Jumat, 13 Desember 2013

Siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah?

Siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah?
A. Definisi Dan Sejarah Penamaan Ahlussunnah
Dalam tinjauan bahasa kata Ahlussunnah Wal Jama’ah tersusun dari tiga kata;
Ahl, as-Sunnah, dan al-Jamâ’ah. Kata Ahl dalam pengertian bahasa adalah keluarga, golongan atau komunitas. Salah seorang pakar bahasa, al-Imâm Ar-Raghib al- Ashbahani dalam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân mengatakan bahwa penggunaan kata Ahl biasa dipakai pada perkumpulan beberapa orang yang mungkin disatukan oleh satu keturunan, satu agama, satu pekerjaan, satu rumah, satu negara, atau perkumpulan apapun. Namun pada dasarnya, dalam bahasa Arab jika dikatakan “Ahl ar-Rajul”,
maka yang dimaksud adalah bahwa orang tersebut adalah bagian dari anggota
keluarga yang sama-sama berasal dari satu tempat atau satu rumah.
Sementara kata Ahl dalam pemaknaan yang lebih khusus adalah dalam
pengertian nasab atau keturunan, seperti bila dikatakan “Ahl Bayt ar-Rajul”, maka yang dimasud adalah bahwa orang tersebut adalah bagian dari anggota yang berasal dari satu keturunan. Adapun penggunaan secara mutlak, seperti bila dikatakan “Ahl al-Bayt”, maka yang dimaksud adalah khusus keluarga Rasulullah dan keturunannya.
Penyebutan secara mutlak semacam ini seperti dalam firman Allah:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (الأحزاب: 33
Maknanya: “Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan dari
kalian wahai Ahl al-Bayt akan syirik (kufur) dan untuk mencucikan kalian” (QS. Al Ahzab: 33).
Kata Ahl al-Bayt yang dimaksud dalam ayat ini adalah keluarga Rasulullah; artinya bahwa Allah secara khusus membersihkan keluarga Rasulullah dari syirik dan kufur1. Kata as-Sunnah dalam tinjauan bahasa memiliki beberapa arti. Dalam al-Qâmûs al-Muhîth, al-Imâm al-Fairuzabadi menuliskan beberapa maknanya. Kata as-Sunnah, -- dengan di-zhammah-kan pada huruf sin-nya--, di antara maknanya; wajah atau muka al-Wajh), bulatan wajah (Dâ-irah al-Wajh), bentuk wajah (Shûrah al-Wajh), kening (al- Jab-hah), perjalanan hidup (as-Sîrah), tabi’at (ath-Thabî’ah), jalan menuju Madinah, dan
hukum-hukum Allah; artinya segala perintah dan larangan-Nya (Hukmullâh). Al-Imâm Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqin menyebutkan bahwa di antara makna as-Sunnah dalam pengertian bahasa adalah jalan yang ditapaki (ath- Tharîqah al-Maslûkah).
Demikian pula kata as-Sunnah dalam pengertian syari’at juga memiliki ragam
 definisi, di antaranya; as-Sunnah dalam makna sejarah hidup Rasulullah dan ajaran-ajarannya, as-Sunnah dalam makna hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah; dari segala perkataannya, perbuatannya, ketetapannya, ataupun sifat-sifat pribadinya; baik sifat dalam makna gambaran fisik atau dalam makna akhlak-akhlak-nya, dan as- Sunnah dalam makna sesuatu yang apa bila dilakukan maka pelakunya akan mendapatkan pahala, namun bila ditinggalkan tidak berdosa.
Sementara kata al-Jamâ’ah dalam tinjauan bahasa adalah perkumpulan sesuatu
yang terdiri dari tiga anggota atau lebih, seperti bila dikatakan dalam bahasa Arab “Jamâ’ah an-Nâs” maka artinya perkumpulan manusia yang terdiri dari tiga orang atau lebih, atau bila dikatakan “Jamâ’ah ath-Thuyûr” maka artinya perkumpulan burungburung yang terdiri dari tiga ekor atau lebih lebih.
Demikian pula al-Jamâ’ah dalam pengertian syari’at memiliki ragam definisi, di
antaranya; al-Jamâ’ah dalam makna seseorang yang melaksanakan shalat yang
mengikatkan dan mengikutkan shalatnya tersebut kepada shalat orang lain, dengan syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu; yaitu shalat jama’ah. Al-Jamâ’ah bisa dalam makna perkumpulan orang-orang Islam di bawah satu pemimpin atau seorang Imam yang telah sah dibai’at oleh Ahl al-Hilli Wa al-‘Aqdi dengan syarat-syarat tertentu.
Makna ini sebagaimana dalam sebuah hadits Rasulullah bahwa siapa yang keluar dari al-Jamâ’ah dan memberontak kepada Imam, -setelah sah Imam tersebut diangkat-, kemudian orang tersebut meninggal dalam keadaannya tersebut, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah. Artinya mati dengan membawa dosa besar. (HR. Muslim).
Adapun definisi Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam pengertian terminologis
adalah para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dalam
mengikuti ajaran-ajaran mereka.
Tarik menarik seputar siapakah yang berhak disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah
terus memanas, terlebih di akhir zaman ini. Hal ini terjadi karena hanya Ahlussunnah satu-satunya kelompok yang dijamin keselamatannya oleh Rasulullah. 
Kelompok siapapun tidak ingin dicap sebagai kelompok sesat dan akan masuk neraka karena berseberangan dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Namun kebenaran tidak hanya dinilai dari klaim atau penampilan zahir semata. Orang-orang Yahudi mengklaim bahwa mereka adalah Sya’b Allâh al-Mukhtâr (kaum pilihan Allah) dan orang-orang Nasrani mengaku sebagai anak-anak dan para kekasih Allah. Lalu apakah dengan hanya klaim semata kemudian pengakuan mereka dibenarkan? Tentu tidak, karena
faktanya mereka telah menyimpang jauh dari ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Demikian pula halnya dengan kaum Khawarij, yang secara zahir mereka adalah
kaum yang sangat rajin dalam melaksanakan berbagai bentuk ibadah kepada Allah, bahkan seperti yang disebutkan dalam beberapa riwayat hadits, amalan shalat atau puasa para sahabat Rasulullah dibanding dengan shalat dan puasa kaum Khawarij tersebut dari segi kuantitas sangatlah sedikit, namun demikian Rasulullah justru mengatakan bahwa seandainya beliau bertemu dengan kaum Khawarij tersebut maka beliau akan memerangi mereka. Hal ini karena faham akidah kaum Khawarij berseberangan dengan akidah Islam yang benar, berseberangan dengan akidah yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Di antara akidah sesat Kaum Khawarij, adalah mereka
mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib karena menurut mereka beliau tidak
menerapkan hukum Islam. Karenanya, di antara doktrin mendasar dari akidah kaum Khawarij adalah pengkafiran secara mutlak terhadap siapapun yang tidak
memberlakukan hukum-hukum Allah. Dari mulai bentuk instistusi kecil seperti
sebuah keluarga, hingga institusi besar seperti negara, bila tidak memakai hukum-hukum Allah, maka semua orang yang terlibat di dalamnya menurut mereka adalah orang-orang kafir. Dan karena itu pula di antara ajaran kaum Khawarij ini adalah bahwa setiap orang Islam yang melakukan dosa besar maka ia telah menjadi kafir, keluar dari Islam.
Dengan demikian klaim kelompok-kelompok yang mengaku Ahlussunnah
tidak mutlak dibenarkan, terlebih apa bila mereka tidak memegang teguh ajaran Ahussunnah itu sendiri dan jauh dari dari ciri-cirinya. Sebuah klaim tidak dapat dibenarkan jika hanya slogan atau label semata, terlebih lagi bila menyangkut akidah.
Ahlussunnah memiliki karakteristik tersendiri yang telah disepakati di kalangan
mereka. Kelompok yang memiliki karakteristik inilah yang benar-benar berhak
disebut dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Kelompok Ahlussunnah Wal Jama’ah ini adalah kelompok mayoritas umat
Rasulullah dari masa ke masa. Dalam sebuah hadits Rasulullah mengatakan bahwa mayoritas umatnya ini tidak akan berkumpul di dalam kesesatan. Dengan demikian golongan ini mendapat jaminan keselamatan dari Rasulullah, yang karenanya Ahlussunnah Wal Jama’ah ini disebut dengan sebutan al-Firqah an-Nâjiyah.

  • B. Ahlussunnah Adalah Kelompok Mayoritas
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
وَإنّ هذِه الِملّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الجَنّةِ وهيَ
اَِلجَمَاعَة (رَواه

أبُو دَاوُ)
Maknanya: “Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan,
72 di antaranya di dalam neraka, dan hanya satu di dalam surga yaitu al-Jama’ah”. (HR. Abu Dawud).
Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari semenjak abad
permulaan, terutama pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib, hingga sekarang ini
terdapat banyak golongan (firqah) dalam masalah akidah. Faham akidah yang satu sama lainnya sangat berbeda dan bahkan saling bertentangan. Ini adalah fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Karenanya, Rasulullah sendiri sebagaimana dalam hadits di atas telah menyebutkan bahwa umatnya ini akan terpecah-belah hingga 73 golongan.
Semua ini tentunya dengan kehendak Allah, dengan berbagai hikmah terkandung di dalamnya, walaupun kita tidak mengetahui secara pasti akan hikmah-hikmah di balik itu. Wa Allâh A’lam.
Namun demikian, Rasulullah juga telah menjelaskan jalan yang selamat yang
harus kita tempuh agar tidak terjerumus di dalam kesesatan. Kunci keselamatan tersebut adalah dengan mengikuti apa yang telah diyakini oleh al-Jamâ’ah, artinya keyakinan yang telah dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam. Karena Allah sendiri telah menjanjikan kepada Nabi bahwa umatnya ini tidak akan tersesat selama
mereka berpegang tegung terhadap apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka.
Allah tidak akan mengumpulkan mereka semua di dalam kesesatan. Kesesatan hanya akan menimpa mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas.
Mayoritas umat Rasulullah, dari masa ke masa dan antar generasi ke generasi
adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat Rasulullah dan orangorang sesudah mereka yang mengikuti jejak para sahabat tersebut dalam meyakini dasar-dasar akidah (Ushûl al-I’tiqâd). Walaupun generasi pasca sahabat ini dari segi kualitas ibadah sangat jauh tertinggal di banding para sahabat Rasulullah itu sendiri,
namun selama mereka meyakini apa yang diyakini para sahabat tersebut maka
mereka tetap sebagai kaum Ahlussunnah.
Dasar-dasar keimanan adalah meyakini pokok-pokok iman yang enam (Ushûl al- Imâm as-Sittah) dengan segala tuntutan-tuntutan yang ada di dalamnya. Pokok-pokok iman yang enam ini adalah sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang dikenal dengan hadist Jibril:
الإيْمَانُ أنْ تؤُْمِنَ باللهِ وَمَلائِكَتهِ وَكُتُبهِ وَرُسُلهِ وَاليَوم الآخِر وَالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ (روَاهُ البُخَاري وَمُسْلم)
Maknanya: “Iman adalah engkau percaya dengan Allah, para Malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, serta beriman dengan ketentuan
(Qadar) Allah; yang baik maupun yang buruk” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Pengertian al-Jamâ’ah yang telah disebutkan dalam hadits riwayat al-Imâm Abu
Dawud di atas yang berarti mayoritas umat Rasulullah, yang kemudian dikenal
dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah, telah disebutkan dengan sangat jelas oleh
Rasulullah dalam haditsnya, sebagai berikut:
أُوْصِيْكُمْ بأصْحَابِي ثمّ الّذِيْنَ يلَُوْنهَُمْ ثمّ الّذِيْنَ يلَُوْنهَُمْ، (وفيْه): عَلَيْكُمْ بالجَمَاعَةِ وَإيّاكُمْ وَالفُرْقَةَ فَإنّ
الشّيْطاَنَ مَعَ الوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاثْنَيْنِ أبْعَد، فَمَنْ أرَادَ بُحْبُوْحَةَ الجَْنّةِ فَلْيَلْزَمِ الجَْمَاعَةَ (رَواهُ التّرمِذيّ وَقالَ حسَنٌ

صَحيْحٌ، وصَحّحَه الحَاكِم)
Maknanya: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku,
kemudian orang-orang yang datang sesudah mereka, kemudian orang-orang yang datang sesudah mereka”. Dan termasuk dalam rangkaian hadits ini: “Hendaklah kalian berpegang kepada mayoritas (al-Jamâ’ah) dan jauhilah perpecahan, karena setan akan menyertai orang yang menyendiri. Dia (Setan) dari dua orang akan lebih jauh. Maka barangsiapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh kepada (keyakinan) al-Jamâ’ah”. (HR. at-Tirmidzi. Ia berkata: Hadits ini Hasan Shahih. Hadits ini juga dishahihkan oleh al-Imâm al-Hakim).
Kata al-Jamâ’ah dalam hadits di atas tidak boleh diartikan dengan orang-orang
yang selalu melaksanakan shalat berjama’ah, juga bukan jama’ah masjid tertentu, atau juga bukan dalam pengertian para ulama hadits saja. Karena pemaknaan semacam itu tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini, juga karena bertentangan dengan kandungan hadits-hadits lainnya. Konteks pembicaraan hadits ini jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jamâ’ah adalah mayoritas umar Rasulullah dari segi jumlah. Penafsiran ini diperkuat pula oleh hadits riwayat al-Imâm Abu Dawud di atas. Sebuah hadits dengan kualitas Shahih Masyhur. Hadits riwayat Abu Dawud tersebut diriwayatkan oleh lebih dari sepuluh orang sahabat Rasulullah.
Hadits ini memberikan kesaksian akan kebenaran apa yang dipegang teguh oleh
mayoritas umat Nabi Muhammad, bukan kebenaran firqah-firqah yang menyempal.
Dari segi jumlah, firqah-firqah sempalan 72 golongan yang diklaim Rasulullah akan masuk neraka seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud ini, adalah kelompok yang sangat kecil dibanding pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Kemudian di kalangan Ahlussunnah dikenal istilah “Ulama Salaf”; mereka
adalah orang-orang terbaik dari kalangan Ahlussunnah yang hidup pada tiga abad pertama tahun hijriah. Tentang para ulama Salaf ini, Rasulullah bersabda:
خَيْرُ القُرُوْنِ قَرْنِيْ ثُمَّ الّذِيْنَ يلَُوْنهَُمْ ثُمَّ الّذِيْنَ يلَُوْنهَُمْ (رَوَاهُ التّرمِذِيّ
Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abad-ku (periode sahabat Rasulullah),
kemudian abad sesudah mereka (periode Tabi’in), dan kemudian abad sesudah
mereka (periode Tabi’i at-Tabi’in)” (HR. at-Tirmidzi).

  • C. Ahlussunnah Adalah Kaum Asy’ariyyah Dan Maturidiyyah

Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah menuliskan bahwa produk-produk
hukum yang berkembang dalam disiplin ilmu fiqih yang digali dari berbagai dalildalil syari’at menghasilkan banyak perbedaan pendapat antara satu imam mujtahid dengan lainnya. Perbedaan pendapat di antara mereka tentu disebabkan banyak alasan, baik karena perbedaan pemahaman terhadap teks-teks yang tidak sharîh, maupun karena adanya perbedaan konteks. Demikian maka perbedaan pendapat dalam produk hukum ini sesuatu yang tidak dapat dihindari. Namun demikian, setiap produk hukum yang berbeda-beda ini selama dihasilkan dari tangan seorang
ahli ijtihad (Mujtahid Muthlak) maka semuanya dapat dijadikan sandaran dan rujukan bagi siapapun yang tidak mencapai derajat mujtahid, dan dengan demikian masalahmasalah hukum dalam agama ini menjadi sangat luas. Bagi kita, para ahli taqlîd;
orang-orang yang tidak mencapai derajat mujtahid, memiliki keluasan untuk
mengikuti siapapun dari para ulama mujtahid tersebut.
Dari sekian banyak imam mujtahid, yang secara formulatif dibukukan hasilhasil
ijtihadnya dan hingga kini madzhab-madzhabnya masih dianggap eksis hanya
terbatas kepada Imam madzhab yang empat saja, yaitu; al-Imâm Abu Hanifah an- Nu’man ibn Tsabit al-Kufy (w 150 H) sebagai perintis madzhab Hanafi, al-Imâm Malik ibn Anas (w 179 H) sebagai perintis madzhab Maliki, al-Imâm Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H) sebagai perintis madzhab Syafi’i, dan al-Imâm Ahmad ibn Hanbal (w 241 H) sebagai perintis madzhab Hanbali. Sudah barang tentu para Imam mujtahid yang empat ini memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni hingga mereka memiliki otoritas untuk mengambil intisari-intisari hukum yang tidak ada penyebutannya secara sharîh, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits Rasulullah. Selain dalam masalah fiqih (Furû’iyyah), dalam masalah-masalah akidah (Ushûliyyah) para Imam mujtahid yang empat ini adalah Imam-Imam teolog terkemuka (al-Mutakllimûn) yang menjadi rujukan utama dalam segala persoalan
teologi. Demikian pula dalam masalah hadits dengan segala aspeknya, mereka
merupakan tumpuan dalam segala rincinan dan berbagai seluk-beluknya (al-
Muhadditsûn). Lalu dalam masalah tasawwuf yang titik konsentrasinya adalah
pendidikan dan pensucian ruhani (Ishlâh al-A’mâl al-Qalbiyyah, atau Tazkiyah an-Nafs),
para ulama mujtahid yang empat tersebut adalah orang-orang terkemuka di
dalamnya (ash-Shûfiyyah). Kompetensi para Imam madzhab yang empat ini dalam berbagai disiplin ilmu agama telah benar-benar ditulis dengan tinta emas dalam berbagai karya tentang biografi mereka.
Pada periode Imam madzhab yang empat ini kebutuhan kepada penjelasan
masalah-masalah fiqih sangat urgen dibanding lainnya. Karena itu konsentrasi
keilmuan yang menjadi fokus perhatian pada saat itu adalah disiplin ilmu fiqih.
Namun demikian bukan berarti kebutuhan terhadap Ilmu Tauhid tidak urgen, tetap hal itu juga menjadi kajian pokok di dalam pengajaran ilmu-ilmu syari’at, hanya saja saat itu pemikiran-pemikiran ahli bid’ah dalam masalah-masalah akidah belum terlalu banyak menyebar. Benar, saat itu sudah ada kelompok-kelompok sempalan dari para ahli bid’ah, namun penyebarannya masih sangat terbatas. Dengan demikian kebutuhan terhadap kajian atas faham-faham ahli bid’ah dan pemberantasannya belum sampai kepada keharusan melakukan kodifikasi secara rinci terhadap segala permasalahan akidah Ahlussunnah. Namun begitu, ada beberapa karya teologi Ahlussunnah yang telah ditulis oleh beberapa Imam madzhab yang empat, seperti al- Imâm Abu Hanifah yang telah menulis lima risalah teologi; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risâlah,
al-Fiqh al-Absath, al-‘Âlim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah, juga al-Imâm asy-Syafi’i yang telah menulis beberapa karya teologi. Benar, perkembangan kodifikasi terhadap Ilmu Kalam saat itu belum sesemarak pasca para Imam madzhab yang empat itu sendiri.
Seiring dengan semakin menyebarnya berbagai penyimpangan dalam masalahmasalah akidah, terutama setelah lewat paruh kedua tahun ke tiga hijriyah, yaitu pada sekitar tahun 260 hijriyah, yang hal ini ditandai dengan menjamurnya firqahfirqah dalam Islam, maka kebutuhan terhadap pembahasan akidah Ahlussunnah secara rinci menjadi sangat urgen. Pada periode ini para ulama dari kalangan empat madzhab mulai banyak membukukan penjelasan-penjelasan akidah Ahlussunnah secara rinci hingga kemudian datang dua Imam agung; al-Imâm Abu al-Hasan al-As’yari (w 324 H) dan al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H). Kegigihan dua Imam agung ini dalam membela akidah Ahlussunnah, terutama dalam membantah faham rancu kaum Mu’tazilah yang saat itu cukup mendapat tempat, menjadikan keduanya sebagai Imam terkemuka bagi kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kedua Imam agung ini tidak datang dengan membawa faham atau ajaran yang baru, keduanya hanya melakukan penjelasan-penjelasan secara rinci terhadap keyakinan yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya ditambah dengan argumenargumen rasional dalam mambantah faham-faham di luar ajaran Rasulullah itu sendiri. Yang pertama, yaitu al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, menapakan jalan madzhabnya di atas madzhab al-Imâm asy-Syafi’i. Sementara yang kedua, al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi menapakan madzhabnya di atas madzhab al-Imâm Abu Hanifah. Di kemudian hari kedua madzhab Imam agung ini dan para pengikutnya dikenal sebagai al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah.
Penamaan Ahl as-Sunnah adalah untuk memberikan pemahaman bahwa kaum
ini adalah kaum yang memegang teguh ajaran-ajaran Rasulullah, dan penamaan al- Jamâ’ah untuk menunjukan para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka di mana kaum ini sebagai kelompok terbesar dari umat Rasulullah. Dengan penamaan ini maka menjadai terbedakan antara faham yang benar-benar sesuai ajaran Rasulullah dengan faham-faham firqah sesat seperti Mu’tazilah (Qadariyyah), Jahmiyyah, dan lainnya. Akidah Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah sebagai akidah Ahlussunnah dalam hal ini adalah keyakinan mayoritas umat Islam dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Termasuk dalam golongan Ahlussunnah ini adalah para
ulama dari kalangan ahli hadits (al-Muhadditsûn), ulama kalangan ahli fiqih (al-
Fuqahâ), dan para ulama dari kalangan ahli tasawuf (ash-Shûfiyyah).
Penyebutan Ahlusunnah dalam dua kelompok ini (Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah) bukan berarti bahwa mereka berbeda satu dengan lainnya, tapi
keduanya tetap berada di dalam satu golongan yang sama. Karena jalan yang telah ditempuh oleh al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imâm Abu Mansur al-Maturidi di dalam pokok-pokok akidah adalah jalan yang sama. Perbedaan yang terjadi di antara Asy’ariyyah dan Maturidiyyah adalah hanya dalam masalah-masalah cabang akidah saja (Furû’ al-‘Aqîdah), yang hal tersebut tidak menjadikan kedua kelompok ini saling menghujat atau saling menyesatkan satu atas lainnya. Contoh perbedaan tersebut, prihal apakah Rasulullah melihat Allah saat peristiwa Mi’raj atau tidak?
Sebagian sahabat, seperti Aisyah, Abdullah ibn Mas’ud mengatakan bahwa ketika itu Rasulullah tidak melihat Allah. Sedangkan sahabat lainnya, seperti Abdullah ibn Abbas mengatakan bahwa ketika itu Rasulullah melihat Allah dengan mata hatinya.
Dalam pendapat Abdullah ibn Abbas; Allah telah memberikan kemampuan kepada hati Rasulullah untuk dapat melihat-Nya. Perbedaan Furû’ al-‘Aqîdah semacam inilah yang terjadi antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah, sebagaimana perbedaan tersebut telah terjadi di kalangan sahabat Rasulullah. Kesimpulannya, kedua kelompok ini masih tetap berada dalam satu ikatan al-Jamâ’ah, dan kedua kelompok ini adalah kelompok mayoritas umat Rasulullah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang disebut dengan al-Firqah an-Nâjiyah, artinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat.

  • D. Pernyataan Ulama Tentang Kebenaran Akidah Asy’ariyyah Sebagai Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Sesungguhnya al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imâm Abu Manshur al-
Maturidi tidak datang dengan membawa ajaran atau faham baru. Keduanya hanya menetapkan dan menguatkan segala permasalahan-pemasalahan akidah yang telah menjadi keyakinan para ulama Salaf sebelumnya. Artinya, keduanya hanya memperjuangkan apa yang telah diyakini oleh para sahabat Rasulullah. Al-Imâm Abu al-Hasan memperjuangkan teks-teks dan segala permasalahan yang telah berkembang dan ditetapkan di dalam madzhab asy-Syafi’i, sementara al-Imâm Abu Manshur memperjuangkan teks-teks dan segala permasalahan yang telah berkembang dan ditetapkan di dalam madzhab Hanafi. Dalam perjuangannya, kedua Imam agung ini melakukan bantahan-bantahan dengan berbagai argumen rasional yang didasarkan kepada teks-teks syari’at terhadap berbagai faham firqah yang menyalahi apa yang
telah digariskan oleh Rasulullah. Pada dasarnya, perjuangan semacam ini adalah merupakan jihad hakiki, karena benar-benar memperjuangkan ajaran-ajaran
Rasulullah dan menjaga kemurnian dan kesuciannya. Para ulama membagi jihad kepada dua macam. Pertama; Jihad dengan senjata (Jihâd Bi as-Silâh), kedua; Jihad dengan argumen (Jihâd Bi al-Lisân).
Dengan demikian, mereka yang bergabung dalam barisan al-Imâm al-Asy’ari
dan al-Imâm al-Maturidi pada dasarnya melakukan pembelaan dan jihad dalam
mempertahankan apa yang telah diyakini kebenarannya oleh para ulama Salaf
terdahulu. Dari sini kemudian setiap orang yang mengikuti langkah kedua Imam
besar ini dikenal sebagai sebagai al-Asy’ari dan sebagai al-Maturidi.
Al-Imâm Tajuddin as-Subki (w 771 H) dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah mengutip
perkataan al-Imâm al-Ma’ayirqi; seorang ulama terkemuka dalam madzhab Maliki,
menuliskan sebagai berikut:“Sesungguhnya al-Imâm Abu al-Hasan bukan satu-satunya orang yang pertama kali berbicara membela Ahlussunnah. Beliau hanya mengikuti dan memperkuat jejak orang-orang terkemuka sebelumnya dalam pembelaan terhadap madzhab yang sangat mashur ini. Dan karena beliau ini maka madzhab Ahlussunnah menjadi bertambah kuat dan jelas. Sama sekali beliau tidak membuat pernyataanpernyataan yang baru, atau membuat madzhab baru.
Sebagaimana telah engkau ketahui, bahwa madzhab para penduduk Madinah
adalah madzhab yang dinisbatkan kepada al-Imâm Malik, dan siapapun yang
mengikuti madzhab penduduk Madinah ini kemudian disebut seorang yang
bermadzhab Maliki (Mâliki). Sebenaranya al-Imâm Malik tidak membuat ajaran
baru, beliau hanya mengikuti ajaran-ajaran para ulama sebelumnya. Hanya saja
dengan adanya al-Imâm Malik ini, ajaran-ajaran tersebut menjadi sangat formulatif, sangat jelas dan gamblang, hingga kemudian ajaran-ajaran tersebut dikenal sebagai madzhab Maliki, karena disandarkan kepada nama beliau sendiri.
Demikian pula yang terjadi dengan al-Imâm Abu al-Hasan. Beliau hanya
memformulasikan dan menjelaskan dengan rincian-rincian dalil tentang segala apa yang di masa Salaf sebelumnya belum diungkapkan.
Kemudian al-Imâm Tajuddin as-Subki juga menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Malikiyyah (orang-orang yang bermadzhab Maliki) adalah orang-orang
yang sangat kuat memegang teguh akidah Asy’ariyyah. Yang kami tahu tidak ada seorangpun yang bermadzhab Maliki kecuali ia pasti seorang yang berakidah Asy’ari. Sementara dalam madzhab lain (selain Maliki), yang kami tahu, ada beberapa kelompok yang keluar dari madzhab Ahlussunnah ke madzhab Mu’tazilah atau madzhab Musyabbihah. Namun demikian, mereka yang menyimpang dan sesat ini adalah firqah-firqah kecil yang sama sekali tidak berpengaruh”.Masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin as-Subki juga menuliskan sebagai berikut:
“Aku telah mendengar dari ayahku sendiri, asy-Syaikh al-Imâm (Taqiyuddin as-
Subki) berkata bahwa risalah akidah yang telah ditulis oleh Abu Ja’far ath-
Thahawi (akidah Ahlussunnah yang dikenal dengan al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah)
persis sama berisi keyakinan yang diyakini oleh al-Asy’ari, kecuali dalam tiga
perkara saja. Aku (Tajuddin as-Subki) katakan: Abu Ja’far ath-Thahawi wafat di
Mesir pada tahun 321 H, dengan demikian beliau hidup semasa dengan Abu al-
Hasan al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H). Dan saya
tahu persis bahwa orang-orang pengikut madzhab Maliki semuanya adalah kaum Asy’ariyyah, tidak terkecuali seorangpun dari mereka. Demikian pula dengan para pengikut madzhab asy-Syafi’i, kebanyakan mereka adalah kaum Asy’ariyyah, kecuali beberapa orang saja yang ikut kepada madzhab Musyabbihah atau madzhab Mu’tazilah yang telah disesatkan oleh Allah. Demikian pula dengan kaum Hanafiyyah, kebanyakan mereka adalah orang-orang Asy’ariyyah, sedikitpun mereka tidak keluar dari madzhab ini kecuali beberapa saja yang mengikuti madzhab Mu’tazilah. Lalu, dengan kaum Hanabilah (para pengikut madzhab Hanbali), orang-orang terdahulu dan yang terkemuka di dalam madzhab ini adalah juga kaum Asy’ariyyah, sedikitpun mereka tidak keluar dari madzhab ini kecuali orang-orang yang mengikuti madzhab Musyabbihah Mujassimah. Dan yang mengikuti madzhab Musyabbihah Mujassimah dari orang-orang madzhab Hanbali ini lebih banyak dibanding dari para pengikut madzhab lainnya.
Al-Imâm al-Izz ibn Abd as-Salam mengatakan bahwa sesungguhnya akidah
Asy’ariyyah telah disepakati (Ijmâ’) kebenarannya oleh para ulama dari kalangan madzhab asy-Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi, dan orang-orang terkemuka dari kalangan madzhab Hanbali. Kesepakatan (Ijmâ’) ini telah dikemukan oleh para ulama terkemuka di masanya, di antaranya oleh pemimpin ulama madzhab Maliki di zamannya; yaitu al-Imâm Amr ibn al-Hajib, dan oleh pemimpin ulama madzhab Hanafi di masanya; yaitu al-Imâm Jamaluddin al-Hashiri. Demikian pula Ijma’ ini telah dinyatakan oleh para Imam terkemuka dari madzhab asy-Syafi’i, di antaranya oleh al-Hâfizh al-Mujtahid al-Imâm Taqiyyuddin as-Subki, sebagaimana hal ini telah telah dikutip pula oleh putra beliau sendiri, yaitu al-Imâm Tajuddin as-Subki.
Salah seorang ulama besar dan sangat terkemuka di masanya, yaitu al-Imâm
Abu al-Abbas al-Hanafi; yang dikenal dengan sebutan Qadli al-Askari, adalah salah seorang Imam terkemuka di kalangan ulama madzhab Hanafi dan merupakan Imam terdahulu dan sangat senior hingga menjadi rujukan dalam disiplin Ilmu Kalam. 
Di antara pernyataan Qadli al-Askari yang dikutip oleh al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî adalah sebagai berikut:“Saya menemukan kitab-kitab hasil karya Abu al-Hasan al-Asy’ari sangat banyak sekali dalam disiplin ilmu ini (Ilmu Usuluddin), hampir mencapai dua ratus karya, yang terbesar adalah karya yang mencakup ringkasan dari seluruh
apa yang beliau telah tuliskan. Di antara karya-karya tersebut banyak yang beliau tulis untuk meluruskan kesalahan madzhab Mu’tazilah. Memang pada awalnya beliau sendiri mengikuti faham Mu’tazilah, namun kemudian Allah memberikan pentunjuk kepada beliau tentang kesesatan-kesesatan mereka. Demikian pula beliau telah menulis beberapa karya untuk membatalkan tulisan beliau sendiri yang telah beliau tulis dalam menguatkan madzhab Mu’tazilah terhadulu.
Di atas jejak Abu al-Hasan ini kemudian banyak para pengikut madzhab asy-Syafi’i yang menapakkan kakinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya para ulama pengikut madzhab asy-Syafi’i yang kemudian menulis banyak karya teologi di atas jalan rumusan Abu al-Hasan.
Al-Imâm al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam pasal ke
dua pada Kitab Qawâ-id al-‘Aqâ-id dalam kitab Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, menuliskan sebagai berikut: “Jika disebut nama Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah kaum Asy’ariyyah dan kaum Maturidiyyah.
Asy-Syaikh Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H) dalam kitab Hâsyiyah Radd al-
Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, menuliskan: “Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah kaum Asy’ariyyah dan Maturidiyyah”.
Asy-Syaikh al-Khayali dalam kitab Hâsyiyah ‘Alâ Syarh al-‘Aqâ’id menuliskan
sebagai berikut: “Kaum Asy’ariyyah adalah kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Madzhab ini sangat mashur di wilayah Khurrasan (Iran), Irak, Syam (Siria, Lebanon, Yordania, dan Pelestina), dan di berbagai penjuru dunia. Adapun di wilayah seberang sungai Jaihun (Bilâd Mâ Warâ’ an-Nahr) Ahlussunnah lebih dikenal sebagai kaum al- Maturidiyyah; para pengikut al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi”.
Asy-Syaikh al-Kastuli al-Hanafi (w 901 H) juga dalam kitab Hasyiah ‘Alâ Syarh al- ‘Aqâ-id menuliskan:
“Yang dikenal sangat mashur sebagai Ahlussunnah di wilayah Khurrasan, Irak,
Syam, dan di berbagai penjuru dunia adalah kaum Asy’ariyyah; para pengikut al- Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Beliau adalah orang yang pertama kali menentang faham-faham Ali al-Jubba’i (pemuka kaum Mu’tazilah) dan keluar dari madzhabnya. Al-Imâm al-Asy’ari kemudian kembali kepada jalan sunnah, jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah, setelah sebelumnya ikut faham al-Jubba’i.
Dan maksud dari al-Jama’ah adalah para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka. Adapun di wilayah seberang sungai Jaihun, Ahlussunnah lebih dikenal sebagai kaum al-Maturidiyyah, para pengikut al-Imâm Abu Manshur al- Maturidi. Perbedaan antara keduanya hanya dalam beberapa masalah saja yang bukan dalam masalah-masalah prinsip. Karena itu kedua kelompok ini tidak pernah saling menyesatkan satu sama lainnya hanya karena perbedaan tersebut”.
Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam kitab Syarh ‘Aqîdah Ibn al-Hâjib menuliskan
sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa Ahlussunnah telah sepakat di atas satu keyakinan tentang
perkara-perkara yang wajib (al-Wâjibât), perkara-perkara yang boleh (al-Jâ-izât), dan perkara-perkara yang mustahil (al-Mustahilât), sekalipun ada beberapa perbedaan di antara mereka dalam hal metodologi untuk mencapai perkara yang telah disepakati tersebut.
Secara garis besar Ahlussunnah ini berasal dari tiga kelompok. Pertama; Ahl al-
Hadîts, yaitu para ulama terkemuka yang bersandar kepada al-Kitab dan as-
Sunnah dengan jalan Ijma’. Kedua; Ahl an-Nazhar al-‘Aqlyy Wa ash-Shinâ’ah al-
Fikriyyah, yaitu para ulama terkemuka yang dalam memahami teks-teks syari’at
banyak mempergunakan metode-metode logika, -dengan batasan-batasannya-.
Kelompok kedua ini adalah kaum al-Asy’ariyyah dan al-Hanafiyyah. Pemuka
kaum Asy’ariyyah adalah al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari dan pemuka kaum
Hanafiyyah adalah al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi. Kedua kelompok ini
semuanya sepakat dalam berbagai permasalahan pokok akidah. Ketiga; Ahl al-
Wujdân Wa al-Kasyf, yaitu para ulama ahli tasawuf. Metodologi yang dipakai
kelompok ketiga ini pada permulaannya adalah dengan menyatukan antara dua
metodologi Ahl al-Hadîts dan Ahl an-Nazhar, dan pada puncaknya dengan jalan
kasyaf dan ilham”.
Al-‘Ârif Billâh al-Imâm as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad (w 1132 H),
Shâhib ar-Râtib, dalam karyanya berjudul Risâlah al-Mu’âwanah menuliskan sebagai berikut:
“Hendaklah engkau memperbaiki akidahmu dengan keyakinan yang benar
dan meluruskannya di atas jalan kelompok yang selamat (al-Firqah an-Nâjiyah).
Kelompok yang selamat ini di antara kelompok-kelompok dalam Islam adalah
dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah kelompok
yang memegang teguh ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Dan engkau apa
bila berfikir dengan pemahaman yang lurus dan dengan hati yang bersih dalam
melihat teks-teks al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah yang menjelaskan dasar-dasar
keimanan, serta melihat kepada keyakinan dan perjalanan hidup para ulama Salaf saleh dari para sahabat Rasulullah dan para Tabi’in, maka engkau akan
mengetahui dan meyakini bahwa kebenaran akidah adalah bersama kelompok
yang dinamakan dengan al-Asy’ariyyah, golongan yang namanya dinisbatkan
kepada asy-Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari -Semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya-. Beliau adalah orang yang telah menyusun dasar-dasar akidah Ahl al-Haq dan telah memformulasikan dalil-dalil akidah tersebut. Itulah akidah yang disepakati kebenarannya oleh para sahabat Rasulullah dan orang-orang sesudah mereka dari kaum tabi’in terkemuka. Itulah akidah Ahl al-Haq setiap genarasi di setiap zaman dan di setiap tempat. Itulah pula akidah yang telah diyakini kebenarannya oleh para ahli tasawwuf sebagaimana telah dinyatakan oleh Abu alQasim al-Qusyairi dalam pembukaan Risâlah-nya (ar-Risâlah al-Qusyairiyyah).
Itulah pula akidah yang telah kami yakini kebenarannya, serta merupakan akidah seluruh keluarga Rasulullah yang dikenal dengan as-Sâdah al-Husainiyyîn, yang dikenal pula dengan keluarga Abi Alawi (Al Abî ‘Alawi). Itulah pula akidah yang telah diyakini oleh kakek-kakek kami terdahulu dari semenjak zaman Rasulullah hingga hari ini. Adalah al-Imâm al-Muhâjir yang merupakan pucuk keturunan dari as-Sâdah al-Husainiyyîn, yaitu as-Sayyid asy-Syaikh Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali Ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq -semoga ridla Allah selalu tercurah atas mereka semua-, ketika beliau melihat bermunculan berbagai faham bid’ah dan telah menyebarnya berbagai faham sesat di Irak maka beliau segera hijrah dari wilayah tersebut. Beliau berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lainnya, dan Allah menjadikannya seorang yang memberikan manfa’at di tempat manapun yang beliau pijak, hingga akhirnya beliau sampai di tanah Hadramaut Yaman dan
menetap di sana hingga beliau meninggal. Allah telah menjadikan orang-orang
dari keturunannya sebagai orang-orang banyak memiliki berkah, hingga sangat
banyak orang yang berasal dari keturunannya dikenal sebagai orang-orang ahli
ilmu, ahli ibadah, para wali Allah dan orang-orang ahli ma’rifat. Sedikitpun tidak
menimpa atas semua keturunan Imam agung ini sesuatu yang telah menimpa
sebagian keturunan Rasulullah dari faham-faham bid’ah dan mengikuti hawa
nafsu yang menyesatkan. Ini semua tidak lain adalah merupakah berkah dari
keikhlasan al-Imâm al-Muhâjir Ahmad ibn Isa dalam menyebarkan ilmu-ilmunya, yang karena untuk tujuan itu beliau rela berpindah dari satu tempat ke tampat yang lain untuk menghindari berbagai fitnah. Semoga Allah membalas baginya dari kita semua dengan segala balasan termulia, seperti paling mulianya sebuah balasan dari seorang anak bagi orang tuanya. Semoga Allah mengangkat derajat dan kemulian beliau bersama orang terdahulu dari kakek-kakeknya, hingga Allah menempatkan mereka semua ditempat yang tinggi. 
Juga semoga kita semua dipertemukan oleh Allah dengan mereka dalam segala kebaikan dengan tanpa sedikitpun dari kita terkena fitnah. Sesungguhnya Allah maha pengasih. 
Dan ketahuilah bahwa akidah al-Maturidiyyah adalah akidah yang sama dengan
akidah al-Asy’ariyyah dalam segala hal yang telah kita sebutkan”7.
Al-Imâm al-‘Allâmah as-Sayyid Abbdullah Alydrus al-Akbar, dalam karyanya
berjudul ‘Uqûd al-Almâs menuliskan: “Akidahku adalah akidah Asy’ariyyah
Hasyimiyyah Syar’iyyah sebagaimana akidah para ulama madzhab Syafi’i dan kaum Ahlussunnah Shufiyyah”.
Al-Imâm Abu Nashr Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi,
salah seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah, berkata:
شَيْئَانِ مَنْ يَعذلُنِي فِيْهِمَا ... فَهُوَ عَلَى التَّحْقِيْقِ مِنّي بَرِي

حُبُّ أبِي بَكْرٍ إمَامِ الهدَُى ... وَاعْتِقَادِيْ مَذْهَبَ الأشْعَرِيّ
“Ada dua perkara, apa bila ada orang yang menyalahiku di dalam keduanya,
maka secara nyata orang tersebut terbebas dari diriku (bukan golonganku).
(Pertama); Mencintai sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai Imâm al-Hudâ (Imam pembawa petunjuk), dan (kedua), adalah keyakinanku di dalam madzhab al- Asy’ari”.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn ‘Asakir dalam kitab Tabyin Kadzib al-Muftari
menuliskan:
“Tidak mungkin bagiku untuk menghitung bintang di langit, karenanya aku
tidak akan mampu untuk menyebutkan seluruh ulama Ahlussunnah di atas
madzhab al-Asy’ari ini; dari mereka yang telah terdahulu dan dalam setiap
masanya, mereka berada di berbagai negeri dan kota, mereka menyebar di setiap pelosok, dari wilayah Maghrib (Maroko), Syam (Siria, lebanon, Palestin, dan Yordania), Khurrasan dan Irak”.
Al-Muhaddits al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari al-Habasyi (w 1430 H)
dalam banyak karyanya menuliskan syair sebagai berikut:
البَيْهَقِيُّ أشْعَرِيّ المعْتَقَدْ ُ
... وَابْنُ عَسَاكِرِ الإمَامِ المعْتَمَدْ ُ
قَدْ كَانَ أفْضَلَ المحَدِّثِيْنَ ُ
ا ... فِيْ عَصْرِهِ بِالشَّامِ أجمَْعِيْنَا
كَذَلِكَ الْغَازِيْ صَلاَحُ الدِيْنِ ... مَنْ كَسَرَ الكُفَّارَ أهْلَ الميْنَِ
جمُْهُوْرُ هذي الأمةِ الأشَاعِرَة ... حُجَجُهُمْ قَوِيّةٌ وَسَافِرَة
أئمَِّةٌ أكَابِرٌ أخْيَارُ ... لمَْ يُحْصِهِمْ بِعَدَدٍ دَيَّارُ
قُوْلُوا لِمَنْ يَذُمُّ الأشْعَرِيَّة ... نِحْلَتُكُمْ بَاطِلَةٌ رَدِّيةّ
والماتُرِيْدِيّةُ
ََ مَعْهُمْ فِي الأصُوْل ... وَإِنّمَا الخِلاَفُ فِي بعَْضِ الفُصُوْل
فهَؤلاَءِ الفِرْقَةُ النَّاجِيَة ... عُمْدَتهُُمُ السُّنة الماَضِيَة
قَدْ جمََعُوا الإثبَاتَ وَالتّنْزِيْهَا ... وَنفََوْا التّعْطِيْلَ وَالتّشْبِيْهَا
فَالأشْعَرِيُّ مَاتُرِيْدِيٌّ وَقُلْ ... الماتُرِيْدِيْ َ

أشْعَرِيٌّ لاَ تبَُلْ
(al-Hâfizh) al-Bayhaqi adalah seorang yang berkeyakinan Asy’ari, demikian
pula (al-Hâfizh) Ibn Asakir; seorang Imam yang menjadi sandaran.
Dia (al-Hâfizh Ibn Asakir) adalah seorang ahli hadits yang paling utama di
masanya di seluruh daratan Syam (sekarang Siria, Lebanon, Yordania, dan
Palestina).
Demikian pula panglima Shalahuddin al-Ayyubi berakidah Asy’ari; dialah
orang yang telah menghancurkan tentara kafir yang zhalim (Membebaskan
Palestina dari tentara Salib).
Mayoritas umat ini adalah Asy’ariyyah, argumen-argumen mereka sangat kuat
dan sangat jelas.
Mereka adalah para Imam, para ulama terkemuka, dan orang-orang pilihan,
yang jumlah mereka tidak dapat dihitung.
Katakan oleh kalian terhadap mereka yang mencaci-maki Asy’ariyyah:
“Kelompok kalian adalah kelompok batil dan tertolak”.
Dan al-Maturidiyyah sama dengan al-Asy’ariyyah di dalam pokok-pokok
akidah. Perbedaan antara keduanya hanya dalam beberapa pasal saja (yang tidak menjadikan keduanya saling menyesatkan).
Mereka adalah kelompok yang selamat. Sandaran mereka adalah Sunnah
Rasulullah terdahulu.
Mereka telah menyatukan antara Itsbat dan Tanzîh. Dan mereka telah
menafikan Ta’thil dan Tasybîh.
Maka seorang yang berfaham Asy’ari ia juga pastilah seorang berfaham
Maturidi. Dan katakan olehmu bahwa seorang Maturidi pastilah pula ia seorang
Asy’ari.
Dengan demikian akidah yang benar dan telah diyakni oleh para ulama Salaf
terdahulu adalah akidah yang diyakini oleh kelompok al-Asy’ariyyah dan al-
Maturidiyyah. Akidah Ahlussunnah ini adalah akidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam di seluruh penjuru dunia dari masa ke masa, dan antar generasi ke generasi. Di dalam fiqih mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi, dan orang-orang terkemuka dari madzhab Hanbali. Akidah Ahlussunnah inilah yang diajarkan hingga kini di pondok-pondok pesantren di negara kita, Indonesia. Dan akidah ini pula yang diyakini oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, di Indonesia, Malasiya, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al- Azhar yang giat mengajarkan akidah ini), negar-negara Syam (Siria, Yordania, Lebanon, dan Palestina), Maroko, Yaman, Irak, Turki, Dagestan, Checnya, Afganistan, dan negara-negara lainnya.

  • Bukti-Bukti Tekstual Kebenaran Akidah Asy’ariyyah Sebagai Akidah Ahlussunnah

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa di antara mukjizat Rasulullah adalah
beberapa perkara atau peristiwa yang beliau ungkapkan dalam hadits-haditsnya, baik peristiwa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Juga sebagaimana telah kita ketahui bahwa seluruh ucapan Rasulullah adalah wahyu dari Allah, artinya segala kalimat yang keluar dari mulut mulia beliau bukan semata-mata

timbul dari hawa nafsu. Dalam pada ini Allah berfirman:
4- وَمَا يَنطِقُ عَنِ الهْوََى إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى (النجم: 3
Maknanya: “Dan tidaklah dia -Muhammad- berkata-kata dari hawa nafsunya,
sesungguhnya tidak lain kata-katanya tersebut adalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya” (QS. An-Najm: 3-4)
Di antara pemberitaan Rasulullah yang merupakan salah satu mukjizat beliau
adalah sebuah hadits yang beliau sabdakan bahwa kelak dari keturunan Quraisy akan datang seorang alim besar yang ilmu-ilmunya akan tersebar diberbagai pelosok dunia, beliau bersabda:لاَ تَسُبُّوْا قُرَيْشًا فَإنّ عَالِمَهَا يَمْلَأُ طِبَاقَ الأرْضِ عِلْمًا (رواه أحمد
Maknanya: “Janganlah kalian mencaci Quraisy karena sesungguhnya -akan
datang- seorang alim dari keturunan Quraisy yang ilmunya akan memenuhi
seluruh pelosok bumi” (HR. Ahmad).
Terkait dengan sabda ini para ulama kemudian mencari siapakah yang
dimaksud oleh Rasulullah dalam haditsnya tersebut? Para Imam madzhab terkemuka yang ilmunya dan para muridnya serta para pengikutnya banyak tersebur paling tidak ada empat orang; al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik, al-Imâm asy-Syafi’i, dan al-Imâm Ahmad ibn Hanbal. Dari keempat Imam yang agung ini para ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadits Rasulullah di atas adalah al-Imâm asy-Syafi’i, sebab hanya beliau yang berasal dari keturunan Quraisy. Tentunya kesimpulan ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa madzhab al-Imâm asy-Syafi’i telah
benar-benar tersebar di berbagai belahan dunia Islam hingga sekarang ini.
يوُْشِكُ أنْ يَضْرِبَ النّاسُ ءَابَاطَ الإبِلِ فَلاَ يَجِدُوْنَ عَالِمًا أعْلَمُ مِنْ عَالِمِ الْمَدِيْنَة (رواه أحمد
Maknanya: “Hampir-hampir seluruh orang akan memukul punuk-punuk unta
(artinya mengadakan perjalan mencari seorang yang alim untuk belajar
kepadanya), dan ternyata mereka tidak mendapati seorangpun yang alim yang
lebih alim dari orang alim yang berada di Madinah”. (HR. Ahmad).
Para ulama menyimpulkan bahwa yang maksud oleh Rasulullah dalam haditsnya
ini tidak lain adalah al-Imâm Malik ibn Anas, perintis Madzhab Maliki; salah seorang guru al-Imâm asy-Syafi’i. Itu karena hanya al-Imâm Malik dari Imam madzhab yang empat yang menetap di Madinah, yang oleh karenanya beliau digelari dengan Imâm Dâr al-Hijrah (Imam Kota Madinah). Kapasitas keilmuan beliau tentu tidak disangsikan lagi, terbukti dengan eksisnya ajaran madzhab yang beliau rintis hingga sekarang ini.
Tentang al-Imâm Abu Hanifah, demikian pula terdapat dalil tekstual yang menurut sebagian ulama menunjukan bahwa beliau adalah sosok yang dimaksud oleh Rasulullah dalam sebuah

haditsnya, bahwa Rasulullah bersabda:
لَوْ كَانَ الْعِلْمُ مُعَلَّقًا بِالثّريَّا لَنَالَهُ رِجَالٌ مِنْ أبْنَاءِ فَارِسٍ (رَوَاهُ أحمَْدُ)
Maknanya: “Seandainya ilmu itu tergantung di atas bintang-bintang Tsurayya maka benar-benar ia akan diraih oleh orang-orang dari keturunan Persia” (HR. Ahmad).
Sebagian ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah al-Imâm Abu Hanifah, oleh karena hanya beliau di antara Imam mujtahid yang empat yang berasal dari daratan
Persia. Al-Imâm Abu Hanifah telah belajar langsung kepada tujuh orang sahabat Rasulullah dan kepada sembilan puluh tiga ulama terkemuka dari kalangan tabi’in. Tujuh orang sahabat Rasulullah tersebut adalah; Abu ath-Thufail Amir ibn Watsilah al-Kinani, Anas ibn Malik al-Anshari, Harmas
ibn Ziyad al-Bahili, Mahmud ibn Rabi’ al-Anshari, Mahmud ibn Labid al-Asyhali, Abdullah ibn Busyr al-Mazini, dan Abdullah ibn Abi al-Awfa al-Aslami.
Demikian pula dengan al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, para ulama kita menetapkan bahwa terdapat beberapa dalil tekstual yang menunjukan kebenaran akidah Asy’ariyyah. Ini menunjukan
bahwa rumusan akidah yang telah dibukukan oleh al-Imâm Abu al-Hasan sebagai akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; adalah keyakinan mayoritas umat Nabi Muhammad sebagai al-Firqah an- Nâjiyah; kelompok yang kelak di akhirat akan selamat kelak.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Mufatrî menuliskan satu bab yang ia namakan: “Bab beberapa riwayat dari Rasulullah tentang kabar gembira dengan kedatangan Abu Musa al-Asy’ari dan para penduduk Yaman yang merupakan isyarat dari Rasulullah secara langsung akan kedudukan ilmu Abu al-Hasan al-Asy’ari”. Bahkan kabar gembira tentang kebenaran akidah
Asy’ariyyah ini tidak hanya dalam beberapa hadits saja, tapi juga terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian hal ini merupakan bukti nyata sekaligus sebagai kabar gembira dari Rasulullah langsung bagi orang-orang pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Kita mulai bahasan materi ini dengan mengenal keutamaan sahabat Abu Musa al-Asy’ari yang merupakan moyang dari al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Bahwa terdapat banyak sekali hadits-hadits Rasulullah yang menceritakan keutamaan sahabat Abu Musa al-Asy’ari ini, beliau adalah salah seorang Ahl ash-Shuffah dari para sahabat Muhajirin yang mendedikasikan seluruh
waktunya hanya untuk menegakan ajaran Rasulullah. Sebelum kita membicarakan keutamaankeutamaan sahabat mulia ini ada beberapa catatan penting yang handak penulis ungkapkan dalam permulaan bahasan ini; adalah sebagai berikut:
Satu: Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî mengutip hadits mauqûf dengan sanad dari sahabat Hudzaifah ibn al-Yaman, bahwa ia (Hudzaifah) berkata:
صَلاَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تُدْرِكُ الرَّجُلَ وَوَلَدَهُ وَوَلَدَ وَلَدِهِ وَلِعَقِبِهِ (رواه ابن عساكر)
Maknanya: “Sesungguhnya keberkahan doa Rasulullah yang beliau peruntukan bagi seseorang tidak hanya mengenai orang tersebut saja, tapi juga mengenai anak-anak orang itu, cucu-cucunya, dan bahkan
seluruh orang dari keturunannya”. (HR Ibn Asakir)
Pernyataan sahabat Hudzaifah ini benar adanya, setidaknya al-Hâfizh Ibn Asakir mengutip hadits sahabat Hudzaifah ini dengan tiga jalur sanad yang berbeda. Sanad-sanad hadits tersebut menguatkan satu atas yang lainnya.
Dua: Sejalan dengan hadits mauqûf di atas terdapat sebuah hadits marfû’; artinya hadits yang langsung berasal dari pernyataan Rasulullah sendiri, yaitu hadits dari sahabat Abdullah ibn Abbas, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ لَيَرْفَعُ ذُرّيَّةَ الْمُؤْمِنِ إِلَيْهِ حَتَّى يلُْحِقَهُمْ بِهِ وَإِنْ كَانوُْا دُوْنَهُ فِي اْلعَمَلِ لِيَقِرَّ عَِِْيْنُهُ (رواه ابن عساكر
Maknanya: “Sesungguhnya Allah benar-benar akan mengangkat derajat keturunan-keturunan seorang mukmin hingga semua keturunan orang tersebut bertemu dengan orang itu sendiri. Sekalipun orang-orang keturunannya tersebut dari segi amalan jauh berada di bawah orang itu (moyang mereka),
agar supaya orang itu merasa gembira dengan keturunan-keturunannya tersebut” (HR. Ibn Asakir).
Setelah menyampaikan hadits ini kemudian Rasulullah membacakan firman Allah dalam QS.
ath-Thur: 21:Maknanya: ”Sesungguhnya mereka yang beriman dan seluruh keturunan mereka yang mengikutinya dalam keimanan akan kami Kami (Allah) pertemukan mereka itu (moyang-moyangnya) dengan seluruh
keturunannya” (QS. Ath-Thur: 21).
Hadits ini diriwayatkan oleh Huffâzh al-Hadîts, di antaranya selain oleh Ibn Asakir sendiri dengan sanad-nya dari sahabat Abdullah ibn Abbas, demikian pula diriwayatkan oleh al-Imâm Sufyan ats-Tsauri dari Amr ibn Murrah, hanya saja hadits dengan jalur sanad dari al-Imâm Sufyan ats-Tsauri tentang ini adalah mauqûf dari sahabat Abdullah ibn Abbas. Dalam pada ini, lanjutan
firman Allah dalam QS. ath-Thur: 21 di atas “... Wa Mâ Alatnâhum”, ditafsirkan oleh Ibn Abbas;Wa Mâ Naqashnâhum”, artinya tidak akan dikurangi dari mereka suatu apapun, atau bahwa mereka semua; antara moyang dan keturunan-keturunannya akan disejajarkan.
Tiga: Diriwayatkan pula dari sahabat Abdullah ibn Abbas tentang firman Allah: ”Wa An Laysa Lil-Insân Illâ Mâ Sa’â” (QS. An-Najm: 39), artinya bahwa tidak ada apapun bagi seorang manusia untuk ia miliki dari kebaikan kecuali apa yang telah ia usahakannya sendiri. Setelah datang ayat ini kemudian turun firman Allah: ”Alhaqnâ Bihim Dzurriyatahum Bi-Imân” (QS. Ath-Thur: 21),
artinya bahwa orang-orang mukmin terdahulu akan dipertemukan oleh Allah dengan keturunanketurunan mereka karena dasar keimanan. Dalam menafsirkan ayat ini sahabat Abdullah ibn Abbas berkata: “Kelak Allah akan memasukan anak-anak ke dalam surga karena kesalehan ayah-ayah
mereka”.
Empat: Terkait dengan firman Allah: ”Alhaqnâ Bihim Dzurriyatahum Bi-Imân” (QS. Ath-Thur: 21) diriwayatkan pula dari al-Imâm Mujahid; salah seorang pakar tafsir murid sahabat Abdullah ibn Abbas, bahwa dalam menafsirkan firman Allah tersebut beliau berkata: “Sesungguhnya karena
kebaikan dan kesalehan seorang ayah maka Allah akan memperbaiki dan menjadikan saleh anakanak dan cucu-cucu (keturunan) orang tersebut”12.
Dari beberapa bukti tekstual di atas dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya kesalehan, keilmuan, keberanian, kezuhudan, dan berbagai sifat terpuji lainnya yang ada pada sosok al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah sifat-sifat yang memang secara turun-temurun beliau warisi dari
kakek-kekeknya terdahulu. Dalam hal ini termasuk salah seorang moyang terkemuka beliau yang paling ”berperan penting” adalah sahabat dekat Rasulullah; yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Ini semua tentunya ditambah lagi dengan kepribadian-kepribadian saleh dari kakek-kakek beliau lainnya.
Berikut ini akan kita kupas satu persatu beberapa bukti tekstual yang menunjukan keutamaan sahabat Abu Musa al-Asy’ari, yang hal ini sekaligus memberikan petunjuk tentang keutamaan al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Beberapa hadits terkait dengan keutamaan (fadlâ-il)
sahabat Abu Musa al-Asy’ari telah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa hal itu memberikan isyarat akan keutamaan (fadlâ-il) al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari dan menunjukan bagi kebenaran akidah yang telah beliau rumuskan, yaitu akidah Asy’ariyyah yang notabene akidah Ahlussunnah; akidah
yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, di antaranya sebagai berikut:
A. Satu: Firman Allah QS. Al Ma’idah: 54
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:يَاأَيهَُّا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يرَْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يؤُْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ
( وَاسِعٌ عَلِيمٌ (المائدة:
Maknanya: “Wahai sekalian orang beriman barangsiapa di antara kalian
murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia
cintai dan kaum tersebut mencintai Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka berjihad dijalan Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci”. (QS. Al-Ma’idah: 54).
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, Rasulullah
memberitakannya sambil menepuk pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya
bersabda: “Mereka (kaum tersebut) adalah kaum orang ini!!”. Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah, karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, sebagaimana telah kita tulis dalam biografi ringkas al-Imâm Abu al-Hasan sendiri.
Dalam penafsiran firman Allah di atas: “Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah....” (QS. Al-Ma’idah: 54), al-Imâm Mujahid berkata: “Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”. Kemudian al- Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menambahkan: “Dan orang-orang Asy’ariyyah adalah kaum yang berasal dari negeri Saba’”.
Penafsiran ayat di atas bahwa kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah
tersebut adalah kaum Asy’ariyyah telah dinyatakan pula oleh para ulama terkemuka dari para ahli hadits. Lebih dari cukup bagi kita bahwa hal itu telah dinyatakan oleh orang sekelas al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî. Beliau adalah seorang ahli hadits terkemuka (Afdlal al-Muhaditsîn) di seluruh daratan Syam pada masanya. Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan:
“Ibn Asakir adalah termasuk orang-orang pilihan dari umat ini, baik dalam ilmunya, agamanya, maupun dalam hafalannya. Setelah al-Imâm ad-Daraquthni tidak ada lagi orang yang sangat kuat dalam hafalan selain Ibn Asakir. Semua orang sepakat dalam hal ini, baik mereka yang sejalan dengan Ibn Asakir sendiri, atau mereka yang memusuhinya”.
Lebih dari pada itu Ibn Asakir sendiri dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî telah
mengutip pernyataan para ulama hadits terkemuka (Huffâzh al-Hadîts) sebelumnya yang telah menafsirkan ayat tersebut demikian, di antaranya ahli hadits terkemuka al- Imâm al-Hâfizh Abu Bakar al-Bayhaqi penulis kitab Sunan al-Bayhaqi dan berbagai karya besar lainnya.
Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan pernyataan al-
Imâm al-Bayhaqi dengan sanad-nya dari Yahya ibn Fadlillah al-Umari, dari Makky ibn
Allan, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu al-Qasim ad-
Damasyqi, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Syaikh Abu Abdillah
Muhammad ibn al-Fadl al-Furawy, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al- Hâfizh Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Bayhaqi, bahwa ia (al-Bayhaqi) berkata:
“Sesungguhnya sebagian para Imam kaum Asy’ariyyah -semoga Allah merahmati mereka- mengingatkanku dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Iyadl al-Asy’ari, bahwa ketika turun firman Allah: (Maka Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah) QS. Al-Ma’idah: 54, Rasulullah kemudian berisyarat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata: “Mereka adalah kaum orang ini”. Dalam hadits ini
terdapat isyarat akan keutamaan dan derajat mulia bagi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, karena tidak lain beliau adalah berasal dari kaum dan keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Mereka adalah kaum yang diberi karunia
ilmu dan pemahaman yang benar. Lebih khusus lagi mereka adalah kaum yang memiliki kekuatan dalam membela sunah-sunnah Rasulullah dan memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka memiliki dalil-dalil yang kuat dalam
memerangi bebagai kebatilan dan kesesatan. Dengan demikian pujian dalam ayat di atas terhadap kaum Asy’ariyyah, bahwa mereka kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah, adalah karena telah terbukti bahwa
akidah yang mereka yakini sebagai akidah yang hak, dan bahwa ajaran agama yang mereka bawa sebagai ajaran yang benar, serta terbukti bahwa mereka adalah kaum yang memiliki kayakinan yang sangat kuat. Maka siapapun
yang di dalam akidahnya mengikuti ajaran-ajaran mereka, artinya dalam konsep meniadakan keserupaan Allah dengan segala makhluk-Nya, dan dalam metode memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dan sejalan dengan
faham-faham Asy’ariyyah maka ia berarti termasuk dari golongan mereka”15.
Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah mengomentari
pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi di atas, berkata:
“Kita katakan; -tanpa kita memastikan bahwa ini benar-benar maksud
Rasulullah-, bahwa ketika Rasulullah menepuk punggung sahabat Abu Musa al-
Asy’ari, sebagaimana dalam hadits di atas, seakan beliau sudah mengisyaratkan
akan adanya kabar gembira bahwa kelak akan lahir dari keturunannya yang ke
sembilan al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Sesungguhnya Rasulullah itu dalam
setiap ucapannya terdapat berbagai isyarat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang mendapat karunia petunjuk Allah. Dan mereka itu adalah orang yang kuat dalam ilmu (ar-Râsikhûn Fi al-‘Ilm) dan memiliki mata hati yang cerah.
Firman Allah: “Seorang yang oleh Allah tidak dijadikan petunjuk baginya, maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan petunjuk” (QS. An-Nur: 40)”16.
B. Dua: Hadits Shahih Riwayat al-Bukhari dan Muslim Dari Sahabat Abu Musa
al-Asy’ari Dalam sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Burdah dari sahabat Abu Musa al- Asy’ari bahwa beliau (Abu Musa) berkata: “Suatu ketika kami keluar bersama Rasulullah dalam peperangan. Saat itu kami berjumlah enam orang. Di antara kami terdapat satu ekor unta yang kami ikuti dari arah belakangnya. Dalam perjalanan yang keras tersebut kaki-kaki kami sampai terkelupas. Termasuk kedua kakiku dengan kuku-kukunya yang pecah-pecah. Kemudian kami mengikat kaki-kaki kami dengan beberapa helai kain”.
Abu burdah (yang merupakan anak dari Abu Musa sendiri) mengatakan bahwa
setelah selesai menceritakan peristiwa tersebut terlihat sahabat Abu Musa seakan menyesali apa yang telah ia ungkapkannya itu. Bahkan Abu Burdah mengatakan bahwa setelah menceritakan peristiwa tersebut Abu Musa berkata: “Sama sekali saya tidak berkehendak mengungkapkan peristiwa ini”. Artinya bahwa sahabat Abu Musa sedikitpun tidak bertujuan terhadap apa yang telah ia ungkapkannya tersebut supaya tersebar dan didengar oleh orang lain. Sebaliknya, beliau sangat mengkhawatirkan kejadian tersebut bila didengar oleh orang lain akan menimbulkan takabur pada dirinya. Kualitas hadits ini shahih, telah diriwayatkan oleh para ulama hadits, di antaranya oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahîh masingmasing.
Dalam hadits lain, juga dari Abu Burdah berkata: Ayahku (Abu Musa al-
Asy’ari) berkata: “Seandainya engkau melihat keadaan kami di saat kami bersama Rasulullah, di mana bila air hujan menimpa kami, aku kira bahwa bau-bau dari tubuh kami seperti bau kambing, karena pakaian kami yang berasal dari kain wol (yang kasar)”.
C. Tiga: Hadits Shahih Lainnya Riwayat al-Bukhari dan Muslim Dari Sahabat
Abu Musa al-Asy’ari Dalam sebuah hadits dari Abu Burdah dari Abu Musa al-Asy’ari berkata:
Setelah Rasulullah pulang dari perang Hunain beliau mengutus Abu Amir
dengan sekelompok bala tentara menuju Authas. Di sana Abu Amir duel melawan Duraid ibn ash-Shamat (pemimpin orang-orang kafir) hingga Allah membinasakan Duraid dan bala tentaranya. Setelah itu saya (Abu Musa) dan Abu Amir diutus Rasulullah ke suatu tempat. Ternyata di sana Abu Amir terkena anak panah musuh pada lututunya. Panah tersebut berasal dari seseorang dari Bani Jasym. Kemudian aku mendekati Abu Amir dan bertanya siapakah yang telah memanahnya. Lalu ia menunjuk seseorang dari Bani Jasym. Kemudian aku
datangi orang tersebut, aku berkata kepadanya: “Tidakkah engkau merasa malu?!
Bukankah engkau seorang Arab?!”. Maka terjadi adu pukul antara aku dengan dia, yang kemudian aku pukul ia dengan pedangku hingga ia terbunuh. Setelah itu aku kembali kepada Abu Amir, aku katakan kepadanya: “Allah telah membunuh orang yang hendak membunuhmu”. Abu Amir berkata: “Sekarang lepaskanalah anak panah ini!”. Kemudian aku lepaskan anak panah tersebut dari Abu Amir, namun ternyata banyak darah yang keluar darinya. Abu Amir berkata kepadaku:
“Wahai saudaraku, pergilah menghadap Rasulullah, sampaikan salamku
kepadanya, dan katakan kepadanya agar dia memintakan ampun kepada Allah
bagi diriku”. Abu Amir kemudian menyerahkan kepemimpinan kepadaku
terhadap orang-orang yang bersama kami saat itu. Tidak berapa lama setelah itu kemudian Abu Amir meninggal dunia.
Setelah aku sampai menghadap Rasulullah, aku masuk ke rumahnya. Saat itu
Rasulullah sedang berada di atas ranjang dari pasir yang dilapisi dengan semacam kain. Pasir-pasir dari ranjang tersebut membekas pada punggung dan bahu beliau.
Kemudian aku sampaikan kepadanya segala peristiwa yang menimpa kami,
termasuk peristiwa yang menimpa Abu Amir. Aku sampaikan pula pesan Abu
Amir untuk Rasulullah dan aku katakan kepadanya bahwa Abu Amir meminta
agar Rasulullah memintakan ampunan kepada Allah bagi dirinya. Kemudian
Rasulullah meminta air, lalu beliau berwudlu, dan kemudian berdoa: “Ya Allah
ampunilah segala dosa-dosa Abu Amir”. Aku melihat Rasulullah berdoa hingga
aku dapat melihat ketiak putih beliau yang mulia. Dalam doanya tersebut
Rasulullah berkata pula: “Ya Allah jadikanlah ia di hari kiamat nanti bersama
derajat yang tinggi di atas para makhluk-Mu”. Kemudian aku berkata kepada
Rasulullah: “Wahai Rasulullah doakan pula bagi diriku ini!”. Lalu Rasulullah
memintakan ampun bagi diriku. Dalam doanya Rasulullah berkata: “Ya Allah
ampuni segala dosa Abdullah ibn Qais (Abu Musa) dan masukanlah ia di hari
kiamat nanti pada tempat yang mulia”.
Abu Burdah berkata bahwa doa Rasulullah ini jelas hanya diperuntukkan bagi
doa orang sahabatnya tersebut saja, yaitu sahabat Abu Amir al-Asy’ari dan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Kualitas hadits ini adalah shahih, telah diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, di antaranya oleh al-Imâm Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahîh masing-masing.
Doa Rasulullah ini walaupun dalam penyebutannya hanya diperuntukan bagi
dua orang saja, namun keberkahan doa tersebut tetap terpelihara secara turuntemurun bagi generasi kedua orang sahabat tersebut. Hal ini sebagaimana telah kita kutip bukti-bukti tekstual pada permulaan sub judul ini bahwa doa Rasulullah tidak hanya terbatas bagi orang yang ia tuju saja, namun tetap membekas terwarisi turuntemurun antar genarasi ke genarasi. Dengan demikian maka doa Rasulullah ini merupakan kabar gembira dan merupakan bukti keutamaan al-Imâm Abu al-Hasan al- Asy’ari karena mendapatkan “warisan berkah” dari doa Rasulullah bagi moyangnya,
yaitu sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Tentang hal ini al-Hâfizh Ibn Asakir menuliskan sebagai berikut:
“Hadits ini adalah kabar gembira bagi Abu al-Hasan al-Asy’ari, semoga rahmat
Allah selalu tercurah baginya. Karena dengan demikian ia masuk dalam doa
Rasulullah ini. Hadits ini, juga beberapa hadits lainnya, memberikan isyarat
tentang kemuliaan Abu al-Hasan, yang hal ini adalah sesuatu yang nyata bagi
orang-orang yang berakal. Karena sesungguhnya telah diriwayatkan -dengan
sanad-nya dari sahabat Hudzaifah bahwa ia berkata: Sesungguhnya doa
Rasulullah yang diperuntukan bagi seseorang pasti mengenai orang tersebut, juga akan mengenai anak-anak dan cucu-cucunya”.
D. Empat: Hadits Shahih Riwayat Ibn ‘Asakir Dari Sahabat Buraidah
Diriwayatkan dari sahabat Buraidah, berkata:
“Suatu malam aku keluar rumah menuju masjid. Setelah sampai tiba-tiba aku
melihat Rasulullah sedang berdiri di depan pintu masjid. Saat itu beliau sedang
memperhatikan seseorang yang sedang shalat di dalam masjid tersebut. Rasulullah berkata kepadaku: “Wahai Buraidah, apakah engkau melihat orang itu shalat untuk tujuan sombong?”. Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasulullah berkata: “Sesungguhnya dia adalah seorang mukmin Munîb yang sedang mengadu kepada Allah”. Aku memperhatikan orang tersebut shalat hingga menyelesaikannya. Setelah selesai dalam posisi duduknya orang tersebut berdoa mengatakan:
اللّهُمّ إِنيّ أَسْألُكَ أَنِّي أشْهَدُ بِأنّكَ أنْتَ اللهُ الّذِيْ لاَ إِلهَ إلاّ أنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ الأحَدُ الْفَرْدُ الصّمَدُ

الّذِيْ لمَْ يَلِدْ وَلمَْ يوُْلَدْ وَلمَْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أحَد
Maknanya: (Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan
kesaksianku bahwa Engkau adalah Allah yang tidak ada Tuhan -yang berhak
disembah- kecuali hanya Engkau saja, tidak ada sekutu bagi-Mu, Engkau maha
Esa tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Mu, Engkau maha kaya yang tidak membutuhkan kepada suatu apapun dan sebaliknya segala sesuatu membutuhkan kepada-Mu, Engkau yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Mu...).
Sampai pada bacaannya tersebut tiba-tiba Rasulullah berkata kepadaku:
“Wahai Buraidah, demi Allah orang itu telah memohon kepada Allah dengan
nama-nama-Nya yang agung. Dan siapapun yang meminta kepada Allah dengan
nama-nama-Nya tersebut maka Allah akan memberi, dan siapapun yang berdoa
dengan nama-nama-Nya tersebut maka Allah akan mengabulkannya”. Setelah
orang tersebut selesai aku lihat dan ternyata orang itu adalah Abu Musa al-
Asy’ari”.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir mengatakan bahwa kualitas hadits ini adalah hasan shahih. Dengan demikian tidak ada celah bagi kita untuk mempertanyakan kualitas hadits ini, karena salah seorang Hâfizh hadits, terlebih sekelas Ibn Asakir, telah menilai bahwa hadits ini adalah hadits shahih. Tentu, sangat jauh panggang dari api bila orang-orang semacam kita yang sama sekali tidak memiliki otoritas dalam Tash-hih dan Tadl’îf hadits hendak menilai kualitas hadits-hadits Rasulullah. Karena bila dalam
seluruh disiplin ilmu terdapat para ahlinya yang tidak memberikan peluang bagi
orang-orang awam untuk bergelut di dalamnya, maka demikian pula dalam penilaian shahih atau tidaknya hadits-hadits Rasulullah (‘Amaliyyah at-Tash-hîh Wa at-Tadl’îf), hal itu semua adalah tugas dari para ahli hadits itu sendiri yang dalam hal ini adalah Huffâzh al-Hadîts.
Ada beberapa intisari yang dapat kita petik dari hadits ini, di antaranya sebagai
berikut: Satu: Bahwa kesalehan sahabat Abu Musa al-Asy’ari benar-benar nyata yang secara tekstual telah diyatakan dengan kesaksian Rasulullah sendiri. Pujian yang dilontarkan oleh Rasulullah adalah bukti nyata bagi hal itu. Anda renungkan hadits ini bagaimana Rasulullah memperhatikan shalat dan bahkan praktek ibadah lainnya dari seorang sahabat Abu Musa yang kemudian Rasulullah berkata: “Dia adalah seorang mukmin Munîb (seorang yang betul-betul berpasrah diri kepada Allah)”.
Lihat, jika ada seorang pemuka yang sangat terhormat bersaksi di hadapan orang lain bahwa diri kita adalah seorang yang baik maka kita akan sangat tersanjung, lalu bagaimanakah jika yang bersaksi tersebut adalah Rasulullah?! Subhânallâh,sesungguhnya tidak ada kesaksian yang lebih berharga dari pada kesaksian Rasulullah.
Dua: Teks-teks doa dan kandungan doa tersebut yang telah dibacakan oleh
sahabat Abu Musa al-Asy’ari telah benar-benar didengar langsung oleh Rasulullah.
Lalu Rasulullah menyebut doa tersebut dengan “ad-Du’â Bi al-Ism al-A’zham”, artinya doa dengan wasilah atau perantara nama-nama Allah yang Agung. Doa yang dibacakan oleh sahabat Abu Musa ini sangat “mujarab” dan ampuh, yang bahkan keampuhan doa ini telah mendapatkan kesaksian dari Rasulullah sendiri.
Tiga: Di dalam doa sahabat Abu Musa tersebut di atas terdapat salah satu
rahasiah besar; ialah bahwa doa tersebut mengandung ajaran-ajaran tauhid. Di dalam doa tersebut terdapat penetapan bagi beberapa sifat Allah sekaligus penjelasan kesucian sifat-sifat tersebut dari menyerupai segala sifat makhluk, artinya doa tersebut mengandung faham al-Itsbât Ma’a at-Tanzîh. Dan sesungguhnya dasar faham akidah inilah yang perjuangkan oleh al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari di kemudian hari. Beliau gigih memerangi faham-faham kaum Musyabbihah; kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya. Dan pada saat yang sama
beliau juga gigih memerangi faham-faham Mu’aththilah atau faham Mu’tazilah; kaum yang menafikan sifat-sifat Allah. Metodologi yang diambil oleh al-Imâm Abu al-Hasan adalah faham moderat di antara faham Musyabbihah dan Mu’tazilah (al-Itsbât Ma’a at- Tanzîh). Karena itu dasar keyakinan yang telah dirumuskan oleh al-Imâm Abu al- Hasan ini dikenal sebagai faham Mu’tadil, atau Munshif, yang faham ini merupakan keyakinan mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Empat: Kandungan doa yang dibacakan oleh sahabat Abu Musa al-Asy’ari ini di
antaranya adalah petikan dari beberapa ayat al-Qur’an yaitu dari QS. al-Iklhas: 3 Firman Allah: “Lam Yalid Wa Lam Yûlad” yang berarti bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakan; memberikan pemhaman kepada kita bahwa istilah-istilah yang berkembang di dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam dalam bahasan sifat-sifat Allah memiliki dasar yang sangat kuat, firman Allah dalam QS. al-Ikhlas: 4 ini menunjukan pemahaman tersebut. Dengan demikian ketika kita mendapati dalam Ilmu Kalam bahasan bahwa Allah bukan benda (Jauhar), dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda (‘Aradl), atau kita mendapati istilah seperti Ittishâl, Infishâl, Dalîl at-Tamânu’, Wâjib
‘Aqly, Mustahîl ‘Aqly, dan lain sebagainya maka penjelasan itu semua memiliki dasar yang sangat kuat secara tekstual. Dan sesungguhnya metodologi inilah yang diwarisi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari dari moyang-moyang beliau, termasuk warisan dari salah satu moyang terkemuka beliau, yaitu sahabat Abu al-Musa al-Asy’ari yang telah membacakan doa tersebut di atas.
E. Lima: Hadits Shahih Lainnya Riwayat al-Bukhari dan Muslim
Dalam sebuah hadits shahih diriwayatkan dengan sanad-nya dari Abu Musa al-
Asy’ari berkata:
“Suatu ketika aku bersama Rasulullah berada di Ja’ranah, suatu wilayah antara
Mekah dan Madinah. Tiba-tiba datang seorang baduy menghadap Rasulullah
seraya berkata: “Wahai Muhammad, kapankah hendak engkau buktikan segala
apa yang telah engkau janjikan kepadaku?”. Rasulullah berkata kepadanya:
“Ambilah olehmu berita gembira yang aku sampaikah kepadamu!”. Orang baduy
tersebut berkata: “Engkau telah banyak memberikan kabar gembira kepadaku”.
Tiba-tiba Rasulullah menghadap kepadaku seperti dalam keadaan sangat marah, beliau berkata: “Orang ini tidak mau menerima kabar gembira dariku, maka kalian berdua terimalah kabar gembira tersebut”. Kami menjawab: “Wahai Rasulullah kami menerimanya”. Kemudian Rasulullah meminta sebuah wadah berisi air, lalu beliau membasuh kedua tangannya dan wajahnya pada wadah tersebut, bahkan beliau mengaduk-aduk air tersebut, seraya berkata kepada kami: “Kalian berdua minumlah air ini, dan sisakanlah sedikit darinya untuk membasuh wajah dan leher kalian, dan terimalah kabar gembira dariku”. Kemudian kami berdua mengambil wadah tersebut dan melakukan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah. Tiba-tiba Ummu Salamah, dari balik tirai berkata: “Sisakanlah barang sedikit dari air itu untuk ibu kalian ini”.
Sahabat yang saat itu bersama Abu Musa adalah sahabat Bilal. Kualitas hadits ini shahih, diriwayatkan oleh para ulama hadits, di antaranya oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahîh masing-masing. Bahkan dalam kitab at-Târikh, al-Imâm al-Bukhari memiliki jalur sanad yang sangat banyak tentang hadits ini,
tentunya sanad-sanad tersebut saling menguatkan satu sama lainnya dalam
menetapkan kebenaran hadits ini.
F. Enam: Hadits Shahih Lainnya Riwayat Muslim dari Aisyah
Dalam sebuah hadits shahih dengan sanad dari Aisyah bahwa ia (Aisyah)
berkata: “Suatu ketika Rasulullah mendengar suara bacaaan al-Qur’an dari Abu Musa al-Asy’ari di masjid, lalu Rasulullah bersabda:
لَقَدْ أوْتِيَ هَذَا مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيْرَ دَاوُدَ (رواه مسلم)
Maknanya: “Dia adalah seorang yang telah dikaruniai suara yang indah,
seperti indahnya suara Dawud”. (HR. Muslim).
Kualitas hadits ini shahih. Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî
menyebutnya dengan hadits Hasan Shahih. Hadits-hadits lainnya yang sejalan dengan hadits ini cukup banyak diriwayatkan oleh para ulama dengan berbagai jalur sanad saling menguatkan satu sama lainnya, di antaranya hadits yang telah diriwayatkan oleh al-Imâm Muslim dalam kitab Shahîh-nya.
G. Tujuh: Hadits Shahih Lainnya Riwayat Ibn ‘Asakir
Dalam sebuah hadits shahih diriwayatkan bahwa Rasulullah mengutus dua
orang sahabatnya untuk berdakwah di wilayah Yaman. Kedua orang tersebut adalah Mu’adz ibn Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari. Rasulullah berwasiat kepada keduanya

dalam haditsnya yang terkenal:بَشِّرَا وَيَسِّرَا وَعَلِّمَا وَلاَ تنَُفِّرَا (رواه البخاري ومسلم)
Maknanya: “Sebarkanlah kabar gembira oleh kalian berdua, carilah
kemudahan-kemudahan, ajarkanlah ilmu-ilmu, dan janganlah kalian berdua
menjauhkan orang lain -dari kabar gembira ini-”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Al-Hâfizh ibn Asakir dalam meriwayatkan hadits ini mengatakan bahwa dalam
riwayat lain terdapat tambahan sebagai lanjutan sabda Rasulullah tersebut, yaitu; “Wa Tathâwa’â”, artinya hendaklah kalian berdua saling berlaku taat satu terhadap lainnya, jangan saling mengasingkan diri. At-Tathâwu’ dalam bahasa Arab memiliki kandungan makna yang sangat mendalam, di antara maknanya adalah taat terhadap pendapat sesama teman, tidak merasa pendapat dirinya lebih utama dari pendapat temannya, tidak keras kapala, bersikap tawadlu’; merendahkan diri di hadapan orang lain dengan tanpa menghinakan diri sendiri, mudah menerima pendapat orang lain, menganggap pendapat orang lain lebih baik di banding pendapatnya sendiri, tidak mudah marah, dan selalu bersikap lemah lembut terhadap orang lain.
Wasiat Rasulullah ini telah benar-benar dilaksanakan sepenuhnya oleh dua
sahabat mulia ini. Keduanya berdakwah menyebarkan Islam di wilayah Yaman sesuai dengan arahan Rasulullah. Daerah Yaman terbagi kepada dua bagian, wilayah Najd dan wilayah Taha-im. Dua orang sahabat ini mengambil masing-masing satu wilayah untuk ladang dakwahnya. Dua wilayah tersebut salah satunya adalah dataran tinggi, sementara yang lain dataran rendah. Dalam proses dakwahnya, dua orang sahabat ini selalu mengadakan pertemuan secara berkala untuk melakukan musyawarah hingga satu dengan yang lainnya saling mengambil manfa’at untuk keberlangsungan dakwah itu sendiri.
Di kemudian hari, dengan hanya dua orang sahabat ini ajaran Islam benar-benar telah menyebar di seluruh pelosok Yaman yang demikian luas. Rahasia agung yang dititipkan oleh Rasulullah kepada keduanya sebagai kunci bagi kesuksesan dakwah adalah sikap Tathâwu’, dan keduanya telah benar-benar melaksanakan wasiat Rasulullah tersebut. Pada diri kedua orang sahabat agung ini sama sekali tidak pernah timbul rasa bosan dalam berdakwah. Bila keduanya bertemu maka satu sama lainnya akan saling menyemangati, saling memberikan arahan, dan saling mengambil
pelajaran.
Sikap Tathâwu’ ini dikemudian hari menjadi “perhiasan” dan “pakaian” bagi
orang-orang keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Pakain Tathâwu’ inilah pula
yang secara umum telah menghiasi kaum Asy’ariyyah; di mana mereka adalah orangorang yang lemah lembut terhadap sesama muslim, bersikap tawadlu’ dan
merendahkan diri di hadapan mereka. Namun demikian bagi orang-orang kafir kaum Asy’ariyyah ini adalah kaum yang sangat menakutkan, karena di samping kekuatan fisik yang mereka miliki, kaum Asy’ariyyah juga memiliki kekuatan dan kecerdasan
akal yang istimewa. Karena itu mereka dikenal sebagai kaum yang memiliki
argumen-argumen tajam dan dalil-dalil yang sangat kuat. Dalam berjihad menegakan agama Allah mereka adalah kaum yang sama sekali tidak takut terhadap segala macam bentuk cacian dan rintangan. Sifat-sifat inilah yang tersirat dalam firman Allah QS. al-Ma’idah: 54 tentang orang-orang dari keturunan sahabat Abu Musa alAsy’ari:أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ (المائدة: 54
Maknanya: “Mereka adalah kaum yang bersikap lemah lembut terhadap orangorang mukmin, sangat keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah dan sedikitpun mereka tidak takut terehadap cacian orang yang mencaci” (QS. Al-Ma-idah: 54).
Al-Hâfizh ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî dalam mengutip hadits
tentang diutusnya dua orang sahabat ini setidaknya meriwayatkan empat hadits
dengan jalur sanad yang berbeda yang setiap jalur sanad ini saling menguatkan satu riwayat atas lainnya.
H. Delapan: Hadits Dari Sahabat Ali ibn Abi Thalib
Dalam sebuah hadits dari al-A’masy dari Amr ibn Murrah dari Abu al-Bukhturi
berkata: “Suatu ketika kami datang kepada Ali ibn Abi Thalib, kami bertanya
kepadanya tentang kepribadian sahabat-sahabat Rasulullah. Ali ibn Abi Thalib
berkata kepada kami: “Siapa yang hendak kalian tanyakan?”. Kami menjawab:
“’Abdullah ibn Abbas”. Beliau menjawab: “Dia adalah orang yang telah menguasai seluruh ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah hingga telah mencapai puncaknya, dengan hanya pribadi dia saja seluruh ilmu telah terpenuhi”.
Kami berkata: “Bagaimana dengan Abu Musa al-Asy’ari?”. Beliau menjawab: “Dia adalah laksana orang yang telah disepuh dengan berbagai ilmu, dan dia telah keluar dari sepuhan ilmu-ilmu tersebut”. Kami berkata: “Bagaimana dengan Hudzifah ibn al- Yaman?”. Beliau menjawab: “Dia adalah di antara para sahabat Rasulullah yang paling tahu tentang orang-orang munafik”. Kami berkata: “Bagimana dengan Ammar ibn Yasir?”. Beliau menjawab: “Dia adalah seorang mukmin yang seakan-akan lupa, namun bila engkau bertanya kepadanya maka ia akan menjawab segala pertanyaanmu”.
I. Sembilan: Dari Pernyataan Para Ahli Hadits Terkemuka; Ali ibn al-Madini,
asy-Sya’bi, dan lainnya Diriwayatkan dari al-Hâfizh al-Imâm Ali ibn Abdullah al-Madini bahwa ia berkata: “Sesungguhnya para hakim terkemuka dari umat ini ada empat orang; Umar ibn al-Khaththab, Ali ibn Abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, dan Abu Musa al-Asy’ari”.
Al-Imâm Ibn al-Madini juga berkata: “Dan sesungguhnya para ahli fatwa di
kalangan sahabat Rasulullah ada enam orang; Umar ibn al-Khaththab, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Ubay ibn Ka’ab”.
Selain al-Imâm Ibn al-Madini, pernyataan terakhir ini persis sama juga telah
Demikian pula al-Imâm asy-Sya’bi mengungkapkan hal senada dengan
pernyataan di atas, beliau berkata: “Sesungguhnya ilmu itu diambil dari enam orang sahabat Rasulullah. Tiga orang pertama adalah; Umar ibn al-Khaththab, Abdullah ibn Abbas dan Zaid ibn Tsabit. Ilmu tiga orang ini satu sama lainnya saling menyerupai, dan ketiganya saling mengambil faedah satu sama lainnya. Sementara tiga lainnya adalah Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka’ab dan Abu Musa al-Asy’ari. Ilmu tiga orang ini satu sama lainnya saling menyerupai, dan ketiganya saling mengambil faedah satu sama lainnya”.
Diriwayatkan pula dari Shafwan ibn Sulaim, bahwa ia berkata: “Tidak ada
seorangpun memberikan fatwa di dalam masjid Rasulullah di masa Rasulullah masih hidup kecuali orang-orang tersebut. Mereka adalah Umar ibn al-Khaththab, Ali ibn Abi Thalib, Mu’adz ibn Jabal, dan Abu Musa al-Asy’ari”.
J. Sepuluh: Hadits Shahih Lainnya Riwayat al-Bukhari dan Muslim
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir meriwayatkan beberapa hadits dengan sanad-nya
hingga Rasulullah bahwa beliau bersabda di hadapan para sahabatnya: “Akan datang kepada kalian suatu kaum di mana hati mereka lebih lembut dari pada hati kalian”.
Ketika kaum ini telah dekat ke Madinah terdengar mereka mengumandangkan bait sya’ir “Ghadan Nalqâ al-Ahibbah, Muhammadan Wa Hizbah” (Kelak esok di hari kiamat kita akan bertemu dan berkumpul dengan para kekasih, yaitu Nabi Muhammad dan para pengikutnya). Lalu kaum ini masuk ke kota Madinah, dan ternyata mereka adalah kaum Asy’ariyyah di mana sahabat Abu Musa al-Asy’ari ada bersama mereka.
Dalam hadits lain Rasulullah besabda di hadapan para sahabatnya:
أتَاكُمْ أهْلُ اليَمَن هُمْ أضْعَفُ قلُُوْبًا وأرَقُّ أفئِدَةً الإيْمَانُ يَمَانٌ وَالحِْكْمَةُ يَمَانِيّةٌ وَرَأْسُ الْكُفْرِ نَحْو الْمَشْرِق وَالفَخْرُ

وَالخُْيَلاَء فِي الفَدادِيْن وَالخُْيَلاَء فِي أهْل الخَْيْلِ وَالإبِلِ وَالسّكِيْنَةُ فِي أهْلِ الْغَنَم (رواه البخاري ومسلم)
Maknanya: “Benar-benar datang kepada kalian suatu kaum dari Yaman di
mana hati mereka lebih lembut dari pada hati kalian, Iman dan hikmah itu berada di Yaman, pangkal kekufuran itu berada di arah timur, kemegahan dan
kesombongan itu berada di kaum yang keras kepala, kesombongan itu berada di kaum yang memiliki kuda dan unta, sementara ketenangan dan kerendahan hati itu berada pada kaum yang memiliki kambing”. (HR. al-Bukhari dan Muslim) Dalam hadits lain dari sahabat Abdullah ibn Abbas bahwa suatu ketika saat di Madinah tiba-tiba Rasulullah berkata di hadapan para sahabatnya: “Allâhu Akbar,telah datang pertolongan dari Allah, dan telah datang penyebaran Islam (al-Fath) serta telah datang para penduduk Yaman”.
K. Sebelas: Hadits Shahih Riwayat al-Baihaqi Tentang Kandungan Kalimat
“Hawqalah” Dalam sebuah hadits riwayat al-Bayhaqi dan lainnya diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah meletakan tangannya di pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata: “Ucapkanlah: Lâ Hawla Wa Lâ Quwwata Illâ Billâh”. Kemudian Abu Musa al-Asy’ari mengucapkan kalimat Hawqalah tersebut. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Engkau telah diberi pembendaharaan (al-Kanz) dari pembendaharaanpembendaharaan
surga”.
Al-Kanz (pembendaharaan, tabungan) dalam pengertian bahasa adalah sesuatu
yang memberikan manfa’at terus-menerus bagi seseorang sekalipun orang tersebut telah meninggal. Para ulama kita di kalangan Ahlussunnah memahami hadits ini
sebagai salah satu bukti kebenaran akidah Asy’ariyyah, sebab kandungan yang
tersirat dalam makna kalimat Hawqalah tersebut adalah sebagai bantahan kepada kaum Mu’tazilah dan kaum Jabriyyah sekaligus.
Kalimat Hauqalah dalam hadits tersebut mengandung dua makna, pertama:
“Tidak ada usaha apapun dari seorang hamba untuk menghindarkan diri dari segala kemaksiatan kecuali semata karena pemeliharaan dan penjagaan dari Allah”, makna ke dua: “Tidak ada kekuatan apapun dari seorang hamba untuk melakukan keta’atan kepada Allah kecuali dengan pertolongan dan dengan taufik Allah”. Inilah makna kalimat Hawqalah yang dimaksud oleh hadits Nabi tersebut sebagaimana telah disepakati oleh para ulama Ahlussunnah. Lihat pemaknaan ini di antaranya dalam ungkapan al-Imâm Abu Ja’far ath-Thahawi dalam risalah akidah Ahlussunnah yang dikenal dengan al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah yang beliau kutip dari ungkapan-ungkapan
al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Abu Yusuf dan al-Imâm asy-Syaibani.
Faham Ahlussunnah ini berbeda dengan keyakinan kaum Qadariyyah
(Mu’tazilah) yang mengatakan bahwa segala perbuatan hamba adalah ciptaan hamba itu sendiri. Dalam keyakinan Qadariyyah ini bahwa kehendak Allah sama sekali tidak terkait dengan segala usaha manusia. Artinya, menurut mereka Allah dalam hal ini sama sekali terlepas, tidak terikat dan terbebas dari segala apa yang dilakukan oleh seorang hamba. Kesimpulannya, menurut kaum Qadariyyah manusia adalah pencipta bagi segala perbuatan yang ia lakukannya sendiri, dan Allah tidak menentukan apapun bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukannya tersebut.
Adapun kaum Jabriyyah, yang juga berkayakinan ekstrim, berseberangan
seratus delapan puluh derajat dengan kaum Qadariyyah. Kaum Jabriyyah
mengatakan bahwa manusia dengan segala perbuatan yang ia lakukannya adalah laksana kapas ditiup angin, sama sekali tidak memiliki usaha dan ikhtiar. Dalam keyakinan mereka setiap hamba dipaksa (Majbûr) dalam segala perbuatan yang ia lakukannya. Kesimpulannya, menurut kaum Jabriyyah ini setiap manusia itu tidak memiliki usaha atau ikhtiar sama sekali dalam segala perbuatan yang ia lakukannya.
Dua faham sesat kaum Qadariyyah dan kaum Jabriyyah tersebut sama-sama
ekstrim dan menyalahi akidah Ahlussunnah. Adapun keyakinan Ahlussunnah di
tengah-tengah antara dua faham tersebut, yang karenanya Ahlussunnah dikenal sebagai kelompok moderat, atau dikenal dengan al-Firqah al-Mu’tadilah atau al-Firqah al-Munshifah. Ahlussunnah meyakini bahwa segala apapun pada alam ini, dari segala benda maupun sifat-sifat benda, terjadi dengan kehendak Allah, ilmu Allah, dan dengan penciptaan dari Allah, termasuk dalam hal ini kekufuran, kemaksiatan, kejahatan, keburukan, keimanan, kebaikan, ketaatan, dan segala apapun dari perbuatan-perbuatan manusia. Namun demikian manusia memiliki ikhtiar dan usaha dalam segala perbuatan yang ia lakukannya tersebut. Usaha atau ikhtiar inilah yang disebut dengan al-Kasb.
Al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari berasal dari keturunan sahabat Abu Musa al-
Asy’ari. Sebagaimana diketahui bahwa beliau adalah Imam Ahlussunnah yang sangat gigih dalam memerangi akidah kaum Qadariyyah atau Mu’tazilah dan akidah kaum Jabriyyah. Rumusan-rumusan akidah yang telah beliau formulasikan bahwa segala perbuatan hamba adalah ciptaan Allah (Khalq Af’âl al-Ibâd) telah benar-benar membungkam faham Qadariyyah dan faham Jabriyyah sekaligus. Para ulama kita di kalangan Ahlussunnah mengatakan bahwa ketika Rasulullah memberikan pembendaharaan surga kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, yaitu kalimat Hawqalah, yang dimaksud adalah sebagai bukti kebenaran akidah yang telah dirumuskan oleh al-Imâm Abu Musa al-Asy’ari. Benar, akidah inilah yang kemudian diyakini mayoritas
umat Muhammad dari masa ke masa, antar genarasi ke genarasi. Dengan demikian hadits ini merupakan salah satu mu’jizat Rasulullah, di mana beliau memberikan petunjuk tentang akidah yang benar bagi umatnya.
Tentang hadits ini al-Imâm Badruddin az-Zarkasyi dalam kitab Tasynîf al-
Masâmi’ Bi Syarh Jam’i al-Jawâmi’ menuliskan sebagai berikut:
“Hadits ini memberikan isyarat bahwa kelak dari keturunan sahabat Abu Musa
al-Asy’ari akan datang al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Beliau (Abu al-Hasan)
adalah seorang yang sangat gigih memerangi faham kelompok-kelompok sesat
yang tidak sejalan dengan faham kalimat Hawqalah ini; mereka adalah kaum
Qadariyyah yang mengatakan: “Saya membebaskan diri dari kemaksiatan kepada perbuatan taat adalah oleh usaha saya sendiri, (bukan oleh Allah)”, dan kaum Jabriyyah yang mengatakan: “Pernyataan kalian (wahai kaum Ahlussunnah) “Illâ Billâh” sama saja kalian manetapkan adanya kekuatan setelah kalian menafi-kan, dan itu artinya sama saja kalian menetapkan adanya kekuatan bagi seorang hamba, karena itu kami tidak percaya dengan pernyataan kalian”. Al-Imâm Abu al- Hasan adalah orang yang benar-benar memahami maksud dan kandungan kalimat Hawqalah tersebut. Beliau adalah yang menetapkan adanya al-Kasb atau usaha bagi manusia. Artinya bahwa manusia dalam perbuatannya bukan seorang yang dipaksa, juga sama sekali tidak terbebas dari Allah.
Masih dalam perkataan az-Zarkasyi, dalam kitab tersebut beliau juga
menuliskan sebagai berikut:“Dalam hal ini al-Bayhaqi telah membuat pasal tersendiri dalam risalah yang ia tulis kepada al-‘Amid. Di dalamnya al-Bayhaqi memuji al-Asy’ari dan menjelaskan kebenaran akidah Ahlussunnah di antara firqah-firqah lainnya. Selain al-Bayhaqi, juga banyak yang telah mengatakan bahwa al-Asy’ari adalah orang yang telah memformulasikan madzhab Salaf dari kalangan Ahlussunnah. Abu al-Walid al- Baji berkata: Abdullah ibn Umar dengan beberapa hadits Rasulullah telah membantah orang yang mengingkari Qadar (yaitu orang yang mengatakan bahwa Allah tidak menentukan apapun bagi perbuatan yang dilakukannya). Kemudian Abdullah ibn Abbas telah membantah kaum Khawarij. Lalu Umar ibn Abd al-Aziz dan Rabi’ah ar-Ra’yi telah membantah Ghaylan; salah seorang pemuka kaum
Qadariyyah. Asy-Syafi’i telah membantah Hafsh al-Fard. Dan para ulama
terkemuka lainnya banyak melakukan hal yang sama. Bahkan al-Imâm Malik telah menuliskan berbagai bantahan terhadapa mereka sebelum al-Asy’ari datang.
Dengan demikian al-Asy’ari dan para pengikutnya bukan membawa ajaran yang
baru, hanya saja memang mereka adalah orang yang telah merinci dan
memformulasikan segala permasalahan-permasalahan yang berkembang dalam
masalah ushul ini. Dengan begitu Ilmu Ushul ini lebih banyak dinisbatkan kepada beliau. Sebenarnya ini sama saja dengan penisbatan madzhab fiqih yang berkembang di Madinah kepada al-Imâm Malik, atau madzhab Fiqih yang
berkembang di kalangan penduduk Kufah kepada al-Imâm Abu Hanifah. Karena
kedua Imam ini telah merumuskan Fiqih yang berkembang di wilayah masingmasing saat itu yang rumusannya kemudian diterima oleh banyak orang”.
L. Dua Belas: Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Hakim, Dan Lainya
Dalam hadits riwayat al-Imâm Ahmad ibn Hanbal dan al-Imâm al-Hakim
disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
لَتُفْتَحَنّ الْقِسْطَنْطِيْنِيّةُ فَلَنِعْمَ الْأمِيْرُ أمِيْرُهَا وَلَنِعْمَ الجَْيْشُ ذلِكَ الجَْيْشُ (رَوَاهُ أحمَْد والحَْاكمُ
Maknanya: “Kota Kostantinopel (Istanbul sekarang) benar-benar akan
ditaklukan oleh seorang panglima. Panglima tersebut adalah sebaik-baiknya
panglima dan sebaik-baiknya tentara” (HR Ahmad dan al-Hakim).
Hadits ini menjadi sebuah kenyataan setelah sekitar 800 tahun kemudian. Ialah
ketika kota Istanbul takluk di tangan sultan Muhammad al-Fatih. Sebelum beliau, telah banyak panglima yang berusaha untuk menaklukan kota tersebut, termasuk ayah dari sultan Muhammad al-Fatih sendiri, yaitu sultan Murad ats-Tsani. Tentu tujuan mereka semua berkeinginan sebagai yang dimaksud oleh Rasulullah dalam pujiannya dalam hadits di atas. Namun ternyata hanya sultan Muhammad al-Fatih yang dapat menaklukan kota Kostantinopel hingga jatuh secara penuh ke dalam kekuasaan orang-orang Islam.
Sejarah telah mencatat bahwa sultan Muhammad al-Fatih adalah seorang Asy’ari tulen. Dalam akidah, beliau sangat kuat memegang teguh Ahlussunnah Wal jama’ah di atas madzhab Asy’ariyyah. Beliau sangat mencintai para ulama dan kaum sufi.
Dalam hampir segala keputusan yang beliau tetapkan adalah hasil dari pertimbanganpertimbangan yang telah beliau musyawarahkan dengan para ulama dan kaum sufi terkemuka. Bahkan sebelum beliau memutuskan untuk turun menaklukan kota Kostantin beliau bermusyawarah dengan guru-guru spiritualnya tersebut.
Musyawarah di sini tidak hanya terbatas untuk membentuk mental dan spirit semata, namun juga pembahasan tentang metode, alat-alat perang, perbekalan dan lain sebagainya.
Kemudian salah satu senjata terpenting yang tertancap kuat dalam keyakinan
sultan Muhammad al-Fatih adalah kekuatan tawassul. Karena itu, sebelum turun ke medan perang beliau melakukan tawassul dengan Rasulullah. Artinya beliau meminta kepada Allah agar diluluskan cita-citanya dengan menjadikan Rasulullah sebagai wasilah atau perantara dalam doanya. Dengan demikian hadits di atas, secara tersirat, memberikan pelajaran penting kepada kita bahwa tawassul adalah sesuatu yang telah disyari’atkan dalam Islam.
Pujian Rasulullah terhadap panglima penakluk Kostantin dalam hadits di atas
adalah salah satu bukti kuat tentang kebenaran akidah yang diyakini oleh panglima tersebut. Juga bukti kebenaran akidah dari bala tentara atau orang-orang yang saat itu bersamanya. Mereka itu semua adalah kaum Asy’ariyyah, kaum yang berkeyakinan akan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Mereka berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, bahwa Allah suci dari segala bentuk dan ukuran, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum yang berkeyakinan tentang disyari’atkannya tawassul, baik tawassul dengan para Nabi,
maupun tawassul dengan para wali Allah atau orang-orang saleh lainnya. Karenanya, tidak sedikit dari bala tentara Sultan Muhammad al-Fatih saat itu adalah orang-orang yang berasal kalangan sufi dan para pengikut tarekat.

  • Hadits-Hadits Menyebutkan Keutamaan Kaum Asy’ariyyah

Terdapat banyak sekali hadits dari Rasulullah yang secara langsung
menyebutkan keutamaan kaum Asy’ariyyah. Beberapa di antaranya dikutip oleh al- Imâm al-Bukhari dalam kitab Shahîh-nya. Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan sub judul tentang ini yang ia menamakannya dengan “Bab dalam menyebutkan tentang karunia yang telah diraih oleh al-Imâm Abu al- Hasan dari kemuliaan kakek-kakeknya terdahulu, dan penjelasan para ulama tentang keluhuran kedudukan dan keutamaan al-Imâm Abu al-Hasan”. Kemudian al-Imâm Abu Asakir menuliskan beberapa hadits yang terkait dengan sub judul tersebut lengkap dengan seluruh sanad masing-masing. Al-Imâm al-Bukhari sendiri dalam kitab
Shahîh-nya menuliskan satu sub judul yang beliau namakan dengan “Bab tentang kedatangan kaum Asy’ariyyah dan para penduduk Yaman”. Sub judul ini berisi beberapa hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan para sahabat Rasulullah dari kaum Asy’ariyyah dan penduduk Yaman yang hijrah ke Madinah hingga meraka menjadi orang-orang yang sangat dicintai oleh Rasulullah. Di antara hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut ini.
A. Satu: Hadits Shahih Riwayat al-Bukhari Dan Muslim Dari Sahabat Abu
Musa al-Asy’ari Dari sahabat Abu Musa al-‘Asy’ari -semoga ridla Allah selalu terlimpah baginyadari Rasulullah bersabda:
إنّ الأشْعَرِييّْنَ إذَا أرْمَلُوْا فِي الْغَزْوِ أوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِيْنَةِ جمََعُوْا مَا عِنْدَهُمْ فِي آنِيَةٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوْهُ

بيَْنَهُمْ بِالسّوِيّةِ، فَهُمْ مِنِّي وَأنَا مِنْهُمْ (رواه البخاري ومسلم)
Maknanya: “Sesungguhnya orang-orang Asy’ariyyah apa bila mereka telah
turun ke medan perang, atau apa bila persediaan makanan mereka di Madinah
sangat sedikit maka mereka akan mengumpulkan seluruh makanan yang mereka miliki dalam satu wadah, kemudian makanan tersebut dibagi-bagikan di antara mereka secara merata. Mereka adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari diri mereka”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).Sabda Rasulullah ini memberikan penjelasan tentang sifat-sifat para sahabatnya
dari kaum Asy’ariyyah, yaitu para sahabat yang datang dari wilayah Yaman. Dalam hadits ini Rasulullah memuji mereka, bahkan hingga beliau mengatakan “Mereka adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari diri mereka”. Anda perhatikan dan resapi sabda Rasulullah bagian terakhir ini. Ucapan beliau pada penggalan terakhir tersebut adalah bukti yang sangat kuat tentang keutamaan orang-orang Asy’ariyyah dari kalangan sahabat Rasulullah. Ini menunjukan bahwa moyang al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari dan kaumnya adalah orang-orang yang sangat dekat dengan
Rasullah, mereka semua telah benar-benar mendapatkan tempat dalam hati
Rasulullah. Tentu sabda Rasulullah ini tidak hanya berlaku bagi kaum Asy’ariyyah dari para sahabat saja, namun juga mencakup bagi kaum Asy’ariyyah dari generasi berikutnya yang berasal dari keturunan mereka, karena sebagaimana telah kita jelaskan di atas bahwa doa dan berkah dari Rasulullah bagi seseorang akan mengenai keturunan-keturunan orang itu sendiri.
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-
Muftarî setidaknya dari dua jalur sanad yang berbeda. Selain oleh Ibn Asakir, hadits ini diriwayatkan oleh banyak perawi hadits lainnya, di antaranya oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam dua kitab Shahîh-nya. Dengan demikian telah nyata bagi kita bahwa hadits ini adalah hadits shahih yang sama sekali tidak perlu diperselisihkan.
B. Dua: Hadits Riwayat at-Tirmidzi Dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari
Dalam hadits lain dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari berkata: Telah bersabda
Rasulullah 
نِعْمَ الحَْيُّ الأزدُ والأشْعَرِيوّْنَ لاَ يَفِرُّوْنَ فِي اْلقِتَالِ وَلاَ يغَْلُوْنَ هُمْ مِنِّي وَأنَا مِنْهُمْ (رواه الترمذي
Maknanya: “Sebaik-baiknya perkumpulan orang adalah kabilah Azad dan
kaum Asy’ariyyah. Mereka adalah orang-orang yang tidak kenal mundur dari
medan perang, dan mereka adalah kaum yang tidak berlebih-lebihan. Mereka
adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari mereka”. (HR. At-Tirmidzi).
Pujian Rasulullah terhadap orang-orang Asy’ariyyah dalam hadits ini
memberikan penjelasan yang nyata bagi kita tentang keutamaan kaum Asy’ariyyah.
Seperti pada hadits nomor satu di atas sebelumnya, dalam hadits ini Rasulullah juga mengatakan “Mereka adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari mereka”. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Asakir setidaknya dengan empat jalur sanad yang berbeda yang satu sama lainnya saling menguatkan. Dalam salah satu riwayat dari empat sanad tersebut bermakna demikian: “Kaum Azad dan kaum Asy’ariyyah adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari mereka. Mereka adalah kaum yang tidak berlebih-lebihan dan bukan kaum pengecut”.
Selain oleh Ibn Asakir hadits ini telah diriwayatkan pula oleh para ahli hadits
lainnya dalam banyak karya mereka, di antaranya oleh al-Imâm at-Tirmidzi dalam as- Sunan dan oleh lainnya.
C. Tiga: Hadits Shahih Riwayat al-Bukhari Dan Muslim Dari Sahabat Abu
Musa al-Asy’ari Dalam hadits lain dengan sanad-nya yang juga dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah telah bersabda:
إنيّ لَأعْرِفُ أصْوَاتَ رُفْقَة الأشْعَريّينَ بالقُرءَان وإنْ كُنْتُ لمَْ أرَ مَنَازلهَمُ حِيْنَ نزََلُوا بالنّهَارِ وأعْرِفُ مَنَازِلهَمُ مِنْ
بَِِْْالقُرْءَانِ باللّيْلِ وَمِنْهُمْ حَكِيْمٌ إذَا لقيَ
اَِلخَْيل أوْ قَالَ اْلعَدوّ قَالَ لهَمُْ إنّ أصْحَابِي يأمُرُونَكُمْ أنْ تَنْتَظِرُوْهُمْ

(رواه البخاري ومسلم)
Maknanya: “Sesungguhnya saya benar-benar telah mengetahui suara-suara -
indah- dari orang-orang Asy’ariyyah dalam bacaan al-Qur’an mereka, sekalipun
saya tidak mengetahui di manakah rumah-rumah yang mereka singgahi di siang
hari. Dan aku menjadi tahu rumah-rumah tempat tinggal mereka karena dari suara indah mereka dalam membaca al-Qur’an di malam hari. Di antara mereka ada Hakim (seorang bijak) yang apa bila bertemu dengan segerombolan penunggang kuda atau sekelompok musuh ia akan berkata kepada mereka: Sesungguhnya sahabat-sahabatku memerintahkan kepada kalian untuk menunggu mereka”. (HR.al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini mengandung beberapa intisari terkait dengan keutamaan kaum
Asy’ariyyah, di antaranya sebagai berikut:
Satu: Kaum Asy’ariyyah sejak zaman Rasulullah dikenal sebagai orang-orang
yang memiliki suara indah dalam membaca al-Qur’an. Bahkan secara khusus
Rasulullah berkata kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari: “Laqad Ûtîta Mizmâran Min Mazâmîr Dâwûd”. Artinya bahwa Abu Musa al-Asy’ari adalah salah seorang yang telah diberi karunia suara yang indah, seakan indahnya suara Nabi Dawud.
Dua: Dari hadits di atas kita dapat memahami bahwa Rasulullah memiliki
perhatian khusus terhadap kaum Asy’ariyyah. Beliau tidak hanya memiliki perhatian terhadap suara indah mereka, namun juga beliau mengetahui secara persis rumahrumah atau tempat tinggal mereka.
Tiga: Hadits ini memberikan pemahaman bahwa membaca al-Qur’an dengan
suara keras di malam hari adalah sesuatu yang baik, tentunya dengan catatan suara tersebut tidak mengganggu aktifitas orang lain, juga tentunya bacaan tersebut bukan untuk tujuan sombong atau agar dipuji oleh orang lain.
Empat: Penyebutan “Hakîm” dalam redaksi hadits di atas memiliki dua
kemungkinan makna. Satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sifat bagi salah seorang dari kaum Asy’ariyyah tersebut. Secara garis besar dapat diartikan sebagai seorang yang bijak, atau salah seorang terkemuka di antara mereka. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud “Hakîm” adalah nama salah seorang dari mereka.
Lima: Perkataan: “Hakîm” (seorang yang bijak) apa bila bertemu dengan
segerombolan penunggang kuda atau sekelompok musuh: “Sesungguhnya sahabatsahabatku memerintahkan kepada kalian untuk menunggu” memiliki dua pengertian.
Pertama: dalam pengertian berhadapan dengan musuh; bahwa hakim ini bukan
seorang pengecut, dengan kebulatan tekad dan keberaniannya ia balik menantang mereka dengan mengatakan kepada mereka untuk tidak meninggalkan tempat dan bahwa teman-temannya berharap bisa berhadapan dengan mereka. Kedua: Dalam pengertian bertemu dengan segerombolan penunggang kuda dari orang-orang Islam yang hendak turun ke medan perang, di mana Hakîm ini berkata kepada mereka:
“Sesungguhnya sahabat-sahabatku meminta kepada kalian untuk menunggu -karena mereka akan ikut bersama kalian-”. Artinya bahwa kaum Asy’ariyyah adalah seorang yang selalu siap siaga untuk turun ke medan perang bersama.
Kualitas hadits ini shahih, telah diriwayatkan oleh para ahli hadits terkemuka, di
antaranya oleh al-Imâm Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahîh masingmasing.
Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî setidaknya mengutip
empat jalur sanad berbeda dalam menyebutkan hadits ini. Sebagaimana diketahui, telah dinyatakan para ahli hadits bahwa suatu hadits jika memiliki jalur sanad yang banyak maka kualitas hadits tersebut bertambah kuat, termasuk salah satunya hadits ini. Namun demikian sudah lebih dari cukup bagi kita akan kualitas kebenaran hadits ini bahwa ia telah diriwayatkan oleh asy-Syaikhân; al-Bukhari dan Muslim. Bahkan di antara hadits dalam bab ini adalah sabda Rasulullah sebagai berikut:
إنّهُ لَيَدُلّنِي عَلَى حُسْنِ إيْمَانِ الأشْعَرِييّْنَ حُسْنُ بَِِِْْالقُرْءَان (رواه البخاري ومسلم)
Maknanya: “Sesungguhnya telah benar-benar menunjukan kepadaku akan
kebaikan iman kaum Asy’ariyyah oleh keindahan suara-suara mereka dalam
membaca al-Qur’an”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
D. Empat: Hadits Shahih Riwayat al-Bukahri Dan Muslim Dari Sahabat ‘Imran
ibn al-Hushain Dalam sebuah hadits shahih dari sahabat Imran ibn al-Hushain berkata: Suatu ketika aku mendatangi Rasulullah, aku ikatkan untaku di belakang pintu, lalu aku masuk. Tiba-tiba datang sekelompok orang dari Bani Tamim, lalu Rasulullah berkata kepada mereka: “Terimalah kabar kembira wahai Bani Tamim!”. Lalu Bani Tamim menjawab: “Engkau telah banyak memberi kabar gembira kepada kami, berilah kami yang lain!”. Setelah itu kemudian datang datang sekelompok orang dari Yaman. Lalu Rasulullah berkata kepada mereka: “Terimalah kabar gembira wahai penduduk
Yaman, karena saudara-saudaramu dari Bani Tamim tidak mau menerimanya”.
Kemudian orang-orang dari peneduduk Yaman tersebut menjawab: “Kami
menerimanya wahai Rasulullah, dan sesungguhnya kami datang kepadamu untuk belajar tentang agama, juga hendak bertanya kepadamu tentang permulaan alam ini bagaimanakah kejadiannya?”. Lalu Rasulullah menjawab:
كَانَ اللهُ وَلمَْ يَكُنْ شَيءٌ غَيْرُهُ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ كَتَبَ فِي الذّكْرِ كُلَّ شَيءٍ ثُمّ خَلَقَ السّمَوَاتِ

وَالأرْضَ (رواه البخاري ومسلم)
Maknanya: “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan (Azaly), tidak suatu
apapun pada azal selain Dia. Dan adalah arsy-Nya berada di atas air. Kemudian
Dia menuliskan di atas adz-Dzikr (al-Lauh al-mahfuzh) segala sesuatu, lalu Dia
menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ada penjelasan yang sangat penting terkait dengan hadits ini, sebagai berikut:
Satu: Kualitas hadits ini shahih diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, di
antaranya al-Imâm al-Bukhari, al-Imâm Muslim, al-Imâm al-Bayhaqi, al-Imâm Ibn al- Jarud dan lainnya. Cukup bagi kita tentang ke-shahih-annya bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Mulim dalam kedua kitab Shahîh-nya. Bahkan al- Bukhari mengutip hadits ini dari berbagai jalur sanad dari al-A’masy, yang tentunya seluruh jalur sanad tersebut adalah shahih. Al-Imâm al-Bukhari sendiri meletakan hadits ini dalam kitab Shahîh-nya pada urutan pertama dalam sub judul “Bab tentang kedatangan kaum Asy’ariyyah dan para penduduk Yaman”.
Dua: Pertanyaan orang-orang Asy’ariyyah kepada Rasulullah tentang permulaan
alam bagaimanakah kejadiannya, memberikan pelajaran kepada kita bahwa
sebenarnya unsur-unsur Ilmu Kalam sudah berkembang sejak zaman Rasulullah.
Dengan demikian sama sekali tidak berdasar pendapat yang mengatakan bahwa Ilmu Kalam sebagai ilmu yang tercela atau bid’ah sesat yang tidak pernah ada di masa Rasulullah dan para sahabatnya.
Tiga: Pertanyaan orang-orang Asy’ariyyah kepada Rasulullah tentang permulaan
alam memberikan petunjuk kepada kita bahwa Ilmu Kalam semacam itu yang telah mereka wariskan kepada anak cucu mereka dalam membahas segala permasalahanpermasalahan yang terkait dengan Ilmu Kalam itu sendiri. Artinya bahwa tradisi memperdalam Ilmu Kalam sudah dimulai oleh para sahabat Rasulullah, terutama oleh kaum Asy’ariyyah yang kemudian tradisi tersebut turun temurun di antara mereka hingga kemudian datang Imam Ahlussunnah; yaitu al-Imâm Abu al-Hasan al- Asy’ari yang telah berhasil memformulasikan Ilmu Kalam secara menyeluruh.
Empat: Pertanyaan kaum Asy’ariyyah kepada Rasulullah tentang bagaimanakah
kejadian alam memberikan pemahaman kepada kita bahwa dasar akidah yang telah diyakini sepenuhnya oleh kaum Asy’ariyyah adalah bahwa alam; atau segala sesuatu selain Allah adalah makhluk Allah yang semua itu memiliki permulaan. Artinya, sebelum mereka menghadap Rasulullah mereka sudah memiliki keyakinan kuat bahwa alam ini memiliki permulaan (hâdits), karena itu mereka bertanya bagaimana permulaan kejadian alam tersebut. Keyakinan ini; bahwa alam ini baru adalah dasar akidah yang telah diyakini dan diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Di kemudian hari, akidah ini; bahwa alam baharu adalah akidah yang gigih diperjuangkan oleh al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari saat beliau berhadapan dengan kaum filsafat, Dahriyyah, dan kelompok sesat lainnya..
Lima: Hadits ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa segala sesuatu adalah
makhluk Allah. Sebelum Allah menciptakan makhluk-makhluk tersebut tidak ada
apapun selain-Nya. Tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada kursi, tidak ada arsy, tidak ada waktu, tidak ada tempat, dan tidak ada apapun, bahwa yang ada hanya Allah saja. Artinya, bahwa hanya Allah yang tidak memiliki permulaan (Azalyy).
Dengan demikian hadits ini merupakan bantahan atas kaum filsafat yang mengatakan bahwa alam ini tidak bermula (Qadîm).
Enam: Hadits ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Allah ada tanpa
tempat dan tanpa arah, karena tempat dan arah adalah makhluk Allah. Sebelum
menciptakan tempat dan arah Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka demikian pula setelah menciptakan tempat dan arah Allah tetap ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena Allah tidak membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri.
E. Lima: Hadits Shahih Riwayat al-Bukhari Dan Muslim Dari Sahabat Abu
Musa Dalam hadits shahih dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari berkata: “Telah sampai berita kepada kami tentang hijrahnya Rasulullah, dan kami saat itu berada di Yaman.
Lalu kami keluar dari Yaman untuk hijrah kepada Rasulullah. Saya bersama dua
orang saudara saya, dan saya adalah yang paling muda; keduanya adalah Abu
Burdah dan Abu Ruhm. Bersama kami saat itu adalah kaumku (Asy’ariyyah) dalam rombongan sekitar lima puluh orang lebih. Kami menaiki perahu yang kemudian perahu tersebut membawa kami ke arah raja an-Najjasyi di negeri Habasyah.
Di Habasyah kami bertemu dengan Ja’far ibn Abi Thalib. Lalu kami menetap beberapa saat di sana sebelum kemudian kami keluar besama-sama menuju Rasulullah. Dan kami sampai serta menghadap Rasulullah di Madinah ketika tanah Khaibar dibuka.
(Seluruh orang yang hadir saat pembukaan tanah Khaibar tersebut masing-masing mendapatkan bagian harta rampasan yang telah dibagi-bagikan oleh Rasulullah. Sementara yang tidak hadir saat pembukaan Khaibar tersebut tidak mendapatkan suatu apapun, kecuali Rasulullah telah menyisihkan untuk Ja’far ibn Abi Thalib dan orang-orang yang hijrah di atas perahu bersama kami). Beberapa orang yang lebih dahulu telah sampai bersama Rasulullah (ke Madinah) berkata kepada kami: “Kami telah sampai dalam hijrah ini lebih dahulu dari pada kalian”. Dan adalah Asma’ binti Umais salah seorang dari kami (Asy’ariyyah) datang berziarah ke Hafshah; isteri Rasulullah, lalu tiba-tiba Umar masuk ke tempat Hafshah seraya berkata -karena melihat Asma’ bersamanya-: “Siapakah perempuan ini?” Hafshah menjawab: “Ia adalah Asma’ binti Umais”. Umar berkata: “Inikah perempuan dari Habasyah itu?
Inikah perempuan laut itu?”. Asma’ menjawab: “Benar”. Lalu Umar berkata: “Kami telah mendahuli kalian dalam hijrah, maka kami lebih berhak terhadap Rasulullah dari pada kalian”. Tiba-tiba Asma’ marah sambil berkata: “Tidak demikian, demi Allah. Kalian hijrah bersama Rasulullah, dan Rasulullah sendiri yang memberi makan kepada orang yang lapar di antara kalian, dia yang memberi pelajaran kepada orang yang bodoh di antara kalian. Sementara kami berada di negeri yang sangat jauh dan banyak musuh (Habasyah), padahal hijrah yang kami lakukan ini tidak lain hanya karena Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah saya tidak akan makan dan tidak akan minum hingga saya mengadukan apa yang telah engkau katakan tersebut kepada Rasulullah, karena sesungguhnya dalam hijrah ini kami telah disakiti dan telah ditakut-takuti. Akan aku ceritakan ini semua kepada Rasulullah dan akan aku tanyai ia, demi Allah saya tidak akan berdusta, tidak akan berlebih-lebihan dan tidak akan aku tambah-tambahi”. Lalu ketika Rasulullah datang, Asma’ berkata kepadanya:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Umar berkata begini dan begini...”. Rasulullah
berkata: “Lalu engkau menjawab apa?”. Asma’ berkata: “Aku menjawab begini dan begini...”. Rasulullah berkata: “Dia (Umar) tidak lebih berhak terhadap diriku dari pada kalian. Dia (Umar) bersama para sahabatnya hanya mendapatkan hijrah satu kali, sementara kalian (kaum Asy’ariyyah dan yang bersama mereka yang  menaiki perahu) mendapatkan hijrah dua kali (yaitu hijrah ke Habasyah dan hijrah ke Rasulullah di Madinah). Asma’ berkata: “Aku melihat Abu Musa dan saudarasaudaranya yang bersama dia di perahu mendatangiku sekelompok demi sekelompok menanyaiku tentang perkataan Rasulullah ini. Dan sesungguhnya tidak ada suatu apapun di dunia ini yang lebih dapat membuat mereka senang dan lebih agung di banding pernyataan Rasulullah tersebut bagi mereka”. (HR. al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).
F. Enam: Hadits Shahih Dari Sahabat Abu Umamah Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah, berkata: Sesungguhnya Ka’ab ibn Ashim al-Asy’ari telah berkata kepadaku: “Suatu ketika, di masa Rasulullah masih hidup aku membeli gandum putih (kualitas kurang baik), lalu aku bawa ke isteriku.
Tiba-tiba isteriku berkata: “Engkau meninggalkan gandum coklat yang lebih baik, malah engkau membeli gandum semacam ini?! Demi Allah, saya ini adalah orang yang telah dikawinkan oleh Rasulullah kepadamu, padahal engkau adalah orang yang tidak memiliki kata-kata baik, tidak memiliki tubuh yang menarik, dan bahkan tidak memiliki kekuatan”. Kemudian gandum tersebut aku olah sendiri menjadi roti.
Setelah selesai aku hendak memanggil sahabat-sahabatku kaum Asy’ariyyah dari Ahli Suffah untuk makan bersamaku. Saat itu aku berkata kepada diriku: “Apakah layak aku dalam keadaan kenyang sementara saudara-saudaraku kelaparan?!”. Tiba-tiba isteriku mendatangi Rasulullah mengadukan perbuatanku tersebut. Ia berkata:
“Wahai Rasulullah, lepaskanlah aku dari orang yang telah engkau kawinkan
kepadaku”. Lalu Rasulullah mengutus seseorang untuk memanggil Ka’ab ibn Ashim untuk mempertemukan dia dengan isterinya dan hendak menyampaikan pengaduan isterinya tersebut. Rasulullah berkata kepada perempuan tersebut: “Adakah hal lain yang hendak engkau sampaikan tentang suamimu selain hal itu?”. Perempuan tersebut menjawab: “Tidak ada”. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Jika demikian apakah engkau menginginkan meminta cerai darinya hingga engkau kelak akan menjadi seperti bangkai keledai?! Ataukah engkau menginginkan seorang kaya yang pelit padahal dari setiap arahnya ia selalu dikelilingi oleh setan yang duduk bersamanya?! Apakah engkau tidak ridla bahwa aku telah menikahkanmu dengan seseorang yang berasal dari suatu kaum terbaik di mana matahari tidak akan pernah terbit terhadap kaum yang lebih baik dari mereka?!”. Kemudian perempuan tersebut berkata: “Wahai Rasulullah, sekarang aku telah ridla dengan pilihanmu”. Lalu perempuan tersebut berdiri dan menciumi kepala suaminya, seraya berkata: “Dari mulai sekarang aku tidak akan pernah meninggalkan suamiku selamanya”25.
Anda perhatikan perkataan Rasulullah dalam hadits ini. Beliau mensifati kaum
Asy’ariyyah sebagai sebaik-baiknya kaum, bahkan beliau mengatakan bahwa
matahari tidak akan pernah terbit di atas suatu kaum yang lebih baik dari pada
Asy’ariyyah. Fakta ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa hati Rasulullah sangat dekat kaum Asy’ariyyah. Lebih dari cukup bagi kita untuk membuktikan keutamaan kaum Asy’ariyyah adalah ketika Rasulullah berkata: “Hum Minnî Wa Anâ Minhum”, seperti yang telah kita sebutkan dalam hadits di atas.
Dengan demikian, atas dasar apa sebagian orang, terutama kaum Musyabbihah
Wahhabiyyah di masa sekarang ini, yang dengan sangat membabi buta membeci dan bahkan memerangi kaum Asy’ariyyah?! Benar, kebencian mereka hanya memiliki satu alasan; tidak lain adalah karena akidah mereka berseberangan dengan akidah kaum Asy’ariyyah yang notabene sebagai akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
Tidakkah mereka sadar bahwa membenci kaum Asy’ariyyah, sekalipun yang dibenci generasi cucu-cucu mereka, sama saja dengan membenci kakek-kakek mereka yang notabene para sahabat Rasulullah?! Adakah mereka sadar bahwa membenci para sahabat Rasulullah sama saja dengan membenci Rasulullah sendiri?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar