dia (Muhammad saw.) tidak mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya bukan lain adalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya’. (Surat An-Najm: 3-4)
Memberi pengertian mengenai soal yang belum banyak dimengerti atau belum jelas merupakan hal yang perlu diupayakan, apalagi soal-soal yang berkaitan dengan agama Islam hukumnya adalah wajib. Soal-soal yang kita maksudkan disini ialah masalah dzurriyyatu (keturunan) Rasulallah saw. atau keturunan Ahlul-Bait Rasulallah saw.
Sejak masa kelahiran dan pertumbuhan Islam hingga zaman terakhir tidak ada orang muslim yang mempermasalahkan soal keturunan Nabi saw. ini, karena memang merupakan kenyataan yang sangat jelas. Kenyataan ini di saksikan oleh semua sahabat Nabi saw, oleh semua kaum Salaf, kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan oleh kaum muslimin yang hidup dalam zaman-zaman berikutnya hingga zaman kita dewasa ini. Selama lebih dari 1400 tahun hingga sekarang kaum muslimin dimana-mana dimuka bumi ini selalu mengucapkan Selawat kepada Nabi saw. dan keluarganya sekurang-kurangnya lima kali sehari semalam Allahumma sholli ‘ala (sayyidinaa) Muhammad wa ‘ala aali (sayyidina) Muhammad.
Namun dalam zaman belakangan ini terdengar bisikan berbisa yang berusaha menanamkan kepercayaan bahwa Rasulallah saw. tidak mempunyai dzurriyat atau keturunan yang masih hidup hingga sekarang. Mereka (golongan pengingkar) ini secara terselubung menyebarkan riwayat, bahwa Al-Husain ra cucu Rasulallah saw. yang diharap menjadi cikal-bakal keturunan beliau saw. semuanya telah tewas dimedan perang Karbala.
Golongan pengingkar menanamkan keraguan tentang kenyataan adanya putera Al-Husain ra, bernama ‘Ali Zainal ‘Abidin, yang luput dari pembantaian pasukan Bani Umayyah di Karbala, berkat ketabahan dan kegigihan bibinya Zainab ra. dalam menentang kebengisan penguasa Kufah, ‘Ubaidillah bin Ziyad. Ketika itu ‘Ali Zainal ‘Abidin masih kanak-kanak berusia kurang dari 13 tahun. ‘Ali Zainal-‘Abidin bin Al-Husain cikal bakal keturunan Rasulallah saw. itulah yang mereka sembunyikan riwayat hidupnya, dengan maksud hendak memenggal tunas-tunas keturunan beliau saw.
Lebih jauh lagi golongan pengingkar ini sesungguhnya orang-orang yang mengerti, tetapi atas dorongan maksud tertentu mereka tidak mau mengerti. Secara terus-terang mereka berkeinginan agar jangan ada orang didunia ini khususnya di Indonesia yang menyebut nama orang-orang keturunan Ahlul-Bait dengan kata Habib, Sayyid atau Syarif. Akan tetapi mereka merasa sangat kecewa karena hingga sekarang kaum muslimin masih tetap menyebut keturunan Ahlul-Bait dengan kata kehormatan tersebut.
Julukan/panggilan kehormatan Habib dan lain sebagainya itu diberikan oleh kaum muslimin bukan permintaan dari keturunan Nabi saw. sebagai penghargaan kepada orang-orang keturunan Rasulallah saw.. Kita sering bertanya-tanya mengapa justru keturunan Nabi saw. fihak yang diberi julukan yang menjadi sasaran golongan pengingkar ini bukan terhadap kaum muslimin yang sebagai fihak pemberi julukan? Sayang sekali golongan pengingkar ini belum mau berterus terang, apakah perbuatan mereka ini karena dengki ataukah iri hati terhadap golongan Ahlul-Bait?!


  • Sekelumit sejarah dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyyah

Dengan adanya kebencian dan kedengkian orang terhadap keturunan Ahlul-Bait Rasulallah saw., mengingatkan kita kembali kepada sejarah Islam yaitu zaman dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyyah.

[[Menurut riwayat, kaum muslimin mulai dilanda perselisihan, pertengkaran dan perpecahan sejak masa-masa terakhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan ra.’ yakni kurang lebih dalam periode terakhir dasawarsa ke empat Hijriah, perang-perang saudara berkecamuk diantaranya:
Antara kekuatan trio ‘Aisyah, Thalhah, Zubair [radhiyallahu ‘anhum] dan kekuatan Amirul-Mu’minin Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra. Perang saudara ini ber kobar di Bashrah, yang dalam sejarah Islam terkenal dengan nama ‘Waq’atul-Jamal’, disusul kemudian oleh perang saudara yang tidak kalah heba nya, yaitu perang ‘Shiffin’, antara kekuatan Amriul-Mu’minin Imam ‘Ali ra, dan kekuatan pemberontak dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kemudian disusul dengan perang yang berkobar dikawasan yang terkenal dengan sebutan ‘Bainan-Nahrain’ (Diantara dua Bengawan), yakni daerah antara dua bengawan Tigris dan Eferat (Dajlah dan Al-Furat).
Pertengkaran dan perpecahan yang diakibatkan oleh perang saudara Bainan-Nahrain’ ini jauh lebih parah daripada yang diakibatkan perang saudara yang sebelumnya. Dalam perang saudara ini kekuatan Imam ‘Ali ra, terpecah dan sempal menjadi dua. Sebagian tetap setia kepada Amirul Mu’minin ‘Ali dan yang sebagian lainnya memberontak dan memerangi Imam ‘Ali ra. Sempalan atau pecahan inilah yang dalam sejarah Islam terkenal dengan kaum ‘Khawarij’, dibawah pimpinan ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasiby.
Kemudian disusul perang saudara yang berkobar dalam rangka kebijakan Imam ‘Ali ra. menumpas pemberontakan kaum Khawarij, di Nahrawand. Perang saudara ini lebih memperparah lagi perpecahan kaum muslimin. Dalam perang saudara di Nahrawand, kekuatan Imam ‘Ali ra. unggul dan berhasil menghancurkan kekuatan bersenjata kaum Khawarij, yang sejak terjadinya pembangkangansudah mengkafir-kafirkan Imam ‘Ali ra. (silahkan baca kitab ‘Imamul-Muhtadin Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra’ penerbit Yayasan Al-Hamidiy, Jakarta dan ‘Al-Fithatul-Kubra’ penerbit Pustaka Jaya, Jakarta).
Kekuatan-kekuatan anti Bani Hasyim yang sudah ada sebelum Islam, dengan kemenangan Imam ‘Ali itu mereka makin bertambah dendam. Sedangkan dalam perang ‘Shiffin’ kekuatan Imam ‘Ali ra. mundur teratur akibat pertengkaran dan pertikaian intern mengenai masalah ‘Tahkim bi Kitabillah ‘ (Penyelesaian secara damai berdasarkan Kitabullah).
Setelah kekuatan Imam ‘Ali ra mundur dan kembali ke Kufah, disana Amirul-Mu’minin menjadi sasaran pembunuhan gelap yang dilakukan oleh komplot- an Khawarij. Beliau tewas di tangan ‘Abdurrahman Muljam. Kekhalifahannya diteruskan oleh puteranya, Al-Hasan ra., tetapi sisa-sisa kekuatan pendukung ayahnya sudah banyak mengalami kemerosotan mental dan patah semangat. Bahkan terjadi penyeberangan ke pihak Mu’wiyah untuk mengejar kepentingan-kepentingan materi, termasuk ‘Ubaidillah bin Al-‘Abbas (saudara misan Imam ‘Ali ra.) yang oleh Al-Hasan ra, diangkat sebagai panglima perangnya!
Hilanglah sudah imbangan kekuatan antara pasukan Al-Hasan ra dan pasukan Mu’awiyah, dan pada akhirnya diadakanlah perundingan secara damai antara kedua belah pihak. Dalam perundingan itu Al-Hasan ra. menyerahkan kekhalifan kepada Mu’awiyah atas dasar syarat-syarat tertentu, berakhirlah sudah kekhalifahan Ahlu-Bait Rasulallah saw. Seluruh kekuasaan atas dunia Islam jatuh ketangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Dengan hilangnya kekhalifahan dari tangan Ahlul-Bait, mulailah masa pem- basmian, pengejaran dan pembunuhan terhadap anak-cucu keturunan Ahlul-Bait dan pendukung-pendukungnya, yang dilancarkan oleh Daulat Bani Umayyah. Untuk mempertahankan kekuasaan Daulat Bani Umayyah, Mu’awiyah mengerahkan segala dana dan tenaga untuk mengobarkan semangat kebencian, terhadap Imam ‘Ali ra khususnya dan anak cucu ke turunannya. Semua orang dari ahlul-bait Rasulallah saw. direnggut hak-hak asasinya, direndahkan martabatnya, dilumpuhkan perniagaannya dan di ancam keselamatannya jika mereka berani menyanjung atau memuji Imam ‘Ali ra. dan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan Bani Umayyah.
Perintah dari para penguasa untuk mencaci maki, melaknat Imam ‘Ali ra itu sudah suatu perbuatan yang biasa-biasa saja, misalnya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Turmudzi dari Sa’ad Ibnu Waqqash yang mengatakan:
“Ketika Mu’awiyah menyuruh aku untuk mencaci maki Abu Thurab (julukan untuk Imam ‘Ali ra), maka aku katakan kepadanya (kepada Mu’awiyah); Ada pun jika aku sebutkan padamu tiga perkara yang pernah diucapkan oleh Rasulallah saw. untuknya (untuk Imam ‘Ali ra), maka sekali-kali aku tidak akan mencacinya. Jika salah satu dari tiga perkara itu aku miliki, maka hal itu lebih aku senangi dari pada unta yang bagus. Ketika Rasulallah saw. meninggalkannya (meninggalkan ‘Ali ra) didalam salah satu peperangannya, maka ia (‘Ali ra) berkata; ‘Wahai Rasulallah, mengapa engkau tinggalkan aku bersama kaum wanita dan anak-anak kecil?’.
Pada waktu itu aku (Sa’ad Ibnu Abi Waqqash) mendengar Rasulallah saw. bersabda; ‘ Apakah engkau tidak cukup puas jika engkau disisiku seperti Harun disisi Musa?, hanya saja tidak ada kenabian sepeninggalku.’ [HR.Bukhori, Muslim, Turmduzi --pen]. (Yang kedua) Dan aku pun mendengar beliau bersabda pada hari Khoibar; ‘Aku akan berikan panji-panji ini pada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan ia pun dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya’. Pada waktu itu kami sama-sama penuh berharap (agar dipilih oleh Nabi saw.), tetapi beliau saw. bersabda; ‘Panggilkan ‘Ali kepadaku’! ‘Ali ra dihadapkan pada beliau saw. sedang ia sakit kedua matanya. Nabi saw. meludah pada mata ‘Ali kemudian beliau saw. memberikan panji-panji perang padanya sehingga Allah swt. memberi kemenangan kepadanya [Sahih Bukhari jilid 4 hal. 30/207,dll.]. (Yang ketiga) Ketika Allah swt. menurunkan ayat Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu….. ayat Mubahalah Aal-Imran:6--pen. maka Rasulallah saw. memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau saw. berdo’a: ‘Ya Allah, mereka adalah keluargaku’ “. (dikutip dari kitab At-Taaj Al-Jaami’ Lil Ushuuli Fii Ahaadiitsir Rasuuli jilid 3 hal.709 cet. pertama th.1994 oleh Syeikh Manshur Ali Nashif Al-Husaini diterbitkan oleh CV Asy-Syifa’ Semarang)
Dalam kitab yang sama pada halaman 708 dikemukakan sebuah hadits di riwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Sahal Ibnu Sa’ad ra yang mengatakan:
“Ketika kota Madinah dipimpin oleh seorang dari keluarga Marwan (baca: Marwan Ibnu Hakam), maka sang penguasa memanggil Sahal Ibnu Sa’ad dan menyuruhnya untuk mencaci maki ‘Ali. Ketika Sahal tidak mau melakukannya, maka sang penguasa berkata kepadanya; ‘Jika engkau tidak mau mencaci-maki ‘Ali, maka katakan semoga Allah swt. mengutuk Abu Thurab’. Kata Sahal; ‘Bagi ‘Ali tidak ada suatu nama yang disenangi lebih dari pada nama Abu Thurab (panggilan Rasulallah saw. kepada Imam ‘Ali ra—pen.), dan ia amat bergembira jika dipanggil dengan nama itu’…sampai akhir hadits’ “. Dan masih banyak lagi riwayat tentang pelaknatan, pencacian terhadap Imam ‘Ali ra dan penyiksaan kepada para pendukung dan pencinta ahlul-Bait yang tidak kami cantumkan disini.
Keadaan seperti itu berlangsung selama masa kekuasaan Daulat Bani Umay yah, kurang lebih satu abad, kecuali beberapa tahun saja selama kekuasaan berada ditangan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ra. Kehancuran daulat Bani Umayyah diujung pedang kekuatan orang-orang Bani ‘Abbas, ternyata tidak menghentikan gerakan kampanye ‘anti Ali dan anak-cucu keturunannya’. Demikianlah yang terjadi hampir selama kejayaan Daulat ‘Abassiyyah, lebih dari empat abad!

Dengan adanya perpecahan politik, peperangan-peperangan diantara se sama kaum muslimin yang tersebut di atas hingga runtuhnya daulat ‘Abbasiyyah, tidak hanya memporak-porandakan kesatuan dan persatuan ummat Islam, tetapi juga tidak sedikit merusak ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. Berbagai macam pandangan, pemikiran dan aliran serta faham bermunculan. Hampir semuanya tak ada yang bebas dari pengaruh politik yang menguasai penciptanya. Yang satu menciptakan ajaran-ajaran tambahan dalam agama untuk lebih memantapkan tekad para pengikutnya dalam menghadapi lawan. Yang lain pun demikian pula, menafsirkan dan menta’wil kan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. sampai sesuai dengan prinsip pandangan mereka untuk membakar semangat para pengikutnya dalam menghadapi pihak lain yang dipandang sebagai musuh.
Belum lagi persaingan dikalangan intern masing-masing, sehingga bukan hanya golongan-golongan, paham dan aliran saja yang bermunculan, melainkan bermunculan juga berbagai macam sekte atau sempalan dari masing-masing golongan (baca “Sejarah Islam Dari Andalus Sampai Indus”, hal.114-149, penerbit Pustaka Jaya, Jakarta)
Permusuhan tiga pihak yang tersebut di atas itulah yang secara pokok mewarnai sikap kaum muslimin terhadap ahlul-bait Rasulallah saw.. Selama kurun waktu kekuasaan daulat Bani Umayyah dan daulat Bani ‘Abasiyyah khususnya selama kekuasaan daulat bani Umayyah sukar sekali dibayangkan adanya kebebasaan dan keleluasaan menuturkan hadits-hadits Rasulallah saw. tentang ahlul-bait beliau saw, apalagi berbicara tentang kebijakan adil yang dilakukan oleh Amirul Mu’minin ‘Ali bin Abi Thalib ra. dimasa lalu. Itu merupa- kan hal yang tabu.
Banyak tokoh-tokoh masyarakat yang pada masa itu sengaja menyembunyikan hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan ahlul-bait beliau saw., atau tidak meriwayatkan hadits-hadits dari ahlul-bait beliau saw. (yakni Imam ‘Ali, Al-Hasan, Al-Husain [ra] dan anak cucu keturunan mereka). Ada sebagian dari mereka yang sengaja melakukan dengan maksud politik untuk ‘mengubur’ nama-nama keturunan Rasulallah saw., tetapi banyak juga yang menyembunyikan hadits-hadits demikian itu hanya dengan maksud membatasi pembicaraannya secara diam-diam, demi keselamatan dirinya masing-masing.
Disamping dua cara tersebut, ada juga yang menempuh cara lain dan tidak kurang buruknya, yaitu mengubah dan mengganti kalimat hadits dari sumber aslinya (yaitu ucapan Rasulallah saw. atau ucapan keluarga beliau saw.). Kita ambil contoh sebuah hadits yaitu Hadits Al-Kisa. Sumber pertama/aslinya hadits ini diriwayatkan oleh isteri beliau sendiri yang bernama Ummu Salamah ra.. Ia menuturkan peristiwanya atas dasar kesaksiannya sendiri sebagai berikut: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berada ditempat kediamanku bersama ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Bagi mereka kubuatkan khuzairah (makanan terbuat dari tepung gandum dan daging). Usai makan mereka tidur, kemudian Rasulallah menyelimutkan di atas mereka Kisa (jenis pakaian yang lebar) atau qathifah (semacam kain halus). Beliau lalu berdo’a: ‘Ya Allah, mereka itulah ahlu-baitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”. (HR. At-Thabari didalam ‘Tafsir-nya’).
Penuturan Ummu Salamah ra itu diriwayatkan juga oleh sumber-sumber lain dengan beberapa perubahan kalimat dan tambahan pada bagian terakhir kalimat (yaitu setelah akhir kalimat ‘mereka sesuci-sucinya’), contohnya berikut ini: Ketika itu Ummu Salamah bertanya:‘Apakah aku tidak termasuk mereka’? Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau berada dalam kebajikan’ .
Ada pula hadits semakna dengan tambahan pada bagian akhir kalimat sebagai berikut: Ummu Salamah ra bertanya: ‘Aku, ya Rasulallah, apakah aku tidak termasuk ahlul-bait’? Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau beroleh kebajikan, engkau termasuk isteri-isteri Nabi’.

Hadits semakna yang lain lagi dengan tambahan kalimat terakhir: Ummu Salamah berkata: ‘Ya Rasulallah, masukkan aku bersama mereka’. Rasulallah saw. menjawab: ‘ Engkau termasuk ahliku (ahlu-baitku)’.
Hadits semakna juga dengan tambahan kalimat terakhir sebagai berikut:
Ummu Salamah bertanya: ‘Apakah aku bersama mereka?’ Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau berada ditempatmu, engkau berada dalam kebajikan’.
Hadits semakna juga yang agak panjang, dengan tambahan kalimat terakhir sebagai berikut: Ummu Salamah bertanya: ‘ya Rasulallah, dan aku’?...Demi Allah, beliau saw. tidak menjawab; ’Ya’. Beliau saw. menjawab: ‘Engkau beroleh kebajikan’”.
Demikianlah kita mengetahui dengan jelas, hadits-hadits tersebut di atas ada kesamaan dalam menyebutkan Imam ‘Ali, Fathimah Az-Zahra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra] sebagai ahlu-bait Rasulallah saw.. Akan tetapi dalam “apakah Ummu Salamah (isteri Nabi saw) termasuk ahlu-bait Rasulallah saw”. tidak terdapat kesamaan! Ada yang akhir kalimatnya menegaskan, ‘Engkau berada dalam kebajikan’; ada yang menegaskan, ‘Engkau dalam kebajikan, engkau termasuk isteri-isteri Nabi saw.’; ada lagi yang menegaskan ‘Engkau termasuk ahliku (ahlu-baitku)’; ada lagi yang menegaskan ‘Engkau berada di tempatmu, engkau berada dalam kebajikan’; dan masih ada yang menegaskan ‘ Engkau beroleh kebajikan’. (lihat Tafsir At-Thabari jilid XXII; 5,6,7,8; Tuhfatul-Ahwadzi jilid IX;66 dan Keutamaan Keluarga Rasulallah saw. oleh K.H.Abdullah bin Nuh). }}
Perbedaan kedudukan isteri Nabi saw. Ummu Salamah ra yang diriwayatkan oleh hadits-hadits di atas masih tidak seberapa menyolok. Sebab bagaimana pun, juga isteri Nabi saw. adalah termasuk keluarga beliau saw., kendati tidak disebut ‘ahlul-bait’. Yang sangat menyolok dan mengejutkan ialah hadits semakna yang memasukkan orang lain kedalam ahlu-bait Rasulallah saw.!! Marilah kita teliti hadits berikut ini:
“Abu ‘Ammar berkata: ‘Aku duduk dirumah Watsilah bin Al-Asqa bersama be berapa orang lain yang sedang membicarakan ‘Ali ra dan mengecamnya. Ketika mereka berdiri (hendak meninggalkan tempat) Watsilah segera berkata: ‘Duduklah, kalian hendak kuberitahu tentang orang yang kalian kecam itu’ (Imam ‘Ali ra). Disaat aku sedang berada di kediaman Rasulallah saw. datanglah ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Beliau kemudian melemparkan Kisa’nya (jenis pakaian yang lebar) kepada mereka seraya bersabda: ‘Ya Allah, mereka ini ahlu-baitku. Ya Allah, hapuskanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’. Aku (Watsilah) bertanya: ‘Ya Rasulallah, bagaimanakah diriku’? Beliau menjawab: ‘Dan engkau’! Watsilah bin Al-Asqa’ melanjutkan kata-katanya: ‘Demi Allah, bagiku peristiwa itu merupakan kejadian yang sangat meyakinkan’ “. (Hadits ini tercantum dalam Tafsir At-Thabari jilid XXII: 6, yaitu hadits dari Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakkain. Ia menerimanya dari ‘Abdussalam bin Harb. ‘Abdussalam menerimanya dari Kaltsum Al-Muharibi yang menerimanya dari Abu ‘Ammar).
Dari semua hadits tersebut di atas yang semakna tapi berbeda kalimatnya pada akhir hadits itu, dapat ditarik pengertian adanya tiga maksud yang hendak dicapai oleh para perawinya:
Pertama: Para perawi semua sepakat bahwa Imam ‘Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain [ra] adalah ahlu-bait Rasulallah saw.
Kedua: Diantara para perawi tersebut ada yang memasukkan isteri Nabi saw. kedalam ahlu-bait Rasulallah saw. dan ada yang tidak.
Ketiga: Ada pula diantara para perawi yang hendak memasukkan orang lain (pengikut Nabi saw.) kedalam pengertian ‘ahlul-bait’. (mengenai makna ahlul-bait silahkan baca halaman selanjutnya)

Periwayatan para perawi yang berbeda-beda dari peristiwa/kejadian yang sama itu menunjukkan dengan jelas, bahwa “kelainan tidak terletak pada peristiwanya, melainkan pada orang-orang yang meriwayatkannya (para perawi)”. Sadar atau tidak sadar masing-masing terpengaruh oleh suasana persilangan sikap dan pendapat akibat pertikaian politik masa lalu dan per-musuhan antar golongan diantara sesama ummat Islam. Kenyataan yang memprihatinkan itu mudah dimengerti, karena menurut riwayat pencatatan atau pengkodikasian hadits-hadits baru dimulai orang pada tahun 160 Hijriah, yakni setelah keruntuhan kekuasaan daulat Bani Umayyah dan pada masa pertumbuhan kekuasaan daulat ‘Abbasiyyah.
Masalah hadits merupakan masalah yang sangat pelik dan rumit. Kepelikan dan kerumitannya bukan pada hadits itu sendiri, melainkan pada penelitian tentang kebenarannya. Identitas para perawi sangat menentukan, apakah hadits yang diberitakan itu dapat dipandang benar atau tidak. Untuk meyakini kebenaran hadits-hadits Rasulallah saw., ada sebagian orang-orang dari keturunan ahlul-bait Nabi saw., dan para pengikutnya menempuh jalan yang dipandang termudah yaitu menerima dan meyakini kebenaran hadits-hadits yang diberitakan oleh orang-orang dari kalangan ahlul-bait sendiri.
Cara demikian ini dapat dimengerti, karena bagaimana pun juga orang-orang dari kalangan ahlul-bait pasti lebih mengetahui peri kehidupan Rasulallah saw., mereka ini lebih menyadari kewajiban menjaga kemuliaan martabat dan kedudukannya ditengah kaum muslimin. Mereka ini tinggal seatap dengan beliau saw., sejak kecil hingga dewasa. Mereka ini adalah orang-orang yang langsung berada dibawah asuhan Rasulallah saw., langsung ber oleh pendidikan dan pengajaran dari beliau saw. Kita tidak sukar mem- bayangkan bagaimana hasil asuhan, pendidikan dan pengajaran yang di berikan oleh seorang Sayyidul-Anbiya wal Mursalin Muhammad saw.. Mereka adalah orang-orang yang besar ketakwaannya kepada Allah swt., membentang tangan untuk beramal kebajikan sebanyak-banyaknya dan menjaga keluhuran akhlak dan budi pekerti. Ini bukan sebagai pengkultusan dan bukan pula pendewa-dewaan jika orang mengatakan, bahwa diantara para ahlu-bait Rasulallah saw. sesudah Rasulallah saw.  Imam 'Ali bin Abi Thalib ra yang paling terkemuka pengetahuan tentang agama Islam. Ini tidak aneh, karena beliau berada dalam jajaran pertama diantara para ahlul-bait beliau saw.. Beliau saudara misan Rasulallah saw, putera asuhan dan anak didik Rasulallah saw. dan sebagai mantu beliau saw..
Beliau tidak pernah absen (kecuali dalam perang Tabuk, dan itu atas permintaan Rasulallah saw.) dalam semua peperangan membela agama Allah dan Rasul-Nya. Beliau tidak hanya seorang yang terluas dan terdalam pengetahuan agamanya dan pengetahuan mengenai bahasa Arab, tetapi beliau juga seorang pendekar dan panglima perang yang paling disegani dan ditakuti lawan. Wajarlah jika mereka itu dipandang sebagai sumber berita-berita hadits yang benar dan dapat dipercaya! Demikianlah pandangan para pengikut dan pencinta ahlul-bait Rasulallah saw. pada mulanya.
Dalam perkembangan zaman-zaman berikutnya, karena para pengikut dan pencinta ahlul-bait teus-menerus dimusuhi oleh hampir semua kekuatan pendukung Bani Umayyah dan Bani ‘Abbas, mereka merasa perlu menyusun kekuatan untuk mempertahankan kelestarian hidupnya. Makin keras pengejaran dan penindasan yang dialami para pengikut dan pencinta ahlu-bait Nabi saw., mereka makin keras berusaha mengkonsolidasi kekuatan, baik mental maupun fisik. Untuk mengimbangi ekstremitas pihak-pihak yang membenci dan mengejar-ngejar mereka, pada akhirnya ada sebagian para pengikut dan pencinta ahlu-bait Nabi saw. yang terperosok pula kedalam ekstremitas yang sama, khususnya dalam hal mengkultuskan pemimpin-pemimpin mereka dari kalangan Ahlul-Bait Rasulallah saw.. Mereka menciptakan teori ajaran tambahan dalam agama Islam untuk membajakan semangat dan kesetiaan kepada ahlul-bait, diluar pengetahuan Imam-imam mereka (dari ahlul-bait) yang telah wafat.

Lebih jauh lagi para pengikut dan pencinta ahlul-bait Rasulallah saw. yang ekstremitas sama sekali tidak mau menerima penafsiran apa pun atau hadits apa pun yang diriwayatkan oleh pihak selain pihak ahlul-bait Rasul- Allah saw.. Demikianlah pula sebaliknya, pihak lawan pun yang ekstremitas tidak mau menerima penafsiran dan hadits apa pun yang diberitakan oleh pencinta dan pengikut ahlul bait itu. Hadits yang bersumber dari Imam ‘Ali bin Thalib ra pun kadangkala masih mereka tolak, kecuali yang diberitakan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud ra. dan rekan-rekannya. Demikianlah sekelumit sejarah Islam mengenai ahlul-bait pada zaman Bani Umayyah dan Bani Abbassyiyah.
Lepas dari itu semua, yang sudah pasti Bani Umayyah dan Bani ‘Abbas itu sudah punah, tapi rupa-rupanya pengaruh politiknya masih berpengaruh sampai zaman kita sekarang, karena sampai detik ini jarang sekali di kumandangkan atau dikenal merata oleh kaum muslimin hadits-hadits mengenai keturunan/nasab (Ahlul-Bait) Rasulallah saw. ini, walaupun sudah banyak dalil-dalil yang gamblang dan jelas baik dari firman Allah swt. atau hadits shohih Nabi saw. mengenai ahlul-bait dan keturunan beliau saw.
Ada sebagian dari golongan ulama yang memutar balik atau menggeser (menta’wil) makna hadits-hadits mengenai ahlul-bait beliau saw. hadits tsaqalain, Safinah dll. hanya berdasarkan pemikiran mereka sendiri dari segi dan istilah bahasa atau dari bidang ilmu atau ketaqwaan, bukan berdasarkan hujjah/dalil dari sunnah Rasul saw.. Ada lagi yang tidak mau menerangkan atau sengaja menyembunyikan riwayat-riwayat mengenai ke utamaan ahlul-bait dan keturunannya. Yang lebih jauh dan aneh, ada orang yang masih meragukan dan mengatakan seenaknya sendiri tanpa berdalil sunnah Rasulallah saw. bahwa keturunan Nabi saw. atau cucu Rasulallah saw. semuanya tidak ada, sudah punah dan telah terbantai semuanya pada waktu peperangan antara Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib dan pengikutnya [ra] dengan golongan Yazid bin bin Mu’awiyyah di Kerbala. (Mengenai peperangan di Kerbala bagi orang yang ingin membaca sejarahnya lebih mudahnya silahkan baca buku dalam bahasa Indonesia yang berjudul Husain bin Ali r.a. Pahlawan Besar dan kehidupan islam pada zamannya oleh H.M.H ALHAMID AL-HUSAINI).
Begitu juga golongan pengingkar ini mengatakan bahwa kita semua keturun- an Nabi Adam as., jadi tidak ada perbedaan antara keturunan Rasulallah saw. dengan keturunan lainnya, kecuali orang yang paling bertakwa dan sebagainya. Padahal masalah kemuliaan nasab keturunan keluarga Rasulallah saw. banyak dikemukakan dalam hadits shohih. Kalau memang benar omongan golongan pengingkar ini, kita ingin bertanya; Apa kekhusus- an atau keistemewaan ayat Ilahi dan hadits-hadits yang akan kami kutip berikut ini dan masih banyak hadits yang tidak tercantum dihalaman ini yang diakui juga oleh ulama-ulama pakar hadits tentang kemuliaan, keutamaan Rasulallah saw, Ahlul-Bait dan keturunannya, kalau semuanya ini sama?! Saya berlindung pada Allah swt. atas kebohongan golongan ini.
Memandang ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw. sebagai orang-orang yang mulia sama sekali tidak mengurangi makna atau arti firman Allah swt. dalam surat Al-Hujurat: 13 berikut ini:“Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian terhadap Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu “.

Dan tidak pula mengurangi makna sabda Rasulallah saw. yang mengatakan: “Tiada kelebihan bagi orang Arab atas orang bukan Arab (‘ajam), dan tiada kelebihan bagi orang bukan Arab atas orang Arab kecuali karena taqwa”.
Begitu juga firman Allah Al-Hujurat: 13 dan hadits Rasulallah saw. di atas ini tidak bertentangan dengan surat Al-Ahzab: 33 yang menegaskan:“Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran (ar-rijsa) dari kalian, ahlul-bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya”
Kemuliaan yang diperoleh seorang beriman dari kebesaran taqwanya kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kemuliaan yang bersifat umum, yakni hal ini dapat diperoleh setiap orang yang beriman dengan jalan taqwa. Lain halnya dengan kemuliaan ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw. Mereka memperoleh kemuliaan berdasarkan kesucian yang dilimpahkan dan di karuniakan Allah swt. kepada mereka sebagai keluarga dan keturunan Rasulallah saw. Jadi kemuliaan yang ada pada mereka ini bersifat khusus, dan tidak mungkin dapat diperoleh orang lain yang bukan ahlul-bait dan bukan keturunan Rasulallah saw..
Akan tetapi itu bukan berarti bahwa keturunan Rasulallah saw. tidak diharus- kan bertaqwa kepada Allah dan Rasul-Nya. Malah sebaliknya, Allah swt. ber- firman dalam surat Al-Ahzab:30-31 bahwa bila mereka (ahlul-bait) berbuat maksiat akan dilipatkan dua kali dosanya dan bila mereka berbuat kebaikan akan dilipatkan dua kali pahalanya. Dengan memperbesar ketaqwaan pada Allah dan Rasul-Nya mereka ini memperoleh dua kemuliaan yaitu kemuliaan khusus dan kemuliaan umum. Sedangkan orang-orang selain mereka ini dengan ketaqwaan kepada Allah dan Rasul-Nya hanya memperoleh kemulia an umum. Itulah yang membedakan martabat kemuliaan ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw. dengan martabat kemuliaan orang-orang selain ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw.. Ketinggian martabat yang di berikan Allah swt. kepada mereka (ahlul-bait) ini merupakan penghargaan Allah swt. kepada Rasul-Nya junjugan kita Muhammad saw..
Begitu pun juga kemuliaan para sahabat yang setia dan patuh pada Nabi saw. Allah swt. telah menyatakan pujian dan penghargaan-Nya atas kesetiaan mereka kepada Allah swt. dan Rasul-Nya serta keikhlasan mereka dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah swt. dimuka bumi. Hal ini diungkap kan dalam firman-firman Allah swt. (Aali Imran; 110; Al-Baqarah; 143; At Tahrim; 8; Al-Fath; 18; At-Taubah; 100; Al-Anfal: 64 dan lain-lain).
Keturunan nabi saw. merupakan orang-orang yang memiliki fadhilah dzatiyyah (keutamaan dzat) yang dikaruniakan Allah swt. kepada mereka melalui hubungan darah/pertalian nasab dengan manusia pilihan Allah swt. dan paling termulia Rasulallah saw. Jadi bukan pilihan atau maunya mereka sendiri untuk menjadi keturunan nabi saw. dan bukan berdasarkan fadhilah pengamalan baik mereka melainkan telah menjadi qudrat dan kehendak Ilahi sejak mula. Karena itu tidak ada alasan apapun untuk merasa iri hati,dengki terhadap keutamaan mereka. Hal inilah justru yang dipertanyakan Allah swt. dalam firman-Nya:“..Ataukah (apakah) mereka (orang-orang yang dengki) merasa irihati (hasut) terhadap orang-orang yang telah diberi karunia oleh Allah “ (An-Nisa’: 54)
Orang-orang yang dihasuti dan yang diberi karunia dalam ayat tersebut adalah Keturunan/Ahlul Bait Rasulallah saw. silahkan rujuk:
Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 1, hal.143 hadits ke 195, 196,197,198; Manaqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili Asy-Safi’I, hal.467 hadits ke 314; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.142, 328 dan 357 cet, Al-Haidariyah hal.121, 274 dan 298, cet.Istanbul; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i, hal.150 cet.Al- Muhammadiyah, hal. 91 cet. Al-Maimaniyah, Mesir; Nurul Abshar oleh Asy-Syablanji hal.101, cet.Al-'Utsmaniyah, hal.102 cet.As- Sa’idiyah; Al-Ittihaf Bihubbil Asyraf, oleh Asy-Syibrawi Asy-Syafi’i, hal. 76; Rasyafah Ash-Shadi, oleh Abu Bakar Al-Hadrami, hal. 37; Al-Ghadir, oleh Al-Amini jilid 3, hal. 61 dan masih banyak lagi lainnya.
Juga fadhilah dzatiyyah yang dikaruniakan Allah swt. kepada para keturunan Rasulallah saw. sama sekali tidak lepas dari rasa tanggung jawab mereka yang lebih berat dan lebih besar daripada yang harus dipikul orang lain. Mereka ini harus selalu menyadari kedudukannya ditengah-tengah ummat Islam. Mereka wajib menjaga diri dari ucapan-ucapan, perbuatan dan sikap yang dapat mencemarkan kemuliaan keturunan Muhammad Rasulallah saw. Mereka wajib pula menyadari tanggung jawabnya yang lebih besar atas citra Islam dan ummatnya.
Dengan demikian maka kewajiban menghormati mereka yang dibebankan oleh syari’at kepada kaum muslimin dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Tidak akan ada kesan bahwa para keturunan Rasulallah saw. menonjol-nonjol diri menuntut penghormatan dari orang lain, karena kaum muslimin yang menghayati syari’at Islam pasti menempatkan mereka pada kedudukan sebagaimana yang telah menjadi ketentuan syari’at. Kami rasa kemuliaan dan kedudukan mereka perlu dipahami oleh kaum muslimin, terutama oleh orang-orang keturunan Ahlul Bait sendiri sebagai pihak yang paling berkewajiban menjaga kemuliaan martabat Rasulallah saw. dan Ahlul Bait beliau saw..
“Suatu kesalahan atau kekeliruan tidak akan disorot oleh masyarakat setajam kesalahan atau kekeliruan yang diperbuat oleh orang-orang keturunan Ahlul-Bait. Apalagi pandangan masyarakat yang dengki atau tidak senang dengan Ahlul-Bait, mereka ini akan lebih memperuncing dan mempertajam kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat oleh orang keturunan Ahlul-Bait serta menyembunyikan hadits-hadits yang berkaitan dengan kemuliaan mereka ini.
Ada lagi orang yang karena tidak senang atau dengki kepada keturunan Nabi saw. berani mengatakan dengan konkrit bahwa keturunan ini telah putus dan tidak ada sama sekali atau masih belum konkrit adanya nasab tersebut. Omongan mereka ini menjiplak omongan orang kafir Quraisy kepada Rasulallah saw. waktu putra beliau saw. yang terakhir wafat dan belum sempat memiliki keturunan. Mendengar bisikan-bisikan golongan pengingkar ini kita teringat akan peristiwa nyata pada masa-masa kelahiran agama Islam. Kisah ringkasnya seperti berikut:
“Ketika putera Rasulallah saw. yang bernama Qasim wafat dalam usia kecil, salah seorang tokoh musyrikin Quraisy bernama ‘Ash bin Wa’il bersorak-sorak gembira. Ia bersorak bahwa Rasulallah saw. tidak akan mempunyai keturunan lebih lanjut. Ulah-tingkah dan ucapan ‘Ash bin Wa’il inilah yang menjadi sebab turunnya wahyu Ilahi Surah Al-Kautsar kepada Rasulallah saw. Ayat terakhir surat Al-Kautsar (uraian singkat ayat ini dihalaman berikutnya) telah menegaskan: ‘Sungguhlah, orang yang membencimu itu lah yang abtar (putus keturunan)’. Firman Allah swt. terbukti dalam kenyataan yaitu: Keturunan Rasulallah saw. berkembang-biak dimana-mana, sedangkan keturunan ‘Ash bin Wa’il putus dan hilang ditelan sejarah”! ‘Ash bin Wa’il sudah tiada bersisa, tetapi teriakannya masih mengiang-ngiang ditelinga golongan pengingkar pembenci keturunan Rasulallah saw. tersebut.

Bila Rasulallah saw. tidak mempunyai keturunan, tentu beliau saw. tidak menantang kaum Nasrani, Najran bermubahalah. Kisah peristiwanya terabadikan dalam Al-Qur’an surat Aali ‘Imran: 61 (baca keterangan singkat selanjutnya). Kecuali ini pun, Rasulallah saw. tidak akan diperintah Allah swt. supaya berkata kepada kaum musyrikin Quraisy: “Katakanlah (hai Muhammad) Aku tidak minta upah apa pun dari kalian kecuali kasih sayang dalam (hubungan) kekeluargaan (yakni keluarga/ahlul-bait Muhammad saw.)”. (Asy-Syura: 23). Ayat Asy-Syura ini turun untuk keluarga Rasulallah saw. yakni Imam ‘Ali, Siti Fathimah Az-Zahra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra]. Kita bisa rujuk dalam:
Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi jilid 2, hal.130, hadits ke 822 s/d 828 dan hadits ke 832, 833, 834 dan 838; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i cet.Al-Maimaniyah, Mesir hal. 101,135 dan 136, dalam cet.Al-Muhammadiyah, Mesir hal. 168 dan 225; Tafsir Ath-Thabari jilid 25, hal.25 cet.ke 2 Mushthafa Al-Halabi, Mesir, hal.14 dan 15 cet.Al-Maimaniyah, Mesir; Manaqib Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi’i hal.307 hadits ke 352; Dzhakhairul ‘Uqba oleh Ath-Thabari Asy-Syafi’i hal.25 dan 138; Kifayah Ath-Thalib oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.91,93,313 cet.Al-Haidariyah, hal.31,32,175,178 cet.Al-Ghira; Al-Fushul Al-Muhimmah oleh Ibnu Shabagh Al-Maliki hal.11; Ad-Durrul Mantsur oleh As-Suyuthi jilid 6 hal.7; Al-Mustadrak Al-Hakim jilid 3 hal.172; Ihyaul Mayt oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i (catatan pinggir) Al-Ittihaf hal.110; Tafsir Al-Qurthubi jilid 16 hal.22; Tafsir Ibnu Kathir jilid 4 hal.112; Tafsir Fakhrur Razi jilid 27 hal.166 cet.Abdurrahman Muhammad, Mesir jilid 7 hal.405-406; Tafsir Al-Baidhawi jilid 4 hal.123, cet.Mushthafa Muhammad, Mesir, jilid 5 hal.53 cet.Darul Kutub, hal. 642 cet.Al’Utsmaniyah; Tafsir An-Nasafi jilid 4, hal. 105; Majma’uz Zawaid jilid 7, hal.103 dan jilid 9 hal. 168; Fathul Bayan fi Maqashidil Qur’an oleh Shiddiq Al-Hasan Khan jilid 8 hal.372; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi hal.106,194,261 cet.Istanbul, hal.123,229,311 cet.Al-Haidariyah; Fathul Qadir oleh Asy-Syaukani jilid 4 hal.537 cet.kedua, jilid 4 hal.22 cet.pertama, Mesir…Dan masih banyak lagi yang tidak saya cantumkan disini.




  • Hadits yang diriwayatkan oleh cucu Rasulallah saw. yang ke enam

Mari kita rujuk hadits yang diriwayatkan dari keturunan Rasulallah saw. yang keenam, sehingga bagi pembaca lebih jelas bahwa fitnahan atau tuduh an mengenai terputusnya keturunan Rasulallah saw. yang dikeluarkan oleh golongan anti ‘Alawiyyun itu adalah tuduhan yang tidak berdasarkan dalil hanya berdasarkan kedengkian atau emosi belaka.

“Dua orang ahli hadits yaitu Abu Zar’ah AR-Rozi dan Muhammad bin Aslam At-Thusi bersama para penuntut ilmu dan ahli hadits yang tidak terhitung jumlahnya menemui salah satu cucu Ali bin Husin bin Ali bin Abi Thalib yaitu Imam Ali Ridho bin Musa Al-Kadhim bin Ja’far As-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib kw. (keturunan keenam dari Rasulallah saw.) yang sedang memasuki Naisabur melewati sebuah pasar. Kedua tokoh hadits ini menghadang beliau dan minta pada- nya untuk meriwayatkan hadits yang beliau dengar dari ayah atau kakeknya. Imam Ali Ridho ra. menghentikan kereta tunggangan- nya baghal peranakan antara keledai dan kuda serta berkata:
‘Ayahku Musa Al-Kadhim memberiku sebuah hadits dari ayahnya Ja’far As-Shodiq, dari ayahnya Muhammad Al-Baqir, dari ayahnya Ali Zainal Abidin dari ayahnya, Al-Husain dari ayahnya Ali bin Abi Thalib ra.. Ali bin Abi Thalib berkata; Kekasihku dan penyejuk hatiku Rasulallah saw. memberiku sebuah hadits. Beliau saw. bersabda: Jibril berkata kepadaku, Aku mendengar Allah yang Maha Agung berfirman; Lailaha illallah adalah bentengKu. Barangsiapa mengucapkannya, ia masuk kedalam bentengKu. Dan barangsiapa me- masuki bentengKu, selamat dari siksaKu’ “.
Setelah itu Imam Ali Ridho ra. pergi meneruskan perjalanannya dan waktu itu menurut riwayat lebih dari 20.000 orang yang menulis hadits di atas ini. (Dinukil dan disusun secara bebas dari buku bahasa Indonesia yang berjudul sekilas tentang Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi muallif Simtud Duror karya saudara Novel Muhammad Alaydrus).
Riwayat yang semakna di atas ini hanya berbeda versinya diketengahkan juga oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya “as-Showa’iq al-Muhriqoh” halaman: 310 pasal ketiga meriwayatkan tentang keturunan yang keenam dari Rasul- Allah saw. (yakni Imam Ali Ridho ini). Didalam kitabnya ini Ibnu Hajar menulis: “Ketika ar-Ridho (Ali Ridho bin Musa Al-Kadhim) sampai di kota Naisabur, orang-orang berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Ia (Ar-Ridho) mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil memandanginya) mereka berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan melumuri dengan tanah, juga menciumi tanah bekas jalannya kendaraannya…”. (Hal ini juga dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab “Nur al-Abshar” Halaman: 168, pasal Manaqib Sayid Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim).


  • Pendapat Syeikh Abdul ‘Aziz Bin Baz

Seorang Mufti resmi kerajaan Saudi Arabia salah satu ulama dari golongan Wahabi Syeikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz pernah ditanya oleh saudara kita dari Iraq mengenai anak cucu Rasulallah saw. yang memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang tidak semestinya mereka lakukan. Jawaban Syeikh terhadap pertanyaan saudara dari Iraq ini dimuat dalam majalah ‘AL-MADINAH’ halaman 9 nomer 5692 tanggal 07- Muharram 1402 H bertepatan tanggal 24 oktober 1982 sebagai berikut:“Orang-orang seperti mereka (cucu Nabi saw.) itu terdapat diberbagai tempat dan negeri. Mereka terkenal juga dengan gelar ‘Syarif ’. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang mengetahui, mereka itu berasal dari keturunan ahlulbait Rasulallah saw. Diantara mereka itu ada yang silsilahnya berasal dari Al-Hasan ra. dan ada pula yang berasal dari Al-Husain ra. Ada yang dikenal dengan gelar ‘Sayyid’ dan ada juga yang dikenal dengan gelar ‘Syarif’. Itu merupakan kenyataan yang diketahui umum di Yaman dan di negeri-negeri lain. Mereka itu sesungguhnya wajib bertaqwa kepada Allah dan harus menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan Allah bagi mereka. Semestinya mereka itu harus menjadi orang-orang yang paling menjauhi segala macam keburukan.
Kemuliaan silsilah mereka wajib dihormati dan tidak boleh disalah gunakan oleh orang yang bersangkutan. Jika mereka diberi sesuatu dari Baitul-Mal itu memang telah menjadi hak yang dikaruniakan Allah kepada mereka. Pem- berian halal lainnya yang bukan zakat, tidak ada salahnya kalau mereka itu mau menerimanya. Akan tetapi kalau silsilah yang mulia itu disalahgunakan, lalu ia beranggapan bahwa orang yang mempunyai silsilah itu dapat mewajib kan orang lain supaya memberi ini dan itu, sungguh itu merupakan per buatan yang tidak patut. Keturunan Rasulallah saw. adalah keturunan yang termulia dan Bani Hasyim adalah yang paling afdhal/utama dikalangan orang-orang Arab. Karenanya tidak patut kalau mereka melakukan sesuatu yang mencemarkan kemuliaan martabat mereka sendiri, baik berupa perbuatan, ucapan ataupun perilaku yang rendah.
Adapun soal menghormati mereka, mengakui keutamaan mereka dan mem- berikan kepada mereka apa yang telah menjadi hak mereka, atau memberi maaf atas kesalahan mereka terhadap orang lain dan tidak mempersoalkan kekeliruan mereka yang tidak menyentuh soal agama, semuanya itu adalah kebajikan. Dalam sebuah hadits Rasulallah saw. berulang-ulang mewanti-wanti: ‘Kalian kuingatkan kepada Allah akan ahlulbaitku…kalian kuingatkan kepada Allah akan ahlulbaitku’. Jadi, berbuat baik terhadap mereka, memaaf kan kekeliruan mereka yang bersifat pribadi, menghargai mereka sesuai dengan derajatnya, dan membantu mereka pada saat-saat membutuhkan, semuanya itu merupakan perbuatan baik dan kebajikan kepada mereka.”. Demikianlah pengakuan Syeikh Abdul Aziz bin Baz tentang masih wujudnya cucu nabi saw.


  • Pendapat Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

H.Rifai, seorang Indonesia Islam yang tinggal di Florijn 211, Amsterdam Bijlmermeer, Belanda pada tanggal 30 desember 1974 telah mengirim surat kepada Menteri Agama H.A. Mukti Ali dimana ia mengajukan pertanyaan, ‘Benarkah habib Ali Kwitang dan habib Tanggul keturunan Rasulallah saw.’?, dan mohon penjelasan secukupnya mengenai beberapa hal.
Oleh Menteri Agama hal ini diserahkan kepada Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) untuk menjawabnya melalui Panji Masyarakat, dengan pertimbangan agar masalahnya dapat diketahui umum dan manfaatnya lebih merata. Sebagian isi yang kami kutip mengenai penjelasan Prof.Dr.H. HAMKA tentang gelar Sayyid yang dimuat dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 sebagai berikut:“Rasulallah saw. mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau saw. dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf. Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.
Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka adalah keturunan dari Al-Husain dari Hadra- maut (Yaman selatan), ada juga yang keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
Dalam pergolakan aliran lama dan aliran baru di Indonesia , pihak Al-Irsyad yang menantang dominasi kaum Ba’alwi (Alawiyyun), menganjurkan agar yang bukan keturunan Al-Hasan dan Al-Husain memakai juga titel Sayyid dimuka namanya. Gerakan ini sampai menjadi panas. Tetapi setelah keturun an Arab Indonesia bersatu, dengan pimpinan A.R.Baswedan, mereka anjurkan menghilangkan perselisihan dan masing-masing memanggil temannya dengan ‘Al-Akh’ artinya Saudara.
Selanjutnya kesimpulan dari makalah Prof.Dr.HAMKA: Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah saw. Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”. (Demikianlah nukilan dan susunan secara bebas mengenai penjelasan Prof.Dr.HAMKA tentang gelar Sayyid).




  • Kemuliaan dan kedudukan keturunan Rasulallah saw.:

Mari kita teruskan lagi hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai keutamaan dan kedudukan keturunan beliau saw.. Sabda Rasulallah saw.:
(Man sarrahu an yahyaa hayaatii wa yamuuta mamaatii wa yaskuna jannata ‘adnin ghorosahaa robbii falyuwaali ‘Aliyyan min ba’dii walyuwaali waliyyahu walyagtadi biahli baitii min ba’dii fainnahum ‘itrotii khuliguu min thiinatii waruziguu fahmii wa ‘ilmii fawailun lilmukaddzibiin bifadhlihim min ummatiil goothi’iina fiihim shilatii laa anzalahumullahu syafaa’atii.)
Artinya: “Barangsiapa senang hidup seperti hidupku dan mati seperti matiku, lalu ia ingin menjadi penghuni surga ‘Adn yang ditanam oleh Tuhanku, hendaknya ia mengangkat ‘Ali sebagai pemimpin sepeninggalku, dan orang itu pun hendaknya mengikuti pimpinan yang diangkat olehnya (‘Ali kw) sebagai pemimpin, dan supaya berteladan kepada ahlubaitku sepeninggalku. Sebab mereka itu adalah keturunanku dan diciptakan dari darah daging- ku serta dikarunia pengertian dan ilmuku. Celakalah orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka, dan memutuskan hubungan dengan- ku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Allah tidak akan menurunkan syafa’atku kepada orang-orang seperti itu“ (hadits ini dikeluarkan oleh Thabrani dalam kitabnya ‘Al-Kabir’ dan di keluarkan juga oleh Ar-Rafi’i dalam ‘Musnad-nya’ berdasarkan isnad Ibnu ‘Abbas. Kanzul ‘Ummal jilid 6 hal. 217 hadits no. 3819).
 Juga sabda Rasulallah saw:(Man ahabba an yahyaa hayaati wa yamuuta maitatii wa yadkhulal jannata allatii wa ‘adanii robii wa hiya jannatul khuldi falyatawalla ‘Aliyyan wa dzurriyatahu min ba’dihi fainnahum lan yukhrijukum baaba hudan wa lan yudkhiluukum baaba dholaalatin.)
Artinya:" Siapa yang ingin hidup seperti hidupku wafat seperti wafatku serta masuk ke surga yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul Khuld, maka hendaklah ia berwilayah (berpemimpin) kepada ‘Ali dan keturunan sesudahnya, karena sesungguhnya mereka tidak akan mengeluar kan kamu dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan kamu kepintu kesesatan ". Hadits semacam ini terdapat didalam: Shahih Bukhari, jilid 5, hal. 65, cet. Darul Fikr; jilid 5 halaman 159, cet.Mathabi’ Asy-Sya’b.; Shahih Muslim, jilid 2, halaman 51, cet. Al-Halabi, jilid 5, halaman 119, cet.Syirkah Al-I’lanat.; Mizanul I’tidal, oleh Adz-Dzahabi, jilid 4, halaman 415 cet. Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah.; Al-Manaqib, oleh Al-Khawarizmi, halaman 34.; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 149 dan 150, cet. Al-Haidariyah, halaman 126 cet. Istanbul.; Al-Ishabah, oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Asy-Syafi’i, jilid 1, halaman 541, cet. Mushthafa Muhammad; jilid 1, halaman 559, cet. As-Sa’adah.

  • Hadits Safinah (perahu):
(Perahu) berikut ini: Rasulallah saw. ber- sabda:
(Inna matsala ahla baitii fiikum kamatsali safiinati Nuuha man rokibahaa najan, wa man takhollafa ‘anhaa ghorogo)
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang ter- tinggal akan tenggelam”. Hadits ini bisa kita baca didalam:
Al-Mustaddrak Al-Hakim jilid 3, hal.151.; Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi hal. 235.; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar hal. 184 dan 234, cet. Al-Muhammadiyah, Mesir, hal. 111 dan 140 cet.Al-Maimaniyah, Mesir.; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal. 30 dan 370 cet.Al-Haidariyah, hal. 27 dan 308 cet.Istanbul.; Tarikh al-Khulafa’ oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i.; Is’afur Raghibin oleh Ash-Shabban Asy Syafi’i hal.109 cet.As-Sa’idiyah, hal.103 cet.Al-‘Utsmaniyah.; Faraid As-Samthin jilid 2 hal. 246 hadits ke 519.
 Juga sabda beliau saw.:(Inna matsala ahla baitii fiikum kamatsali safiinati Nuuha man rokibahaa najaa, wa man takhollafa ‘anhaa ghorogo, wa innamaa matsalu ahli baitii fiikum matsalu Baabi Hiththotin fii banii Israaiila man dakholahuu ghufira lahuu.)
Artinya: “Sungguh perumpamaan Ahlu Baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang tertinggal akan tenggelam. Dan perumpamaan Ahlu-Baitku bagi kalian seperti pintu Hith- thah Bani Israil, siapa yang memasukinya ia akan diampuni”.
Hadits ini bisa kita baca didalam: Al-Mu’jam Ash-Shaqir oleh Ath Thabrani jilid 2, hal.22.; Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.378, cet.Al-Haidariyah, hal..234, cet.Al-Ghira.; Majma’uz Zawaid,oleh Al-Haitsami Asy-Syafi’i jilid 9, hal.168.; Ihyaul Mayyit oleh As-Suyuthi (catatan pinggir) Al-Ittihaf oleh Syibrawi hal.113.; Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar, hal. 91 cet.Al-Maimaniyah, hal.150 cet. Al-Muhammadiyah Mesir.; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.28 dan 298, cet. Istanbul, hal.30 dan 358, cet.Al-Haidariyah dan masih banyak lainnya lagi
Makna perumpamaan ahlul Bait sebagai pintu pengampunan ialah bahwa Allah swt. telah menjadikan pintu itu sebagai perwujudan sikap merendahkan diri terhadap keagungan-Nya. Sikap seperti ini akan menyebabkan datang- nya maghfirah atau ampunan-Nya. Demikian pula bila ummat ini dengan segala keikhlasan mau mengikuti petunjuk penerus Nabi saw. yaitu para Imam dan Ulama dari kalangan keturunan Rasulallah saw. akan merupakan perwujudan sikap patuh serta tunduk pada kehendak Allah swt. Sikap seperti ini lah yang akan mendatangkan maghfirah/ampunan Allah swt. bagi mereka! Demikian juga Ibnu Hajar dalam kitab As-Sawaiq bab 11 halaman 91 telah mencoba membuat persamaan dalam hal ini. Setelah beliau menukil hadits-hadits yang serupa dan semakna di atas dan lain-lainnya.
 Juga sabdanya lagi:
(Annujuumu amaanun liahlil ardhi minal ghorogi wa ahlu baitii amaanun liummatii minal ikhtilaaf [fid diini faidzaa khoolafathaa gobiilatun minal ‘arabi [ya’nii fii ahkaamil llaahi ta’aala] ikhtalafuu fashooruu hizba ibliisa.)
Artinya: “Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan. Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih kemudian akan menjadi kelompok iblis“. (Hadits ini dikemukakan oleh Al-Hakim dan dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim, juga hadits ini bisa kita rujuk didalam Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar hal. 91 dan 140 cet. Al-Maimaniyah, hal. 150 dan 234 cet.Al-Muhammadiyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal (catatan pinggir) Musnad Ahmad jilid 5 hal.93; Jawahirul Bihar oleh An-Nabhani jilid 1, hal. 361 cet.Al-Halabi Mesir dan lain-lainnya).
Demikianlah antara lain kalimat hadits Tsaqalain, hadits Safinah dan lainnya serta hadits mengenai Sayyidina Ali kw.serta keturunan- nya yang dimuat juga dalam Muntakhab al-Kanz (baca catatan pinggir Musnad Imam Ahmad jilid 5 halaman 32) yang semuanya jarang sekali, hampir tidak pernah, di kumandangkan oleh ulama kita Ahlusunnah wal Jama’ah dimasjid-masjid, padahal ini termasuk wasiat Rasulallah saw. yang penting untuk kaum muslimin.
Lafadh hadits tqalain, hadits Al-Kisa’, hadits Safinah dan lafadz hadits lain- nya mengenai kemuliaan, kedudukan keturunan Rasulallah saw. banyak di riwayatkan oleh para sahabat dan perawi dari ulama pakar dengan bermacam-macam ragam tapi makna atau intinya sama yaitu kita diperingatkan oleh beliau saw.harus berpegang teguh pada dua bekal berat Kitabullah dan Ahlul Bait (keturunan) Rasulallah dan celakalah orang yang mengingkari dan mendustakan keutamaan keturunan beliau saw..
Hadits-hadits Rasulallah saw. di atas semuanya dikutip oleh para ulama Ahlus Sunnah terkemuka dan dikeluarkan juga oleh para ulama Islam dari berbagai madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, madzhab Imamiyah, madzhab Zaidiyyah dan lain sebagainya.




  • Pendapat Imam Turmudzi makna hadits Tsaqalain, Safinah:
Persoalan hadits di atas yang mana Rasulallah saw. menegaskan bahwa ‘ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku’ mengundang perhatian beberapa ulama untuk mempermasalahkan makna ini hadits. Masing-masing mengajukan hujah dan dalil-dalil sendiri untuk memperkuat pendapatnya dan dalam tiap diskusi perbedaan pendapat itu selalu ada. Mari kita ikuti pendapat Imam Turmudzi masalah hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai ahlu-baitnya. Kami akan kutip pendapat Turmudzi dan langsung sanggahan dari ulama lainnya atas pendapat Imam Turmudzi ini.
“Imam Turmudzi dalam kitabnya Nawadirul-Ushul menerangkan, bahwa ahlul-bait Rasulallah saw. yang dimaksud dalam hadits tersebut ialah; ‘Orang-orang yang meneruskan jalan hidup Rasulallah saw. setelah beliau wafat. Mereka adalah orang-orang shiddiq, orang-orang abdal (keramat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib kwa. dengan ucapannya:
“Akan muncul orang-orang abdal (keramat) di Syam. Mereka berjumlah empat puluh orang. Tiap ada seorang dari mereka wafat, Allah mengganti kedudukannya dengan orang lain. Karena abdal (kekeramatan) mereka Allah menurunkan hujan, karena kekeramatan mereka Allah memenangkan mereka atas musuh-musuhnya dan karena kekeramatan mereka Allah menyelematkan penghuni bumi dari malapetaka…”.
Mereka itulah kata Imam Turmudzi ahlul-bait Rasulallah saw.yang menjadi sebab keselamatan ummat ini. Bila mereka itu lenyap, rusaklah bumi ini dan hancurlah dunia…. Selanjutnya Turmudzi mengatakan:
1). Pengertian mengenai ahlul-bait tidak bisa didasarkan pada makna hadits yang berbunyi: “Manakala ahlulbaiku lenyap maka datanglah kepada ummatku apa (bencana) yang dijanjikan”.
Bagaimana dapat dibayangkan kalau ahlulbait sudah tidak ada lagi, tidak akan ada seorang pun dari ummat Muhammad saw. yang masih tinggal? Jumlah ummat Muhammad jauh lebih banyak daripada –ahlulbait– yang dapat dihitung dan Allah swt. senantiasa melindungi mereka (ummat Muhammad) dengan berkah dan rahmat-Nya. Pengertian mengenai ahlulbait juga tidak dapat didasarkan pada hadits yang berbunyi: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebabku dan nasabku’.
2). Menurut hadits tersebut, ahlulbait Rasulallah saw. ialah nasab beliau, yakni Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib. Akan tetapi mereka bukan merupakan sebab bagi keselamatan ummat Islam, sehingga orang boleh berkata: “Kalau mereka lenyap akan lenyap pula dunia ini”!
3). Dikalangan mereka pun terdapat keburukan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan lain. Diantara mereka ada yang baik (muhsin) dan ada pula yang buruk (musi’). Lalu bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu merupakan sebab bagi keselamatan penghuni bumi? Jadi jelaslah, bahwa yang dimaksud (ucapan) Rasulallah saw. ialah; orang-orang yang karena mereka itu dunia ini tetap lestari. Mereka itulah lambang kehidupan dan para pembimbing manusia kejalan hidayat pada setiap zaman. Tanpa mereka tak ada kehormatan apa pun dimuka bumi dan bencana akan merajalela…
Imam Turmudzi melanjutkan: Kalau ada yang mengatakan bahwa kemuliaan ahlulbait dan dekatnya hubungan mereka dengan Rasulallah saw. itu yang membuat mereka menjadi sebab keselamatan bagi penghuni bumi, orang lain tentu dapat menjawab: ‘Ke hormatan dan kemuliaan Rasulallah saw. jauh lebih agung’! Dibumi ini ada sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung
dibandingkan dengan keturunan Rasulallah saw. yaitu Kitabullah Al-Qur’an, walau tidak disebut dalam hadits di atas tadi. Selain itu kehormatan dan kemuliaan ada juga pada para ahli takwa.



Dalam penjelasannya mengenai sebab-sebab yang membuat Muhammad Rasulallah saw. menjadi manusia besar, mulia dan agung, Turmudzi mengatakan: ‘Kehormatan, kebesaran dan keagungan Rasulallah saw. adalah berkat kenabian dan kemuliaan yang dilimpah- kan Allah swt.kepada beliau’. Sebagai dalil mengenai hal itu dapat dikemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
“Pada suatu hari Rasulallah saw. mendatangi (Siti) Fathimah. Ditempat kediaman (Siti) Fathimah terdapat Shafiyyah (bibi Rasulallah saw.). Beliau kemudian bersabda: ‘Hai Bani ‘Abdu Manaf, Hai Bani ‘Abdul Mutthalib, Hai Fathimah binti Muhammad, Hai Shafiyyah bibi Rasulallah Allah. Dihadirat Allah aku tidak bermanfaat bagi kalian. Mintalah berapa saja dari hartaku yang kalian inginkan. Ketahuilah, bahwa orang yang terbaik bagiku pada hari kiamat ialah mereka yang bertakwa. Jika kalian hanya mengandalkan kekerabatan kalian denganku, disaat orang lain datang kepadaku membawa amal kebajikan lalu kalian datang kepadaku hanya membawa keduniaan di leher kalian. Kemudian memanggil-manggil ‘Hai Muhammad’, aku men- jawab dengan memalingkan wajahku dari kalian. Kalian lalu memanggil lagi ‘Hai Muhammad’. Akupun menjawab begitu lagi. Kemudian kalian berkata: ‘Hai Muhammad, Aku ini si Fulan bin Fulan’. Aku menjawab: ‘Tentang nasab kalian aku memang kenal, tetapi tentang amal kebajikan kalian aku tidak tahu. Kalian telah meninggalkan kitabullah, karena itu kalian kembali kepada kekerabatan (yang kalian andalkan) antara aku dan kalian’ ”.
 Diriwayatkan pula bahwa saat itu Rasulallah saw. menegaskan: “Diantara kalian, orang-orang yang memperoleh perlindunganku bukanlah mereka yang berkata: ‘ayahku si Fulan’, tetapi diantara kalian yang memperoleh perlindunganku ialah mereka yang bertakwa, siapa pun mereka itu dan bagaimana pun keadaan mereka”.

  • Jawaban atas pendapat Imam Turmudzi:
Penafsiran dan pendapat Imam Turmudzi mengenai hadits di atas tentang ahlul-bait, ternyata memperoleh tanggapan dari para ulama yang lain di antaranya yaitu Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhammad menuturkan:
“Sementara jama’ah ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits (hadits Safinah) yang diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi saw. bahwasanya Rasulallah saw. bersabda: ‘Ahlubaitku ditengah-tengah kalian ibarat bahtera Nuh. Barangsiapa menaikinya ia selamat, dan yang ketinggalan ia celaka (sumber riwayat lain mengatakan … ia tenggelam, dan sumber yang lainnya mengatakan..ia di giring ke neraka)’.
Abu Dzar Al-Ghifari mengatakan: Aku mendengar Rasulallah saw. bersabda: “Jadikanlah ahlubaitku bagi kalian seperti kedudukan kepala bagi tubuh dan seperti kedudukan dua mata bagi kepala’”.
Imam Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits yang dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim: “‘Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan. Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih kemudian mereka akan menjadi kelompok iblis’.
Hadits yang lain dikemukakan juga oleh jama’ah ahli hadits, yaitu bahwasa nya Rasulallah saw. bersabda: “Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni langit dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku. (Menurut sumber riwayat lain keselamatan bagi penghuni bumi). Manakala ahlubaitku lenyap (binasa) maka yang dijanjikan dalam ayat-ayat Al-Qur’an akan tiba (yaitu bencana)”.



Hadits seperti itu juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal: “Apabila bintang-bintang lenyap, lenyaplah penghuni langit dan apa- bila ahlulbaitku lenyap, lenyaplah penghuni bumi’.
Setelah mengemukakan hadits-hadits tersebut di atas An-Nabhani kemudian mengatakan: ‘Bagaimana pun juga ahlulbait Rasulallah dan keturunan beliau saw. dipermukaan bumi ini merupakan sebab atau syarat bagi keselamatan ummat manusia, dan pada khusus- nya merupakan syarat keselamatan ummat Muhammad saw. dari adzab/siksa neraka. Yang dimaksud oleh hadits itu bukan hanya khusus anggota keluarga yang sholeh saja. Sebab cirri kemuliaan yang ada pada unsur keturunan beliau saw. sama sekali tidak tergantung pada sifat-sifat mereka’.
Sebagai dalil mengenai itu An-Nabhani menunjuk kepada pernyataan Ash-Shabban didalam kitabnya Is’afur Raghibin yang mengatakan bahwa pengertian tersebut di atas diperoleh dari isyarat yang terkandung dalam surat Al-Anfal: 33: ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka (orang-orang durhaka) sedang engkau berada ditengah-tengah mereka’. Sekali pun ayat itu ditujukan kepada Rasulallah saw., namun ahlulbait dan keturunan beliau dapat didudukkan pada tempat beliau, karena mereka itu berasal dari beliau dan beliau pun berasal atau senasab dengan mereka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh beberapa hadits.
Kemudian An-Nabhani mengetengahkan sebuah hadits bahwa Rasulallah saw. menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy, dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlulbaitku..(riwayat lain mengatakan bukan bencana [halak] melainkan kepunahan [fana] dan bukan pula ahlulbaitku melainkan Bani Hasyim)’.
Para ahli syarah ilmu hadits, termasuk Al-manawi dan lain-lain menjelaskan makna hadits tersebut sebagai berikut: ‘Bencana yang menimpa mereka merupakan pertanda akan datangnya hari kiamat, sebab hari kiamat akan tejadi akibat perbuatan manusia-manusia jahat, sedangkan para keluarga keturunan Rasulallah saw. adalah (keturunan) orang-orang baik’.
Menanggapi penjelasan Al-Manawi tersebut An-Nabhani mengatakan: ‘Rasanya penjelasan Al-manawi itu dapat dijadikan tafsir bagi hadits tersebut di atas, bahkan lebih baik daripada penafsiran kami. Dengan demikian maka teranglah bahwa penafsiran Turmudzi tidak dapat diterima, yaitu penafsiran yang mengartikan dzurriyatu (keturunan) Rasulallah saw. dengan abdal (orang-orang keramat) sebagai mana yang terdapat didalam hadits di atas dari Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra.’.
An-Nabhani menyanggah pernyataan Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Bagaimana bisa dibayangkan bahwa dengan lenyapnya ahlulbait dari muka bumi ini maka tidak akan ada lagi seorangpun dari ummat Muhammad yang tinggal? Padahal jumlah ummat Muhammad jauh lebih banyak dan Allah selalu melindungi mereka dengan berkah dan rahmat-Nya!
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada halangan dan tidak ada salahnya jika orang membayangkan hal sedemikian itu. Lebih-lebih karena Rasulallah saw. sendiri telah menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlulbaitku’. Hadits ini merupakan salah satu petunjuk tentang rahmat yang dilimpahkan Allah swt. kepada keluarga dan keturunan Rasulallah saw.’.
An-Nabhani menyanggah penafsiran Imam Turmudzi tentang hadits yang mengatakan: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebab dan nasabku’. An-Nabhani berkata: ‘Kata putus (dalam hadits ini) tidak berarti kepunahan atau kebinasaan keturunan Rasulallah saw.. Itu hanya dikhususkan pada saat terjadinya hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits-hadits shohih. Kata putus juga berarti nasab (silsilah) tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah swt. dalam surat Al-Mu’minun: 101: ‘Maka tiada lagi hubungan nasab diantara mereka pada hari itu’. Hanya Rasulallah saw. sajalah yang memperoleh pengecualian (kekhususan) dalam hal sebab (melalui pernikahan) dan dalam hal nasab (melalui ke- turunan). Bagi beliau saw. kemanfaatan sebab dan nasab tetap berkesinambungan baik di dunia mau pun diakhirat. Hal itu diperkuat (dalam hadits lainnya) oleh Rasulallah saw. yang diucapkan dari atas mimbar: ‘Mengapa sampai ada orang-orang yang mengatakan, bahwa kekerabatan Rasulallah saw. tidak bermanfaat pada hari kiamat? Ya (pasti)..kekerabatanku berkesinambungan didunia dan akhirat’.
Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib bukan merupakan syarat bagi keselamatan ummat Muhammad saw. dan bukan pula merupakan orang-orang yang akan mengakibatkan lenyapnya dunia bila mereka lenyap’.
An-Nabhani menjawab: ‘Yang diartikan mereka itu syarat bagi keselamatan ummat ini, bahkan penghuni bumi ini, ialah bahwa dengan masih adanya mereka didunia berarti saat kepunahan dunia ini belum tiba. Bila mereka telah punah, maka penghuni bumi ini akan menyaksikan apa yang telah dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an tentang tibanya hari kiamat dan kepunahan dunia ini’.
Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Diantara mereka (keturunan Rasulallah saw.) juga terdapat kerusakan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan-golongan dan ada pula yang berlaku buruk. Jadi, bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi?’.
An-Nabhani menjawab: ‘Mereka (keturunan Rasulallah saw.) menjadi syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ini bukan karena amal kebajikan mereka, melainkan karena mereka itu adalah unsur suci kenabian yaitu suatu anugerah yang dikhususkan Allah bagi mereka sejak asal. Mereka dianugerahi keistemewaan itu ialah Rahmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka sebagai anggota-anggota ahlulbait Rasulallah saw.. Di tengah-tengah mereka Allah menurunkan wahyu-Nya. Dalam hal-hal seperti itu mereka tidak mungkin dapat disamakan dengan orang lain (selain anggota ahlulbait)’.
Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Dibumi ini ada yang lebih mulia daripada keturunan Rasulallah saw. yaitu Al-Qur’an, sekali pun hal itu tidak disebut dalam hadits yang bersangkutan’.
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada keharusan bagi Rasulallah saw. untuk menyebut didalam sebuah hadits (tentang) kemuliaan anak cucu keturunan beliau bersama-sama dengan kemuliaan Al-Qur’an, walau pun jelas bahwa kemuliaan Kitabullah Al-Qur’an jauh lebih besar daripada kemuliaan keturunan Rasulallah saw. Walaupun hal itu bukan merupakan keharusan, namun beliau menyebut kedua-duanya itu dalam hadits Tsaqalain (mengenai hadits-hadits ini baca halaman sebelumnya). Lagi pula diantara ahlulbait Rasulallah saw. tidak ada seorang pun yang mengaku dirinya lebih mulia atau sejajar dengan Kitabullah, dan mereka pun tidak beranggapan bahwa kemuliaan Kitabullah itu disebabkan adanya keistemewaan yang ada pada diri mereka (ahlulbait)’.
Kitabullah menjelang hari kiamat pun akan diangkat. Ibnu Mas’ud ra. mengatakan: “Bacalah Al-Qur’an sebelum diangkat! Hari kiamat akan terjadi dekat sebelum Al-Qur’an diangkat’! Seorang sahabat bertanya: ‘Hai Abu ‘Abdurrahman (panggilan Ibnu Mas’ud), bagai- manakah arti Kitabullah akan diangkat, padahal itu telah menetap didalam dada dan dilembaran-lembaran mushaf kita’? Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Kitabullah memang tetap didalam dada, tetapi tidak diingat dan dibaca orang’ “.
Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Mas’ud tidak berkata menurut pendapatnya sendiri, karena persoalan itu berada diluar pikiran orang. Dari keterangannya itu jelaslah bahwa Kitabullah menjadi syarat bagi keselamatan ummat manusia. Selama Kitabullah masih berada ditengah-tengah ummat manusia, dunia ini tidak akan dimusnahkan Allah. Mengenai keturunan suci Rasulallah saw. tidak boleh diberi penilaian lebih dari apa yang telah kami terangkan”.

Mengenai penegasan Imam Turmudzi bahwa ‘kemuliaan hanya ada pada para ahli taqwa’ berdasarkan dalil sebuah hadits yang meriwayatkan kedatangan Rasulallah saw. di kediaman (Siti) Fathimah ra. disaat Shafiyyah (bibi beliau) berada ditempat itu, kemudian Rasulallah saw. bersabda: “Hai Bani ‘Abdu Manaf, hai Bani ‘Abdul Mutthalib, hai Fathimah binti Muhammad, hai Shofiyyah…....dan seterusnya(silahkan baca hadits terdahulu)”.
An-Nabhani memberi tanggapan atas penegasan Imam Turmudzi ini sebagai berikut: Mengenai soal itu Al-Muhib Ath-Thabrani telah memberikan jawaban meyakinkan, yang kemudian dikutip oleh Al-Manawi dalam kitab Al-Kabir dan oleh Ash-Shabban dalam kitab Is’afur-Raghibin. Jawaban tersebut mengatakan: “Benarlah bahwa Rasulallah saw. tidak mempunyai apa-apa yang (bisa) mendatang- kan manfaat dan madharat (yang telah ditimpakan oleh Allah swt.) bagi orang lain, hanya Allah sajalah yang memiliki hal itu. Namun, dengan kekuasaan-Nya Allah membuat Rasul-Nya bermanfaat bagi kaum kerabatnya, bahkan bagi semua ummatnya, berupa syafa’at khusus dan umum. Beliau saw. tidak mempunyai suatu apa pun selain yang dikaruniakan Allah kepadanya, yaitu seperti yang di tunjukkan oleh sebuah hadits Al-Bukhori mengenai sabda beliau: ‘Kalian yang pria maupun yang wanita mempunyai hubungan silaturrohmi (denganku), yang akan kusambung hubungannya…’. Demikian pula makna ucapan Rasulallah saw.: ‘Dihadirat Allah aku tidak berguna apa pun bagi kalian’ .
Maknanya (hadits itu) ialah: ‘Kalau hanya diriku sendiri tanpa anugerah syafa’at dan ampunan yang dilimpahkan Allah kepadaku, aku tidak dapat memberikan manfaat apa pun kepada kalian ‘. Rasulallah saw menyatakan demikian itu untuk memperingatkan mereka agar banyak-banyak berbuat kebajikan, dan agar mereka memperoleh rahmat Allah karena kebesaran takwanya masing-masing”.
Ash-Shabban mengatakan: “Konon hadits tersebut di atas diucapkan oleh Rasulallah saw. sebelum beliau diberitahu Allah mengenai manfaatnya bernasab kepada beliau. Akan tetapi tampaknya bahasa Arab kurang membantu At-Turmudzi dalam menafsirkan hadits-hadits tentang ahlulbait. Adakah orang yang mengartikan ahlulbait dengan orang-orang keramat (abdal)? Demi Allah tidak ada! Tidak ada seorang pun yang mendengar kata ahlulbait ku dari Rasulallah saw. lalu ia memahaminya dengan makna selain ahlulbait yang bernasab kepada beliau saw. Memang hanya itu sajalah makna ahlulbaitku dalam bahasa Arab, bahasa beliau saw.sendiri!!
Mengenai orang-orang keramat, kemanfaatan mereka bagi kita, atau mengenai ketinggian derajat mereka dan dekatnya mereka itu dengan Allah dan Rasul-Nya, tak ada seorang Muslim pun yang meragukannya. Namun orang-orang keramat itu sendiri tentu merasa tidak senang jika diberi perhiasan yang diambilkan dari keluarga atau dari keturunan orang yang paling mereka cintai, yaitu Rasulallah saw.. Saya yakin demikian kata Ash-Shabban lebih jauh bahwa Imam Al-Hakim At-Turmudzi sendiri termasuk salah seorang keramat terkemuka. Karena itu saya berani memastikan bahwa uraiannya (mengenai ahlulbait) yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:
Pertama; dan ini yang paling besar kemungkinannya tulisan tersebut di- palsukan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlulbait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain….
Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan (sampai-sampai mengkultuskan) ahlulbait Rasul- Allah saw., sehingga mereka sesat karena tidak mau mempercayai kejujuran para sahabat Nabi saw. terutama Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dan ‘Umar Ibnul Khattab ra.. Dengan uraiannya itu mungkin Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus-rumus kalimat yang dipergunakan olehnya. Kecaman itu dituangkan olehnya dalam uraian mengenai ahlulbait, tetapi bersamaan dengan itu ia tetap mencintai Ahlulbait dan memberikan penilaian yang baik serta tetap mengakui kemuliaan dan keistemewaan mereka (ahlul-bait)”. Demikianlah jawaban An-Nabhani tentang penafsiran At-Turmudzi mengenai Ahlulbait/keturunan Rasulallah saw..
 Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiyyah memberi tanggapan atas penafsiran Imam Turmudzi tentang makna hadits tsaqalain sebagai berikut: “Dua kalimat hadits tsaqalain yang menyatakan; ‘Dua-dua-nya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh, dan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya kalian tidak akan sesat’, tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulallah saw. saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau saw., baik yang awam mau pun yang khawash, yang menjadi imam maupun yang tidak.
Pernyataan Rasulallah saw. yang menegaskan; ‘Dua-dua-nya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’, tidak mengandung makna, bahwa mereka (keluarga Nabi saw.) itu harus sanggup melaksanakan semua ketentuan yang telah ditetapkan dalam Kitabullah, sehingga Turmudzi mengatakan, bahwa diantara mereka itu ada orang-orang berbuat buruk atau orang yang amalan baiknya bercampur aduk dengan amalan buruknya..’ dan seterusnya. Pernyataan Rasulallah saw. itu adalah dorongan supaya orang menghormati mereka, dan merupakan berita menggembirakan bahwa mereka itu tidak akan meninggalkan agama Islam (wafat dalam kekafiran) hingga saat mereka memasuki surga (haudh) dengan selamat. Itulah makna pernyataan Rasulallah saw. bahwa mereka itu tidak akan berpisah dari Kitabullah hingga saat mereka kembali kepada beliau di surga kelak….
Sebagaimana telah saya katakan, makna ‘noda’ atau ‘kotoran’ (arrijsa) dalam ayat (Al-Ahzab:33) tersebut di atas, mencakup segala macam dosa dan kesalahan lainnya, dan yang paling buruk ialah ‘kufur’ (mati dalam kekafiran). Orang-orang dari keluarga keturunan Rasulallah saw.adalah orang-orang yang telah disucikan langsung oleh Allah swt., dalam hal keteguhan berpegang pada agama Islam mereka itu tidak akan goyah atau tergelincir.. (tidak sampai wafat dalam kekafiran).
Mungkin orang ingin berkata kepada kami: ‘Dalil itu tidak dapat diterima oleh Turmudzi, karena ia berpendapat bahwa surat Al-Ahzab:33 ditujukan khusus kepada para isteri Rasulallah saw…. Kami menjawab: Benar, sekali pun ia berpendapat seperti itu, namun telah nyata terdapat pembuktian kuat, bahwasanya Rasulallah saw. pernah memanggil ‘Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum–, kemudian beliau saw. membacakan surat Al-Ahzab:33…
Turmudzi sendiri dalam penjelasannya mengatakan, bahwa ‘keturunan mereka (ahlul-bait) memang termasuk dalam lingkungan ahlul-bait, karena itu mereka adalah orang-orang shafwah (suci)’. Dikatakan juga olehnya: ‘ Hal itu dilakukan oleh Rasulallah saw. setelah ayat 33 S. Al-Ahzab turun, karena beliau saw. ingin memasukkan mereka kedalam makna ayat tersebut’.
Dengan keterangan seperti ini berarti Turmudzi sendiri yakin bahwa Rasulallah saw. pernah memanggil Ali bin Abi Thalib, (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– dan mereka telah memenuhi panggilan beliau itu dan mendengarkan beliau saw. membacakan ayat tersebut didepan mereka. Dengan demikian jelaslah, bahwa mereka termasuk dalam makna ayat tersebut. Jadi, pada hakikatnya keterangan Turmudzi itu sama dengan pendapat para ulama yang lain (yaitui orang lima ini termasuk yang di maksud dalam surat Al-Ahzab:33).
Mengenai tidak akan terpisahnya mereka (keluarga keturunan Rasulallah saw.) dari Kitabullah, bermakna bahwa mereka itu tidak akan menyeleweng (keluar) dari agama Islam hingga saat mereka kembali kepada Rasulallah saw. di surga. Makna tersebut diperkuat dalil- nya oleh Firman Allah dalam surat Adh-Dhuha:5: ‘Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau (Muhammad) menjadi puas”.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya yang dikutip dari Ibnu ‘Abbas ra., mengatakan: ‘Kepuasan Muhammad Rasulallah saw. ialah karena tidak ada seorang pun dari ahlubaitnya yang akan masuk neraka’. Dalil-dalil hadits mengenai hal itu banyak sekali, antara lain sabda Rasulallah saw.:
“Fathimah telah sungguh-sungguh menjaga kesucian dirinya. Karena itu ia dan keturunannya dihindarkan Allah dari siksa neraka”. (Al-Hakim menegaskan bahwa hadits ini shohih)
Dalil hadits lainnya berasal dari ‘Imran bin Hashin ra.. Ia mengatakan bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda: “Aku telah mohon kepada Tuhanku supaya tidak memasukkan seorang pun dari keluargaku (ahlubaitku) ke dalam neraka, dan Dia mengabulkan per- mohonanku “.
Penafsiran Imam Turmudzi bahwa ‘hadits tsaqalain hanya berlaku bagi para Imam dan orang-orang terkemuka dari golongan Ahlulbait’, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan riwayat hadits yang berasal dari Zaid bin Arqam, yaitu: “….Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang….. dan ahlu-baitku… dan seterusnya (baca nash hadits tsaqalain pada halaman sebelumnya)”. Dari hadits ini kita dapat mengetahui bahwa Rasulallah saw. pertama-pertama mengkhususkan pesan beliau supaya kaum muslimin berpegang teguh pada petunjuk dan hidayat Kitabullah Al-Qur’anul-Karim. Hikmah mengenai hal itu beliau menyebutnya dengan kata-kata ‘didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang’. Setelah itu barulah beliau menyebut ahlul-bait (keluarga keturunan) dengan ucapan “kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu- baitku”.
Pesan beliau itu diucapkan dua kali untuk lebih menekankan perlunya memelihara hak-hak mereka sebagai keluarga keturunan beliau saw. Dalam pesan beliau itu samasekali tidak terdapat pengistemewaan yang seseorang daripada yang lain diantara semua keluarga ahlul-bait. Jelaslah kiranya, bahwa yang dimaksud dengan keluarga keturunan Rasulallah saw. atau ahlul-bait ialah mereka semua yang diharamkan menerima shodaqah atau zakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Arqam dalam hadits Tsaqalain. Oleh Rasulallah saw. mereka itu disebut secara ber-iringan dengan penyebutan Kitabullah. Sudah pasti itu bermaksud menghormati ke dudukan mereka, dan untuk menekankan wasiat beliau agar hak-hak mereka dipelihara sebaik-baiknya oleh kaum muslimin.
Ibnu Taimiyyah merasa aneh dan heran mengenai uraian imam Turmudzi yaitu kalimat yang berbunyi: ‘Apabila orang-orang yang tidak seunsur atau se asal keturunan dengan mereka (keluarga keturunan ahlulbait) benar-benar menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam, maka kita pun wajib berteladan kepada mereka, sama seperti kita berteladan kepada orang-orang (imam-imam) ter- kemuka yang berasal keturunan Rasulallah saw.’.
Perumusan Turmudzi kalimat seperti itu oleh Ibnu Taimiyyah dianggap menarik garis persamaan antara keluarga keturunan Rasulallah saw. dan orang-orang dari unsur lain yang bukan keluarga keturunan Rasulallah saw. Jadi, tidak ada keistemewaan apa pun pada orang-orang keturunan Rasulallah saw. Yang dipandang oleh Turmudzi sebagai ciri istemewa ialah ‘kedalaman ilmu’ yang ada pada orang-orang keluarga keturunan Rasulallah saw. Dengan demikian maka yang diartikan ‘itrah’ dan ‘ahlul-bait’ (dalam hadits Nabi saw.) menurut Turmudzi bukan lain hanyalah para ulama, para Imam dan para ahli Fiqih dikalangan ummah Islam! Benarkah itu yang di maksud oleh Rasulallah? Tentu Tidak!
Yang dimaksud oleh Rasulallah saw. ialah keluarga keturunan dan kaum kerabat, tidak pandang apakah mereka itu Imam, ulama atau bukan. Mengenai para ahli Fiqih, para ulama dan para Imam, mereka itu memang teladan bagi ummat Islam dan merupakan pelita yang menerangi kegelapan. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa mereka itu keluarga keturunan Rasulallah saw. Para ulama, para ahli fiqih dan para Imam itu justru orang-orang yang paling pertama berkewajiban mengindahkan wasiat Nabi saw. yakni secara umum mereka itu wajib menghormati kedudukan dan memelihara hak-hak keluarga keturunan Rasulallah saw. dengan sebaik-baiknya". Demikianlah sanggahan Ibnu Taimiyyah atas pendapat Imam Turmudzi.
Para ulama antara lain Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhammad dan Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiy menyanggah pendapat Imam Turmudzi tersebut di atas yang membatasi makna keluarga keturun- an Rasulallah saw. dalam hadits-hadits beliau saw. antara lain dalam Hadits Tsaqalain dan hadits Safinah.
Apa yang dikatakan Imam Turmudzi dalam Nawadirul-Ushul itu perlu di hargai, tetapi sayangnya beliau ini tidak mengemukakan hujjah atau dalil bahwa yang dimaksud oleh Rasulallah saw. dalam hadits Tsaqalain, hadits Safinah itu ialah sebagaimana yang beliau kemukakan tadi! Imam Turmudzi ini membatasi makna itrah (keluarga keturunan) yang terdapat dalam kalimat hadits tsaqalain, hanya kepada para pemuka atau Imam-imam yang terdiri dari keturunan Rasulallah saw. saja. Penafsiran Imam Turmudzi mengenai makna hadits tsaqalain dan hadits lainnya hanya berdasarkan pemikiran beliau sendiri dari segi dan istilah bahasa atau dari bidang ilmu atau ketaqwaan. Padahal kalau kita teliti dan baca banyak wasiat Rasulallah saw. dalam hadits-hadits shohih mengenai ahlulbait dan keturunannya umpama dalam hadits-hadits yang telah dikemukakan tadi, disitu beliau saw. menegaskan agar ummatnya meng- hormati, memuliakan dan mendahulukan semua ahlul-bait dan keturunannya, tidak memandang apakah diantara mereka ini seorang imam atau awam, ada yang baik atau ada yang buruk, karena di dalam hadits-hadits itu tidak adanya pembatasan yang hanya berlaku untuk para imam, para ahli taqwa dari ahlul-baitnya.
Para imam yang menyanggah pendapat Imam Turmudzi merasa heran dan belum percaya kalau hal itu diucapkan oleh Imam Turmudzi sendiri karena tidak sejalan dengan makna ayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai ‘Itrah ahlul-bait beliau saw. Maka dari itu Ash-Shabban sendiri berani mengatakan uraian Imam Al-Hakim At-Turmudzi yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:
Pertama; dan ini yang paling besar kemungkinannya tulisan tersebut di- palsukan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlul- bait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al- ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain….
Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan sampai-sampai mengkultuskan ahlulbait Rasulallah saw.. Dengan uraiannya itu mungkin Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus kalimat yang dipergunakan olehnya!!
Lepas dari penafsiran di atas, jelas Allah swt. dalam firman-firmanNya untuk ahlulbait Rasulallah saw. (Al-Ahzab: 33 dan lain-lain) dan untuk para sahabat beliau saw. (Al-Fath:18, At-Taubah:100 dan lain-lain) tentang kemuliaan dan penilaian tinggi yang diberikan oleh Allah swt. kepada mereka ini. Namun sebagai sesama manusia, para ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw. ada- lah sama dengan para sahabat Nabi saw. dan keturunannya (bisa berbuat kesalahan). Mereka ini bisa saja berbuat suatu kekeliruan atau terkena dosa karena bukan orang-orang ma’shum yakni yang terpelihara dari kemungkin- an berbuat kekeliruan. Orang-orang yang ma’shum menurut ahlus sunnah wal jama’ah hanyalah para Nabi dan Rasul, sebagai pembawa syari’at Ilahi dan hukum-hukum-Nya untuk di sampaikan kepada ummat manusia.
Betapa pun tingginya martabat, keutamaan (fadha’il) dan ketakwaan mereka (keluarga keturunan Nabi saw. dan para sahabat), sebagai manusia mereka tetap menghadapi kemungkinan berbuat kekeliruan. Namun secara khusus bagi ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw., atas berkah dan kepemurahan Allah swt. mereka itu memperoleh ampunan atas kekeliruan dan kesalahan yang mungkin mereka perbuat. Allah swt. memelihara mereka ini dari cacad cela yang dapat merendahkan kedudukan atau kemuliaan mereka. Bisa saja terjadi suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang sahabat yang tidak menyenangkan ahlulbait Rasulallah saw. dan sebaliknya. Hal itu bukan merupakan kejadian aneh, karena setiap manusia dapat saja berbuat kekeliruan dan kesalahan, apalagi mereka itu bukan orang-orang yang ma’shum (dihindarkan dari dosa).
Kita kaum muslimin wajib mencintai dua golongan tersebut ahlulbait, ke turunan Nabi saw. khususnya dan para sahabat Nabi saw. agar kita Insya Allah dapat memperoleh kebajikan didunia dan akhirat. Kita wajib memandang mereka semua dengan sikap yang adil, mengingat jasa-jasa yang telah mereka berikan kepada agama Islam dan kepada ummat Islam. Pandangan kita terhadap mereka semua harus bertitik tolak pada keinginan memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kita harus menjauhkan dari hati dan pikiran kecenderungan nafsu berpihak kepada yang satu dan mengecam yang lain. Orang yang berpikiran sehat tidak akan membiarkan diri- nya tercekam oleh pikiran dan perasaan yang tidak selaras dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw..
Dalil-dalil atau hujjah-hujjah baik yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits mau pun contoh-contoh yang telah diberikan oleh para sahabat Nabi saw. dan para Imam sebagian telah tercantum dibab ini kiranya cukup meyakinkan bagi setiap muslim yang men- dambakan keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Setiap muslim, apa pun madzhab dan aliran yang dianutnya, tentu menyadari bahwa hakikat ajaran agama Islam ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, taat kepada kedua-duanya dan patuh melaksanakan semua perintahnya.
Berbicara tentang keridhoan Allah dan Rasul-Nya, yang pokok pertama ada- lah keridhoan Allah, sedang keridhoan Rasulallah saw. adalah kesinambungan dari keridhoan Allah swt. Tiap perbuatan yang diridhoi Allah pasti diridhoi oleh Rasul-Nya, tiap perbuatan yang dimurkai Allah pasti di murkai pula oleh Rasul-Nya. Demikian juga sebaliknya, Allah ridho terhadap apa yang diridhoi oleh Rasul-Nya, dan murka terhadap apa yang dimurkai oleh Rasul-Nya. Jadi kedua-duanya tidak dapat dipisahkan! Tidak mungkin seorang beiman taat melaksanakan perintah Allah tanpa melaksanakan perintah Rasul-Nya, dan tidak mungkin pula orang taat melaksanakan perintah Rasulallah saw. tanpa mentaati perintah Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’anul Karim antara lain:
“Barangsiapa taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah” (An-Nisa:80). Dan firman-Nya: “..Dan Allah beserta Rasul-Nya itulah yang lebih berhak di dambakan keridhoan-Nya”.(An-Nisa:136). Masih banyak lagi ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat di atas ini.
Jadi, sekali pun yang terpokok adalah iman kepada Allah swt, namun iman kepada Rasul-Nya sama sekali tidak boleh dipisahkan dari iman kepada Allah. Atas dasar ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulallah saw. itu menurut pengertian yang benar harus menjaga kehormatan dan memelihara hak-hak semua ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw. sebagai mana yang beliau saw. wasiatkan dalam hadits Tsaqalain dan lain-lainnya. Itu merupakan kewajiban ummat Islam dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya!!
Insya Allah buat pembaca sudah jelas dengan adanya firman Allah swt., hadits-hadits dan wejangan para ulama-ulama pakar tadi yang membuktikan dan mengakui bahwa keturunan Nabi saw. itu masih tetap ada sampai akhir zaman. Riwayat-riwayat tersebut di atas diperkuat oleh perawi-perawi yang bisa dipercaya. Dengan demikian cukuplah jelas bagi kita bahwa Itratur-Rasul (keturunan Rasulallah saw.) akan senantiasa berada ditengah ummat manusia sepanjang masa selama Allah swt. menghendakinya hingga hari kiamat kelak. Juga dengan berdasarkan hadits-hadits tesebut di atas dan hadits berikut ini  “Kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan: Kitabullah sebagai tali yang terbentang antara langit dan bumi, dan keturunanku ahlulbaitku. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh” menunjukkan dan menerangkan dengan jelas adanya kaitan antara Kitabullah Al-Qur'anul-Karim dengan keturunan dan ahlu-bait beliau saw.. Pertama, adalah kaitan kelestarian bersama antara yang satu dengan yang lain yakni antara Kitabullah dan 'ithrah (keturunan, ahlu-bait) Rasulallah saw. Kedua, kaitan antara Kitabullah dan keturunan beliau saw. yang kedua-duanya akan kembali (pertanggungjawabannya) kepada Rasulallah saw. di akhirat kelak. Kaitan ini begitu erat sehingga beliau saw. menyatakan ' tidak akan berpisah' hingga saat kedua-duanya kembali kepada beliau di surga yakni hingga hari kiamat kelak.
Dengan perkataan lain adalah: “Selama Al-Qur'an masih terdapat di muka bumi (tertulis maupun terhafal) selama itu pula 'ithrah (keturunan) Rasulallah saw. akan tetap ada di dunia, dan sebaliknya: Selama masih terdapat keturunan Rasulallah saw. dimuka bumi ini, Kitabullah Al-Qur'an akan tetap ada di dunia”! (Silahkan baca kembali hadits-hadits Tsaqalain, Safinah dan lainnya serta uraian ulama pakar pada halaman sebelumnya)
Akan sia-sialah golongan pengingkar atau penuduh yang mengatakan bahwa keturunan Nabi saw. sudah punah/putus dan belum konkrit, omongan mereka ini sama sekali tidak didasari oleh dalilwalaupun hanya satu dalil tidak lain hanya berdasarkan kedengkian dan kehasutan terhadap keturunan yang mulia tersebut yang dikaruniakan oleh Allah swt. Saya berlindung pada Allah swt. atas kebohongan golongan pengingkar ini. Wallahu a’lam.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar