Penjelasan Status Hadits Dha'if
Di
kalangan masyarakat awam, penulis melihat adanya kecenderungan menganggap bahwa
hadis dha’if (lemah) sebagai hadis yang tidak dapat
dijadikan hujjah atau dalil dalam melakukan suatu amalan. Hal
ini diakibatkan oleh penyebutannya yang seringkali terkesan negatif dan
terpisah-pisah (yaitu hanya menyebut kelemahan suatu riwayat hadis tanpa mengkonfirmasikannya
dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, yang mungkin dapat mengangkat
statusnya dari kelemahan). Padahal, kelemahan suatu riwayat bisa sangat relatif
sifatnya, bisa sedikit dan bisa juga banyak. Dan apa yang mungkin tidak
diketahui oleh seorang periwayat hadis secara pasti, sangat mungkin diketahui
oleh periwayat yang lain, sebagaimana sisi kekuatan suatu riwayat hadis yang
diketahui oleh seorang ahli hadis, sangat mungkin tidak diketahui oleh ahli
hadis yang lain. Imam Ibnu Katsir menyebutkan:
“Dan
Syaikh Abu ‘Amr telah memperingati di sini bahwasanya tidak lazim menghukumi
kedha’ifan sanad (jalur riyawat) suatu hadis yang dianggap cacat semata-mata
dari hukum dha’ifnya sanad hadis tersebut, dikarenakan ter kadang hadis itu
memiliki pensanadan (jalur periwayatan) lain, kecuali bila ada seorang Imam
hadis yang menyatakan bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan kecuali hanya
melalui jalur ini.“ (Lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh
Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad
Syakir, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut , hal. 85).
Pada
kitab dan halaman yang sama, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan ungkapan
itu dengan penjelasan berikut:
من وجد حديثا بإسناد ضعيف، فلأحوط أن يقول: “إنه ضعيف بهذا
الإسناد”، ولا يحكم بضعف المتن –مطلقا من غير تقييد- بمجرد ضعف ذلك الإسناد، فقد
يكون الحديث واردا بإسناد آخر صحيح، إلا أن يجد الحكم بضعف المتن منقولا عن إمام
من الحفاظ والمطلعين على الطرق.
“Siapa
yang mendapati sebuah hadis dengan pensanadan (jalur periwayatan) yang dha’if,
maka yang lebih aman hendaknya ia berkata, ‘sesungguhnya hadis ini dha’if
dengan jalur periwayatan ini’, dan matan (redaksi/lafaz) hadis tersebut tidak
dihukumi dha’if –secara umum tanpa ikatan— semata-mata karena lemahnya jalur
periwayatan tersebut, maka terkadang hadis tersebut datang (diriwayatkan)
dengan jalur periwayatan lain yang shahih, kecuali bila ditemukan hukum
kedha’ifan matan (redaksi/lafaz)nya yang dinukil dari seorang Imam dari
kalangan Huffazh (penghafal hadis) yang meneliti jalan-jalannya
(jalur-jalur periwayatan hadis).
Penjelasan
di atas adalah kelaziman yang harus dilakukan seorang penerima hadis pada saat
ia mendapatkan informasi bahwa suatu hadis itu dha’if (lemah),
di mana ia tidak serta merta langsung menyatakan hukum dha’if secara
mutlak, apalagi menyatakan bahwa hadis dha’iftersebut tidak boleh
diamalkan atau dijadikan hujjah atau dalil.
Hadis dha’if berbeda
dari hadis maudhu’ (palsu). Hadis dha’if tetap
harus diakui sebagai hadis, dan menjadikannya sebagai dalil atau dasar untuk
melakukan suatu amalan kebaikan yang berkaitan dengan fadha’il al-a’mal (keutamaan
amalan) adalah sah menurut kesepakan para ulama hadis. Perhatikan
isyarat-isyarat para ulama berikut ini:
مع أنهم أجمعوا على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل
الأعمال (شرح سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 98)
“… sementara
mereka (para ahli hadis) telah berijma’ (bersepakat) atas bolehnya mengamalkan
hadis dha’if (lemah) di dalam fadha’il al-a’mal (keutamaan amalan)” (lihatSyarh
Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 98).
باب التشدد في أحاديث الأحكام والتجوز في
فضائل الأعمال. قد ورد واحد من السلف انه لا يجوز حمل الأحاديث المتعلقة بالتحليل
والتحريم الا عمن كان بريئا من التهمة بعيدا من الظنة واما أحاديث الترغيب
والمواعظ ونحو ذلك فإنه يجوز كتبها عن سائر المشايخ (الكفاية في علم الرواية،
الخطيب البغدادي، ج. 1، ص. 133)
“Bab
bersikap ketat pada hadis-hadis hukum, dan bersikap longgar pada fadha’il
al-a’mal. Telah datang satu pendapat dari seorang ulama salaf bahwasanya tidak
boleh membawa hadis-hadis yang berkaitan dengan penghalalan dan pengharaman
kecuali dari orang (periwayat) yang terbebas dari tuduhan, jauh dari
dugaan. Adapun hadis-hadis targhib (stimulus/anjuran) dan mawa’izh
(nasehat) dan yang sepertinya, maka boleh menulisnya (meriwayatkannya) dari
seluruh masyayikh (para periwayat hadis)” (lihat al-Ba’its
al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad
Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut , hal. 85).
قال: ويجوز رواية ما عدا الموضوع في باب الترغيب والترهيب،
والقصص والمواعظ، ونحو ذلك، إلا في صفات الله عز وجل، وفي باب الحلال
والحرام. (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد
شاكر، دار الكتب العلمية، ص. 85)
“(Ibnu
Katsir) berkata: ‘Dan boleh meriwayatkan selain hadis maudhu’ (palsu) pada bab
targhib (stimulus/anjuran) dan tarhib (ancaman), kisah-kisah dan nasehat, dan
yang seperti itu, kecuali pada sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla dan pada bab
halal & haram”(lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum
al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir,Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub
al-’Ilmiyah, Beirut , hal. 85).
Dan
banyak lagi pernyataan-pernyataan ulama hadis tentang hal tersebut yang tidak
mungkin disebutkan keseluruhannya di sini.
Kaitannya
dengan pembahasan bid’ah adalah bahwa kaum Salafi & Wahabi
terkesan mudah mengkategorikan suatu amalan sebagai bid’ah, atau
minimal sebagai amalan yang harus dihindari hanya karena hadis yang
dijadikan dalil untuk itu mereka anggap dha’if. Padahal, amalan-amalan
yang didasari oleh hadis-hadis dha’if tersebut
tergolong fadha’il al-a’mal (keutamaan amalan)
atau furu’ (perkara cabang) yang bukan pokok di dalam
penentuan hukum agama. Contohnya, hadis-hadis yang dijadikan dalil untuk
menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit.
Al-Imam
Jalaluddin as-Suyuthi menyatakan:
واستدلوا على الوصول، وبالقياس
على ما تقدم من الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق، فإنه لا فرق في نقل الثواب
بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة، وبالأحاديث الآتي ذكرها، وهي
وإن كانت ضعيفة، فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا، وبأن المسلمين ما زالوا في كل
عصر، يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من غير نكير، فكان ذلك إجماعا. ذكر ذلك كله الحافظ
شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. (شرح الصدور
بشرح حال الموتى والقبور، الحافظ جلال الدين السيوطي، دار الفكر، بيروت، ص. 269)
“Dan
mereka (jumhur ulama) mengambil dalil atas sampainya (hadiah pahala kepada
mayit), dan dengan qiyas kepada apa yang telah disebutkan daripada do’a,
sedekah, puasa, haji, dan memerdekakan budak, maka sesungguhnya tidak ada beda
dalam hal memindahkan pahala antara entahkah amalan itu haji, sedekah, wakaf,
do’a, atau bacaan al-Qur’an. Dan dengan hadis-hadis yang akan disebutkan,
meskipun dha’if, maka semuanya menunjukkan bahwa hal tersebut (menghadiahkan
pahala kepada mayit) memiliki asal (landasan di dalam agama), dan bahwa kaum
muslimin di setiap masa masih terus berkumpul dan membacakan al-Qur’an untuk
mayit-mayit mereka tanpa ada yang mengingkarinya, maka menjadilah hal itu
sebagai ijma’. Semua itu telah disebutkan oleh al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul
Wahid al-Maqdisi al-Hanbali di dalam sebuah juz yang ia tulis tentang masalah
tersebut.” (Lihat Syarh al-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa
al-Qubur,al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi, Dar el-Fikr, Beirut , hal. 269).
Demikianlah
contoh kearifan para ulama hadis dalam menilai dan menyikapi dalil-dalil yang
secara zhahir dianggap dha’if. Sayangnya sikap seperti ini tidak
ditiru oleh orang-orang yang gemar sekali menuduh bid’ah setiap
perkara baru berbau agama. Terkadang bermodalkan sedikit pengetahuan
tentang tahqiq al-hadits (penelitian hadis) mereka dengan
mudahnya mencampakkan suatu amalan ke dalam keranjang bid’ah sesat
hanya karena mereka nilai dalilnya dha’if (lemah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar